Mag-log inAir bathtub muncrat ke segala arah. Suara benturan tubuh dan cipratan air memenuhi kamar mandi.
Rafi tercebur setengah badan ke dalam bathtub, sementara Marsha tersangkut di pelukannya, setengah basah kuyup, dengan handuk yang hampir lepas.Keduanya terdiam beberapa detik. Nafas mereka tersengal, mata saling bertemu dalam jarak yang sangat dekat. Uap hangat yang memenuhi ruangan, percikan air di sekitar mereka, dan wajah keduanya yang sama-sama basah menciptakan suasana yang canggung sekaligus, intens.Rafi yang setengah duduk di air hanya bisa menatap Marsha yang berada di pelukannya dengan ekspresi campur aduk antara khawatir, kaget, dan tak percaya dengan kejadian barusan.Sementara Marsha, dengan pipi memerah dan dada naik turun, benar-benar tak tahu harus bicara apa. Membuat suasana kamar mandi saat itu benar-benar sunyi.Marsha masih dalam posisi setengah rebah, punggungnya bersandar pada permukaan bathtub yang dingin, kontras dengan air hangat yangKeduanya semakin terbuai oleh perasaan yang kian sulit dibendung. Keheningan di antara mereka terasa tebal, bukan karena canggung, melainkan karena terlalu banyak emosi yang bertumpuk dan tak tahu harus diluapkan dengan cara apa.Arion menatap Kayla lama, seolah sedang menimbang sesuatu dalam hatinya. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia menyelipkan satu tangan ke bawah lutut Kayla dan satu lagi menopang punggungnya. Dalam satu gerakan pelan namun mantap, Arion menggendong Kayla.Kayla terkejut kecil, refleks melingkarkan lengannya di leher Arion. Wajahnya otomatis bersandar di bahu lelaki itu. Ia bisa merasakan napas Arion yang hangat di pelipisnya, detak jantung yang berdetak cepat namun stabil memberinya rasa aman yang sulit dijelaskan.“Arion…” bisik Kayla lirih, nyaris tenggelam oleh sunyi kontrakan.“Aku di sini,” jawab Arion pelan, suaranya rendah dan menenangkan.Langkah Arion menyusuri lorong sempit menuju kamar Kayla terasa begitu pelan,
Deg!Rasanya seperti ada sesuatu yang jatuh menghantam dada Kayla. Udara di sekelilingnya terasa lebih berat. Senyum itu benar-benar lenyap, digantikan wajah pucat dan mata yang membesar menahan kaget. Tangannya yang tadi rileks kini mengepal di atas paha.Arion langsung mendekat. Ia menggenggam tangan Kayla erat, seolah takut gadis itu akan menjauh jika ia melepasnya."Tapi aku janji, setelah kuliah ku selesai. Papi ku juga sudah sembuh, aku akan kembali. Aku akan jemput kamu," ucap Arion penuh keyakinan, meski di balik itu ada rasa takut yang besar.Kayla perlahan melepaskan genggaman tangan Arion. Gerakannya pelan, tapi cukup untuk membuat dada Arion terasa nyeri."Kamu mau ninggalin aku?"Nada suara Kayla tidak tinggi. Justru terlalu pelan—dan itu yang membuatnya terdengar lebih menyakitkan. Arion langsung menggeleng keras, panik."Sayang, aku gak akan ninggalin kamu. Kita gak putus, aku gak mau putus dari kamu. Tapi aku hanya minta waktu sedikit
Ruang tamu kontrakan Kayla terasa begitu sederhana sore itu. Hanya ada sofa kecil yang warnanya sudah sedikit pudar, meja kayu yang salah satu kakinya diganjal, serta kipas angin tua yang berdecit pelan. Namun bagi Kayla, tempat itu selalu terasa hangat dan hari ini, terasa jauh lebih penuh karena ada dua orang yang mengantarnya pulang dengan selamat.Kayla duduk perlahan, masih terlihat lelah meski wajahnya sudah jauh lebih segar dibanding beberapa hari lalu di rumah sakit. Tubuhnya memang belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya dia sudah bisa kembali ke “rumahnya”.“Maaf ya, aku selalu ngerepotin kalian berdua,” gumam Kayla lirih, suaranya hampir tenggelam oleh bunyi kipas angin.Arion yang duduk di sampingnya langsung menoleh. Tanpa ragu, tangannya terulur menggenggam tangan Kayla. Hangat, tenang, seolah ingin menyalurkan keyakinan bahwa semuanya benar-benar baik-baik saja.“Gak ada yang ngerepotin dan direpotin,” jawab Arion tegas tapi lembut. Tata
‘’Kayla, Tante tahu, kamu anak yang baik.’’Kayla menelan ludahnya susah payah. Tatapannya bertemu dengan mata Marsha. Dalam. Lama. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tapi semuanya tertahan di dada. Ketakutan, kekecewaan, rasa sakit, dan kebingungan bercampur menjadi satu.Ada sesuatu yang aneh dan sulit dijelaskan. Kehangatan yang tadi ia rasakan saat Marsha memeluknya masih tertinggal, tapi kini tercampur dengan rasa perih yang jauh lebih tajam.Kecewa.Kecewa karena di ujung semuanya, Marsha tetap memilih berdiri di sisi Mikha.Kayla paham. Sangat paham. Mikha adalah anaknya. Siapa ibu yang tega sepenuhnya meninggalkan anaknya sendiri, sejahat apa pun perbuatannya? Logika itu Kayla mengerti betul. Tapi perasaan… perasaannya tidak bisa diajak berunding.Kayla merasa seolah-olah nyawanya hampir direnggut, namun rasa sakit itu harus ia telan sendirian. Seolah-olah ketakutannya bukan hal yang paling penting.Perlahan, Kayla memalingkan wajah
“M—Mama tampar Mikha?” Suara Mikha bergetar, nyaris tak terdengar. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa panas, bukan karena sakit fisik semata, tapi karena kenyataan pahit yang baru saja menampar jiwanya jauh lebih keras daripada telapak tangan Marsha. Untuk pertama kalinya sejak ia menginjakkan kaki di rumah itu, Mikha melihat sosok yang selama ini begitu lembut padanya… berubah menjadi seseorang yang asing.Marsha menatap tajam ke arah Mikha. Tatapan yang tidak pernah Mikha lihat sebelumnya. Tidak ada kelembutan, tidak ada rasa iba. Yang tersisa hanya luka, kekecewaan, dan kemarahan yang menumpuk sejak lama seolah semua kepingan kebohongan kini runtuh bersamaan.“Kenapa kamu bisa sekejam ini Mikha?” tanya Marsha pelan namun menusuk, suaranya bergetar menahan emosi yang hampir meledak. “Kenapa kamu SEKEJAM INIII!” Kalimat terakhir itu meluncur seperti jeritan hati seorang ibu yang hancur. Tangannya masih memeluk Kayla erat, seolah takut j
Mikha menelan ludah. Tangannya di dalam saku mengepal semakin kuat.“I—iya.”Arion melangkah lebih dekat. Instingnya berteriak ada yang salah. Sejak kejadian di hutan, ada banyak potongan yang terasa janggal dan Mikha selalu berada terlalu dekat dengan semua kekacauan itu.“Kamu gak kelihatan kayak orang yang mau jenguk,” ucap Arion dingin. “Kamu kelihatan kayak orang yang ketakutan.”Mikha tertawa kecil, dipaksakan.“Kamu lebay.”Namun Arion sudah melihat cukup. Pandangan Arion turun ke tangan Mikha yang tak kunjung keluar dari saku.“Keluarkan tangan kamu,” perintahnya.“Hah?”“Sekarang.” Nada Arion tak bisa dibantah.Mikha mundur satu langkah lagi. Dan di saat itulah sesuatu jatuh dari sakunya ke lantai.Klang!Suara logam kecil memantul di lantai keramik.Mata Arion membelalak.Mikha pucat.Tanpa pikir panjang, Arion langsung mencengkeram pergelangan tangan Mikha dan membantingnya ke dinding.“Kamu gila?!” desis Ari







