Mag-log in“Halo. Wildan?”
“Siapa ini?” Suara di seberang menjawab. Berat, dalam, dan terdengar seperti suara yang tidak pernah tersenyum. “Halo, ini Meysa. Meysa Haryani. Penulis Secangkir Kopi dan Rindu yang Menguap … atau yang sekarang jadi Kehangatan Rudal Paman Mantanku!” seru Meysa, nadanya langsung melengking tinggi, kontras tajam dengan ketenangan yang menyelimuti suara Wildan. Terdengar jeda singkat di seberang, diikuti helaan napas berat. “Oh, Kak Meysa. Aku sudah menduga panggilan ini datang. Ya, aku yang mengubahnya. Kamu pasti ingin tahu kenapa novel idealis kamu yang gak laku itu mendadak jadi hot commodity dan populer, pencarian nomer satu di PenaKata.” “Kenapa?! Editor macam apa yang mengubah novel idealis tentang deskripsi hujan dan melankolia menjadi novel dewasa, Wildan?! Dan judulnya?! Kehangatan Rudal Paman Mantanku?! Astaga! Kamu tahu nggak itu melanggar integritas moralku sebagai penulis?” Meysa memekik. Ia melangkah mondar-mandir di antara sofa lusuh. “Integritas moral katamu? Mari kita bicara angka, bukan fantasi murahan. Tiga tahun, dan novel idealis kamu hanya dibaca kurang dari sepuluh ribu kali. Itu namanya gagal idealis,” balas Wildan, suaranya tetap tenang, terkontrol, dan menghina. “... Setelah aku lakukan penyesuaian pasar yang kamu sebut perusakan, novel kamu mencapai 3,4 juta tayangan dalam waktu kurang dari enam bulan, duduk di puncak popularitas, dan sekarang diincar ViewMax untuk adaptasi serial. Itu berarti ratusan juta, Meysa. Aku menyelamatkan karya kamu dari kuburan digital dan membuatnya jadi mesin uang.” “Apa? ViewMax?” “Iya. Kanal film streaming berbayar. Kita bisa bekerjasama dengan mereka. Mereka menawarkan ratusan juta.” Meysa terhenyak. Langkahnya terhenti. Pipinya terasa panas, menyadari kebenaran pahit itu. Ratusan juta. “Kamu mencuri dan merusak karyaku! Aku tidak mau bekerja di bawah kendali penuhmu!” tuntut Meysa, suaranya tercekat. “Dan hentikan memanggilku dengan sebutan Kak Meysa! Aku bukan kakakmu!” Wildan tertawa kecil, tawa kering yang terdengar seperti gesekan ampas kopi di dasar cangkir. “Tentu. Aku mengerti. Kamu seorang penulis idealis yang menjunjung tinggi emosi. Tapi ingat, Meysa, kita bicara bisnis di sini. Aku tidak bisa menjelaskan semua detailnya hanya lewat telepon, itu terlalu membuang waktuku.” Wildan menjeda. “Jika kamu ingin semua informasi lengkap, semua data penjualan, dan semua alasan logis mengapa aku mengambil keputusan yang secara finansial menguntungkan kamu ini, datanglah ke kantor PenaKata hari ini, jam sepuluh. Kita bicara tatap muka.” Meysa mengepalkan tangan, kuku-kukunya menancap di telapak tangannya. Ia menelan ludah pahit, membiarkan naluri bertahan hidup menguasai logikanya. Ini adalah kesempatannya untuk melihat langsung apa yang telah dilakukan Wildan pada karyanya. “Oke! Aku akan datang!” desisnya, suaranya hampir tak terdengar. “Hari ini jam sepuluh pagi. Aku akan menuntut kamu untuk mengubah kembali semua isinya.” “Kita lihat. Sampai jumpa, Meysa.” Panggilan terputus. Meysa menjatuhkan ponselnya ke sofa lusuh. Rasa frustrasi dan kemarahan memuncak. Pria arogan itu benar-benar harus diberikan pelajaran. Ia segera membersihkan dirinya dan mulai memilih pakaian. Jika dia akan bertemu dengan editor yang arogan, yang kini bertanggung jawab atas ratusan juta rezekinya, dia tidak bisa datang dengan penampilan biasa. Ini adalah pertarungan harga diri dan profesionalisme. Meysa mengeluarkan kemeja putih terbaiknya dan rok hitam formal selutut. Pakaian yang selalu ia kenakan saat menghadiri acara seminar kepenulisan. Setelah mengenakan pakaian rapi tersebut, Meysa berdiri di depan cermin. Ia memandangi pantulan bayangan dirinya yang mengenakan kemeja putih, rok hitam, dan sepatu flat yang bersih. Penampilan formal yang ia paksakan demi menutupi kecemasan internalnya. *** Meysa akhirnya sudah tiba di gedung perkantoran PenaKata. Dia datang dua belas menit lebih awal. Lobby kantor itu mewah, berbanding terbalik dengan rusunnya yang kumuh. Saat ia melangkah masuk, seorang pria sudah berdiri di dekat meja resepsionis, seolah memang menunggunya. Pria itu tampak familiar dari foto profil W******p yang sempat ia lihat. Wildan. Dia adalah pria dengan tinggi sekitar 178 cm, tampan dengan pesona yang dingin. Wajahnya keras, rahang tegas, dan matanya yang tajam seakan menembus Meysa. Ia mengenakan kemeja biru tua yang pas di badan, dan menunjukkan sedikit otot di lengan bawahnya. Auranya terasa dominan, seorang pria yang terbiasa memegang kendali. Meskipun minim senyum, penampilannya yang rapi dan tatapannya yang intens memberikan kesan yang kuat. Meysa mengakui, Wildan adalah pria yang sangat menarik. Wildan mendongak, matanya yang gelap bertemu dengan mata Meysa. Senyum tipis, nyaris tidak terlihat, terukir di bibirnya. Senyum yang tampak seperti ejekan, bukan sambutan hangat. “Tepat waktu. Aku suka disiplin,” kata Wildan, suaranya berat dan maskulin, persis seperti yang Meysa dengar di telepon. Ia melangkah mendekat, memutar tubuh untuk meneliti Meysa dari ujung rambut hingga kaki. “Pakaianmu bagus. Kemeja putih dan rok hitam. Rapi sekali, seperti … anak magang baru di hari pertamanya.” Pujian dengan nada merendahkan itu langsung membakar amarah Meysa. Dia datang sebagai penulis yang karyanya bernilai jutaan, bukan sebagai karyawan magang. Meysa menarik napas, berusaha menjaga profesionalisme, tetapi bibit ketidakakuran di antara penulis idealis dan editor yang pragmatis itu sudah mulai tumbuh. “Aku Meysa Haryani. Dan aku di sini bukan untuk magang,” balas Meysa tajam, membalas tatapan Wildan tanpa gentar. “Aku di sini untuk membahas karya yang kamu ubah seenaknya.” Wildan tidak terkejut dengan nada bicara Meysa. Ia justru menyeringai sedikit, seolah menikmati perlawanan itu. “Bagus. Kalau begitu, mari kita bicara bisnis. Ruang rapat ada di lantai atas. Ikuti aku, Penulis Rudal.” BersambungMeysa tidak langsung menjawab pertanyaan Wildan. Jantungnya masih berdebar kencang. Mereka kini berdiri di tepi jalan raya, tepat di depan gedung PenaKata. "Mey, siapa dia?" Suara Wildan terdengar kembali bertanya untuk kedua kalinya. Namun Meysa masih merapatkan mulutnya tidak mau menjawab. Wildan kembali mendesak, "Meysa, aku tanya sekali lagi. Ada apa ini? Siapa pria barusan? Kenapa dia mencengkeram lenganmu?" Meysa menatap Wildan dengan sorot mata yang dipenuhi kekesalan. "Bukan urusanmu, Wildan! Aku tidak perlu menceritakan masalah pribadi ku padamu. Cukup berlebihan kalau kamu langsung berasumsi ada drama besar di sini." Kata-kata ketus itu membuat Wildan kesal. "Hei, Meysa! Seharusnya kamu berterima kasih karena aku sudah menolongmu. Malah marah-marah begini. Tadi kamu yang memohon untuk cepat selesai rapat, sekarang kamu malah lambat." "Aku tidak memintamu menolongku ya. Aku bisa urus diriku sendiri," balas Meysa, meskipun ia tahu ia hanya membual. "Sekarang, kalau urus
Meysa ternganga. Jantungnya langsung berdebar kencang. 'Hah? Tinggal berdua dengan Wildan?! Pria yang sudah punya istri dan anak? Pria yang sudah jadi pria terlarang bagiku?!' serunya panik dalam hati."Aku ... aku tidak bisa, Pak," Meysa memprotes segera. "Aku punya urusan di Jakarta. Aku harus mengurus ....""Urusan apa, Meysa?" Wildan akhirnya angkat bicara, menoleh padanya. "Urusan pindah dari rusun bobrokmu? Kamu akan segera punya banyak uang. Tinggal satu bulan di Puncak untuk mengubah hidupmu, itu namanya investasi masa depan. Kita butuh fokus 100%," ucap Wildan, nada suaranya seolah sedang menjelaskan pada anak kecil yang keras kepala."Tapi, Pak Adam," Meysa mengabaikan Wildan dan kembali menatap CEO. "Aku dan Wildan ... kami tidak cocok. Kami sering berdebat soal integritas dan idealisme. Kami tidak akan bisa bekerja sama dalam satu atap."Pak Adam tertawa kecil. "Itulah yang saya harapkan. Creative friction! Energi dari perdebatan kalian justru yang menciptakan hook terlara
Pagi berikutnya, Meysa tiba di kantor PenaKata lebih awal, didorong oleh kombinasi gugup dan keinginan membuktikan diri. Ia naik ke lantai lima, menuju ruang kerja Wildan. Koridor terasa sunyi. Seorang staf wanita muda menyambut Meysa di lorong dengan senyum ramah. "Pagi, Kak Meysa. Pak Wildan belum datang. Silakan masuk saja," kata staf tersebut, menyerahkan kunci duplikat. "Kami sudah siapkan aksesnya, supaya Kak Meysa tidak perlu menunggu di luar. Kalian kan sudah kolaborasi intens." Meysa mengangguk kaku, menerima kunci perak itu. Ia merasakan tatapan menyelidik dari beberapa meja yang ia lewati, seolah ia adalah bintang yang baru naik daun. Ia memutar kunci, membuka pintu, dan menyalakan lampu. Ruangan itu rapi, seefisien dan sebersih Wildan sendiri, steril dan dingin. Dindingnya hanya dihiasi papan tulis putih besar penuh dengan flowchart dan target angka penjualan yang mengerikan. Meysa duduk di salah satu kursi, mencoba fokus, tetapi matanya tanpa sadar menyapu sudut mej
[Senang melihatmu sukses dan akhirnya kaya, Sayang. Tapi aku tidak suka melihatmu dekat-dekat dengan pria lain.]Meysa terpaku menatap layar ponselnya. Itu pesan dari Dimas. Mantan kekasihnya yang toxic, posesif, dan pengkhianat.Kedua tangan Meysa sedikit gemetar. Perasaan takut dan risih langsung hinggap, hingga bulu kuduknya meremang. Wildan menyadari Meysa tidak mengikutinya. Ia pun menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke belakang. “Hei, penulis Rudal, ayo cepat! Ngapain kamu bengong di sana? Kita harus bicara bisnis ini secepatnya. Aku tidak punya waktu banyak, karena bukan cuman kamus aja penulis yang aku urusin,” katanya dengan nada ketus.“Maaf!” seru Meysa. Ia segera memasukan kembali ponselnya ke dalam tas kulit selempangnya. Ia berjalan cepat dari lobi mewah kantor PenaKata menuju area lift bersama Wildan. Di dalam lift, atmosfer tegang menyelimuti mereka. Kemeja putih Meysa yang licin dan rok hitam formalnya terasa terlalu kaku di samping Wildan yang tampak santai na
“Halo. Wildan?” “Siapa ini?” Suara di seberang menjawab. Berat, dalam, dan terdengar seperti suara yang tidak pernah tersenyum.“Halo, ini Meysa. Meysa Haryani. Penulis Secangkir Kopi dan Rindu yang Menguap … atau yang sekarang jadi Kehangatan Rudal Paman Mantanku!” seru Meysa, nadanya langsung melengking tinggi, kontras tajam dengan ketenangan yang menyelimuti suara Wildan.Terdengar jeda singkat di seberang, diikuti helaan napas berat. “Oh, Kak Meysa. Aku sudah menduga panggilan ini datang. Ya, aku yang mengubahnya. Kamu pasti ingin tahu kenapa novel idealis kamu yang gak laku itu mendadak jadi hot commodity dan populer, pencarian nomer satu di PenaKata.”“Kenapa?! Editor macam apa yang mengubah novel idealis tentang deskripsi hujan dan melankolia menjadi novel dewasa, Wildan?! Dan judulnya?! Kehangatan Rudal Paman Mantanku?! Astaga! Kamu tahu nggak itu melanggar integritas moralku sebagai penulis?” Meysa memekik. Ia melangkah mondar-mandir di antara sofa lusuh.“Integritas moral k
“Aah!”“Terus Sayang ...!”“Aw … Please ….”“Yes! Baby … Yeees!”Suara racauan dan desahan yang memecah kesunyian malam itu terdengar begitu vulgar, seolah dinding tipis kamar kos tak mampu lagi meredamnya. Bunyi ranjang yang berderit, menyatu dengan nafas memburu dan lenguhan asing, menusuk langsung ke ulu hati Meysa.‘Tidak! Tidak mungkin!’Langkah Meysa berhenti tepat di depan pintu kamar kos nomor empat, di lantai enam ini. Kamar kos yang bebas tanpa pengawasan ibu atau bapak kosan.Meysa mengepalkan tangan, urat lehernya menegang. Jantungnya berdentum-dentum di dada, memompa amarah yang siap meledak. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Meysa menerjang pintu itu.Sayangnya, pintu itu terbuat dari kayu tebal, bukan karton. Serangan mendadaknya hanya menyisakan rasa nyeri hebat di bahu kanannya. Pintu itu tetap tertutup, mengejeknya dengan suara-suara laknat dari dalam.Rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan sakit yang menghunjam dadanya. Meysa mencari cara. Netranya melirik ke a







