Share

Pria terlarang

Author: Risya Petrova
last update Last Updated: 2025-11-28 17:53:28

[Senang melihatmu sukses dan akhirnya kaya, Sayang. Tapi aku tidak suka melihatmu dekat-dekat dengan pria lain.]

Meysa terpaku menatap layar ponselnya. Itu pesan dari Dimas. Mantan kekasihnya yang toxic, posesif, dan pengkhianat.

Kedua tangan Meysa sedikit gemetar. Perasaan takut dan risih langsung hinggap, hingga bulu kuduknya meremang.

Wildan menyadari Meysa tidak mengikutinya. Ia pun menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke belakang. “Hei, penulis Rudal, ayo cepat! Ngapain kamu bengong di sana? Kita harus bicara bisnis ini secepatnya. Aku tidak punya waktu banyak, karena bukan cuman kamus aja penulis yang aku urusin,” katanya dengan nada ketus.

“Maaf!” seru Meysa. Ia segera memasukan kembali ponselnya ke dalam tas kulit selempangnya. Ia berjalan cepat dari lobi mewah kantor PenaKata menuju area lift bersama Wildan.

Di dalam lift, atmosfer tegang menyelimuti mereka. Kemeja putih Meysa yang licin dan rok hitam formalnya terasa terlalu kaku di samping Wildan yang tampak santai namun dominan.

Pintu lift tertutup. Wildan menyandarkan bahunya ke dinding baja.

“Masih tersinggung dengan sebutan anak magang?” tanya Wildan, tanpa menoleh, suaranya yang dalam memenuhi ruang sempit itu.

Meysa mendengus. “Aku penulis, Wildan. Karya yang kamu ubah itu bernilai ratusan juta. Seharusnya kamu lebih menghormati partner kerjamu. Jadi jangan sepert anak SD yang suka meledek.”

Wildan akhirnya menoleh. “Aku sangat menghormati partner yang menghasilkan uang, Meysa. Tapi, dengan penampilan sesopan itu, kamu tidak akan bisa menulis adegan ‘Rudal’ di kantor dengan meyakinkan. Kamu terlalu bersih untuk menulis cerita kotor.”

Meysa tak percaya pria dingin yang dominan ini mengatakan dirinya terlalu bersih, dan seolah mendorongnya untuk main ‘kotor-kotoran’. Mulut Meysa sudah terbuka dan hendak menimpali. Namun tiba-tiba terdengar suara lift berdenting.

Mereka sudah berada di lantai lima.

Begitu pintu terbuka, Meysa langsung menuju ruang meeting yang tidak terlalu luas itu, ia berusaha menjauh dari tekanan Wildan.

"Sudah siap belajar bagaimana cara mengubah rindu menjadi uang, Meysa?" sambut Wildan, senyum meremehkan terpampang jelas saat mereka tiba di depan ruang kaca.

"Aku datang untuk bekerja, Wildan. Bukan untuk dibimbing," balas Meysa dingin.

Wildan membuka pintu dan mempersilakan Meysa masuk. Mereka duduk berhadapan.

“Mari kita langsung ke intinya,” ujar Wildan, menunjuk naskah di depannya. “Novel kamu yang berjudul Secangkir Kopi dan Rindu yang Menguap. Judul membosankan yang hanya menghasilkan kurang dari sepuluh ribu tayangan, sudah aku injeksi dengan ‘sentuhan panas’.”

Meysa langsung menyambar. “Sentuhan panas? Judul menjijikkan? Kehangatan Rudal Paman Mantanku?! Kamu mengubah esensinya! Novelku idealis tentang melankolia dan hujan, bukan ... main kekotoran!”

Wildan bersandar santai, menyilangkan tangan di depan dada. “Aku tidak mengubah esensi secara drastis. Aku hanya menambahkan garnish dan sedikit membelokkan alurnya agar sesuai tren pasar.”

Meysa menghela nafas panjang. Air mukanya terlihat tidak nyaman.

Wildan sadar Meysa keras kepala. Lalu ia menjentikkan jari ke arah layar ponsel Meysa yang tergeletak di meja. "Aku hanya mengubah sedikit kata-kata dan alur, dan lihat hasilnya: 3,4 juta tayangan. Ini bukti, Meysa. Idealismu gagal, realitas pasar menang.”

Meysa terdiam, pipinya memerah karena amarah bercampur malu.

Wildan melanjutkan, nadanya kini lebih tenang namun penuh penekanan. “Karena aku mengambil risiko ini, novelmu jadi populer, dan sekarang sedang ditawar untuk diadaptasi menjadi mini-series eksklusif oleh ViewMax. Mereka bahkan sudah meminta Season 2.”

Meysa menarik napas, melihat print-out naskah di meja. Ratusan juta. Pindah dari rusun bobrok. Kehidupan yang lebih baik. Kesempatan ini benar-benar tidak akan datang dua kali. Keuntungan yang Wildan tawarkan jauh lebih besar daripada harga diri yang compang-camping.

Hening.

Terjadi keheningan yang mencekam dalam beberapa menit yang terasa seperti berabad-abad.

“Meysa … Ini kesempatan langka, dan tidak mungkin akan ada lagi,” tegas Wildan dengan nada lugas.

Meysa mengatupkan bibirnya. Baginya ini adalah keputusan sulit. Begitu bingungnya ia memilih antara tetap menjadi penulis idealis atau penulis realistis?

Suasana terasa semakin tegang. Hingga suara detik jam dinding yang menggantung terdengar seperti suara alarm kematian.

Kedua mata Wildan menatap tajam Meysa.

Akhirinya Meysa menarik nafas panjang dan dalam, lalu menelan ludah. "Oke! Aku terima."

Wildan tersenyum tipis. “Keputusan cerdas, Penulis Rudal.”

Meysa menghela napas panjang. “Tapi aku tetap tidak suka dengan judulnya.”

Wildan mengabaikannya. “Bagus. Karena kita sudah resmi bekerja sama, dengarkan baik-baik. Sesuai kontrak novel eksklusif di PenaKata, aplikasi memiliki hak penuh untuk menunjuk editor dan pemegang proyek adaptasi. Aku bertanggung jawab penuh atas adaptasi Season 1 dan pengembangan naskah untuk Season 2. Dengan novelmu yang dibutuhkan ViewMax, kita akan bekerja sama selamanya.”

Kata 'Selamanya' menekan Meysa. Ia harus bekerja dengan pria arogan ini.

"Keberatan tidak akan mengubah apa-apa," Wildan memotong. "Tugasku bukan hanya mengedit, tapi mengotori tanganmu agar kamu bisa menulis gairah terlarang dengan meyakinkan.”

Selama jam-jam berikutnya, Wildan mendominasi. Ia merangkai ide, mengubah dialog kaku Meysa menjadi percakapan yang menggoda, dan menciptakan alur yang membuat Meysa bergidik ngeri sekaligus kagum.

Saat matahari mulai terbenam, Wildan meregangkan tubuh. "Cukup untuk hari ini. Tugasmu: ubah deskripsi hujan yang melankolis itu menjadi deskripsi gairah yang membara," katanya.

"Aku akan mencoba," jawab Meysa.

"Jangan hanya mencoba. Lakukan. Aku tahu kamu bisa," ucap Wildan, senyum tulus pertama yang Meysa lihat. Senyum itu terasa hangat dan ... menawan.

Tepat saat Meysa bangkit, ponsel Wildan berdering. Ia meraihnya, dan Meysa melihat nama yang tertera di layar: Alya – My Wife.

Wildan segera berbalik, membelakangi Meysa, dan mengangkat telepon. "Ya, Alya. Aku masih di kantor. Kenapa?"

Meysa tercekat. Istri? Tiba-tiba, Wildan kembali menjadi pria terlarang. ‘Oh jadi dia udah punya istri,’ ucapnya di dalam hati.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Editorku   Menuju Villa

    Meysa tidak langsung menjawab pertanyaan Wildan. Jantungnya masih berdebar kencang. Mereka kini berdiri di tepi jalan raya, tepat di depan gedung PenaKata. "Mey, siapa dia?" Suara Wildan terdengar kembali bertanya untuk kedua kalinya. Namun Meysa masih merapatkan mulutnya tidak mau menjawab. Wildan kembali mendesak, "Meysa, aku tanya sekali lagi. Ada apa ini? Siapa pria barusan? Kenapa dia mencengkeram lenganmu?" Meysa menatap Wildan dengan sorot mata yang dipenuhi kekesalan. "Bukan urusanmu, Wildan! Aku tidak perlu menceritakan masalah pribadi ku padamu. Cukup berlebihan kalau kamu langsung berasumsi ada drama besar di sini." Kata-kata ketus itu membuat Wildan kesal. "Hei, Meysa! Seharusnya kamu berterima kasih karena aku sudah menolongmu. Malah marah-marah begini. Tadi kamu yang memohon untuk cepat selesai rapat, sekarang kamu malah lambat." "Aku tidak memintamu menolongku ya. Aku bisa urus diriku sendiri," balas Meysa, meskipun ia tahu ia hanya membual. "Sekarang, kalau urus

  • Sentuhan Panas Editorku   Ancaman sang Mantan

    Meysa ternganga. Jantungnya langsung berdebar kencang. 'Hah? Tinggal berdua dengan Wildan?! Pria yang sudah punya istri dan anak? Pria yang sudah jadi pria terlarang bagiku?!' serunya panik dalam hati."Aku ... aku tidak bisa, Pak," Meysa memprotes segera. "Aku punya urusan di Jakarta. Aku harus mengurus ....""Urusan apa, Meysa?" Wildan akhirnya angkat bicara, menoleh padanya. "Urusan pindah dari rusun bobrokmu? Kamu akan segera punya banyak uang. Tinggal satu bulan di Puncak untuk mengubah hidupmu, itu namanya investasi masa depan. Kita butuh fokus 100%," ucap Wildan, nada suaranya seolah sedang menjelaskan pada anak kecil yang keras kepala."Tapi, Pak Adam," Meysa mengabaikan Wildan dan kembali menatap CEO. "Aku dan Wildan ... kami tidak cocok. Kami sering berdebat soal integritas dan idealisme. Kami tidak akan bisa bekerja sama dalam satu atap."Pak Adam tertawa kecil. "Itulah yang saya harapkan. Creative friction! Energi dari perdebatan kalian justru yang menciptakan hook terlara

  • Sentuhan Panas Editorku   Rencana absurt Pak CEO

    Pagi berikutnya, Meysa tiba di kantor PenaKata lebih awal, didorong oleh kombinasi gugup dan keinginan membuktikan diri. Ia naik ke lantai lima, menuju ruang kerja Wildan. Koridor terasa sunyi. Seorang staf wanita muda menyambut Meysa di lorong dengan senyum ramah. "Pagi, Kak Meysa. Pak Wildan belum datang. Silakan masuk saja," kata staf tersebut, menyerahkan kunci duplikat. "Kami sudah siapkan aksesnya, supaya Kak Meysa tidak perlu menunggu di luar. Kalian kan sudah kolaborasi intens." Meysa mengangguk kaku, menerima kunci perak itu. Ia merasakan tatapan menyelidik dari beberapa meja yang ia lewati, seolah ia adalah bintang yang baru naik daun. Ia memutar kunci, membuka pintu, dan menyalakan lampu. Ruangan itu rapi, seefisien dan sebersih Wildan sendiri, steril dan dingin. Dindingnya hanya dihiasi papan tulis putih besar penuh dengan flowchart dan target angka penjualan yang mengerikan. Meysa duduk di salah satu kursi, mencoba fokus, tetapi matanya tanpa sadar menyapu sudut mej

  • Sentuhan Panas Editorku   Pria terlarang

    [Senang melihatmu sukses dan akhirnya kaya, Sayang. Tapi aku tidak suka melihatmu dekat-dekat dengan pria lain.]Meysa terpaku menatap layar ponselnya. Itu pesan dari Dimas. Mantan kekasihnya yang toxic, posesif, dan pengkhianat.Kedua tangan Meysa sedikit gemetar. Perasaan takut dan risih langsung hinggap, hingga bulu kuduknya meremang. Wildan menyadari Meysa tidak mengikutinya. Ia pun menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke belakang. “Hei, penulis Rudal, ayo cepat! Ngapain kamu bengong di sana? Kita harus bicara bisnis ini secepatnya. Aku tidak punya waktu banyak, karena bukan cuman kamus aja penulis yang aku urusin,” katanya dengan nada ketus.“Maaf!” seru Meysa. Ia segera memasukan kembali ponselnya ke dalam tas kulit selempangnya. Ia berjalan cepat dari lobi mewah kantor PenaKata menuju area lift bersama Wildan. Di dalam lift, atmosfer tegang menyelimuti mereka. Kemeja putih Meysa yang licin dan rok hitam formalnya terasa terlalu kaku di samping Wildan yang tampak santai na

  • Sentuhan Panas Editorku   Editor yang menyebalkan

    “Halo. Wildan?” “Siapa ini?” Suara di seberang menjawab. Berat, dalam, dan terdengar seperti suara yang tidak pernah tersenyum.“Halo, ini Meysa. Meysa Haryani. Penulis Secangkir Kopi dan Rindu yang Menguap … atau yang sekarang jadi Kehangatan Rudal Paman Mantanku!” seru Meysa, nadanya langsung melengking tinggi, kontras tajam dengan ketenangan yang menyelimuti suara Wildan.Terdengar jeda singkat di seberang, diikuti helaan napas berat. “Oh, Kak Meysa. Aku sudah menduga panggilan ini datang. Ya, aku yang mengubahnya. Kamu pasti ingin tahu kenapa novel idealis kamu yang gak laku itu mendadak jadi hot commodity dan populer, pencarian nomer satu di PenaKata.”“Kenapa?! Editor macam apa yang mengubah novel idealis tentang deskripsi hujan dan melankolia menjadi novel dewasa, Wildan?! Dan judulnya?! Kehangatan Rudal Paman Mantanku?! Astaga! Kamu tahu nggak itu melanggar integritas moralku sebagai penulis?” Meysa memekik. Ia melangkah mondar-mandir di antara sofa lusuh.“Integritas moral k

  • Sentuhan Panas Editorku   Kehangatan Rudal Paman Mantanku

    “Aah!”“Terus Sayang ...!”“Aw … Please ….”“Yes! Baby … Yeees!”Suara racauan dan desahan yang memecah kesunyian malam itu terdengar begitu vulgar, seolah dinding tipis kamar kos tak mampu lagi meredamnya. Bunyi ranjang yang berderit, menyatu dengan nafas memburu dan lenguhan asing, menusuk langsung ke ulu hati Meysa.‘Tidak! Tidak mungkin!’Langkah Meysa berhenti tepat di depan pintu kamar kos nomor empat, di lantai enam ini. Kamar kos yang bebas tanpa pengawasan ibu atau bapak kosan.Meysa mengepalkan tangan, urat lehernya menegang. Jantungnya berdentum-dentum di dada, memompa amarah yang siap meledak. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Meysa menerjang pintu itu.Sayangnya, pintu itu terbuat dari kayu tebal, bukan karton. Serangan mendadaknya hanya menyisakan rasa nyeri hebat di bahu kanannya. Pintu itu tetap tertutup, mengejeknya dengan suara-suara laknat dari dalam.Rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan sakit yang menghunjam dadanya. Meysa mencari cara. Netranya melirik ke a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status