LOGINAir bathtub muncrat ke segala arah. Suara benturan tubuh dan cipratan air memenuhi kamar mandi.
Rafi tercebur setengah badan ke dalam bathtub, sementara Marsha tersangkut di pelukannya, setengah basah kuyup, dengan handuk yang hampir lepas.Keduanya terdiam beberapa detik. Nafas mereka tersengal, mata saling bertemu dalam jarak yang sangat dekat. Uap hangat yang memenuhi ruangan, percikan air di sekitar mereka, dan wajah keduanya yang sama-sama basah menciptakan suasana yang canggung sekaligus, intens.Rafi yang setengah duduk di air hanya bisa menatap Marsha yang berada di pelukannya dengan ekspresi campur aduk antara khawatir, kaget, dan tak percaya dengan kejadian barusan.Sementara Marsha, dengan pipi memerah dan dada naik turun, benar-benar tak tahu harus bicara apa. Membuat suasana kamar mandi saat itu benar-benar sunyi.Marsha masih dalam posisi setengah rebah, punggungnya bersandar pada permukaan bathtub yang dingin, kontras dengan air hangat yangSetelah drama dan tangisan semalam yang melelahkan, suasana rumah pagi itu terasa berbeda. Rafi duduk di tepi ranjang dengan wajah letih, sementara Marsha sudah berdandan rapi memakai blouse putih longgar, celana jeans biru muda, dan kacamata hitam yang menutupi separuh wajahnya.Meski rautnya masih terlihat kesal, tapi di balik itu ada sedikit kegirangan karena keinginannya akhirnya dituruti.Ya, Rafi akhirnya mengalah. Ia membatalkan semua agenda rapat dan pekerjaan yang menumpuk, menonaktifkan ponsel kantornya, lalu bersiap menemaninya ke Surabaya hanya demi menenangkan hati istrinya yang semalam hampir meledak karena DJ Panda.Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Koper mereka sudah tersusun di dekat pintu, dan udara luar terasa cerah ketika mereka melangkah keluar. Burung-burung masih bercicit di taman depan rumah.Marsha membawa tas kecil sambil memeriksa ponselnya.“Udah ya, ayo buruan. Aku gak mau ketinggalan pesawat,” ujarnya cepat sambil membuka pintu mo
"kenapa?"“Aku mikirin—” katanya, namun tiba-tiba terhenti.Rafi menunggu dengan sabar. Ia menatap wajah Marsha dari samping, mencoba membaca pikiran perempuan itu lewat ekspresi matanya yang mulai ragu. Detik demi detik berlalu, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar lembut di langit-langit kamar.“Aku mikirin…” Marsha menarik napas panjang, kemudian menunduk. “Ternyata nanti malem DJ Panda perform-nya di Surabaya. Aku bingung mau kesana, tapi jauh, kamu masih kerja. Tapi aku pengen nonton malem ini… tapi gimana…” ia berhenti sejenak, suaranya mulai melemah. “Jadinya aku pusing!”‘’Hah!’’ Kata-kata itu seperti petir di pagi buta. Seketika Rafi menjauhkan wajahnya dari bahu Marsha. Pandangannya langsung kosong dan datar.Dia menatap perempuan yang ia kira sedang memikirkan sesuatu yang berat entah masalah pribadi, perasaan, atau kehidupan mereka berdua. Tapi ternyata… Marsha memikirkan jadwal perform seorang DJ.Dalam dada Rafi, campur
“Hehehe…” Marsha menyengir nakal, matanya berkilat usil sambil melirik ke arah Rafi yang wajahnya langsung berubah datar begitu mendengar dia memuji Dj Panda.Sudut bibir Rafi menegang, rahangnya sedikit mengeras jelas-jelas mencoba menahan reaksi.Di dalam mobil yang melaju tenang, suasana seketika berubah. Lagu dari radio masih berputar, tapi hawa di antara mereka terasa seperti medan perang kecil yang dipenuhi tensi aneh antara rasa kesal, gengsi, dan godaan.“Mau makan apa?” tanya Rafi datar sambil tetap fokus ke jalan. Tangannya menggenggam setir erat, matanya lurus ke depan, berusaha terlihat tenang padahal dalam hati sedang mendidih.Marsha menatapnya, masih dengan senyum jahil di bibirnya. “Kamu marah?” tanyanya lembut.“Gak!” sahut Rafi cepat tanpa menoleh sedikit pun.Marsha menaikkan alisnya, menahan tawa. “Dih… muka kamu jelek banget!”“Biarin!” potong Rafi, suaranya agak ketus tapi masih terdengar menggemaskan.Marsha langs
“Iya, dari tadi aku belum makan apa-apa,” kata Marsha sambil mengelus perutnya, mencoba tersenyum walau matanya masih sembab. “Aku pikir sambil pulang aja, nanti aku pikirin mau makan di mana.” Rafi tersenyum, nada kecil tawa keluar dari tenggorokannya. “Oke, terserah kamu, Nyonya manja.” Tapi baru beberapa langkah mereka berjalan dari taman menuju parkiran, Marsha tiba-tiba berhenti. Ia menatap Rafi dengan ekspresi bingung. “Aku gak mau bawa mobil sendiri. Aku mau sama kamu. Tapi… mobil aku gimana?” Rafi menghela napas, tersenyum lembut sambil menggeleng pelan. “Kamu tuh ya…” Ia mendekat, menggandeng tangan Marsha lagi. “Nanti aku suruh Edwin ambil mobil kamu di sini, ya.” Marsha menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum lega. “Oke!” katanya pelan tapi penuh semangat. Ia menyandarkan kepala di bahu Rafi, merasa aman. Rafi memeluk bahunya sambil berjalan menuju parkiran. Langit mulai sedikit mendung, t
Rafi menggandeng Marsha perlahan menjauh dari gedung utama rumah sakit. Langkah mereka pelan, nyaris tak bersuara. Marsha menunduk, wajahnya sembab, matanya merah karena terlalu banyak menangis. Sedangkan Rafi sesekali melirik ke arah istrinya, tampak khawatir namun tetap berusaha menenangkan.Mereka berhenti di taman kecil di belakang gedung, di dekat kursi kayu panjang yang berada di bawah pohon kamboja. Aroma khas bunga putih itu samar tercium, menambah kesan sunyi dan sendu pada suasana.Rafi menepuk lembut bahu Marsha lalu mengajaknya duduk. Perempuan itu langsung menundukkan wajahnya, kedua tangannya bergetar di pangkuan.Suasana hening beberapa detik, hanya terdengar suara daun-daun yang bergesekan tertiup angin.“Jangan dimasukin ke hati,” ucap Rafi akhirnya, dengan nada lembut. Ia berlutut di depan Marsha, lalu mengangkat wajah istrinya dengan kedua tangan. “Dengar, kamu gak salah apa-apa.”Marsha menatap Rafi dengan mata basah. “Apa kedatangan aku ke rumah mereka itu sal
Namun Aga hanya menatapnya dengan sorot benci. Tatapan yang dulu pernah ia rindukan, kini terasa seperti pisau dingin yang menusuk sampai ke tulang.Rafi berdiri di depan Marsha, menjadi perisai di antara mereka. “Kamu keterlaluan, Ga. Kamu gak tahu apa yang dia lakuin buat nolong istrimu. Kalau Marsha gak dateng ke rumah itu, Ara mungkin udah...” Rafi menahan kata-katanya. Ia tak sanggup mengucapkan kemungkinan terburuk itu.Marsha menatap Aga lemah, air matanya terus mengalir. “Aku memang berniat nemuin Ara,” ucapnya pelan, setiap kata seperti keluar dengan susah payah. “Aku cuma mau minta maaf. Aku gak ada niat buat nyakitin dia, sama sekali gak ada.”Suasana menjadi hening. Hanya suara monitor dari ruang UGD yang terdengar samar di belakang mereka.Aga menarik napas panjang, menatap Marsha dengan wajah dingin tanpa emosi. “Berhenti buat drama, Marsha,” katanya datar.Kalimat itu seperti palu godam yang menghantam hati Marsha. Dadanya terasa sesak. Napasn







