Ruma yang masih bingung akhirnya masuk juga. Duduk dengan rasa penasaran yang teramat. Sementara Dokter Raja langsung menyusul masuk ke mobilnya. Dia sempat tersenyum sekilas ke arahnya sebelum menjalankan mobilnya."Kok Dokter bisa di sini?" tanya Ruma akhirnya keluar juga kata yang tertahan sedari tadi."Kalau aku jawab kebetulan lewat, kamu percaya nggak?" balas Dokter malah memberikan umpan pertanyaan."Nggak." Ruma menggeleng sesuai instingnya."Ya udah berarti anggap saja begitu," jawabnya ambigu."Maksudnya?" tanya Ruma sungguh tidak tahu."Ya karena emang pingin lewat sini aja," jawabnya beralasan yang jelas kurang masuk akal. Mana mungkin Ruma percaya hal itu."Hanya itu?" tanya Ruma masih tidak percaya. Kurang kerjaan sekali pagi-pagi lewat sini. Sudah jelas arah jalan mereka pulang tidak sama."Hmm ... emangnya kamu berharap apa?" balas Dokter Raja datar."Cuma nanya, rumah Dokter kan jauh, nggak searah juga. Harusnya punya alasan dong kenapa lewat sini.""Karena aku merasa
Ya ampun ... malunya sampai besoknya lagi dan lagi kalau begini caranya. Rasanya pingin menenggelamkan wajah cantik itu agar tak nampak lagi. Malu sekali ketangkap basah curi-curi pandang. Padahal tadi tengah gerogi maksimal. Sekarang setelah keluar dari ruang OK belum ilang juga nervousnya. "Duh ... nggak bener ini, kenapa jadi deg degan gini sih. Please ... Ruma, kamu dalam masalah," batin Ruma hampir tak punya muka. "Permisi Dok, terima kasih sarannya," ucap wanita itu undur diri. Dia berlalu dengan sopan. Lalu berjalan cepat meninggalkannya. Sementara Raja tersenyum menatap punggung Ruma yang berjalan menjauh. Setelahnya, beristighfar banyak-banyak untuk menetralisir debaran yang tak biasa di hatinya. Raja sadar itu salah, dia tidak boleh menaruh hati pada perempuan yang bukan mahramnya. Apalagi status Ruma jelas wanita bersuami. Namun, dia yang saat ini seperti tengah kehilangan kendali diri. Mencoba bernegosiasi dengan hatinya. "Ghem!" Suara deheman Dokter Satya membuyarkan
"Raja, kamu di sini juga?" tanya Rasya mengembalikan ekspresi wajahnya. Dia bahkan menahan tangan Ruma yang bergerak memisahkan diri. Sekilas tatapan Dokter Raja terpusat pada kedua tangan mereka. Bukankah itu terlihat sangat akrab dan seperti sebuah pasangan. "Kalian kok bisa bareng?" tanya Dokter Raja penuh selidik. Tidak menyiakan kesempatan ini. Ruma terdiam, dia tidak berani untuk menjawab sepatah kata pun. Sementara Rasya tersenyum lembut, lalu menjawab dengan begitu tenang. "Dia istriku," jawab Rasya cukup jelas. Tentu saja jawaban Rasya membuat Ruma menoleh. Ada apa dengan pria ini? Apakah dia sedang mengakuinya? Ada rasa terkejut di dalam hati Raja. Walau sempat menduga-duga hal itu. Lantas, siapa perempuan waktu itu di rumah sakit yang jelas-jelas dimanjakannya. Apakah dia juga istrinya? Atau wanita lain yang terang-terangan Rasya banggakan. "Sejak kapan?" tanya Raja benar-benar kepo maksimal. Ia melirik Ruma yang menunduk galau. Tak berani bertemu tatap sedikit pun de
"Mas Rasya?" Ruma terkesiap mendapati suaminya ada di sana tengah menatapnya penuh tanda tanya. "Anak siapa, Rum, yang kalian maksud?" tanya Rasya mengulanginya. Menatap keduanya penuh selidik. Perempuan itu terdiam sejenak, berusaha tenang mencari jawaban yang masuk akal. Ruma menelan saliva gugup. Sebelum akhirnya menjawab dengan ekspresi meyakinkan. "Hmm ... itu anak yang kutangani di rumah sakit, Mas," jawab Ruma berdusta. Dia tidak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. Sempat melirik Dokter Raja di sebelahnya yang sepertinya hendak menjawab. Namun, sebelum pria itu bersuara. Ruma lebih dulu menjawabnya lugas. "Owh ... kalian ini sudah di luar rumah sakit masih membahas pekerjaan saja. Ayo, kamu lama sekali!" seru Rasya mengabaikan Raja di sana. Menggandeng tangan istrinya agar mengikutinya. Mendadak dia tidak suka dengan sikap Raja gegara tadi. Padahal di antara kawan lainnya, Rasya paling respect dengan pria itu. Mungkin karena merasa dekat, merasa pula menanyakan banyak ha
Ruma memejamkan matanya dengan hati berdebar, saat Rasya bergabung ke kasur menarik selimut yang sama. Hatinya gelisah tak menentu. Entahlah, dia merasa tidak aman di ranjang bersama. Bukankah ini yang Ruma inginkan sejak jadi istrinya. Namun, sekarang keadaannya tak lagi sama. "Udah tidur ya, padahal pingin ngobrol," ujar pria itu sembari mengelus kepalanya. Sentuhan lembut yang langsung membuat Ruma merinding seketika. Otaknya berkelana mengingat ia pernah melewati satu malam panas bersama Raja. "Ya Tuhan ... tenang Ruma, kenapa otakku justru mengingat pria itu terus sih," batin Ruma kesal sendiri. Ruma memejam erat merasakan tidak nyaman sekali saat tangan Rasya kembali mengelus-elus lembut seraya bergumam pelan yang entah itu apa. Ia kaku sendiri tidur tanpa berani memilih posisi yang diinginkan. Dalam hati terus berdoa, semoga apa yang dikhawatirkan tidak pernah terjadi. Mata Ruma terus memejam, tetapi tidak dengan otak dan hatinya. Entahlah perempuan itu terlelap jam berapa.
Walaupun hatinya kurang lega, Ruma tetap beranjak membelikan minum yang dipesan oleh Dokter Raja. Kenapa di mana-mana atasan itu selalu nyebelin dan suka-suka. Ya walaupun ini baru pertama kali bagi Ruma. Dia tidak kaget juga. Pasalnya banyak dari rekan mereka yang sudah lebih dulu mengalami nasib yang sama. Disuruh-suruh semaunya oleh konsulen mereka. . Perempuan itu bergegas kembali ke ruangan Dokter Raja setelah membawakan pesanannya. Lumayan lelah juga pagi-pagi setelah visite dapat tambahan begini. "Permisi Dok!" Ruma mengetuk pintu ruangan. Namun, ternyata tak ada pria itu. Entah Dokter Raja ke mana. Ruma ragu untuk menaruhnya di meja begitu saja. Tetapi bingung juga harus menyimpan di mana. Akhirnya Ruma tetap masuk dan menyiapkan di meja sana. Dia hendak keluar dari ruangan di saat yang bersamaan Raja masuk. "Maaf Dok, itu kopinya saya taruh di meja," tunjuk Ruma telah selesai mengerjakan tugas paginya. "Ya, terima kasih, jangan lupa nanti sore ya Rum," ujar pria itu mengi
"Ja, beli buat siapa?" tanya Dokter Zayyan penuh selidik. Tumben sekali putranya mengirim paket makanan untuk pekerja di rumah sakit secara personal. Bahkan terkesan rahasia. "Abi kok tahu? Anak bimbingan aku, Bi, sepertinya sedang sakit tapi maksa masuk. Ya sudah Raja sedekahkan saja," jawab pria itu santai. Tidak ingin juga ayahnya menaruh curiga dengan perlakuan dirinya yang tak biasa. Raja akui, memang dirinya agak aneh akhir-akhir ini, entahlah. Dia juga tidak paham dengan hatinya. Pikirannya terus menyerukan abaikan, tetapi hatinya seperti menuntun untuk tetap peduli. Perasaan macam apa ini? Sudah tahu salah, tetapi kenapa Raja sulit sekali untuk menghindar. Raja yang terlihat selalu menjaga jarak dengan yang bukan mahramnya, mungkin terlihat agak berbeda hari ini. Kebetulan sekali abinya melihat pas putra kesayangannya memerintahkan orang lain untuk memberikan pesanan itu. Tentu saja hal itu membuat pria nomor satu di rumah sakit itu merasa bertanya-tanya. "Yakin? Kamu suda
Usai dari ruang OK, Ruma kembali jaga di IGD menunaikan tugasnya. Fisiknya benar-benar diadu habis tanpa jeda. Ia bahkan tidak bisa tidur nyaman barang sejenak pun karena pasien malam itu terus berdatangan. "Mes, tolong bentar aku mau ke belakang," ucap Ruma beranjak. Dia sebenarnya lelah sekali, untung kehamilannya tidak rewel sama sekali walau tiba-tiba kadang mual datang melanda saat-saat tak terduga. "Ya, siap," jawab Mesya di sela-sela waktu malam mereka yang tersisa. Ruma meminjam kamar mandi perawat untuk membersihkan diri. Dia tetap meminta waktu beribadah usai ikut operasi. Matanya sudah terkantuk-kantuk menjelang dini hari. Tidak bisa tenang karena harus morning report juga pagi-pagi. Sungguh tidur di mana pun sesuatu sekali. "Rum!" Perempuan itu tak terasa lelap begitu saja di ruang jaga. "Eh, ya, apa Mes?" tanya Ruma dengan mata sayu. Ia langsung tergeragap takut ada pasien. "Beli makanan nggak bilang-bilang, kan bisa nitip.""Siapa yang beli, aku ketiduran, astaghf