LOGINBarra tidak salah dengar, yang ada di hadapannya ini adalah menantunya. Namun dia pun berusaha untuk tenang, lalu mengatur napas sejenak.
"Ummm ... saya ... ma-maksudnya, Papa minta maaf atas kejadian yang tadi. Ma-maaf kalau Papa nggak mengenali kamu, Noa!" Barra benar-benar merasa bersalah. Dia pun memberanikan diri untuk mendekat ke Rinoa, lalu mengarahkan menantunya itu untuk duduk di sofa yang ada di kamar tersebut. "Duduk di sini sebentar, mungkin kamu perlu minum air supaya sedikit tenang."
Rinoa sebenarnya masih ragu dan takut, tapi kalau memang papa mertuanya ini sudah sadar mungkin akan aman dan baik-baik saja. Pada akhirnya Rinoa pun menurut dan mau duduk di sofa, biarpun kakinya masih gemetaran tak karuan akibat kejadian tadi. Tatapan Rinoa pun mengawasi pergerakan dari Barra, berjaga-jaga.
"Sekali lagi Papa minta maaf. Bukan maksud Papa memperlakukan kamu seperti tadi. Papa harap kamu nggak salah sangka ya, Noa!"
Rinoa hanya mengangguk pelan. Matanya jadi fokus menatap Barra, terlihat kalau Barra sangat tulus meminta maaf dan sangat menyesal. Rinoa pun jadi tersadar juga kalau ternyata mertuanya mempunyai tubuh yang cukup atletis biarpun sudah berumur. Tidak ada perut buncit, malah guratan-guratan ototnya masih terlihat sempurna. Belum lagi lengan bisepnya yang tampaknya sangat kuat dan keras. Biarpun di kepalanya sudah tumbuh rambut putih, tapi tidak mengurangi ketampanan asli di wajahnya.
Oh, jadi begini pesona duda berumur?
Barra dengan cepat menuju ke mini bar yang ada di dalam kamar hotelnya, kemudian mengambil air dingin untuk Rinoa. Sementara Rinoa jadi kembali terbayang-bayang kejadian yang tadi sambil menyentuh bibirnya sendiri.
"Noa ... halooo, Noa! Kenapa bengong? Ini minumnya." Barra terpaksa menyentuh pundak Rinoa karena beberapa kali dipanggil tapi tidak merespon.
Rinoa pun tersadar dari acara bengong yang tidak disengaja itu, dan dengan cepat meraih gelas yang disodorkan kepadanya.
"Aaaauuuwww ...." Air minum itu tidak sengaja tumpah di baju Rinoa. Membuat baju di bagian atasnya sedikit basah.
Barra pun dengan sigap membantu mengambilkan tisu untuk Rinoa. Bahkan dengan baik hati mengeringkannya langsung.
Bukannya menolak, Rinoa malah membiarkan Barra yang mengeringkan langsung baju Rinoa yang basah itu dengan bantuan tisu.
"Sekali lagi, Papa minta maaf untuk yang tadi. Papa kira kalau kamu tamu yang Papa tunggu, ternyata dia berhalangan datang." Barra menghela napas sejenak. "Salah Papa juga yang main langsung menarik kamu ke dalam tanpa tanya dulu ke kamu. Lagian Papa kira yang ke sini menjemput itu Enzo, tapi ternyata kamu sendirian."
"Memangnya Papa nggak bisa kenalin aku? Pasti Papa pernah lihat foto-fotoku yang dikirim Enzo, kita juga sudah pernah ngobrol lewat telepon kan, Pa?"
"Huh, maaf ... memang faktor usia nggak bisa bohong. Biarpun sudah tahu kamu lewat foto-foto, tapi Papa nggak ekspektasi kalau aslinya ternyata ...." Barra tertegun sejenak, dia pun menatap wajah Rinoa dengan lekat.
"Ternyata apa?" tanya Rinoa penasaran.
Barra menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Enggak, bukan apa-apa."
Jujur saja, ciuman panas tadi di awal sudah membuat Barra kegerahan, sayangnya harus diredam begitu saja saat tahu kalau perempuan cantik ini adalah menantunya.
"Apa Papa masih ada urusan penting di hotel ini? Kalau memang masih ada urusan, mungkin biar nanti malam aku jemput lagi sama Enzo," kata Rinoa mencoba mengalihkan.
"Oh, nggak ada! Papa sudah selesai, kita bisa pulang sekarang. Mungkin Papa mau siap-siap dan berpakaian dulu."
"Kalau begitu aku tunggu di lobby hotel." Rinoa pun bangkit dari sofa, kemudian segera pamitan dari kamar tersebut.
***
"Kenapa, sih? Aku udah bilang kalau jangan telepon ke kantor. Seharian ini aku sibuk meeting!" Suara Enzo terdengar tidak nyaman begitu Rinoa menghubunginya lewat kantor.
"Maaf, tapi dari tadi aku udah hubungin HP kamu dan nggak aktif. Jadi aku coba telpon ke kantor, Sayang!" jelas Rinoa.
"Kan bisa ditelpon nanti, lagian kalau meeting memang aku selalu non-aktifkan HP. Ada perlu apa sampai telpon ke kantor? Waktuku nggak banyak, Noa!" ketus Enzo.
Rinoa terdiam sejenak. Jadi ragu mau menceritakan kejadian tidak enak yang tadi dialaminya. Masalahnya, kalau Rinoa cerita apakah Enzo akan percaya dengan yang dia katakan? Apalagi memang murni karena papa Barra salah orang. Ah, tetap saja bikin Rinoa jadi merasa tidak nyaman.
"Halooo ... kamu mau ngomong apa, sih? Aku nggak punya banyak waktu, nih! Sebentar lagi aku masih ada meeting." Enzo terdengar tidak sabaran, apalagi karena Rinoa terdiam.
"Ummm ... i-itu, tadi aku sudah jemput papa Barra!" ucap Rinoa pada akhirnya. Mulutnya benar-benar kesulitan mau menceritakan kejadian yang sebenarnya.
"Bagus kalau begitu, kamu urus papa sebentar. Aku hari ini lembur lagi dan pulang malam, banyak kerjaan yang harus aku selesaikan supaya sesuai deadline."
"Lembur lagi?" Rinoa hampir tak percaya kalau suaminya setiap hari lembur. Gara-gara lembur ini juga kan yang membuat Enzo jadi berubah belakangan ini? Mungkin gara-gara kelelahan jadi emosi Enzo mudah terpancing. "Apa nggak bisa diusahain hari ini pulang lebih awal, Sayang?"
"Noa, kamu kira jadi pemimpin perusahaan itu gampang? Bahkan nggak cuma satu perusahaan yang aku urus, kamu tahu anak perusahaan papa ada banyak, kan? Belum lagi kesalahan-kesalahan di lapangan yang bikin kerjaan jadi terhambat."
"Tapi apa beneran kamu lemburnya di kantor?" Rinoa jadi curiga.
"Oh, jadi kamu nggak percaya? Kamu tanya langsung aja sama papa, biar kamu tahu seperti apa sibuknya kerjaanku!"
"Bukan nggak percaya, tapi ... hari ini kan papa Barra pulang dan udah di rumah, setidaknya kamu bisa kasih waktu sebentar untuk ngobrol sama papa, kan?" Rinoa mencoba negosiasi, siapa tahu Enzo bisa pulang lebih awal.
"Ah, ngobrol sama papa itu masih bisa lain waktu, lagian juga bakalan setiap hari ketemu. Kamu jangan jadi ribet gitu, deh!"
Rasanya sulit mau menjelaskan ke Enzo, sebenarnya Rinoa cuma was-was dan masih canggung kalau cuma berdua saja dengan papa Barra. Apalagi masih terbayang adegan ciuman yang tadi.
"Bukan maksudnya ribet, tapi aku cuma―"
"Udah deh, aku masih banyak kerjaan, jangan telpon aku dulu!" Panggilan telepon langsung dimatikan oleh Enzo.
"Huh, gimana mau mesra mesraan atau punya komunikasi yang bagus kalau sibuk melulu sama kerjaan?" keluh Rinoa sambil kemudian melempar ponselnya di atas ranjang dengan kesal.
Haruskah Rinoa protes ke mertuanya karena banyaknya kerjaan Enzo ini? Rinoa ingin Enzo punya sedikit waktu untuknya, dan bukan cuma memikirkan pekerjaan saja.
Rinoa rindu disentuh Enzo lagi. Baru tiga bulan menikah malah rasanya sangat kekeringan begini.
Maunya Rinoa memberanikan diri untuk bicara ke papa Barra perihal kesibukan Enzo ini, dia pun hendak mencari mertuanya itu. Namun sepertinya papa Barra masih istirahat di kamar.
Masalahnya, kamar papa Barra terbuka. Samar-samar Rinoa mendengar suara mertuanya. Entah kenapa ada perasaan penasaran yang membuat Rinoa ingin memastikan keadaan mertuanya itu. Dengan perlahan Rinoa berjalan ke depan kamar mertuanya, lalu mengintip dari celah pintu yang terbuka setengah itu.
Mata Rinoa seketika membulat, mulutnya pun ditutup otomatis dengan tangannya begitu melihat apa yang dilakukan mertuanya di dalam kamar tersebut.
Barra menaikkan satu sudut bibirnya. "Kamu benar, memang lebih baik dia berlama-lama di sana. Tapi ... semoga aja Enzo nggak lalai dengan tugasnya di kantor."Rinoa mendengkus pelan. "Bukannya Enzo udah terlalu sering kerja lembur di kantor Papa? Sesekali dia bebas tugas sepertinya nggak masalah kan, Pa? Lagian semua bisa dicek lewat online dan Papa sendiri juga bisa mengecek langsung ke kantor."Jujur saja Rinoa sedikit tidak suka kalau Barra mulai membahas urusan pekerjaan. Dia sudah merasakan sendiri kurangnya kasih sayang Enzo ke Rinoa akibat mengurus perusahaan milik Barra, sekarang di saat Enzo tidak ada malah kembali Barra memikirkan bisnisnya.Barra sepertinya pun langsung paham kalau Rinoa kurang menyukai pembahasan ini. Terlihat dari ekspresi Rinoa yang langsung berubah cemberut saat Barra membahas tentang kantornya.Seketika Barra mengelus tangan Rinoa dengan lembut. "Kita makan dulu ya, Noa. Papa minta maaf kalau bahas masalah yang tadi."Rinoa tersenyum tipis. Dia pun men
Barra mengangguk dengan yakin. "Tentu, Noa. Malah Papa khawatirnya dengan kamu." "Denganku?" Rinoa mengernyit. "Iya, kamu yang harus lebih berhati-hati lagi. Seperti yang Papa bilang tadi, adik kamu instingnya kuat. Jangan menunjukkan gerak-gerik yang aneh di depan dia. Bisa kan, Noa?" Barra lantas mengelus lembut puncak kepala Rinoa. Seperti menunjukkan rasa kasih sayang seorang ayah kepada putrinya. "Oke, Pa." Rinoa mengangguk pelan. Barra mengalihkan pandangannya sejenak ke arah luar mobil. "Sepertinya kita harus keluar sekarang. Papa nggak mau orang-orang di rumah ini jadi curiga kalau kita lebih lama lagi diam di dalam mobil." Rinoa setuju dengan saran Barra. Dia dan Barra pun segera keluar dari mobil. Jujur saja, gara-gara telepon dari Reonald tadi rasanya momen nikmat berdua dengan Barra jadi terasa nanggung. Rinoa pun mengakui kalau mertuanya ini sangat lihai menahan diri, padahal tadi bisa saja Rinoa cuek dengan tidak menjawab panggilan telepon dari adiknya. Namun Bar
"A-aku, aku udah pernah lihat," ucap Rinoa dengan sangat pelan. Pandangannya tertuju pada tangannya yang masih diarahkan oleh Barra. Memang benar kalau Rinoa sudah pernah melihatnya sebelumnya, bahkan Rinoa juga masih ingat bagaimana bentuk dan ukurannya saat tak sengaja mengintip mertuanya itu."Oh, benar ... Papa baru ingat kalau kamu sudah pernah melihatnya, Noa. Baru melihat tapi belum berkenalan langsung, kan?" Lagi-lagi Barra memancing keadaan. Rinoa tertarik, dan rasanya memang sulit menolak pancingan dari Barra. "Ber-berkenalan yang seperti apa maksud Papa?" Rinoa pura-pura tidak paham. Pipinya seketika merona merah, jadi membayangkan milik Barra yang pernah dia lihat sebelumnya."Hei, kamu manis sekali kalau malu-malu begini." Tiba-tiba saja Barra mengendurkan ikat pinggang kemudian melepas ritsleting celananya. Benda miliknya dikeluarkan dari tempatnya, hendak mengajak Rinoa untuk berkenalan langsung."Pegang ini, Noa!" perintah Barra. Tangan Rinoa pun dipaksa untuk mengge
Tentu saja Rinoa tidak menolaknya, malah ini yang Rinoa suka. Lebih intim dengan papa Barra. Namun mata Rinoa seketika celingukan memperhatikan sekitar. "Apa nanti nggak ada yang curiga karena kita kelamaan di dalam mobil, Pa?" "Setidaknya mereka nggak tahu apa yang kita lakuin di sini, Noa." Barra meraih tangan Rinoa, lalu mencium punggung tangan perempuan itu dengan lembut. Tangan Rinoa lantas diarahkan ke pipi Barra, meraba-raba tangan itu menggunakan pipinya. "Kalau boleh jujur, biarpun kita belum lama kenal tapi Papa sudah sangat sayang ke kamu. Papa tahu ini salah, tapi semakin Papa tahan rasanya semakin buat dada Papa sakit." Rinoa terdiam, menatap bagaimana mempesonanya sosok Barra. Memang aura Barra sangat berbeda dengan Enzo, jauh lebih tenang dan sangat meneduhkan. Rinoa juga paham kalau yang mereka lakukan ini salah, tapi dia tidak bisa menutupi kalau dirinya juga merasa jauh lebih nyaman dengan Barra. "Kalau seandainya aku tinggalin Enzo gimana, Pa?" tanya Rinoa tiba-
Sudah tentu Rinoa perlu jeda sesaat sebelum mulai menyetir. Bagian bawahnya yang masih terasa basah itu sedikit membuatnya terganggu. Rinoa pun merapikan dirinya sejenak, lalu menarik napas dalam dan mulai fokus untuk menyetir. Barra masih tersenyum melihat bagaimana kondisi Rinoa yang baru selesai pelepasan tapi dipaksa menyetir itu. Ternyata sekali-kali jahil ke Rinoa menyenangkan juga. "Enzo pamitan ke kamu?" tanya Barra tiba-tiba. Pandangannya masih tertuju pada menantunya yang sedang fokus menatap ke jalan. Rinoa dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Enggak, Pa, aku bahkan nggak tahu kalau dia pergi ke Singapura. Tadi Mbak Pur yang bilang kalau dia pagi-pagi udah berangkat, takut ketinggalan pesawat. Dan setelah dia sampai di Changi Airport, baru deh dia laporan ke aku." Mendengar itu, Barra menghela napasnya dengan berat. "Tadi pagi kebetulan Papa lihat dia sebelum berangkat, dan juga baru bilang ke Papa kalau dia mau ke Singapura. Papa kira dia sudah pamitan duluan
Rinoa bergeming begitu mendengar pertanyaan mertuanya. Apa yang harus Rinoa katakan? Apa mengaku jujur kalau Rinoa memang ingin punya waktu berdua lebih lama dengan Barra? Barra lantas terkekeh sendiri. Apalagi saat melihat Rinoa yang kebingungan untuk merespon pertanyaannya tadi. "Jangan terlalu serius, Noa. Ayo masuk ke dalam mobil. Kamu yang nyetir, kan?" Barra terlihat menunggu Rinoa untuk membuka kunci pintu mobilnya. Ada senyuman jahil yang dilayangkan Barra kepadanya. Rinoa jadi salah tingkah, dia pun buru-buru membuka kunci pintu mobilnya. Sementara Barra segera masuk ke dalam mobil begitu kuncinya sudah terbuka. Rinoa menyusul untuk masuk, dan duduk di belakang kemudi. "Sebenarnya bisa aja Papa yang nyetir, tapi...." Barra melirik ke arah Rinoa yang duduk di sebelahnya. "Tapi apa, Pa?" tanya Rinoa sambil ikut menoleh ke arah Barra. Tangan Barra tiba-tiba saja sudah meraba paha Rinoa, seketika tubuh Rinoa bergidik. "Tapi Papa percaya kalau kamu yang pegang setir







