"Nggak usah sayang, sayangan, nggak suka dengernya," protes Nada melirik kesal. "Hmm, kalau sayang beneran gimana? Ada pertimbangan nggak buat rujuk." "Nggak usah bahas itu mulu kenapa sih. Mau nganter atau mau drama, aku males nih dengernya." "Iya iya, aku anterin sampai tujuan. Mau ke mana dulu juga boleh, mumpung aku lagi ada banyak waktu." Saat ini sebenarnya selalu ada waktu. Bahkan dia rela mengesampingkan urusannya demi waktu bersama Nada. Sekarang baru berasa sekali, beberapa hari tidak bertemu rasanya tersiksa, padahal kemarin dia enjoy saja ngadep orangnya setiap hari, orangnya malah tidak dihargai. Pantas saja Nada ngamuk, sakit hati berujung minta pisah. Mobil Saga keluar dari area kampus, lebih dulu mengantar Nada ke kosan temannya, lalu rencananya kembali ke rumah. "Jadi di sini kamu ngumpet kemarin?" tanya pria itu ikut turun di depan kosan. "Kakak tunggu di sini saja, aku cuma ambil barang." "Aku harus mastiin biar kamu nggak belok, salah-salah kabur l
"Masih sakit?" tanya Saga masih mengusap lembut puncak kepalanya. Beberapa hari ini tidak bertemu, bukan berarti tidak peka lagi, tetapi menahan diri untuk memberikan ruang pada Nada berpikir. Sama-sama menepi untuk kemudian saling intropeksi diri. Netra keduanya bertemu, diam beberapa detik hingga seketika Nada tersadar ada rasa yang tidak nyaman. Dia bergerak menjauh hingga membuat Saga menarik tangannya. "Nggak, cuma kaget aja." Tadinya lumayan berdenyut, hanya beberapa detik dan sekarang sudah tidak terasa sakit lagi. Nada segera menormalkan ekspresinya. Berhadapan dengan pria ini selalu membuatnya tidak nyaman. "HPnya Kak," pinta Nada setelah pria itu mengambilnya tadi. Nada harus segera turun dari mobil Saga, dia tidak ingin terjebak di sana. "Kemarin ke mana?" tanya pria itu lagi ingin tahu. Menyerahkan ponsel di tangannya yang langsung diterima. "Nenangin diri," jawab Nada jujur. Memang benar begitu, di rumah terlalu berisik, tetapi dia sadar tengah menumpang pad
Saga menyempatkan menutup pintu agar pembicaraan mereka tidak ada yang dengar. Dia tahu sikapnya hari ini mungkin akan menimbulkan pertanyaan banyak orang. "Lain kali mengabari, setidaknya sama orang tua kamu. Mereka cemas sampai hampir buat laporan kehilangan ke kantor polisi." Rencananya begitu kalau sampai dua kali dia puluh empat jam belum ada kabar. Saga marah seperti ini karena cemas. Sayangnya yang dikhawatirkan tidak mau tahu. "Iya nanti aku pulang, nanti aku kabari papa sama mama," jawab Nada mengalihkan tatapannya. Padahal Saga sudah mati-matian menahan diri untuk tidak meninggikan suaranya. Tetap saja dia merasa kesal dengan respon Nada yang begitu santai. Pria itu masih berdiri menatapnya, perasaannya sulit ditafsirkan. Antara kesal, marah, khawatir, dan rasa entah. Campur aduk tanpa bisa mendefinisikan. "Terus kenapa Kak Saga masih di sini? Sana keluar, main usir anak-anak lain sesukamu. Tahu ini kampus keluargamu, tapi jangan arogan. Mereka bayar juga di
Sayangnya Saga tidak mempunyai nomor teman-temanya Nada. Dia memang tidak terlalu dekat dengan adik tingkat. Apalagi perihal nomor ponselnya, tentu dia tidak menyimpan kalau yang tidak penting-penting amat. Pria itu terus mencari kontak nomor yang mungkin saja bisa memberikan petunjuk. Salah satu teman Nada pasti tahu keberadaannya. Feelingnya mengatakan, Nada tidak mungkin jauh ke mana-mana mengingat dia sedang hamil dan terikat dengan pendidikannya. "Bagaimana Ga? Apa sudah ada kabar?" tanya Nyonya Hira cemas. Khawatir mengingat beberapa hari ini Nada kena omelan terus. Takutnya malah berontak karena merasa tidak nyaman di rumah. "Saga tidak punya nomor temannya Nada, Ma, ini lagi usaha minta sama teman Saga, mana tahu punya. Mama tenang ya, Saga bantuin nyari sampai Nada ketemu." Saga menghubungi Zian, mana tahu sahabatnya itu tahu nomor telepon Nimas atau Raisa. Mengingat keduanya yang paling dekat dengan Nada. Sayang sekali Zian juga tidak punya. Tetapi pria itu bisa men
"Kenapa jam segini Nada belum pulang?" tanya Pak Arya khawatir. "Nggak tahu Pa, mungkin sebentar lagi." "Ini hampir petang, memangnya dia tidak mengabari kalau tadi pergi ke mana." Pak Arya khawatir, karena beberapa hari ini hubungan dengan putrinya tidak terlalu baik. Beliau cenderung menasihati bernada marah-marah yang mungkin saja membuat putrinya tidak nyaman. Bukan maksud hati demikian, hanya saja beliau tidak suka masalahnya berlarut. Sebagai orang tua, Pak Arya terus kepikiran akan nasib Nada nantinya. Cita-cita dia sudah berantakan sejak terjadi insiden itu. Dia merasa nama putrinya diselamatkan walaupun Saga jelas pelakunya. Bukan memaklumi, tetapi akhirnya berdamai mengingat Saga juga tidak ada niatan. Keduanya dalam masalah sebab kelalaian menjaga diri dan atas campur tangan orang lain. "Tadi Nada hanya pamit ke kampus, mungkin ada tugas kelompok. Biar mama telfon dulu." Bu Hira tidak sepanik dulu, membuat Pak Arya sedikit menaruh curiga. Biasanya beliau ya
Bujukan dari kedua orang tuanya tak mampu meluluhkan hatinya yang membatu. Beliau sebenarnya tidak ingin menyaksikan perceraian putrinya. Berusaha mendamaikan sebisa mungkin, asalkan Saga sungguh-sungguh ingin memperbaiki, mereka juga merestui untuk bersama lagi. Dalam sebuah hubungan, pasti ada kesalahan dan masa lalu. Mereka yang mau berjuang, patut diberikan kesempatan. Tidak ada satu rumah tangga pun yang luput dari ujian. Semua pasti akan mengalaminya dengan porsi masing-masing. "Apa yang membuatmu tidak ingin memberikan kesempatan kedua. Selama ini papa perhatikan Saga begitu sabar membujukmu. Malah terkesan kamu yang tidak jelas begini. Pria itu kalau sudah minta maaf, membujuk sampai segitunya, dia rela menurunkan harga dirinya. Tapi kalau kamu bersikap dingin seperti ini terus ya lama-lama bisa capek juga." "Nanti kalau Saga sudah menyerah, tidak mau berjuang lagi, terserah, baru kamu yang akan menyesal." Saking gemas dengan putrinya, Pak Arya sampai mengatakan demikia