Home / Romansa / Sentuhan Panas Editorku / Kehangatan Rudal Paman Mantanku

Share

Sentuhan Panas Editorku
Sentuhan Panas Editorku
Author: Risya Petrova

Kehangatan Rudal Paman Mantanku

Author: Risya Petrova
last update Huling Na-update: 2025-11-28 17:50:59

“Aah!”

“Terus Sayang ...!”

“Aw … Please ….”

“Yes! Baby … Yeees!”

Suara racauan dan desahan yang memecah kesunyian malam itu terdengar begitu vulgar, seolah dinding tipis kamar kos tak mampu lagi meredamnya. Bunyi ranjang yang berderit, menyatu dengan nafas memburu dan lenguhan asing, menusuk langsung ke ulu hati Meysa.

‘Tidak! Tidak mungkin!’

Langkah Meysa berhenti tepat di depan pintu kamar kos nomor empat, di lantai enam ini. Kamar kos yang bebas tanpa pengawasan ibu atau bapak kosan.

Meysa mengepalkan tangan, urat lehernya menegang. Jantungnya berdentum-dentum di dada, memompa amarah yang siap meledak. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Meysa menerjang pintu itu.

Sayangnya, pintu itu terbuat dari kayu tebal, bukan karton. Serangan mendadaknya hanya menyisakan rasa nyeri hebat di bahu kanannya. Pintu itu tetap tertutup, mengejeknya dengan suara-suara laknat dari dalam.

Rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan sakit yang menghunjam dadanya. Meysa mencari cara. Netranya melirik ke arah Alat Pemadam Kebakaran, tabung berwarna merah yang berada di sudut koridor. Ia bergegas mengambilnya dan kemudian menghantamkannya ke arah daun pintu yang terbuat dari kayu dan triplek itu, hingga akhirnya,

Braaaak!!

Pintu itu terbuka.

Di matanya, dunia seolah berhenti berputar.

Dimas, kekasihnya, tampak telanjang dengan seorang wanita asing di atas ranjang. Keduanya terkesiap, gerak mereka membeku di tengah aktivitas yang kotor.

Asam lambung Meysa mendadak langsung naik ke atas. Ia merasa mual, tetapi pandangannya terkunci pada wanita itu.

Meysa mengenalnya.

Saat netra mereka bertemu, wanita itu tidak menunjukkan rasa terkejut, malu, atau takut sedikit pun. Sebaliknya, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang penuh kemenangan dan meremehkan.

Senyum itu begitu puas, seolah ia baru saja memenangkan taruhan besar, menjadikan hati Meysa sebagai bayarannya.

Lutut Meysa terasa lemas. Kepalanya mendadak pening. Seluruh tubuhnya sakit.

***

Kring! Kring! Kring!

Sebuah suara nyaring dan mengganggu menyentak Meysa kembali dari jurang memori yang kelam.

Ia mengerjap, merasakan punggung tangannya yang dingin dan peluh membasahi dahinya. Ia bukan lagi di depan kamar kos Dimas. Ia duduk di kursi kerjanya yang nyaman di dalam rumah susun sederhana miliknya.

Semua itu hanya lamunan. Ingatan yang selalu menghantuinya setiap kali ia lengah.

Meysa menarik napas panjang, menenangkan jantungnya yang masih berdebar. Ia meraih ponselnya yang berdering tanpa henti.

Vina is calling ....

"Halo, Vin?"

"MEYS! YA AMPUN, KENAPA LAMA BANGET JAWABNYA, SIH?!" Suara Vina yang melengking khas sahabatnya langsung menyambut, dipenuhi nada kegembiraan yang meluap-luap.

Meysa menjauhkan ponsel sedikit dari telinga. "Santai, Vin. Kenapa, sih? Tumben heboh banget?"

"Heh, santai gimana? Ini berita besar, Meys! Kamu sekarang mendadak jadi penulis terkenal!"

Meysa terkesiap. Seluruh tubuhnya mendadak kaku. "A-apa? Jangan bercanda ah Vin. Aku ... penulis terkenal?"

"Iya serius! Novelmu sekarang meledak di mana-mana! Kalau kamu masih nggak percaya? Coba deh, kamu buka aplikasi PenaKata sekarang! Atau kamu liat dulu deh I*******m-mu, followers-mu jadi banyak banget! Gila, Meys, kamu mendadak jadi author papan atas!"

Meysa menelan ludah. Rasa sakit akibat memori Dimas dan wanita itu langsung menghilang, digantikan gelombang keterkejutan yang nyata. Penulis terkenal? Itu terdengar seperti dongeng.

"Oke, oke, aku cek sekarang," ujar Meysa cepat, tangannya gemetar.

Ia segera memutuskan panggilan.

Dan seperti perintah Vina, Meysa langsung membuka laman aplikasi I*******m-nya terlebih dahulu.

Dan matanya terbelalak kaget.

Meysa terkejut melihat angka di kotak masuk Direct Message (DM) yang menunjukkan 99+. Lebih aneh lagi, jumlah followers-nya melonjak dari 421 menjadi 2.560 hanya dalam semalam.

“Apa-apaan ini?” gumamnya. “Yang dibilang Vina benar ….”

Ia mulai menggulir DM yang masuk. Sebagian besar berisi pesan-pesan aneh.

@RajaaHarem88: Wih, Mbak Meysa! Keren banget cerita 'Rudal'-nya. Detailnya nendang! Kapan kita bisa check-in bareng di hotel bintang lima? Aku yang bayar!

@AndiSetia: Sumpah, Kak! Aku gak nyangka penulis seidealismu bisa nulis cerita seberani ini. Salut! Bikin nagih! Semangat nulis bagian 'makan malam' di kantor, ya!

@_PenegakMoral: Tobat Mbak! Novelmu ini menjerumuskan. Judulnya saja sudah menjijikkan! Dasar penulis murahan, jualannya cabul! Calon penghuni neraka! Naudzubilah!”

@Ucimaniez98: Mbak, tulisanmu itu bakalan jadi dosa jariah! Inget mbak! Mending tarik aja itu novelmu! Novel tidak berfaedah! Penulisnya mantan pengguna michat!

Meysa merasakan darahnya naik ke kepala. Rudal? Check-in? Jualan cabul? Penulis mantan pengguna michat?

Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia segera membuka profilnya dan memeriksa kolom komentar di foto-foto lamanya.

Pada foto dirinya sedang duduk di kafe dengan buku tebal:

@MurniSari: Judul lamanya Secangkir Kopi? Hahahaha! Ngakak. Bagusan Rudal Paman Mantan ke mana-mana, Mbak!

@KritikusJujur: Kopi dan Rindu yang Menguap? Apakah ini judul membosankan yang kamu ganti karena nggak laku? Cuma butuh Rudal untuk jadi terkenal, ya?

@Fanatik: Maju terus, Kak Meysa! Aku suka gayamu yang berani! Jangan dengerin haters!

Meysa beralih ke bagian novel-novel promosi mandiri yang pernah ia posting. Novel berjudul "Secangkir Kopi dan Rindu yang Menguap" yang sudah ia kubur dalam-dalam karena hanya mendapat 8.975 tayangan di aplikasi platform novel berbayar, kini dibanjiri ribuan komentar baru di promosi iklannya.

@NetizenKepo: INI ISINYA SAMA KAN SAMA KEHANGATAN RUDAL PAMAN MANTANKU? Cuma beda judul doang? Penasaran banget sama judul aslinya, kenapa bisa sesadis itu perubahannya?

@SiPalingTau: Ya ampun, Meysa! Ternyata kamu penulis ecek-ecek yang rela ganti genre demi uang. Dulu aku fans idealisme-mu, sekarang kecewa berat.

Jantung Meysa berdebar hebat ketika membaca komentar demi komentar. Ia mulai paham jika ada sesuatu yang tak sesuai di sini. Dan sepertinya masalah ini bermula dari novelnya yang berjudul ‘Secangkir Kopi dan Rindu yang Menguap’.

“Kapan aku mengganti judul novel itu menjadi Kehangatan Rudal Paman Mantanku!” Meysa mengulang judul vulgar itu dengan ngeri. Ia adalah penulis idealis yang rezekinya kerap seret, dan judul itu terasa begitu asing, konyol, dan menjijikkan.

“Siapa yang berani-beraninya mengaitkan karyaku yang damai dengan novel murahan begitu?! Ini gila!” teriaknya. Ia segera membuka aplikasi PenaKata. Novel lama miliknya, yang berjudul asli Secangkir Kopi dan Rindu yang Menguap, terpampang mencolok.

3.4 JUTA TAYANGAN!

Novel itu kini memiliki sampul baru yang gelap dan judul baru yang terpampang mencolok dengan huruf tebal: KEHANGATAN RUDAL PAMAN MANTANKU: PENGAKUAN SEKRETARIS NAKAL.

Wajah Meysa memucat. Ia segera mengklik dan mulai menggulir Bab 1. Deskripsi hujan di sore hari telah berganti dengan:

“Napasnya memburu di belakang leherku. Kemeja putihku sudah tak karuan, dan bunyi detak jam dinding seolah menertawakan segala kepura-puraanku sebagai wanita baik-baik dan aku begitu menikmati sentuhan .…”

Ini jelas bukan karyanya, melainkan sudah diubah menjadi novel dengan konten yang sangat 'berani'. Sebuah novel erotis! Meysa, yang seorang penulis alim, merasa integritasnya telah diinjak-injak.

Kepanikan Meysa belum usai. Tiba-tiba, sebuah notifikasi DM masuk ke Instagramnya. Sebuah pesan dari akun anonim dengan fitur “Lihat Sekali”. Meysa yang sedang shock dan kebingungan secara refleks menekan tombol lihat.

Layar ponselnya menampilkan sebuah video pendek yang bergerak. Video itu menunjukkan seorang pria yang wajahnya tak terlihat, sedang memuaskan hasratnya sendiri. Fokus utama video tersebut adalah pusaka pria yang panjang, keras, dan berotot.

“AAAKH!”

Meysa menjerit histeris. Ia segera melempar ponselnya ke karpet bulu di atas lantai, dadanya naik-turun karena nafasnya tercekat. Rasa jijik, marah, dan takut bercampur menjadi satu. Ini sudah melampaui batas!

Ia tersadar, badai ini berawal dari satu hal: Novelnya yang diubah menjadi Kehangatan Rudal Paman Mantanku.

Hanya satu pihak yang memiliki akses penuh ke naskahnya setelah diserahkan ke penerbit aplikasi: Editornya!

Meysa segera mengambil kembali ponselnya dan mencari kontak Ayu, editor yang pernah ia kenal. Ia harus mendapatkan jawaban dan meminta pertanggungjawaban atas perusakan karya ini.

“Halo, Kak Ayu?” tanya Meysa tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. “Gawat, Kak! Kamu lihat novelku yang lama, kan? Kenapa judulnya ganti jadi Kehangatan Rudal Paman Mantanku? Dan isinya .…”

Suara Ayu di seberang terdengar bingung. “Halo, Meys? Novel? Aduh, novel yang mana, ya? Aku kan sudah nggak di PenaKata, Meys.”

Meysa terkejut. "Maksudmu? Kamu berhenti?"

“Iya, duh, maaf banget, Meys. Aku lupa ngabarin kamu. Sekitar empat bulan yang lalu, aku resign. Aku lagi sibuk banget ngurus persiapan pernikahan. Maaf banget, ya. Aku lupa total!” jelas Ayu dengan penyesalan yang tulus.

Sekujur tubuh Meysa mendadak lemas. Editor yang ia kenal sudah mengundurkan diri. Lalu siapa yang selama ini memegang dan mengubah novelnya?

“Jadi, siapa yang pegang novelku sekarang, Yu? Siapa editor penggantimu? Aku butuh akses penuh kembali. Aku gak suka dengan judul novel dan isinya yang diubah.”

Ayu mengirimkan nomor ponsel Wildan sambil berbicara di telepon. “Editor penggantiku namanya Wildan. Dia asistenku dulu, terus dia naik jadi editor setelah aku keluar. Orangnya baik, kok. Agak strict sedikit, tapi profesional. Nanti kamu hubungi dia aja. Sorry banget ya, ini aku lagi di Salon. Aku sudahi ya obrolan kita.”

“Oh iya, Kak … Maaf ya ganggu.”

“Nggak apa-apa. Bye.”

“Bye.”

Tidak butuh waktu lama nomor kontak Wildan yang dikirimkan Ayu masuk ke ponsel Meysa.

WILDAN: EDITOR PENGGANTI. 0812-XXXX-XXXX

Meysa menatap nomor itu. Wildan. Dia adalah satu-satunya kunci untuk memahami mengapa novelnya yang idealis kini menjadi komoditas panas berkat perubahan genre yang ekstrem dan mendatangkan teror aneh.

"Aku harus telepon dia sekarang," gumamnya, jarinya bergerak cepat menuju tombol panggil.

Telepon itu tersambung dalam dua kali dering.

“Halo?”

Suara berat, bariton, dan maskulin milik seorang pria terdengar di seberang sana.

Bersambung

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sentuhan Panas Editorku   Menuju Villa

    Meysa tidak langsung menjawab pertanyaan Wildan. Jantungnya masih berdebar kencang. Mereka kini berdiri di tepi jalan raya, tepat di depan gedung PenaKata. "Mey, siapa dia?" Suara Wildan terdengar kembali bertanya untuk kedua kalinya. Namun Meysa masih merapatkan mulutnya tidak mau menjawab. Wildan kembali mendesak, "Meysa, aku tanya sekali lagi. Ada apa ini? Siapa pria barusan? Kenapa dia mencengkeram lenganmu?" Meysa menatap Wildan dengan sorot mata yang dipenuhi kekesalan. "Bukan urusanmu, Wildan! Aku tidak perlu menceritakan masalah pribadi ku padamu. Cukup berlebihan kalau kamu langsung berasumsi ada drama besar di sini." Kata-kata ketus itu membuat Wildan kesal. "Hei, Meysa! Seharusnya kamu berterima kasih karena aku sudah menolongmu. Malah marah-marah begini. Tadi kamu yang memohon untuk cepat selesai rapat, sekarang kamu malah lambat." "Aku tidak memintamu menolongku ya. Aku bisa urus diriku sendiri," balas Meysa, meskipun ia tahu ia hanya membual. "Sekarang, kalau urus

  • Sentuhan Panas Editorku   Ancaman sang Mantan

    Meysa ternganga. Jantungnya langsung berdebar kencang. 'Hah? Tinggal berdua dengan Wildan?! Pria yang sudah punya istri dan anak? Pria yang sudah jadi pria terlarang bagiku?!' serunya panik dalam hati."Aku ... aku tidak bisa, Pak," Meysa memprotes segera. "Aku punya urusan di Jakarta. Aku harus mengurus ....""Urusan apa, Meysa?" Wildan akhirnya angkat bicara, menoleh padanya. "Urusan pindah dari rusun bobrokmu? Kamu akan segera punya banyak uang. Tinggal satu bulan di Puncak untuk mengubah hidupmu, itu namanya investasi masa depan. Kita butuh fokus 100%," ucap Wildan, nada suaranya seolah sedang menjelaskan pada anak kecil yang keras kepala."Tapi, Pak Adam," Meysa mengabaikan Wildan dan kembali menatap CEO. "Aku dan Wildan ... kami tidak cocok. Kami sering berdebat soal integritas dan idealisme. Kami tidak akan bisa bekerja sama dalam satu atap."Pak Adam tertawa kecil. "Itulah yang saya harapkan. Creative friction! Energi dari perdebatan kalian justru yang menciptakan hook terlara

  • Sentuhan Panas Editorku   Rencana absurt Pak CEO

    Pagi berikutnya, Meysa tiba di kantor PenaKata lebih awal, didorong oleh kombinasi gugup dan keinginan membuktikan diri. Ia naik ke lantai lima, menuju ruang kerja Wildan. Koridor terasa sunyi. Seorang staf wanita muda menyambut Meysa di lorong dengan senyum ramah. "Pagi, Kak Meysa. Pak Wildan belum datang. Silakan masuk saja," kata staf tersebut, menyerahkan kunci duplikat. "Kami sudah siapkan aksesnya, supaya Kak Meysa tidak perlu menunggu di luar. Kalian kan sudah kolaborasi intens." Meysa mengangguk kaku, menerima kunci perak itu. Ia merasakan tatapan menyelidik dari beberapa meja yang ia lewati, seolah ia adalah bintang yang baru naik daun. Ia memutar kunci, membuka pintu, dan menyalakan lampu. Ruangan itu rapi, seefisien dan sebersih Wildan sendiri, steril dan dingin. Dindingnya hanya dihiasi papan tulis putih besar penuh dengan flowchart dan target angka penjualan yang mengerikan. Meysa duduk di salah satu kursi, mencoba fokus, tetapi matanya tanpa sadar menyapu sudut mej

  • Sentuhan Panas Editorku   Pria terlarang

    [Senang melihatmu sukses dan akhirnya kaya, Sayang. Tapi aku tidak suka melihatmu dekat-dekat dengan pria lain.]Meysa terpaku menatap layar ponselnya. Itu pesan dari Dimas. Mantan kekasihnya yang toxic, posesif, dan pengkhianat.Kedua tangan Meysa sedikit gemetar. Perasaan takut dan risih langsung hinggap, hingga bulu kuduknya meremang. Wildan menyadari Meysa tidak mengikutinya. Ia pun menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke belakang. “Hei, penulis Rudal, ayo cepat! Ngapain kamu bengong di sana? Kita harus bicara bisnis ini secepatnya. Aku tidak punya waktu banyak, karena bukan cuman kamus aja penulis yang aku urusin,” katanya dengan nada ketus.“Maaf!” seru Meysa. Ia segera memasukan kembali ponselnya ke dalam tas kulit selempangnya. Ia berjalan cepat dari lobi mewah kantor PenaKata menuju area lift bersama Wildan. Di dalam lift, atmosfer tegang menyelimuti mereka. Kemeja putih Meysa yang licin dan rok hitam formalnya terasa terlalu kaku di samping Wildan yang tampak santai na

  • Sentuhan Panas Editorku   Editor yang menyebalkan

    “Halo. Wildan?” “Siapa ini?” Suara di seberang menjawab. Berat, dalam, dan terdengar seperti suara yang tidak pernah tersenyum.“Halo, ini Meysa. Meysa Haryani. Penulis Secangkir Kopi dan Rindu yang Menguap … atau yang sekarang jadi Kehangatan Rudal Paman Mantanku!” seru Meysa, nadanya langsung melengking tinggi, kontras tajam dengan ketenangan yang menyelimuti suara Wildan.Terdengar jeda singkat di seberang, diikuti helaan napas berat. “Oh, Kak Meysa. Aku sudah menduga panggilan ini datang. Ya, aku yang mengubahnya. Kamu pasti ingin tahu kenapa novel idealis kamu yang gak laku itu mendadak jadi hot commodity dan populer, pencarian nomer satu di PenaKata.”“Kenapa?! Editor macam apa yang mengubah novel idealis tentang deskripsi hujan dan melankolia menjadi novel dewasa, Wildan?! Dan judulnya?! Kehangatan Rudal Paman Mantanku?! Astaga! Kamu tahu nggak itu melanggar integritas moralku sebagai penulis?” Meysa memekik. Ia melangkah mondar-mandir di antara sofa lusuh.“Integritas moral k

  • Sentuhan Panas Editorku   Kehangatan Rudal Paman Mantanku

    “Aah!”“Terus Sayang ...!”“Aw … Please ….”“Yes! Baby … Yeees!”Suara racauan dan desahan yang memecah kesunyian malam itu terdengar begitu vulgar, seolah dinding tipis kamar kos tak mampu lagi meredamnya. Bunyi ranjang yang berderit, menyatu dengan nafas memburu dan lenguhan asing, menusuk langsung ke ulu hati Meysa.‘Tidak! Tidak mungkin!’Langkah Meysa berhenti tepat di depan pintu kamar kos nomor empat, di lantai enam ini. Kamar kos yang bebas tanpa pengawasan ibu atau bapak kosan.Meysa mengepalkan tangan, urat lehernya menegang. Jantungnya berdentum-dentum di dada, memompa amarah yang siap meledak. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Meysa menerjang pintu itu.Sayangnya, pintu itu terbuat dari kayu tebal, bukan karton. Serangan mendadaknya hanya menyisakan rasa nyeri hebat di bahu kanannya. Pintu itu tetap tertutup, mengejeknya dengan suara-suara laknat dari dalam.Rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan sakit yang menghunjam dadanya. Meysa mencari cara. Netranya melirik ke a

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status