Awalnya hanya sentuhan lembut, penuh keraguan. Seperti dua kupu-kupu yang saling menyentuh sayap. Tapi kemudian, hasrat yang terlalu lama terpendam meledak menjadi ledakan gairah yang tak terbendung.Napas mereka saling bercampur, hangat dan menggigit. Dunia seakan berhenti berputar. Di ruang makan yang hanya diterangi lampu temaram itu, hanya ada mereka berdua.Arka mendesah dalam, tangannya berganti meraih pinggang Nia. Ciuman itu semakin dalam, semakin penuh gairah. Lidah Arka mulai menjelajah, menemukan respons hangat dari Nia. Dia mendengar desahan kecil dari bibir Nia, sebuah suara yang membuatnya semakin bergairah.Arka mulai menciumi leher Nia yang jenjang. Bibirnya menelusuri setiap inci kulit lembut itu, merasakan denyut nadi Nia yang semakin kencang."Kamu... sangat cantik," bisik Arka di telinga Nia, membuatnya menggelinjang.Nia mendesah lebih keras kali ini. "Arka...hhmmhh…. kita tidak seharusnya...""Tapi kita menginginkannya," balas Arka, terus menelusuri lehernya.Ta
Bukan korek api biasa, tapi korek api bermerek dari sebuah bar terkenal di Bandung. Untuk apa Clara menyimpan korek api? Yang langsung membuatnya terguncang adalah bahwa ia mengetahui bagaimana Clara begitu membenci rokok. Selama ini, dia selalu protes jika ada yang merokok di dekatnya. "Tidak mungkin …," gumam Arka sendiri.Dia memutar-mutar korek api itu di tangannya. Pikirannya mulai berpacu. Mungkin dapat dari rekan kerja? Tapi kenapa disimpan di tas? Clara biasanya langsung membuang benda-benda tidak penting. Dia hanya terduduk di sofa ruang keluarga, menatap kosong ke depan. Sunyi yang tersisa terasa lebih menyiksa daripada pertengkaran tadi. Arka menghela napas panjang, lalu berjalan ke minibar. Botol whiskey yang sama dari dua malam lalu masih ada di sana, separuh isinya sudah habis.Dia menuangkan whiskey ke gelas tanpa es, sama seperti malam sebelumnya. Cairan amber itu terasa membakar kerongkongannya, tapi kali ini dia tidak merasakan apa-apa selain hampa."Saya kira Bap
"Terima kasih. Untuk... sarapan dan kopinya. Dan untuk... pagi ini," Nia tersenyum lebih lebar. "Sama-sama, Pak. Itu tugas saya."Arka kembali memperhatikan Nia yang langsung sibuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Ia menelan ludahnya lagi, mungkin entah yang keberapa di pagi itu saja, ketika melihat lekuk tubuh Nia dari balik baju yang dikenakan. Sambil berusaha menghilangkan pikiran macam-macamnya, Arka menghela nafas, kemudian bergegas untuk memulai pekerjaannya. Hari berlalu dan Arka masih belum selesai dibayangi oleh Nia. Arka terbayang bagaimana lembutnya sentuhan tangan Nia yang tak sengaja bersinggungan saat menyuguhkan gelas-gelas kopi, terbayang juga harum yang menyapa hidungnya tiap kali Nia berjalan melaluinya. Arka juga sempat menangkap Nia menggunakan baju tanpa lengan, memperlihatkan sedikit dada dan bahu yang menggoda, membuat Arka harus menyembunyikan wajah kecewa ketika setelah itu Nia berganti kaus yang menutupi lekuk tubuhnya. Memikirkan Nia saja mampu membuat A
"Kenapa? Takut Clara mendengar?" Arka melangkah lebih dekat. "Dia tidak akan peduli. Dia bahkan tidak akan bangun jika kita berteriak di sini."Nia dengan cepat menahan tangan arka dan menatapnya dengan polos. "Iya, Pak, saya takut kalau sampai Ibu Clara tau......"Sebelum Arka bisa berkata apa-apa, Nia melepas genggaman tangan yang berusaha merangkulnya dengan perlahan. Arka terdiam dan sedikit bingung.“Maaf, Pak, saya harus istirahat.”Arka masih diam saat Nia beranjak ke kamarnya. Sebelum pintu ditutup, Arka melihat Nia menoleh lagi. Wanita itu menatap Arka kemudian tersenyum manis. “Selamat malam, Bapak Arka,” ucapnya dengan lembut. Baru kemudian kesadaran Arka kembali. Apa yang baru saja dia lakukan?Matahari pagi sudah tinggi ketika Arka akhirnya membuka mata. Kepalanya berdenyut-denyut, mengingatkannya pada whiskey yang diminumnya semalam. Dia mengerang pelan, membalikkan badan hanya untuk menemukan sisi tempat tidur sebelahnya sudah kosong. Lagi-lagi.Dia melangkah keluar ka
"Tidak sekarang, Arka," kata Clara dengan lembut tapi tegas, sambil berdiri dan menjauh."Kenapa? Kamu sudah memakai..." Arka tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi matanya menatap lingerie yang dikenakan Clara."Aku capek, Arka. Sangat capek." Clara berjalan ke lemari dan mengambil gaun tidur sutra, mengenakannya untuk menutupi lingerie transparan itu. "Besok aku harus ke Bandung untuk meeting penting. Perjalanan dari pagi sekali."Arka berdiri di tempat, merasa ditolak dan dipermalukan. "Kamu selalu ada alasan, Clara.""Ini bukan alasan, ini kenyataan!" balas Clara, suaranya mulai tinggi. "Aku bekerja mati-matian untuk keluarga ini, sementara kamu…..""Sementara aku apa?" tantang Arka, tidak bisa menyembunyikan amarahnya lagi.Clara menarik napas dalam. "Lupakan. Aku tidak mau bertengkar. Aku butuh istirahat."Dia berbalik dan masuk ke dalam tempat tidur, membelakangi Arka.Arka berdiri di sana selama beberapa menit, melihat punggung istrinya. Lingerie seksi yang tadi dikenakan Clara
“Baik pak,” ucap Nia sambil mengangguk.“Nanti sore Ibu Clara pulang,kamu bisa interview dengannya,” jelas Arka.Matahari sore mulai merangkak turun ketika Nia kembali ke rumah keluarga Adhiguna, kali ini dengan koper kecil berisi barang-barang pribadinya. Clara yang membukakan pintu, sudah berada di rumah lebih awal dari biasanya."Selamat sore, Bu," sapa Nia dengan hormat, sedikit membungkuk."Selamat sore, Nia. Silakan masuk," balas Clara, suaranya datar dan profesional. Ia mengenakan setelan kerja berwarna navy yang masih rapi, berbeda dengan Nia dalam seragam sederhananya. Clara mempersilakan Nia duduk di ruang tamu yang kini sudah lebih rapi. Ia sendiri duduk di kursi tunggal, menyilangkan kaki dengan elegan."Saya sudah lihat dokumen dari yayasan," mulai Clara, menatap Nia dengan tajam. "Pengalaman kerja sebelumnya hanya dua tahun?""Iya, Bu. Di keluarga sebelumnya, Saya keluar karena keluarga tersebut pindah ke luar negeri.""Kamu bisa memasak?" tanya Clara singkat."Bisa, Bu