"Aku yang jemput papa Barra?" Rinoa mengernyit saat tiba-tiba saja suaminya―Enzo, memberi perintah untuk menjemput papanya. Lebih tepatnya itu papa tirinya Enzo.
"Iya, dong! Kamu yang jemput, sekalian kamu memperkenalkan diri ke papa. Waktu kita nikah kan beliau berhalangan hadir." Enzo yang baru selesai mandi itu pun langsung bergegas menggunakan pakaian kerjanya.
Rinoa berpikir sejenak, bukan tidak mau, tapi rasanya sedikit canggung kalau pertemuan pertama malah sendirian. "Memangnya kamu nggak bisa sebentar aja mampirin ke hotel untuk jemput papa Barra?"
"Kamu nggak ingat kalau aku ini pemimpin perusahaan? Aku ada banyak jadwal meeting hari ini. Lagian cuma urusan menjemput, masa kamu nggak mau? Kamu juga nggak sibuk kan di rumah? Daripada kerjaan kamu scroll sosmed nggak jelas." Enzo jadi sedikit ketus.
"Iya, tapi―"
"Tapi apa lagi? Kamu keberatan untuk jemput Papa?" Tatapan Enzo tiba-tiba saja jadi tajam ke arah Rinoa.
Belakangan ini sikap Enzo jadi sedikit berubah, jadi lebih ketus dan cuek. Mungkin karena banyaknya tuntutan pekerjaan di perusahaan yang membuat Enzo jadi seperti ini di rumah. Cuma melihat dari tatapan matanya saja sudah membuat Rinoa takut.
Rinoa pun dengan terpaksa mengangguk. "I-iya, nanti aku yang jemput papa!"
"Bagus! Sekarang ambil dasiku!" perintah Enzo kemudian.
Dengan cepat Rinoa mengambilkan dasi milik Enzo, lalu hendak membantu untuk memasangkannya. Namun tiba-tiba saja tangan Rinoa ditangkis.
"Nggak perlu, aku bisa sendiri! Siapkan sarapan buatku!" perintah Enzo lagi.
"Sarapannya udah siap di meja," jawab Rinoa pelan.
"Siapa yang siapin? Mbak Pur lagi? Aku maunya kamu yang belajar siapin sarapan buat aku! Udah tiga bulan kita nikah, masa kamu nggak mau belajar bikin sarapan?" Lagi-lagi Enzo bersikap ketus ke Rinoa.
"A-aku yang tadi―"
"Ah, udah lah ... aku nggak pengen sarapan, udah telat!" Enzo selesai memakai dasi sendiri lalu bergegas keluar dari kamar tanpa pamitan.
Rinoa benar-benar bingung dengan sikap Enzo, bahkan tadi Rinoa belum selesai bicara tapi Enzo sudah pergi meninggalkannya. Memang Rinoa tidak bisa memasak, tapi sejak menikah dia sudah berusaha untuk belajar. Bahkan sarapan pagi juga sudah dia siapkan sendiri tanpa dibantu oleh asisten rumah tangga. Biarpun mungkin rasanya belum seratus persen seenak buatan si asisten rumah tangga, tapi setidaknya Rinoa sudah terus belajar dan berusaha.
Enzo benar-benar tidak menyentuh sarapan yang Rinoa buat, dan langsung pergi begitu saja ke kantor.
Tatapan Rinoa pun jadi sedih melihat sarapan yang dibuatnya pagi-pagi tadi. "Bikinnya udah effort, jangankan dicobain sama dia, disentuh aja enggak! Padahal dia terus-terusan minta aku belajar masak, giliran udah masak malah dicuekin."
Baru tiga bulan menikah, rasanya Rinoa Amira mulai melihat karakter asli suaminya, Enzo Dinata. Dulu saat pacaran, Enzo terlihat sangat sempurna dan benar-benar jadi calon suami idaman.
Ternyata setelah menikah, tidak seratus persen harapannya jadi kenyataan. Enzo sangat jarang punya waktu berduaan dan bermesraan dengan Rinoa, yang ada malah sekarang Rinoa hampir tidak pernah disentuh lagi. Jujur saja, Rinoa jadi merasa sangat kesepian.
Setelah Enzo pergi tanpa pamitan tadi, Rinoa pun akhirnya bersiap-siap untuk menjemput mertuanya lalu menuju ke hotel yang terletak di dekat bandara. Mertua Rinoa ini tadi malam baru sampai di Indonesia, masih ada beberapa urusan penting dengan klien, makanya memutuskan untuk menginap saja di hotel terdekat supaya tidak memakan waktu lama.
Begitu sampai di hotel tersebut, Rinoa pun segera menuju ke kamar mertuanya. Padahal sejak tadi Rinoa sudah mencoba menghubungi ponselnya, tapi tidak dijawab, mungkin sedang mandi atau bersiap-siap. Jadi ya, tidak ada salahnya untuk bertegur sapa dengan mertua, mungkin setelah ngobrol sebentar nanti mereka bisa langsung pulang ke rumah.
Beberapa kali Rinoa mengetuk pintu, pada akhirnya pintu kamar pun terbuka.
"Akhirnya kamu datang juga! Udah lama banget saya nungguin kamu," suara berat khas papa Barra yang biasa Rinoa dengar via telepon, kini terdengar langsung di hadapan Rinoa.
Laki-laki paruh baya itu terlihat hanya membalut bagian bawah tubuhnya dengan handuk. Tubuhnya pun masih sedikit basah, mungkin benar kalau baru selesai mandi. Makanya telepon dari Rinoa tidak dijawab.
Belum sempat Rinoa berkata-kata, tapi tangannya langsung ditarik oleh papa Barra untuk masuk ke dalam. Tubuh Rinoa pun langsung ditempelkan pada pintu yang baru saja ditutup oleh Barra tersebut.
"Bisa-bisanya kamu biarin saya nunggu lama seperti ini." Mata Barra terlihat fokus memperhatikan kedua mata Rinoa. Jarinya pun mengelus lembut bibir perempuan itu. "Jadi karena kamu nggak tepat waktu, kamu harus dapat hukumannya!" Barra menyeringai.
"Hu-hukuman?" Seketika Rinoa merasakan merinding bulu roma. Tidak menyangka kalau papa mertuanya akan menghukumnya karena Rinoa kelamaan menjemput. Jantungnya berdegup tak karuan, satu sisi juga panik.
Dalam hitungan detik, tiba-tiba saja Rinoa merasakan rasa hangat pada bibirnya. Ini jelas di luar nalar.
Kenapa mertuanya malah menciumnya? Rinoa mau berontak, tapi tidak bisa melawan tenaga Barra yang lebih kuat. Makin lama ciuman itu makin dalam, bahkan mau berontak lagi pun rasanya percuma. Malah yang ada Rinoa jadi menikmati ciuman yang sebenarnya terlarang tapi mulai bikin mabuk kepayang ini.
Rasa ciuman ini sangat berbeda dengan ciuman-ciuman yang Rinoa rasakan dengan suaminya. Bahkan Barra mampu membuat Rinoa mengeluarkan desahan halus saat di tengah ciuman yang mulai memanas ini.
Tidak, tidak ... ini salah! Sangat salah.
Rinoa tersadar, dia pun langsung mendorong tubuh Barra dengan sangat kuat.
Laki-laki itu tersungkur di lantai. Dia pun merintih dan meringis kesakitan.
"Jangan macam-macam, a-atau aku bakalan bilang ke Enzo kalau Papa perlakukan aku begini!" gertak Rinoa dengan bersuara keras dan mencoba mengingatkan semampunya. Tangan dan kaki Rinoa sudah gemetaran tak karuan.
Barra tertegun sejenak. Keningnya mengernyit. "Apa? Enzo?"
Ponsel milik Barra tiba-tiba saja berbunyi, laki-laki itu pun dengan perlahan bangkit dari posisinya di lantai kemudian meraih ponselnya. Begitu Barra melihat layar ponselnya, ternyata dari perempuan yang seharusnya menjadi tamunya.
Barra mencuri pandang ke arah Rinoa yang masih beringsutan di atas ranjang. Ah, sial ... jangan bilang kalau Barra sudah salah orang.
Barra pun menjawab panggilan telepon tersebut.
"Halo, Om! Maaf aku nggak bisa datang, tiba-tiba aja dosenku bikin ujian mendadak. Aku ganti jadi besok atau nanti malam aja, gimana?" jelas perempuan yang menghubungi Barra tersebut.
Ternyata benar, memang salah orang. Sungguh rasanya sangat canggung dan sangat malu sampai ke ubun-ubun.
"O-oke, nggak masalah!" jawab Barra. Laki-laki itu pun dengan cepat menyudahi panggilan telepon tersebut.
Barra terlihat mengatur napasnya sejenak, mencoba memberanikan diri mendekat ke perempuan yang barusan jadi salah sasaran itu.
Tentu saja Rinoa jadi menjaga jarak aman, takut kalau tiba-tiba saja mertuanya jadi gila lagi seperti tadi.
"Ma-maaf, sepertinya saya salah orang. Sekali lagi saya minta maaf kalau sudah bikin kamu nggak nyaman. Ummm ... ja-jadi kamu ini―"
"Aku Rinoa, istri Enzo!" jawab Rinoa dengan cepat.
"Rinoa?" Barra terlihat kaget saat mendapati menantunya sedang berada di dalam kamarnya. Sementara Rinoa masih dalam posisi sedikit berjongkok, karena tadi kakinya tersandung meja dan harus menutup mulut untuk menahan rasa sakit. "Kamu ngapain di sini?" tanya Barra sambil mendekat ke Rinoa.Rinoa was-was, dia pun jadi mundur memberi jarak. "A-aku tadi, aku tadi cuma mau balikin HP Papa," jawabnya sebisanya."HP?" Barra mengernyit.Rinoa mengangguk, lalu menyerahkan ponsel milik Barra yang masih dipegang olehnya dan belum sempat diletakkan di meja gara-gara penasaran tadi. "Tadi ketinggalan di meja makan, Pa!""Oh, ya ampun! Papa belakangan ini memang mulai pikun." Barra meraih ponsel tersebut. Lalu pandangannya tertuju ke Rinoa. "Ummm ... apa barusan kamu lihat?"Rinoa mengangguk, tapi kemudian dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Enggak, aku nggak lihat apa-apa!" bohongnya.Barra terkekeh sambil menatap curiga. "Apa iya?""Be-beneran, aku nggak lihat apa-apa, Pa!" Rinoa menunduk,
"Oh, selamat pagi, Enzo!" Barra sebisa mungkin menyembunyikan rasa paniknya dengan menyapa Enzo, bahkan terpaksa melebarkan senyumnya. "Ini tadi Rinoa bilang kalau dia yang siapin semua sarapan pagi, jadi Papa diminta untuk cobain masakannya." Enzo melirik sekilas ke atas meja makan, lalu beralih ke Rinoa. Tiba-tiba saja Enzo mengembangkan senyum di wajahnya, kemudian menghampiri istrinya."Wah, kamu rajin banget, Sayang! Makasih udah siapin sarapan untukku dan Papa, ya!" Enzo langsung memeluk tubuh Rinoa dari samping lalu memberi kecupan mesra pada pipi Rinoa. Sudah pasti Rinoa jadi mengerutkan keningnya, sikap Enzo kenapa jadi manis begini? Padahal tadi sempat berdebat dan sangat menyebalkan sewaktu di kamar.Barra tersenyum tipis saat melihat kemesraan Enzo dan Rinoa di depan matanya. Entah mengapa, tidak begitu nyaman melihat kemesraan itu. Dada Barra seperti ada yang membakar dan terasa panas."Gimana masakan Rinoa, pasti enak kan, Pa? Dia mulai pintar masak setelah nikah." Enz
Pagi ini Rinoa kembali menyiapkan sarapan untuk Enzo. Mau dimakan atau tidak, paling tidak Rinoa sudah melakukan kewajibannya. Masalahnya, Enzo masih tertidur lelap padahal sudah dibangunkan beberapa kali oleh Rinoa. Mata Rinoa pun tertuju pada suaminya yang masih tertidur itu. Jujur saja, Rinoa sangat ingin bermesraan dengan Enzo, apalagi melihat tubuh suaminya yang sangat menggairahkan saat tertidur.Dengan berani Rinoa meraba duluan bagian bawah suaminya, mencoba memberi rangsangan."Sayang, bangun! Nanti kamu terlambat ke kantor, aku juga udah siapin sarapan buat kamu," bisik Rinoa di telinga Enzo.Enzo bergelayut di ranjang, matanya pun perlahan terbuka. Tiba-tiba saja Enzo sudah melihat Rinoa yang memposisikan diri di atas tubuhnya."Kamu ngapain?" tanya Enzo."Boleh, kan?" Rinoa meminta izin dengan gaya centil."Tapi aku capek, Noa!" "Biar aku aja yang bergerak, Sayang!" Rinoa terlanjur bergairah. Tidak peduli kalau Enzo mengatakan dirinya capek. Kalau tidak dipaksa begini mu
Barra pun dengan sigap mengambilkan air untuk Rinoa minum, kasihan tadi tiba-tiba batuk. "Maksudnya, melayani dalam artian siap membantu kalau kamu perlu bantuan Papa, Noa!"Rinoa manggut-manggut, sok paham dengan penjelasan mertuanya. Padahal pikirannya sudah dibuat melayang-layang karena mendengar tawaran untuk melayani itu. "Ummm ... tapi sebenarnya aku mau protes ke Papa," kata Rinoa kemudian."Protes? Masalah apa?""Masalah Enzo yang belakangan ini sibuk dan sering lembur. Memangnya Papa kasih kerjaan apa ke Enzo? Apa nggak bisa kalau dikurangi sedikit sibuknya? Jujur aja, aku merasa kekurangan waktu untuk berduaan dengan Enzo." "Hmmmm ... kalau yang itu, sebenarnya Papa nggak ada menuntut kesempurnaan ke dia. Papa juga nggak menentukan deadline, atau goals yang pasti, semua Papa serahkan ke Enzo. Tapi nanti Papa bisa bicarakan ke dia masalah protes kamu ini, sepertinya Enzo cuma belum terbiasa membagi waktunya. Apalagi kalian ini pengantin baru, bisa dibilang masih peralihan d
Papa Barra sedang memainkan bagian sensitif tubuhnya sendiri sambil video call mesum dengan seseorang. Gila! Dalam satu hari ini Rinoa benar-benar melihat sendiri bagaimana kelakuan gila mertuanya. Apa karena sudah tidak punya istri jadi seperti ini?Apa jangan-jangan yang diajak video call itu adalah perempuan yang berhalangan hadir tadi siang? Mendengar suara genit dan penuh gairah perempuan muda yang diajak video call itu saja sudah membuath Rinoa kegelian sendiri. Anehnya, Rinoa malah tetap terdiam di tempat. Melihat aksi laki-laki paruh baya itu yang sibuk sendiri dengan bagian sensitif di tubuhnya. Antara penasaran, tapi geli sendiri. Gara-gara menonton, tanpa sadar tubuh Rinoa pun ikut bereaksi. Ada sesuatu yang membuatnya bergejolak, dan ingin ikut disentuh."Oh, Rinoa?!" Barra tiba-tiba saja menyadari kalau ada yang mengintip dari luar pintu kamarnya. Dengan cepat Barra menyudahi panggilan video mesum itu, lalu memakai celananya dengan asal-asalan.Rinoa ikut kaget karena
Barra tidak salah dengar, yang ada di hadapannya ini adalah menantunya. Namun dia pun berusaha untuk tenang, lalu mengatur napas sejenak. "Ummm ... saya ... ma-maksudnya, Papa minta maaf atas kejadian yang tadi. Ma-maaf kalau Papa nggak mengenali kamu, Noa!" Barra benar-benar merasa bersalah. Dia pun memberanikan diri untuk mendekat ke Rinoa, lalu mengarahkan menantunya itu untuk duduk di sofa yang ada di kamar tersebut. "Duduk di sini sebentar, mungkin kamu perlu minum air supaya sedikit tenang."Rinoa sebenarnya masih ragu dan takut, tapi kalau memang papa mertuanya ini sudah sadar mungkin akan aman dan baik-baik saja. Pada akhirnya Rinoa pun menurut dan mau duduk di sofa, biarpun kakinya masih gemetaran tak karuan akibat kejadian tadi. Tatapan Rinoa pun mengawasi pergerakan dari Barra, berjaga-jaga."Sekali lagi Papa minta maaf. Bukan maksud Papa memperlakukan kamu seperti tadi. Papa harap kamu nggak salah sangka ya, Noa!" Rinoa hanya mengangguk pelan. Matanya jadi fokus menatap