Share

Bab 6

Author: Millanova
last update Last Updated: 2025-10-10 14:58:25

Bukan korek api biasa, tapi korek api bermerek dari sebuah bar terkenal di Bandung. 

Untuk apa Clara menyimpan korek api? Yang langsung membuatnya terguncang adalah bahwa ia mengetahui bagaimana Clara begitu membenci rokok. Selama ini, dia selalu protes jika ada yang merokok di dekatnya. 

"Tidak mungkin …," gumam Arka sendiri.

Dia memutar-mutar korek api itu di tangannya. Pikirannya mulai berpacu. Mungkin dapat dari rekan kerja? Tapi kenapa disimpan di tas? Clara biasanya langsung membuang benda-benda tidak penting. 

Dia hanya terduduk di sofa ruang keluarga, menatap kosong ke depan. Sunyi yang tersisa terasa lebih menyiksa daripada pertengkaran tadi. Arka menghela napas panjang, lalu berjalan ke minibar. Botol whiskey yang sama dari dua malam lalu masih ada di sana, separuh isinya sudah habis.

Dia menuangkan whiskey ke gelas tanpa es, sama seperti malam sebelumnya. Cairan amber itu terasa membakar kerongkongannya, tapi kali ini dia tidak merasakan apa-apa selain hampa.

"Saya kira Bapak sudah tidak mau minum minuman keras."

Suara lembut dari balik punggungnya membuat Arka terkejut. Nia berdiri di ambang pintu dapur, masih mengenakan apron dan sarung tangan cuci piring.

"Clara pergi," ucap Arka pendek, meneguk lagi isi gelasnya.

"Saya dengar," jawab Nia. Matanya penuh perhatian. "Apakah Bapak baik-baik saja?"

Arka terkekeh getir. "Tidak. Tapi itu bukan urusanmu, kan?"

Nia terlihat tidak tersinggung. "Saya hanya khawatir. Whiskey tidak akan menyelesaikan masalah."

"Tapi setidaknya ini membuatku lupa sebentar," balas Arka, menuangkan lagi.

Nia mendekat perlahan. "Bapak belum makan malam. Sarapan dan makan siang saja hanya sedikit. Apakah Bapak mau saya hangatkan makanan?"

Arka menggeleng. "Tidak lapar."

Tapi perutnya berkata lain. Saat itu juga, perutnya keroncongan keras.

Nia tersenyum kecil. "Tubuh Bapak berkata lain. Saya buatkan sesuatu yang ringan saja."

Dia berbalik ke dapur, dan Arka tiba-tiba merasa tidak ingin sendirian. "Tunggu."

Nia berhenti. "Iya, Pak?"

"Temanilah aku sebentar," pinta Arka. Suaranya terdengar renta, jauh berbeda dari biasanya.

Nia tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. Dia duduk di kursi di seberang Arka, tetap dengan apronnya.

"Mengapa kamu begitu baik padaku?" tanya Arka tiba-tiba.

Nia terkejut dengan pertanyaan langsung itu. "Itu... tugas saya, Pak."

"Bukan," bantah Arka. "Kamu melampaui tugas. Kamu peduli. Clara pun tidak pernah segitu pedulinya."

"Bapak tidak boleh berkata begitu," tegur Nia lembut. "Ibu Clara pasti menyayangi Bapak."

Arka tertawa pahit. "Menyayangi? Dia lebih sayang pada pekerjaannya. Pada penampilannya. Pada... orang lain."

Dia menatap kosong ke gelasnya. "Dulu, dia berbeda. Saat kami pertama bertemu di lapangan golf, dia adalah caddy yang paling perhatian. Selalu tersenyum, selalu bertanya bagaimana hariku."

Nia mendengarkan dengan saksama, memberinya ruang untuk berbicara.

"Tapi sekarang..." Arka menghela napas. "Sekarang aku seperti tidak ada. Seperti hantu di rumah sendiri."

"Mungkin Ibu Clara hanya sedang stres dengan pekerjaan," coba Nia menengahi.

"Stres?" Arka menggeleng. "Setiap hari? Setiap malam? Bahkan ketika aku mencoba mendekatinya, dia menolakku. Seperti aku penyakit."

Arka menatap Nia. "Kamu tahu bagaimana rasanya ditolak oleh orang yang kamu cintai?"

Nia menunduk. "Saya... bisa membayangkan."

Mereka terdiam sebentar. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.

"Bapak harus makan," ujar Nia akhirnya, berdiri. "Saya buatkan sup. Bagus untuk perut yang kosong."

Arka tidak protes kali ini. Ia mengikuti Nia ke dapur, duduk di bangku makan sementara Nia dengan cekatan memanaskan sup yang sudah dibuatnya sebelumnya.

Aroma kaldu ayam yang gurih segera memenuhi dapur. Arka tiba-tiba menyadari betapa laparnya dia.

"Saya tambahkan sedikit jahe," ujar Nia sambil menuangkan sup ke mangkuk. "Bagus untuk menenangkan perut dan pikiran."

Arka mencoba sesuap, lalu matanya membelalak. "Ini... enak sekali."

Nia tersenyum. "Ibu saya dulu selalu membuatkan sup seperti ini ketika saya sedang tidak enak badan."

Mereka makan dalam keheningan yang nyaman. Berbeda dengan kesunyian yang menyiksa tadi, keheningan kali ini terasa menenangkan.

Setelah selesai, Nia mulai membersihkan meja. Namun, tangan Arka tiba-tiba menyentuh tangannya.

"Terima kasih, Nia," bisiknya. "Terima kasih sudah... ada di sini malam ini."

Nia terkejut, tapi tidak menarik tangannya. "Sama-sama, Pak."

"Panggil aku Mas Arka," ujarnya. "Hanya kita berdua di sini."

Nia menggeleng. "Itu tidak sopan, Pak."

"Sopan?" Arka terkekeh. "Setelah semua yang terjadi malam kemarin, kamu masih memikirkan kesopanan?"

Arka masih memegang tangan Nia sambil menatap mesra. "Kamu satu-satunya yang peduli padaku akhir-akhir ini. Satu-satunya yang memperlakukan aku seperti... manusia."

Nia menunduk, wajahnya tersipu. "Bapak... Arka... terlalu baik pada saya."

"Tidak," bantah Arka. "Kamu yang terlalu baik padaku."

Arka menarik pelan dagu Nia, membuat gadis itu akhirnya menatapnya. Lalu, ia mengambil satu langkah lebih dekat, hingga kini wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.

Arka bisa melihat setiap detail wajah Nia. Matanya besar penuh kilauan, hidungnya mancung sempurna, ditambah bibir merah yang seksi alami meski tanpa lipstik. 

Arka menelan ludah melihatnya, jakunnya naik turun. Tanpa sadar, ia mengarahkan jarinya untuk mengusap lembut pipi Nia.

Diperlakukan seperti itu, Nia sedikit terperanjat, tetapi tidak mundur. Ia hanya diam dan sedikit menundukkan kepalanya. Sampai akhirnya berkata lirih, “Pak …”

Arka bisa mendengar bagaimana napas gadis cantik itu sedikit memburu. 

“Kenapa, Nia?” tanya Arka sambil kembali menarik dagu wanita itu, dan bahkan usapannya kini telah berhenti di ujung bibir Nia. “Kamu cantik sekali.”

"Pak … ini... tidak baik," bisik Nia, tapi tanpa keyakinan. Tangannya meremas pelan ujung bajunya sendiri.

"Aku tahu," balas Arka berbisik.

Arka semakin mendekatkan wajahnya, ujung jempolnya terus membelai bibir ranum Nia. Sementara tangannya yang lain, entah sejak kapan telah berada di pinggang ramping Nia, menarik tubuh gadis itu untuk semakin mendekat dengannya.

Pandangan Arka menyapu setiap detail wajah Nia, dan berakhir di bibir yang sedari tadi ia sentuh. Lembut dan nyaris sempurna.

Hingga akhirnya, wajah mereka semakin dekat, bahkan membuat Nia secara refleks memejamkan matanya ketika merasakan hembusan napas Arka menerpa wajahnya.

Kemudian, bibir mereka bertemu.

“Hpmm …”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Pembantu Seksi Sang Tuan   Bab 7

    Awalnya hanya sentuhan lembut, penuh keraguan. Seperti dua kupu-kupu yang saling menyentuh sayap. Tapi kemudian, hasrat yang terlalu lama terpendam meledak menjadi ledakan gairah yang tak terbendung.Napas mereka saling bercampur, hangat dan menggigit. Dunia seakan berhenti berputar. Di ruang makan yang hanya diterangi lampu temaram itu, hanya ada mereka berdua.Arka mendesah dalam, tangannya berganti meraih pinggang Nia. Ciuman itu semakin dalam, semakin penuh gairah. Lidah Arka mulai menjelajah, menemukan respons hangat dari Nia. Dia mendengar desahan kecil dari bibir Nia, sebuah suara yang membuatnya semakin bergairah.Arka mulai menciumi leher Nia yang jenjang. Bibirnya menelusuri setiap inci kulit lembut itu, merasakan denyut nadi Nia yang semakin kencang."Kamu... sangat cantik," bisik Arka di telinga Nia, membuatnya menggelinjang.Nia mendesah lebih keras kali ini. "Arka...hhmmhh…. kita tidak seharusnya...""Tapi kita menginginkannya," balas Arka, terus menelusuri lehernya.Ta

  • Sentuhan Pembantu Seksi Sang Tuan   Bab 6

    Bukan korek api biasa, tapi korek api bermerek dari sebuah bar terkenal di Bandung. Untuk apa Clara menyimpan korek api? Yang langsung membuatnya terguncang adalah bahwa ia mengetahui bagaimana Clara begitu membenci rokok. Selama ini, dia selalu protes jika ada yang merokok di dekatnya. "Tidak mungkin …," gumam Arka sendiri.Dia memutar-mutar korek api itu di tangannya. Pikirannya mulai berpacu. Mungkin dapat dari rekan kerja? Tapi kenapa disimpan di tas? Clara biasanya langsung membuang benda-benda tidak penting. Dia hanya terduduk di sofa ruang keluarga, menatap kosong ke depan. Sunyi yang tersisa terasa lebih menyiksa daripada pertengkaran tadi. Arka menghela napas panjang, lalu berjalan ke minibar. Botol whiskey yang sama dari dua malam lalu masih ada di sana, separuh isinya sudah habis.Dia menuangkan whiskey ke gelas tanpa es, sama seperti malam sebelumnya. Cairan amber itu terasa membakar kerongkongannya, tapi kali ini dia tidak merasakan apa-apa selain hampa."Saya kira Bap

  • Sentuhan Pembantu Seksi Sang Tuan   Bab 5

    "Terima kasih. Untuk... sarapan dan kopinya. Dan untuk... pagi ini," Nia tersenyum lebih lebar. "Sama-sama, Pak. Itu tugas saya."Arka kembali memperhatikan Nia yang langsung sibuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Ia menelan ludahnya lagi, mungkin entah yang keberapa di pagi itu saja, ketika melihat lekuk tubuh Nia dari balik baju yang dikenakan. Sambil berusaha menghilangkan pikiran macam-macamnya, Arka menghela nafas, kemudian bergegas untuk memulai pekerjaannya. Hari berlalu dan Arka masih belum selesai dibayangi oleh Nia. Arka terbayang bagaimana lembutnya sentuhan tangan Nia yang tak sengaja bersinggungan saat menyuguhkan gelas-gelas kopi, terbayang juga harum yang menyapa hidungnya tiap kali Nia berjalan melaluinya. Arka juga sempat menangkap Nia menggunakan baju tanpa lengan, memperlihatkan sedikit dada dan bahu yang menggoda, membuat Arka harus menyembunyikan wajah kecewa ketika setelah itu Nia berganti kaus yang menutupi lekuk tubuhnya. Memikirkan Nia saja mampu membuat A

  • Sentuhan Pembantu Seksi Sang Tuan   Bab 4

    "Kenapa? Takut Clara mendengar?" Arka melangkah lebih dekat. "Dia tidak akan peduli. Dia bahkan tidak akan bangun jika kita berteriak di sini."Nia dengan cepat menahan tangan arka dan menatapnya dengan polos. "Iya, Pak, saya takut kalau sampai Ibu Clara tau......"Sebelum Arka bisa berkata apa-apa, Nia melepas genggaman tangan yang berusaha merangkulnya dengan perlahan. Arka terdiam dan sedikit bingung.“Maaf, Pak, saya harus istirahat.”Arka masih diam saat Nia beranjak ke kamarnya. Sebelum pintu ditutup, Arka melihat Nia menoleh lagi. Wanita itu menatap Arka kemudian tersenyum manis. “Selamat malam, Bapak Arka,” ucapnya dengan lembut. Baru kemudian kesadaran Arka kembali. Apa yang baru saja dia lakukan?Matahari pagi sudah tinggi ketika Arka akhirnya membuka mata. Kepalanya berdenyut-denyut, mengingatkannya pada whiskey yang diminumnya semalam. Dia mengerang pelan, membalikkan badan hanya untuk menemukan sisi tempat tidur sebelahnya sudah kosong. Lagi-lagi.Dia melangkah keluar ka

  • Sentuhan Pembantu Seksi Sang Tuan   Bab 3

    "Tidak sekarang, Arka," kata Clara dengan lembut tapi tegas, sambil berdiri dan menjauh."Kenapa? Kamu sudah memakai..." Arka tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi matanya menatap lingerie yang dikenakan Clara."Aku capek, Arka. Sangat capek." Clara berjalan ke lemari dan mengambil gaun tidur sutra, mengenakannya untuk menutupi lingerie transparan itu. "Besok aku harus ke Bandung untuk meeting penting. Perjalanan dari pagi sekali."Arka berdiri di tempat, merasa ditolak dan dipermalukan. "Kamu selalu ada alasan, Clara.""Ini bukan alasan, ini kenyataan!" balas Clara, suaranya mulai tinggi. "Aku bekerja mati-matian untuk keluarga ini, sementara kamu…..""Sementara aku apa?" tantang Arka, tidak bisa menyembunyikan amarahnya lagi.Clara menarik napas dalam. "Lupakan. Aku tidak mau bertengkar. Aku butuh istirahat."Dia berbalik dan masuk ke dalam tempat tidur, membelakangi Arka.Arka berdiri di sana selama beberapa menit, melihat punggung istrinya. Lingerie seksi yang tadi dikenakan Clara

  • Sentuhan Pembantu Seksi Sang Tuan   Bab 2

    “Baik pak,” ucap Nia sambil mengangguk.“Nanti sore Ibu Clara pulang,kamu bisa interview dengannya,” jelas Arka.Matahari sore mulai merangkak turun ketika Nia kembali ke rumah keluarga Adhiguna, kali ini dengan koper kecil berisi barang-barang pribadinya. Clara yang membukakan pintu, sudah berada di rumah lebih awal dari biasanya."Selamat sore, Bu," sapa Nia dengan hormat, sedikit membungkuk."Selamat sore, Nia. Silakan masuk," balas Clara, suaranya datar dan profesional. Ia mengenakan setelan kerja berwarna navy yang masih rapi, berbeda dengan Nia dalam seragam sederhananya. Clara mempersilakan Nia duduk di ruang tamu yang kini sudah lebih rapi. Ia sendiri duduk di kursi tunggal, menyilangkan kaki dengan elegan."Saya sudah lihat dokumen dari yayasan," mulai Clara, menatap Nia dengan tajam. "Pengalaman kerja sebelumnya hanya dua tahun?""Iya, Bu. Di keluarga sebelumnya, Saya keluar karena keluarga tersebut pindah ke luar negeri.""Kamu bisa memasak?" tanya Clara singkat."Bisa, Bu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status