LOGINKalimat itu membuat Kayla sedikit menegang. “Arion… kamu… tersesat?”
Baru saat itulah Arion tersadar sepenuhnya. Dia menoleh ke sekeliling. Pepohonan terlihat sama di setiap arah. Jalur yang tadi dia lewati sudah tak jelas. Suara-suara dari kejauhan teriakan, peluit tak terdengar sama sekali. Hutan ini… asing. Arion menelan ludah. Untuk pertama kalinya sejak menemukan Kayla, rasa takut yang berbeda muncul. Dia tersesat. Tapi Arion segera menenangkan diri. Dia menurunkan Kayla perlahan agar bisa duduk bersandar di batu besar. “Dengerin aku ya,” katanya sambil menatap Kayla dalam-dalam. “Sekarang yang penting kamu aman. Aku di sini, dan aku nggak ke mana-mana.” ‘’Tapi—“ ‘’Ssstt, kamu percaya kan sama aku?’’ Kayla mengangguk pelan, meski matanya jelas menyimpan ketakutan. “Aku percaya sama kamu.” Kalimat sederhana itu memberi Arion kekuatan. Dia mengambil ponselnya layar menyalKayla menangis di pelukan itu. Tangis yang bukan hanya tentang malam tadi, tapi tentang rasa takut kehilangan, rasa malu, rasa tidak berdaya. Namun di antara isakannya, ada satu hal yang tetap ia rasakan Arion tidak menjauh. Tidak pergi. Tidak menghindar. Dan di gua kecil yang dingin itu, di tengah hutan yang masih membungkam mereka, dua hati yang sama-sama terluka hanya bisa saling berpegangan, menunggu hari benar-benar terang dan jawaban perlahan datang. ** Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, memantul di dinding gua dan menyusup di antara pepohonan hutan yang rapat. “Kaylaaaa…!” “Arionnn…!” Kayla yang sejak tadi bersandar lemah di dada Arion, refleks menegakkan tubuhnya meski rasa nyeri langsung menjalar di sekujur badan. Matanya membola, napasnya tercekat. “Itu…” suaranya nyaris tak terdengar, “…itu suara Miko.” Arion ikut menahan napas. Dia memejamkan mata sejenak, memusatk
‘’Mpphhh …’’ Arion terus mencium bibir Kayla, begitu dalam, penuh rasa, namun tidak menuntut. Setiap kecupan terasa seperti permintaan maaf yang tak terucap, seperti pengakuan bahwa ketakutan kehilangan tadi hampir menghancurkannya. Tangannya menopang wajah Kayla dengan lembut, ibu jarinya mengusap pipi dingin yang perlahan kembali berwarna. ‘’Aahh!’’ Suara erangan kecil lolos dari bibir Kayla, menggema pelan di dalam gua yang sunyi. Nafas mereka saling bertabrakan, hangat dan berat, menciptakan uap tipis di udara malam yang dingin. Jantung Arion berdetak keras, bukan hanya karena dekatnya tubuh Kayla, tetapi karena kenyataan bahwa gadis itu masih hidup dan berada dalam pelukannya. “Kayla, maafin aku. Aku hanya mau kamu selamat,” ucapnya lirih, suaranya serak, penuh penyesalan. Kayla menatap Arion lama, seolah ingin menghafal wajah itu. Wajah lelaki yang tadi nekat menerobos arus sungai dan
Hutan semakin gelap. Kabut tipis mulai turun perlahan, menyelimuti pepohonan tinggi yang berdiri rapat seperti barisan penjaga sunyi. Api unggun kecil di depan gua berkedip-kedip, kadang membesar, lalu mengecil kembali, seolah ikut merasakan kepanikan di dada Arion. Tubuh Kayla terbaring di pangkuannya. Bibir gadis itu membiru, wajahnya pucat pasi, dan tubuhnya terus bergetar hebat meski api sudah menyala cukup dekat. Nafasnya terdengar pendek-pendek, tidak beraturan. “Kay… Kayla… dengerin aku,” suara Arion bergetar, bukan hanya karena dingin, tapi karena takut yang mulai menguasai akalnya. “Tahan ya… tolong tahan… jangan tidur…” bisiknya berulang-ulang, hampir seperti doa. Kayla mengerang pelan. Matanya setengah terbuka, namun pandangannya kosong. “Ar… dingin…” suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan yang bisa hilang kapan saja. “Iya, aku tahu. Aku di sini. Aku gak ke mana-mana,” Arion menempelkan keningn
Arion menarik napas panjang. Ia melepaskan jaketnya, lalu menyelimuti tubuh Kayla agar tidak semakin kedinginan. Setelah itu, ia duduk di sampingnya, punggungnya bersandar ke dinding gua. Di luar, hutan semakin gelap. Suara malam mulai lengkap serangga, burung malam, dan angin yang sesekali berdesir. Arion melirik keluar gua, lalu kembali menatap Kayla. “Tim SAR… Miko… mereka pasti nyari kita,” ucapnya pelan, lebih seperti menenangkan diri sendiri. “Kita tunggu di sini, ya.” Kayla mengangguk lagi, kali ini lebih pelan. Tangannya bergerak, tanpa sadar meraih ujung jaket Arion. Jari-jarinya menggenggam erat, seolah takut jika Arion pergi. Arion terdiam. Dadanya menghangat melihat itu. Tanpa ragu, ia menggenggam tangan Kayla, mengusapnya perlahan. “Aku gak ke mana-mana,” ucapnya pasti. “Aku di sini sama kamu.” ‘’Aku gak takut mati, tapi—” Kayla menarik napas nya panjang, ‘’Aku fikir, aku akan kalah karena penyakitku, tapi tern
Kalimat itu membuat Kayla sedikit menegang. “Arion… kamu… tersesat?” Baru saat itulah Arion tersadar sepenuhnya. Dia menoleh ke sekeliling. Pepohonan terlihat sama di setiap arah. Jalur yang tadi dia lewati sudah tak jelas. Suara-suara dari kejauhan teriakan, peluit tak terdengar sama sekali. Hutan ini… asing. Arion menelan ludah. Untuk pertama kalinya sejak menemukan Kayla, rasa takut yang berbeda muncul. Dia tersesat. Tapi Arion segera menenangkan diri. Dia menurunkan Kayla perlahan agar bisa duduk bersandar di batu besar. “Dengerin aku ya,” katanya sambil menatap Kayla dalam-dalam. “Sekarang yang penting kamu aman. Aku di sini, dan aku nggak ke mana-mana.” ‘’Tapi—“ ‘’Ssstt, kamu percaya kan sama aku?’’ Kayla mengangguk pelan, meski matanya jelas menyimpan ketakutan. “Aku percaya sama kamu.” Kalimat sederhana itu memberi Arion kekuatan. Dia mengambil ponselnya layar menyal
Di sisi sungai, arus air mengalir deras karena hujan semalam. Bebatuan licin, air keruh kecokelatan. “Kaylaaa!” teriak Miko sekuat tenaga begitu tiba di tepi sungai. Tidak ada jawaban. Arion langsung menyusuri pinggiran sungai, matanya bergerak liar mencari tanda apa pun tas, sepatu, atau sekadar bayangan tubuh. “Kay! Jawab aku!” suara Arion bergetar, tangannya mengepal keras. Miko berjongkok di tepi sungai, menatap arus air dengan mata merah. Dadanya naik turun cepat, pikirannya dipenuhi rasa bersalah dan takut yang menyesakkan. “Harusnya gue gak ninggalin lo sendirian…” gumamnya penuh penyesalan. Beberapa guru dan siswa lain mulai berdatangan. Suasana berubah menjadi kepanikan massal. Ada yang langsung menghubungi tim SAR lokal, ada yang membentuk barisan menyusuri sungai. “Arion!” teriak salah satu pembina, “Jangan masuk ke air sendiri!” Tapi Arion sudah melepaskan sepatunya. “Aku







