MasukBukan korek api biasa, tapi korek api bermerek dari sebuah bar terkenal di Bandung.
Untuk apa Clara menyimpan korek api? Yang langsung membuatnya terguncang adalah bahwa ia mengetahui bagaimana Clara begitu membenci rokok. Selama ini, dia selalu protes jika ada yang merokok di dekatnya.
"Tidak mungkin …," gumam Arka sendiri.
Dia memutar-mutar korek api itu di tangannya. Pikirannya mulai berpacu. Mungkin dapat dari rekan kerja? Tapi kenapa disimpan di tas? Clara biasanya langsung membuang benda-benda tidak penting.
Dia hanya terduduk di sofa ruang keluarga, menatap kosong ke depan. Sunyi yang tersisa terasa lebih menyiksa daripada pertengkaran tadi. Arka menghela napas panjang, lalu berjalan ke minibar. Botol whiskey yang sama dari dua malam lalu masih ada di sana, separuh isinya sudah habis.
Dia menuangkan whiskey ke gelas tanpa es, sama seperti malam sebelumnya. Cairan amber itu terasa membakar kerongkongannya, tapi kali ini dia tidak merasakan apa-apa selain hampa.
"Saya kira Bapak sudah tidak mau minum minuman keras."
Suara lembut dari balik punggungnya membuat Arka terkejut. Nia berdiri di ambang pintu dapur, masih mengenakan apron dan sarung tangan cuci piring.
"Clara pergi," ucap Arka pendek, meneguk lagi isi gelasnya.
"Saya dengar," jawab Nia. Matanya penuh perhatian. "Apakah Bapak baik-baik saja?"
Arka terkekeh getir. "Tidak. Tapi itu bukan urusanmu, kan?"
Nia terlihat tidak tersinggung. "Saya hanya khawatir. Whiskey tidak akan menyelesaikan masalah."
"Tapi setidaknya ini membuatku lupa sebentar," balas Arka, menuangkan lagi.
Nia mendekat perlahan. "Bapak belum makan malam. Sarapan dan makan siang saja hanya sedikit. Apakah Bapak mau saya hangatkan makanan?"
Arka menggeleng. "Tidak lapar."
Tapi perutnya berkata lain. Saat itu juga, perutnya keroncongan keras.
Nia tersenyum kecil. "Tubuh Bapak berkata lain. Saya buatkan sesuatu yang ringan saja."
Dia berbalik ke dapur, dan Arka tiba-tiba merasa tidak ingin sendirian. "Tunggu."
Nia berhenti. "Iya, Pak?"
"Temanilah aku sebentar," pinta Arka. Suaranya terdengar renta, jauh berbeda dari biasanya.
Nia tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. Dia duduk di kursi di seberang Arka, tetap dengan apronnya.
"Mengapa kamu begitu baik padaku?" tanya Arka tiba-tiba.
Nia terkejut dengan pertanyaan langsung itu. "Itu... tugas saya, Pak."
"Bukan," bantah Arka. "Kamu melampaui tugas. Kamu peduli. Clara pun tidak pernah segitu pedulinya."
"Bapak tidak boleh berkata begitu," tegur Nia lembut. "Ibu Clara pasti menyayangi Bapak."
Arka tertawa pahit. "Menyayangi? Dia lebih sayang pada pekerjaannya. Pada penampilannya. Pada... orang lain."
Dia menatap kosong ke gelasnya. "Dulu, dia berbeda. Saat kami pertama bertemu di lapangan golf, dia adalah caddy yang paling perhatian. Selalu tersenyum, selalu bertanya bagaimana hariku."
Nia mendengarkan dengan saksama, memberinya ruang untuk berbicara.
"Tapi sekarang..." Arka menghela napas. "Sekarang aku seperti tidak ada. Seperti hantu di rumah sendiri."
"Mungkin Ibu Clara hanya sedang stres dengan pekerjaan," coba Nia menengahi.
"Stres?" Arka menggeleng. "Setiap hari? Setiap malam? Bahkan ketika aku mencoba mendekatinya, dia menolakku. Seperti aku penyakit."
Arka menatap Nia. "Kamu tahu bagaimana rasanya ditolak oleh orang yang kamu cintai?"
Nia menunduk. "Saya... bisa membayangkan."
Mereka terdiam sebentar. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.
"Bapak harus makan," ujar Nia akhirnya, berdiri. "Saya buatkan sup. Bagus untuk perut yang kosong."
Arka tidak protes kali ini. Ia mengikuti Nia ke dapur, duduk di bangku makan sementara Nia dengan cekatan memanaskan sup yang sudah dibuatnya sebelumnya.
Aroma kaldu ayam yang gurih segera memenuhi dapur. Arka tiba-tiba menyadari betapa laparnya dia.
"Saya tambahkan sedikit jahe," ujar Nia sambil menuangkan sup ke mangkuk. "Bagus untuk menenangkan perut dan pikiran."
Arka mencoba sesuap, lalu matanya membelalak. "Ini... enak sekali."
Nia tersenyum. "Ibu saya dulu selalu membuatkan sup seperti ini ketika saya sedang tidak enak badan."
Mereka makan dalam keheningan yang nyaman. Berbeda dengan kesunyian yang menyiksa tadi, keheningan kali ini terasa menenangkan.
Setelah selesai, Nia mulai membersihkan meja. Namun, tangan Arka tiba-tiba menyentuh tangannya.
"Terima kasih, Nia," bisiknya. "Terima kasih sudah... ada di sini malam ini."
Nia terkejut, tapi tidak menarik tangannya. "Sama-sama, Pak."
"Panggil aku Mas Arka," ujarnya. "Hanya kita berdua di sini."
Nia menggeleng. "Itu tidak sopan, Pak."
"Sopan?" Arka terkekeh. "Setelah semua yang terjadi malam kemarin, kamu masih memikirkan kesopanan?"
Arka masih memegang tangan Nia sambil menatap mesra. "Kamu satu-satunya yang peduli padaku akhir-akhir ini. Satu-satunya yang memperlakukan aku seperti... manusia."
Nia menunduk, wajahnya tersipu. "Bapak... Arka... terlalu baik pada saya."
"Tidak," bantah Arka. "Kamu yang terlalu baik padaku."
Arka menarik pelan dagu Nia, membuat gadis itu akhirnya menatapnya. Lalu, ia mengambil satu langkah lebih dekat, hingga kini wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.
Arka bisa melihat setiap detail wajah Nia. Matanya besar penuh kilauan, hidungnya mancung sempurna, ditambah bibir merah yang seksi alami meski tanpa lipstik.
Arka menelan ludah melihatnya, jakunnya naik turun. Tanpa sadar, ia mengarahkan jarinya untuk mengusap lembut pipi Nia.
Diperlakukan seperti itu, Nia sedikit terperanjat, tetapi tidak mundur. Ia hanya diam dan sedikit menundukkan kepalanya. Sampai akhirnya berkata lirih, “Pak …”
Arka bisa mendengar bagaimana napas gadis cantik itu sedikit memburu.
“Kenapa, Nia?” tanya Arka sambil kembali menarik dagu wanita itu, dan bahkan usapannya kini telah berhenti di ujung bibir Nia. “Kamu cantik sekali.”
"Pak … ini... tidak baik," bisik Nia, tapi tanpa keyakinan. Tangannya meremas pelan ujung bajunya sendiri.
"Aku tahu," balas Arka berbisik.
Arka semakin mendekatkan wajahnya, ujung jempolnya terus membelai bibir ranum Nia. Sementara tangannya yang lain, entah sejak kapan telah berada di pinggang ramping Nia, menarik tubuh gadis itu untuk semakin mendekat dengannya.
Pandangan Arka menyapu setiap detail wajah Nia, dan berakhir di bibir yang sedari tadi ia sentuh. Lembut dan nyaris sempurna.
Hingga akhirnya, wajah mereka semakin dekat, bahkan membuat Nia secara refleks memejamkan matanya ketika merasakan hembusan napas Arka menerpa wajahnya.
Kemudian, bibir mereka bertemu.
“Hpmm …”
Clara melepaskan pelukan dan menatapnya. Matanya berbinar dengan cara yang aneh. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dokter hanya menyarankan untuk... mempersiapkan segala kemungkinan."Jawaban yang membingungkan itu justru membuat Arka semakin gelisah. Setiap kata seperti punya makna ganda. Setiap senyuman Clara seperti menyembunyikan rahasia besar.Matahari perlahan tenggelam, digantikan oleh kegelapan malam yang membawa serta rasa dingin ke dalam tulang Arka.Pukul tujuh tepat, Arka turun ke ruang makan. Meja sudah ditata rapi oleh Nia. Ada lilin, ada bunga segar persis seperti perintah "spesial" Clara. Namun, wajah Nia pucat seperti mayat. Saat menuangkan air ke gelas Arka, tangan gadis itu bergetar hebat hingga air sedikit tumpah."Maaf... maaf, Pak," bisik Nia panik."Tenanglah," desis Arka, meski jantungnya sendiri berdegup kencang. "Apapun yang terjadi, jangan hancur sekarang."Langkah kaki terdengar di tangga. Clara turun. Dia sudah mandi dan mengenakan gaun tidur sutra berw
Keesokan harinya, sebelum fajar benar-benar menyingsing, Arka sudah terbangun. Pikirannya dipenuhi bayangan Clara yang pucat dan kata-kata Nia yang mengusik. Dia tidak bisa menunggu lebih lama. Saat jam menunjukkan pukul enam pagi dan rumah masih sunyi, dia memutuskan untuk menggunakan kode mereka.Dengan hati berdebar, dia turun ke dapur di mana Nia sudah mulai bersiap untuk sarapan."Nia," panggilnya, suara sengaja dibuat datar."Iya, Pak?" jawab Nia, segera berbalik dengan ekspresi siap menerima perintah."Tolong buatkan kopi untukku. Hari ini aku ingin yang berbeda. Gunakan cangkir keramik biru tua itu."Mata Nia berkedip cepat, menangkap kode itu. "Cangkir biru untuk tamu, Pak? Baik, akan saya siapkan.""Dan," tambah Arka, menyempurnakan ritual mereka, "nanti kamu bisa membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja kerjaku.""Siap, Pak."Tak lama kemudian, dengan cangkir kopi biru di nampan, Nia mengetuk pintu kamar Arka. Begitu pintu terkunci, topeng itu langsung meluncur."Di
Hanya beberapa jam setelah keintiman mereka, suara mobil yang familiar menyusup masuk, memecahkan gelembung rapuh yang mereka ciptakan. Clara pulang, lebih awal dari perkiraan.Arka dan Nia, dengan disiplin yang kini sudah terasah, segera beralih peran. Sebelum mobil Clara benar-benar berhenti, Nia sudah berada di dapur, berpura-pura menyortir cucian, sementara Arka mengambil posisi di ruang keluarga dengan laptopnya, berpura-pura sedang menyelesaikan pekerjaan. Detak jantung mereka berdua masih berdebar kencang, tetapi wajah mereka sudah dikeraskan menjadi topeng netral.Pintu depan terbuka. Clara masuk, tetapi langkahnya tidak seperti biasanya yang penuh wibawa dan terburu-buru. Wanita itu terlihat lesu, wajahnya pucat di bawah riasan yang sedikit luntur. Alih-alih langsung menuju ruang kerjanya atau melepas sepatu sambil tetap memeriksa ponsel, Clara hanya melemparkan tas kerjanya ke kursi dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa, persis di seberang Arka. Dia mengeluarkan erangan l
"Kamu yakin?" bisik Arka, tangannya masih terengkuh erat di pinggang Nia. "Tentang semua ini. Tentang... membawa ini lebih jauh."Nia mendongak, matanya yang jernih memancarkan sebuah keyakinan yang mengejutkan bahkan bagi dirinya sendiri. "Aku tidak pernah seyakin ini tentang hal yang salah, Arka. Aku lelah merasa takut. Lepaskanlah aku dari ketakutan itu, meski hanya untuk malam ini."Itu adalah semua pengakuan yang dibutuhkan Arka. Dengan gerakan lembut tapi penuh ketegasan, dia menuntun Nia keluar dari dapur, melewati ruang keluarga yang gelap, dan menaiki tangga. Setiap langkah terasa seperti sebuah pelanggaran, sebuah langkah berani menuju wilayah terlarang. Namun, kali ini, tidak ada rasa bersalah yang menggerayangi, hanya adrenalin dan sebuah kebebasan yang memabukkan.Mereka sampai di depan kamar Arka. Dengan satu gerakan, Arka membukanya dan menarik Nia masuk ke dalam ruangan yang gelap sebelum dengan cepat mengunci pintu di belakang mereka. Klik. Suara itu bagaikan tembok y
Arka tidak langsung menjawab. Dia menatap mata Nia yang berbinar-binar, mencoba mencari jejak penyesalan atau keraguan. Yang dia temukan hanyalah penerimaan dan sebuah tekad yang mencerminkan miliknya sendiri. Sebuah kekuatan baru mengalir di antara mereka."Apa yang seharusnya kita lakukan sejak dulu," jawab Arka akhirnya, suaranya rendah namun penuh keyakinan. "Kita berhenti berlari."Dia menyentuh pipi Nia dengan lembut. "Tapi, kita akan melakukannya dengan cara yang berbeda. Kita tidak akan lagi menjadi pion dalam permainan orang lain, Nia. Siapa pun dia."Nia mengangguk, memahami maksudnya tanpa perlu penjelasan panjang. "Kita akan lebih berhati-hati.""Lebih dari sekadar berhati-hati," bantah Arka dengan senyum tipis yang penuh strategi. "Kita akan memberi mereka pertunjukan yang mereka inginkan. Kita akan menjadi Arka dan Nia yang 'seharusnya': majikan dan pembantu yang sopan dan berjarak. Sempurna.""Dan di balik pintu yang tertutup?" tanya Nia, berani."Di balik pintu yang te
Arka dan Nia terpental seperti dihentak listrik. Sebelum mereka sempat berpisah, pintu terbuka dan Clara berdiri di sana, matanya menyapu ruangan, menangkap mereka berdua yang berdiri berdekata terlalu dekat untuk percakapan normal antara majikan dan pembantu.Wajah Clara yang awalnya netral berubah dengan cepat. Sebelah alisnya terangkat, tetapi senyum tipis dan dingin langsung menghiasi bibirnya."Kaget aku kembali, Sayang?" tanyanya pada Arka, nada suaranya datar. "Aku lupa tadi ada dokumen yang harus kubawa." Matanya beralih ke Nia. "Dan kamu, Nia, ada yang bisa dibantu?""Tidak, Bu," jawab Nia cepat, menunduk dan bergegas kembali ke dapur tanpa menatap.Clara memasuki rumah, berjalan dengan anggun ke arah meja kerjanya di sudut ruang keluarga. Arka memperhatikannya, mencoba mencari tanda-tanda kecurigaan atau kemarahan, tapi Clara terlihat biasa saja, terlalu biasa.Setelah mengambil selembar dokumen, Clara berbalik dan mendekati Arka, yang masih berdiri di dekat pintu."Tamu tad







