INICIAR SESIÓN"Terima kasih. Untuk... sarapan dan kopinya. Dan untuk... pagi ini," Nia tersenyum lebih lebar.
"Sama-sama, Pak. Itu tugas saya."
Arka kembali memperhatikan Nia yang langsung sibuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Ia menelan ludahnya lagi, mungkin entah yang keberapa di pagi itu saja, ketika melihat lekuk tubuh Nia dari balik baju yang dikenakan. Sambil berusaha menghilangkan pikiran macam-macamnya, Arka menghela nafas, kemudian bergegas untuk memulai pekerjaannya.
Hari berlalu dan Arka masih belum selesai dibayangi oleh Nia. Arka terbayang bagaimana lembutnya sentuhan tangan Nia yang tak sengaja bersinggungan saat menyuguhkan gelas-gelas kopi, terbayang juga harum yang menyapa hidungnya tiap kali Nia berjalan melaluinya.
Arka juga sempat menangkap Nia menggunakan baju tanpa lengan, memperlihatkan sedikit dada dan bahu yang menggoda, membuat Arka harus menyembunyikan wajah kecewa ketika setelah itu Nia berganti kaus yang menutupi lekuk tubuhnya. Memikirkan Nia saja mampu membuat Arka menelan ludahnya.
Matanya terakhir memindai Nia yang sedang membereskan ruang tengah dan Arka kembali kalut dalam pikiran, ketika ia dapat melihat kaki jenjang Nia yang hanya dibalut celana pendek.
Arka masih termenung tak sadar ketika Nia beranjak untuk mencuci piring. Arka tenggelam dalam pikirannya tentang Nia dan lupa sesaat jika hari ini adalah hari kepulangan Clara. Tanpa sadar, Arka menghela napas.
Pintu depan terbuka dengan suara berderit. Clara masuk dengan langkah gontai, wajahnya tampak lesu. Tas kerja mewah dijinjingnya dengan malas.
"Arka? Aku pulang," panggilnya lemah.
Dari lantai atas, suara langkah kaki terdengar. Arka muncul di balik tangga, wajahnya datar.
"Sudah pulang?" tanyanya singkat.
"Iya. Capek sekali. Meeting dari pagi sampai sore tadi," keluh Clara sambil melepas sepatu hak tingginya.
"Pergi dua hari, tapi tidak ada satu pun telepon atau chat," ujar Arka, mencoba menahan nada kesalnya.
Clara menghela napas panjang. "Arka, aku sudah bilang. Jadwalku padat sekali. Dari meeting pagi langsung ke meeting lagi di makan malam, sampai larut."
"Apakah sibuk sampai tidak bisa kirim pesan 'selamat malam' saja tidak sempat?" tanya Arka, suaranya mulai meninggi.
Clara memicingkan mata. "Kita harus membahas ini sekarang? Aku baru saja pulang, badan masih pegal-pegal."
"Kapan lagi kita harus membahasnya? Kalau tunggu besok, kamu pasti sudah sibuk lagi dengan pekerjaanmu," balas Arka tak kalah keras.
Mereka berdiri berhadapan di ruang tamu, suasana semakin tegang.
"Kamu tahu, Arka, tidak semua orang bisa bebas seperti kamu. Kerjamu dari rumah, waktumu fleksibel. Aku harus mengejar target, menghadapi atasan, mengelola tim …," Clara mulai membela diri.
"Jadi, sekarang kamu merendahkan usahaku?" Arka tersinggung.
"Bukan! Aku hanya mencoba menjelaskan bahwa kesibukanku berbeda dengan kesibukanmu!"
"Clara, ini bukan tentang perbandingan kesibukan. Ini tentang perhatian dan kemauan! Aku adalah suamimu! Tidakkah kamu berpikir bahwa aku mungkin mengkhawatirkanmu? Tiga puluh detik untuk telepon atau chat, itu terlalu banyak meminta?"
Clara memutar mata. "Dramatis sekali. Aku baik-baik saja, tidak perlu dikhawatirkan berlebihan."
"Bagaimana aku tahu kamu baik-baik saja? Kamu bahkan tidak memberi kabar!" Arka mulai kehilangan kesabaran.
"Baik!" Clara mengangkat tangan. "Aku minta maaf karena tidak mengabari. Sekarang, apakah kita bisa berhenti bertengkar? Aku lelah dan ingin istirahat."
Dia berbalik dan mulai menaiki tangga, mengakhiri percakapan.
Sekitar satu jam kemudian, Clara turun kembali dengan penampilan yang sama sekali berbeda. Gaun hitam ketat, riasan tegas, dan sepatu high heels.
"Kamu mau ke mana?" tanya Arka yang masih duduk di sofa.
"Keluar. Teman-teman mengajak ke club," jawab Clara singkat sambil merapikan makeup di kaca dinding.
"Keluar? Kamu bilang tadi capek dan ingin istirahat," protes Arka.
"Berubah pikiran. Aku butuh hiburan setelah dua hari yang melelahkan," balas Clara tanpa menatapnya.
"Tapi kita belum selesai berbicara."
Clara berbalik, wajahnya masam. "Aku sudah capek berdebat, Arka. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri."
Sebelum Arka bisa membalas, Clara sudah berjalan ke pintu. "Jangan tunggu aku. Aku pulangnya mungkin larut."
Pintu terbanting. Arka terduduk sendiri dalam diam, perasaan campur aduk memenuhi hatinya.
Beberapa jam berlalu. Arka memutuskan untuk membereskan rumah yang sedikit berantakan setelah kedatangan Clara. Matanya tertuju pada tas kerja Clara yang masih tergeletak di sofa.
Dengan hati-hati, dia mengambil tas itu untuk memindahkannya ke lemari. Namun, tanpa sengaja, resleting tas terbuka sebagian. Dari celah itu, dia melihat sesuatu yang membuatnya penasaran.
Duduklah dia di sofa, membuka tas sepenuhnya. Awalnya hanya ingin merapikan isinya, tapi kemudian matanya tertuju pada sebuah benda kecil di saku dalam tas.
Sebuah korek api…….
Clara melepaskan pelukan dan menatapnya. Matanya berbinar dengan cara yang aneh. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dokter hanya menyarankan untuk... mempersiapkan segala kemungkinan."Jawaban yang membingungkan itu justru membuat Arka semakin gelisah. Setiap kata seperti punya makna ganda. Setiap senyuman Clara seperti menyembunyikan rahasia besar.Matahari perlahan tenggelam, digantikan oleh kegelapan malam yang membawa serta rasa dingin ke dalam tulang Arka.Pukul tujuh tepat, Arka turun ke ruang makan. Meja sudah ditata rapi oleh Nia. Ada lilin, ada bunga segar persis seperti perintah "spesial" Clara. Namun, wajah Nia pucat seperti mayat. Saat menuangkan air ke gelas Arka, tangan gadis itu bergetar hebat hingga air sedikit tumpah."Maaf... maaf, Pak," bisik Nia panik."Tenanglah," desis Arka, meski jantungnya sendiri berdegup kencang. "Apapun yang terjadi, jangan hancur sekarang."Langkah kaki terdengar di tangga. Clara turun. Dia sudah mandi dan mengenakan gaun tidur sutra berw
Keesokan harinya, sebelum fajar benar-benar menyingsing, Arka sudah terbangun. Pikirannya dipenuhi bayangan Clara yang pucat dan kata-kata Nia yang mengusik. Dia tidak bisa menunggu lebih lama. Saat jam menunjukkan pukul enam pagi dan rumah masih sunyi, dia memutuskan untuk menggunakan kode mereka.Dengan hati berdebar, dia turun ke dapur di mana Nia sudah mulai bersiap untuk sarapan."Nia," panggilnya, suara sengaja dibuat datar."Iya, Pak?" jawab Nia, segera berbalik dengan ekspresi siap menerima perintah."Tolong buatkan kopi untukku. Hari ini aku ingin yang berbeda. Gunakan cangkir keramik biru tua itu."Mata Nia berkedip cepat, menangkap kode itu. "Cangkir biru untuk tamu, Pak? Baik, akan saya siapkan.""Dan," tambah Arka, menyempurnakan ritual mereka, "nanti kamu bisa membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja kerjaku.""Siap, Pak."Tak lama kemudian, dengan cangkir kopi biru di nampan, Nia mengetuk pintu kamar Arka. Begitu pintu terkunci, topeng itu langsung meluncur."Di
Hanya beberapa jam setelah keintiman mereka, suara mobil yang familiar menyusup masuk, memecahkan gelembung rapuh yang mereka ciptakan. Clara pulang, lebih awal dari perkiraan.Arka dan Nia, dengan disiplin yang kini sudah terasah, segera beralih peran. Sebelum mobil Clara benar-benar berhenti, Nia sudah berada di dapur, berpura-pura menyortir cucian, sementara Arka mengambil posisi di ruang keluarga dengan laptopnya, berpura-pura sedang menyelesaikan pekerjaan. Detak jantung mereka berdua masih berdebar kencang, tetapi wajah mereka sudah dikeraskan menjadi topeng netral.Pintu depan terbuka. Clara masuk, tetapi langkahnya tidak seperti biasanya yang penuh wibawa dan terburu-buru. Wanita itu terlihat lesu, wajahnya pucat di bawah riasan yang sedikit luntur. Alih-alih langsung menuju ruang kerjanya atau melepas sepatu sambil tetap memeriksa ponsel, Clara hanya melemparkan tas kerjanya ke kursi dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa, persis di seberang Arka. Dia mengeluarkan erangan l
"Kamu yakin?" bisik Arka, tangannya masih terengkuh erat di pinggang Nia. "Tentang semua ini. Tentang... membawa ini lebih jauh."Nia mendongak, matanya yang jernih memancarkan sebuah keyakinan yang mengejutkan bahkan bagi dirinya sendiri. "Aku tidak pernah seyakin ini tentang hal yang salah, Arka. Aku lelah merasa takut. Lepaskanlah aku dari ketakutan itu, meski hanya untuk malam ini."Itu adalah semua pengakuan yang dibutuhkan Arka. Dengan gerakan lembut tapi penuh ketegasan, dia menuntun Nia keluar dari dapur, melewati ruang keluarga yang gelap, dan menaiki tangga. Setiap langkah terasa seperti sebuah pelanggaran, sebuah langkah berani menuju wilayah terlarang. Namun, kali ini, tidak ada rasa bersalah yang menggerayangi, hanya adrenalin dan sebuah kebebasan yang memabukkan.Mereka sampai di depan kamar Arka. Dengan satu gerakan, Arka membukanya dan menarik Nia masuk ke dalam ruangan yang gelap sebelum dengan cepat mengunci pintu di belakang mereka. Klik. Suara itu bagaikan tembok y
Arka tidak langsung menjawab. Dia menatap mata Nia yang berbinar-binar, mencoba mencari jejak penyesalan atau keraguan. Yang dia temukan hanyalah penerimaan dan sebuah tekad yang mencerminkan miliknya sendiri. Sebuah kekuatan baru mengalir di antara mereka."Apa yang seharusnya kita lakukan sejak dulu," jawab Arka akhirnya, suaranya rendah namun penuh keyakinan. "Kita berhenti berlari."Dia menyentuh pipi Nia dengan lembut. "Tapi, kita akan melakukannya dengan cara yang berbeda. Kita tidak akan lagi menjadi pion dalam permainan orang lain, Nia. Siapa pun dia."Nia mengangguk, memahami maksudnya tanpa perlu penjelasan panjang. "Kita akan lebih berhati-hati.""Lebih dari sekadar berhati-hati," bantah Arka dengan senyum tipis yang penuh strategi. "Kita akan memberi mereka pertunjukan yang mereka inginkan. Kita akan menjadi Arka dan Nia yang 'seharusnya': majikan dan pembantu yang sopan dan berjarak. Sempurna.""Dan di balik pintu yang tertutup?" tanya Nia, berani."Di balik pintu yang te
Arka dan Nia terpental seperti dihentak listrik. Sebelum mereka sempat berpisah, pintu terbuka dan Clara berdiri di sana, matanya menyapu ruangan, menangkap mereka berdua yang berdiri berdekata terlalu dekat untuk percakapan normal antara majikan dan pembantu.Wajah Clara yang awalnya netral berubah dengan cepat. Sebelah alisnya terangkat, tetapi senyum tipis dan dingin langsung menghiasi bibirnya."Kaget aku kembali, Sayang?" tanyanya pada Arka, nada suaranya datar. "Aku lupa tadi ada dokumen yang harus kubawa." Matanya beralih ke Nia. "Dan kamu, Nia, ada yang bisa dibantu?""Tidak, Bu," jawab Nia cepat, menunduk dan bergegas kembali ke dapur tanpa menatap.Clara memasuki rumah, berjalan dengan anggun ke arah meja kerjanya di sudut ruang keluarga. Arka memperhatikannya, mencoba mencari tanda-tanda kecurigaan atau kemarahan, tapi Clara terlihat biasa saja, terlalu biasa.Setelah mengambil selembar dokumen, Clara berbalik dan mendekati Arka, yang masih berdiri di dekat pintu."Tamu tad







