Share

10. Ikut Papa!

Author: Ika Armeini
last update Last Updated: 2025-09-24 09:38:42

Apa yang harus Rinoa jawab? Apa berterus terang kalau dirinya juga tidak bisa tidur? Tapi ... Rinoa malu.

Kalau tidak dibalas rasanya tidak enak. Jadi Rinoa pun berpikir sejenak, kata-kata apa yang bisa Rinoa pakai untuk menjelaskan kalau dirinya kesulitan tidur.

Atau mungkin tidak perlu dibalas supaya tidak terjadi hal yang aneh-aneh? Rinoa pun mencoba untuk cuek dan berusaha untuk tidur. Namun sayangnya malah Rinoa jadi makin susah tidur karena kepikiran.

Lagi-lagi Rinoa dibuat galau. Sebaiknya dibalas atau tidak?

Gara-gara Rinoa kelamaan membalas, tiba-tiba saja papa Barra sudah kembali mengirim pesan.

Papa Barra: [Sepertinya kamu sudah tidur, kalau begitu selamat tidur.]

Rinoa jadi merasa bersalah karena tidak membalasnya. Belum pernah rasanya Rinoa berada di posisi seperti ini, antara takut tapi penasaran.

Rinoa: [Aku belum tidur, Pa, aku juga susah tidur.]

Pada akhirnya Rinoa menyerah dan membalas pesan tersebut. Karena takut ketahuan Enzo, dia pun segera menghapus pesan dari mertuanya. Jangan sampai meninggalkan jejak yang membuat curiga.

Tidak ada balasan pesan lagi dari mertuanya. Rinoa cuma bisa bengong menatap layar ponselnya sambil harap-harap cemas menanti balasan.

Sementara Enzo di sebelah sudah sibuk mendengkur, benar-benar berisik, bahkan sesekali tangan Enzo nemplok di wajah Rinoa. Membuat Rinoa mengaduh berkali-kali.

"Uuuh, kenapa sih tidur kamu berisik banget?" protes Rinoa sambil menutup wajah Enzo dengan bantal supaya suara dengkurannya bisa diminimalisir.

Kalau begini jelas Rinoa jadi makin susah tidur lagi. Rinoa pun akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar tersebut.

Betapa kagetnya Rinoa saat keluar kamar dan mendapati mertuanya yang sudah berdiri tepat di depan pintu kamarnya.

"Papa?! Papa ngapain di sini?" tanya Rinoa, masih dalam kondisi syok.

Barra tersenyum tipis ke arah Rinoa. "Ternyata benar kamu susah tidur."

Rinoa sedikit malu. "I-iya, aku udah coba untuk tidur, tapi nggak bisa. Terus kenapa Papa malah berdiri di sini? Apa sudah dari tadi?" Rinoa jadi benar-benar penasaran.

"Belum lama, dari waktu kamu balas chat Papa tadi. Tapi Papa ragu untuk balas lagi, takut ganggu kamu." Barra melirik sekilas ke dalam kamar. "Apa Enzo sudah tidur? Kenapa kamu malah keluar kamar?"

"Ummm ... Enzo sudah tidur dari tadi. Kalau aku keluar kamar, itu karena Enzo tidurnya berisik, jadi aku makin susah buat tidur."

Barra manggut-manggut sambil membulatkan bibirnya. Dia tiba-tiba saja mengulurkan tangannya ke arah Rinoa.

Rinoa jelas bingung. Maksudnya apa?

"Ikut Papa!" ajak Barra kemudian.

"I-ikut ke mana, Pa?"

"Ke ruang kerja Papa. Nanti Papa tunjukin sesuatu ke kamu."

Rinoa sebenarnya ragu. Namun ujung-ujungnya dia pun membalas uluran tangan dari mertuanya, kemudian mengikuti langkah kaki laki-laki itu. Tidak tahu kenapa mau diajak ke ruang kerjanya, pokoknya Rinoa modal percaya saja.

Jujur saja, tiga bulan menikah memang Rinoa belum berkeliling memasuki satu per satu ruangan yang ada di rumah mewah ini. Memang Rinoa tahu kalau mertuanya punya ruangan kerja khusus, tapi dirinya sama sekali belum pernah masuk ke dalam sana.

Begitu sampai di tempat yang dituju, mulut Rinoa lantas menganga lebar. Ruang kerjanya sangat luas, rapi dan wangi. Wangi-wanginya sih sangat ciri khas duda tua menawan ini.

Ada rak buku yang ditata dengan sangat rapi. Ada juga file-file yang sepertinya penting, ditumpuk di atas meja kerjanya. Lampu di ruangan tersebut tidak begitu terang tapi tidak begitu redup, sangat pas untuk Barra yang sudah berumur.

"Dulu mamanya Enzo yang buatkan ruangan ini. Buku-buku di rak itu juga kebanyakan punya mamanya Enzo," jelas Barra sambil menunjukkan isi di ruangannya tersebut. "Apa Enzo sudah pernah cerita atau sudah pernah ajak kamu masuk ke sini?"

Rinoa yang masih mode kagum melihat ruangan itu, langsung menggelengkan kepalanya. "Belum, Enzo belum pernah bawa aku masuk ke sini, Pa! Padahal aku termasuk suka baca buku, kalau tahu ada banyak buku di sini mungkin aku bisa pinjam untuk dibaca."

"Ambil aja, Noa, semua yang ada di rumah ini bisa bebas kamu pakai kapan aja, termasuk buku-buku itu," terang Barra.

"Tapi ... aku nggak enak kalau masuk ke ruangan ini sendirian, Pa. Aku takut nanti Enzo malah marah."

Barra menatap Rinoa dengan curiga. "Apa Enzo pernah marahin kamu masalah hal-hal kecil begini?"

Rinoa jadi gigit jari, takut disangka tukang ngadu lagi kalau mengatakan hal yang jujur ke mertuanya.

Barra pun berdiri tepat di belakang Rinoa, lalu menyandarkan kedua tangannya di pundak menantunya. Laki-laki itu kemudian berbisik, "Segera lapor ke Papa kalau Enzo berani marahin kamu."

Rinoa jadi merinding, seperti punya pahlawan yang siap menyelamatkannya kapan saja.

"A-aman, Pa," jawab Rinoa sebisanya. Padahal tubuhnya mulai bereaksi gara-gara dapat bisikan barusan. Huh, sepertinya rumah ini ada banyak setan yang menghasut.

Barra pun lantas menjauh dari Rinoa, kemudian mencari sesuatu di laci meja kerjanya. Sebuah album foto.

"Itu foto-foto siapa, Pa?" tanya Rinoa penasaran. Dia pun lantas mendekat untuk melihat.

"Foto Papa, juga ada mamanya Enzo waktu masih muda." Barra menunjukkan foto-foto dirinya dan mediang istrinya saat muda dulu.

Betapa kagetnya Rinoa saat melihat mama Enzo saat muda. Ternyata mirip dengan Rinoa, bahkan Rinoa sampai ragu apa benar itu mamanya Enzo?

"Yang ini ...." Rinoa menunjuk foto mama Enzo yang sedang menggendong Enzo kecil. "Kenapa dilihat-liat mama Enzo waktu muda mirip aku, Pa?"

"Awal lihat kamu juga Papa berpikir begitu. Wajah kamu mirip seperti mama Enzo waktu muda. Di sini usia mama Enzo baru 23 tahun dan sudah jadi janda karena ditinggal meninggal suaminya."

Rinoa mengangguk. "Enzo sempat cerita kalau papanya meninggal waktu dia umur 2 tahun. Ummm ... jadi Enzo beruntung, karena punya papa sambung yang baik dan perhatian begini." Rinoa jadi iri, padahal kedua orang tua Rinoa masih lengkap tapi dia seperti tidak pernah merasakan kasih sayang dari orang tua.

Barra terkekeh pelan. Pandangannya kini jadi lebih intens ke Rinoa. "Orang-orang juga pasti bakalan bilang kalau kamu beruntung. Kamu putri salah satu pengusaha terkenal, keluarga kamu juga nggak pernah ada masalah. Apalagi bank swasta milik keluargamu jadi peringkat nomor satu."

Rinoa mengedikkan bahunya. "Tolak ukur keberuntungan bukan cuma karena faktor finansial, Pa! Mungkin memang orang berpikir kalau keluargaku nggak kekurangan, tapi ... aku sendiri merasa kurang kasih sayang orang tuaku karena mereka sibuk memperkaya diri. Itu yang nggak aku dapatkan dari mereka."

Mendengar itu, Barra jadi prihatin. Spontan dia memberikan pelukan kepada menantunya, sambil mengelus-elus punggung Rinoa. Mencoba menenangkan.

"Kalau begitu, biar Papa yang beri perhatian dan sayang ke kamu," bisik Barra tepat di telinga Rinoa. "Boleh?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
EmiraFH
Ehehe papa nakal nihh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Papa Tiri Suamiku   27. Berapa Lama Cantik Seperti Ini?

    Barra menaikkan satu sudut bibirnya. "Kamu benar, memang lebih baik dia berlama-lama di sana. Tapi ... semoga aja Enzo nggak lalai dengan tugasnya di kantor."Rinoa mendengkus pelan. "Bukannya Enzo udah terlalu sering kerja lembur di kantor Papa? Sesekali dia bebas tugas sepertinya nggak masalah kan, Pa? Lagian semua bisa dicek lewat online dan Papa sendiri juga bisa mengecek langsung ke kantor."Jujur saja Rinoa sedikit tidak suka kalau Barra mulai membahas urusan pekerjaan. Dia sudah merasakan sendiri kurangnya kasih sayang Enzo ke Rinoa akibat mengurus perusahaan milik Barra, sekarang di saat Enzo tidak ada malah kembali Barra memikirkan bisnisnya.Barra sepertinya pun langsung paham kalau Rinoa kurang menyukai pembahasan ini. Terlihat dari ekspresi Rinoa yang langsung berubah cemberut saat Barra membahas tentang kantornya.Seketika Barra mengelus tangan Rinoa dengan lembut. "Kita makan dulu ya, Noa. Papa minta maaf kalau bahas masalah yang tadi."Rinoa tersenyum tipis. Dia pun men

  • Sentuhan Panas Papa Tiri Suamiku   26. Kamu Harus Percaya Sama Papa

    Barra mengangguk dengan yakin. "Tentu, Noa. Malah Papa khawatirnya dengan kamu." "Denganku?" Rinoa mengernyit. "Iya, kamu yang harus lebih berhati-hati lagi. Seperti yang Papa bilang tadi, adik kamu instingnya kuat. Jangan menunjukkan gerak-gerik yang aneh di depan dia. Bisa kan, Noa?" Barra lantas mengelus lembut puncak kepala Rinoa. Seperti menunjukkan rasa kasih sayang seorang ayah kepada putrinya. "Oke, Pa." Rinoa mengangguk pelan. Barra mengalihkan pandangannya sejenak ke arah luar mobil. "Sepertinya kita harus keluar sekarang. Papa nggak mau orang-orang di rumah ini jadi curiga kalau kita lebih lama lagi diam di dalam mobil." Rinoa setuju dengan saran Barra. Dia dan Barra pun segera keluar dari mobil. Jujur saja, gara-gara telepon dari Reonald tadi rasanya momen nikmat berdua dengan Barra jadi terasa nanggung. Rinoa pun mengakui kalau mertuanya ini sangat lihai menahan diri, padahal tadi bisa saja Rinoa cuek dengan tidak menjawab panggilan telepon dari adiknya. Namun Bar

  • Sentuhan Panas Papa Tiri Suamiku   25. Begini, Noa Sayang

    "A-aku, aku udah pernah lihat," ucap Rinoa dengan sangat pelan. Pandangannya tertuju pada tangannya yang masih diarahkan oleh Barra. Memang benar kalau Rinoa sudah pernah melihatnya sebelumnya, bahkan Rinoa juga masih ingat bagaimana bentuk dan ukurannya saat tak sengaja mengintip mertuanya itu."Oh, benar ... Papa baru ingat kalau kamu sudah pernah melihatnya, Noa. Baru melihat tapi belum berkenalan langsung, kan?" Lagi-lagi Barra memancing keadaan. Rinoa tertarik, dan rasanya memang sulit menolak pancingan dari Barra. "Ber-berkenalan yang seperti apa maksud Papa?" Rinoa pura-pura tidak paham. Pipinya seketika merona merah, jadi membayangkan milik Barra yang pernah dia lihat sebelumnya."Hei, kamu manis sekali kalau malu-malu begini." Tiba-tiba saja Barra mengendurkan ikat pinggang kemudian melepas ritsleting celananya. Benda miliknya dikeluarkan dari tempatnya, hendak mengajak Rinoa untuk berkenalan langsung."Pegang ini, Noa!" perintah Barra. Tangan Rinoa pun dipaksa untuk mengge

  • Sentuhan Panas Papa Tiri Suamiku   24. Kenapa Berhenti, Pa?

    Tentu saja Rinoa tidak menolaknya, malah ini yang Rinoa suka. Lebih intim dengan papa Barra. Namun mata Rinoa seketika celingukan memperhatikan sekitar. "Apa nanti nggak ada yang curiga karena kita kelamaan di dalam mobil, Pa?" "Setidaknya mereka nggak tahu apa yang kita lakuin di sini, Noa." Barra meraih tangan Rinoa, lalu mencium punggung tangan perempuan itu dengan lembut. Tangan Rinoa lantas diarahkan ke pipi Barra, meraba-raba tangan itu menggunakan pipinya. "Kalau boleh jujur, biarpun kita belum lama kenal tapi Papa sudah sangat sayang ke kamu. Papa tahu ini salah, tapi semakin Papa tahan rasanya semakin buat dada Papa sakit." Rinoa terdiam, menatap bagaimana mempesonanya sosok Barra. Memang aura Barra sangat berbeda dengan Enzo, jauh lebih tenang dan sangat meneduhkan. Rinoa juga paham kalau yang mereka lakukan ini salah, tapi dia tidak bisa menutupi kalau dirinya juga merasa jauh lebih nyaman dengan Barra. "Kalau seandainya aku tinggalin Enzo gimana, Pa?" tanya Rinoa tiba-

  • Sentuhan Panas Papa Tiri Suamiku   23. Lebih Intim Sama Kamu

    Sudah tentu Rinoa perlu jeda sesaat sebelum mulai menyetir. Bagian bawahnya yang masih terasa basah itu sedikit membuatnya terganggu. Rinoa pun merapikan dirinya sejenak, lalu menarik napas dalam dan mulai fokus untuk menyetir. Barra masih tersenyum melihat bagaimana kondisi Rinoa yang baru selesai pelepasan tapi dipaksa menyetir itu. Ternyata sekali-kali jahil ke Rinoa menyenangkan juga. "Enzo pamitan ke kamu?" tanya Barra tiba-tiba. Pandangannya masih tertuju pada menantunya yang sedang fokus menatap ke jalan. Rinoa dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Enggak, Pa, aku bahkan nggak tahu kalau dia pergi ke Singapura. Tadi Mbak Pur yang bilang kalau dia pagi-pagi udah berangkat, takut ketinggalan pesawat. Dan setelah dia sampai di Changi Airport, baru deh dia laporan ke aku." Mendengar itu, Barra menghela napasnya dengan berat. "Tadi pagi kebetulan Papa lihat dia sebelum berangkat, dan juga baru bilang ke Papa kalau dia mau ke Singapura. Papa kira dia sudah pamitan duluan

  • Sentuhan Panas Papa Tiri Suamiku   22. Noa, Kamu Basah Sekali, Sayang! (21+)

    Rinoa bergeming begitu mendengar pertanyaan mertuanya. Apa yang harus Rinoa katakan? Apa mengaku jujur kalau Rinoa memang ingin punya waktu berdua lebih lama dengan Barra? Barra lantas terkekeh sendiri. Apalagi saat melihat Rinoa yang kebingungan untuk merespon pertanyaannya tadi. "Jangan terlalu serius, Noa. Ayo masuk ke dalam mobil. Kamu yang nyetir, kan?" Barra terlihat menunggu Rinoa untuk membuka kunci pintu mobilnya. Ada senyuman jahil yang dilayangkan Barra kepadanya. Rinoa jadi salah tingkah, dia pun buru-buru membuka kunci pintu mobilnya. Sementara Barra segera masuk ke dalam mobil begitu kuncinya sudah terbuka. Rinoa menyusul untuk masuk, dan duduk di belakang kemudi. "Sebenarnya bisa aja Papa yang nyetir, tapi...." Barra melirik ke arah Rinoa yang duduk di sebelahnya. "Tapi apa, Pa?" tanya Rinoa sambil ikut menoleh ke arah Barra. Tangan Barra tiba-tiba saja sudah meraba paha Rinoa, seketika tubuh Rinoa bergidik. "Tapi Papa percaya kalau kamu yang pegang setir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status