LOGIN"Ummm ... mungkin kita bisa bahas lain kali. Sebaiknya kamu istirahat, ini sudah malam." Barra tiba-tiba saja mengalihkan pertanyaan Rinoa. Dia lantas mengarahkan menantunya untuk beristirahat di kamar. Padahal sebenarnya ini cara Barra supaya tidak kebablasan. Menahan diri adalah salah satu skill yang saat ini harus Barra asah.
Rinoa mengangguk dan menurut, dia pun berjalan perlahan menuju ke kamarnya, meninggalkan Barra yang masih berdiam diri di dapur. Rinoa pun masuk ke dalam kamarnya secara perlahan, takut kalau Enzo yang sudah tidur jadi terganggu dengan kedatangannya. Tidak, ternyata Enzo tidak tidur. Dia tidak ada di atas ranjang. Mata Rinoa pun mengedar di dalam kamar tersebut, mencari sosok suaminya. Ke mana perginya Enzo? Bukannya tadi bilang mau istirahat? Rinoa melirik ke arah kamar mandi, mungkin Enzo sedang mandi. Dia pun segera mengecek ke kamar mandi, tapi kamar mandi pun kosong. Samar-samar Rinoa mendengar suara Enzo yang bicara di balkon, tapi dia sedang bicara dengan siapa? Karena penasaran akhirnya Rinoa pun melangkahkan kakinya menuju ke balkon, lalu mengintip sebentar. Terlihat Enzo sedang menelpon seseorang. Siapa yang ditelpon tengah malam begini? Dari nada bicaranya terdengar Enzo sangat ramah dan lembut. Apa salah satu klien? Kalau iya, memangnya tidak bisa telepon besok pagi? Kenapa harus tengah malam? Enzo tiba-tiba saja membalikkan badannya, dan terlihat kaget saat mendapati Rinoa yang kini jadi berdiri tepat di hadapannya. Seketika Enzo menyudahi panggilan telepon tersebut. "Noa, ke-kenapa bikin kaget?" Enzo terlihat panik. "Aku cari kamu, tapi kamu nggak ada di tempat tidur, nggak ada juga di kamar mandi. Ternyata kamu lagi teleponan di sini." Rinoa menatap Enzo dengan curiga, kedua tangannya pun dilipat di depan dada. "Memangnya kamu telponan sama siapa tengah malam begini?" "I-itu ... ba-barusan telepon dari manajer akunting. Ada beberapa pengeluaran mendadak di perusahaan," jawab Enzo. "Oh, urusan kerjaan lagi?" Rinoa jadi memutar kedua bola matanya dengan malas. Kerja, kerja, kerja melulu. Mungkin memang benar kalau Enzo punya obsesi untuk menguasai semua perusahaan milik papa tirinya. "Iya, tapi manajer akunting cuma beri laporan sebentar. Besok mungkin bakalan kita bahas lagi di kantor." Rinoa cuma manggut-manggut. Dia pun meninggalkan Enzo, lalu memilih untuk ke ranjang duluan. Kalau malam-malam begini sebenarnya Rinoa rindu dibelai. Harapannya sih Rinoa bisa dapatkan belaian itu dari suaminya. Masalahnya barusan mereka sedikit berdebat, kan? Dia pun mencuri pandang ke arah Enzo yang kini ikut berjalan menuju ke ranjang, menyusul Rinoa. "Sayang ...." Rinoa dengan berani meraba paha Enzo. Menggatal duluan dengan memberi rangsangan. "Apa kamu bener-bener capek? Udah mau tidur sekarang?" Rinoa pun mengerlingkan matanya dengan genit ke arah Enzo. Enzo sepertinya langsung paham dengan kode dari Rinoa. Lagian memang tampilan istrinya ini sangat menggoda dan seksi. "Ummm ... gimana kalau besok pagi? Kamu rasain aja sendiri, punyaku nggak bisa tegang maksimal kalau aku capek, Noa!" Enzo mengarahkan tangan Rinoa untuk meraba benda pusaka miliknya. Memang benar, milik Enzo rasanya ikutan capek. Seketika bibir Rinoa pun cemberut. "Kalau besok pagi, apalagi bangun tidur pasti dia ikutan tegang!" Enzo menunjuk benda berharga kesayangannya di bawah sana. "Jadi mending besok pagi, oke? Sekarang kita tidur dulu." Enzo lantas memberi kecupan di kening Rinoa, lalu duluan merebahkan dirinya dengan nyaman di ranjang. Huh, suami macam apa yang membiarkan istrinya kekeringan begini? Rinoa maunya ikutan tidur untuk melupakan rasa kesalnya, tapi ternyata perasaan nanggung ini membuat Rinoa menderita sendiri. Salahkah kalau Rinoa jadi begini? Kalau begini haruskah Rinoa melampiaskan sendiri perasaan yang mengganjal ini? Sambil membayangkan Enzo, atau malah ... papa Barra? Satu-satunya cara memang Rinoa harus melampiaskan sendirian. Dia pun memastikan dulu kalau suaminya sudah tidur nyenyak. Lalu perlahan berjalan menuju kamar mandi. Diambilnya jet shower yang ada di toilet. Mungkin semprotan kuat dari jet shower ini bisa membantu Rinoa sebentar untuk melepaskan hasratnya. Sambil menyemprotkan jet shower itu pada titik sensitifnya, tiba-tiba saja bayangan papa Barra muncul dalam fantasi liar Rinoa. "Uuuhh ... Papaaahh!" Rinoa melenguh pelan dan sesekali mengeluarkan desahan sambil memanggil mertuanya. Hal ini belum pernah Rinoa lakukan sebelumnya, menjadi terpaksa karena Rinoa bingung mau melampiaskannya ke mana. Beberapa menit sibuk dengan jet shower, akhirnya Rinoa pun mencapai puncak kenikmatannya dengan bantuan benda tersebut. Ternyata membayangkan mertuanya sebagai fantasi liarnya berhasil membuat Rinoa menuju ke puncak kenikmatan. Bahkan selama tiga bulan menikah, Rinoa tidak pernah merasakan kenikmatan seperti ini saat bercinta dengan Enzo. Tubuh Rinoa melemas setelah pelepasannya. Dia pun segera membersihkan diri dan buru-buru kembali ke ranjang sebelum Enzo curiga. Baru saja Rinoa duduk di tepi ranjang, ponsel miliknya tiba-tiba saja bergetar. Tanda pesan masuk. Rinoa pun meraih ponselnya, lalu melihat siapa yang mengirim pesan tengah malam begini. Ternyata dari papa Barra. Papa Barra: [Apa kamu sudah tidur, Noa?]Barra menaikkan satu sudut bibirnya. "Kamu benar, memang lebih baik dia berlama-lama di sana. Tapi ... semoga aja Enzo nggak lalai dengan tugasnya di kantor."Rinoa mendengkus pelan. "Bukannya Enzo udah terlalu sering kerja lembur di kantor Papa? Sesekali dia bebas tugas sepertinya nggak masalah kan, Pa? Lagian semua bisa dicek lewat online dan Papa sendiri juga bisa mengecek langsung ke kantor."Jujur saja Rinoa sedikit tidak suka kalau Barra mulai membahas urusan pekerjaan. Dia sudah merasakan sendiri kurangnya kasih sayang Enzo ke Rinoa akibat mengurus perusahaan milik Barra, sekarang di saat Enzo tidak ada malah kembali Barra memikirkan bisnisnya.Barra sepertinya pun langsung paham kalau Rinoa kurang menyukai pembahasan ini. Terlihat dari ekspresi Rinoa yang langsung berubah cemberut saat Barra membahas tentang kantornya.Seketika Barra mengelus tangan Rinoa dengan lembut. "Kita makan dulu ya, Noa. Papa minta maaf kalau bahas masalah yang tadi."Rinoa tersenyum tipis. Dia pun men
Barra mengangguk dengan yakin. "Tentu, Noa. Malah Papa khawatirnya dengan kamu." "Denganku?" Rinoa mengernyit. "Iya, kamu yang harus lebih berhati-hati lagi. Seperti yang Papa bilang tadi, adik kamu instingnya kuat. Jangan menunjukkan gerak-gerik yang aneh di depan dia. Bisa kan, Noa?" Barra lantas mengelus lembut puncak kepala Rinoa. Seperti menunjukkan rasa kasih sayang seorang ayah kepada putrinya. "Oke, Pa." Rinoa mengangguk pelan. Barra mengalihkan pandangannya sejenak ke arah luar mobil. "Sepertinya kita harus keluar sekarang. Papa nggak mau orang-orang di rumah ini jadi curiga kalau kita lebih lama lagi diam di dalam mobil." Rinoa setuju dengan saran Barra. Dia dan Barra pun segera keluar dari mobil. Jujur saja, gara-gara telepon dari Reonald tadi rasanya momen nikmat berdua dengan Barra jadi terasa nanggung. Rinoa pun mengakui kalau mertuanya ini sangat lihai menahan diri, padahal tadi bisa saja Rinoa cuek dengan tidak menjawab panggilan telepon dari adiknya. Namun Bar
"A-aku, aku udah pernah lihat," ucap Rinoa dengan sangat pelan. Pandangannya tertuju pada tangannya yang masih diarahkan oleh Barra. Memang benar kalau Rinoa sudah pernah melihatnya sebelumnya, bahkan Rinoa juga masih ingat bagaimana bentuk dan ukurannya saat tak sengaja mengintip mertuanya itu."Oh, benar ... Papa baru ingat kalau kamu sudah pernah melihatnya, Noa. Baru melihat tapi belum berkenalan langsung, kan?" Lagi-lagi Barra memancing keadaan. Rinoa tertarik, dan rasanya memang sulit menolak pancingan dari Barra. "Ber-berkenalan yang seperti apa maksud Papa?" Rinoa pura-pura tidak paham. Pipinya seketika merona merah, jadi membayangkan milik Barra yang pernah dia lihat sebelumnya."Hei, kamu manis sekali kalau malu-malu begini." Tiba-tiba saja Barra mengendurkan ikat pinggang kemudian melepas ritsleting celananya. Benda miliknya dikeluarkan dari tempatnya, hendak mengajak Rinoa untuk berkenalan langsung."Pegang ini, Noa!" perintah Barra. Tangan Rinoa pun dipaksa untuk mengge
Tentu saja Rinoa tidak menolaknya, malah ini yang Rinoa suka. Lebih intim dengan papa Barra. Namun mata Rinoa seketika celingukan memperhatikan sekitar. "Apa nanti nggak ada yang curiga karena kita kelamaan di dalam mobil, Pa?" "Setidaknya mereka nggak tahu apa yang kita lakuin di sini, Noa." Barra meraih tangan Rinoa, lalu mencium punggung tangan perempuan itu dengan lembut. Tangan Rinoa lantas diarahkan ke pipi Barra, meraba-raba tangan itu menggunakan pipinya. "Kalau boleh jujur, biarpun kita belum lama kenal tapi Papa sudah sangat sayang ke kamu. Papa tahu ini salah, tapi semakin Papa tahan rasanya semakin buat dada Papa sakit." Rinoa terdiam, menatap bagaimana mempesonanya sosok Barra. Memang aura Barra sangat berbeda dengan Enzo, jauh lebih tenang dan sangat meneduhkan. Rinoa juga paham kalau yang mereka lakukan ini salah, tapi dia tidak bisa menutupi kalau dirinya juga merasa jauh lebih nyaman dengan Barra. "Kalau seandainya aku tinggalin Enzo gimana, Pa?" tanya Rinoa tiba-
Sudah tentu Rinoa perlu jeda sesaat sebelum mulai menyetir. Bagian bawahnya yang masih terasa basah itu sedikit membuatnya terganggu. Rinoa pun merapikan dirinya sejenak, lalu menarik napas dalam dan mulai fokus untuk menyetir. Barra masih tersenyum melihat bagaimana kondisi Rinoa yang baru selesai pelepasan tapi dipaksa menyetir itu. Ternyata sekali-kali jahil ke Rinoa menyenangkan juga. "Enzo pamitan ke kamu?" tanya Barra tiba-tiba. Pandangannya masih tertuju pada menantunya yang sedang fokus menatap ke jalan. Rinoa dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Enggak, Pa, aku bahkan nggak tahu kalau dia pergi ke Singapura. Tadi Mbak Pur yang bilang kalau dia pagi-pagi udah berangkat, takut ketinggalan pesawat. Dan setelah dia sampai di Changi Airport, baru deh dia laporan ke aku." Mendengar itu, Barra menghela napasnya dengan berat. "Tadi pagi kebetulan Papa lihat dia sebelum berangkat, dan juga baru bilang ke Papa kalau dia mau ke Singapura. Papa kira dia sudah pamitan duluan
Rinoa bergeming begitu mendengar pertanyaan mertuanya. Apa yang harus Rinoa katakan? Apa mengaku jujur kalau Rinoa memang ingin punya waktu berdua lebih lama dengan Barra? Barra lantas terkekeh sendiri. Apalagi saat melihat Rinoa yang kebingungan untuk merespon pertanyaannya tadi. "Jangan terlalu serius, Noa. Ayo masuk ke dalam mobil. Kamu yang nyetir, kan?" Barra terlihat menunggu Rinoa untuk membuka kunci pintu mobilnya. Ada senyuman jahil yang dilayangkan Barra kepadanya. Rinoa jadi salah tingkah, dia pun buru-buru membuka kunci pintu mobilnya. Sementara Barra segera masuk ke dalam mobil begitu kuncinya sudah terbuka. Rinoa menyusul untuk masuk, dan duduk di belakang kemudi. "Sebenarnya bisa aja Papa yang nyetir, tapi...." Barra melirik ke arah Rinoa yang duduk di sebelahnya. "Tapi apa, Pa?" tanya Rinoa sambil ikut menoleh ke arah Barra. Tangan Barra tiba-tiba saja sudah meraba paha Rinoa, seketika tubuh Rinoa bergidik. "Tapi Papa percaya kalau kamu yang pegang setir







