"Putih. Seputih salju"
Raven menatap lekat Selenia yang ia ikat di dinding dengan keadaan tangan dan kaki terentang. Tangannya sibuk memainkan rambut putih bersih gadis itu, menatapnya dengan pandangan penuh penilaian. Rapuh. Seperti itulah Selenia Dimata Raven. Seorang iblis berwujud manusia yang dapat meratakan satu batalion dalam sebuah pertarungan jika dia mau. Dan wanita lemah inilah yang digadang-gadang sebagai pembunuhnya kelak? Lucu. Raven menarik dagu gadis bersurai putih itu, menatap bibir merah cerinya yang sangat kontras dengan kulit sang hawa. Bak mawar merah yang mekar di hari bersalju. Raven ingin menghancurkannya, namun anehnya menginginkannya. Vampir itu akhirnya menekan dan mengusap kasar bibir Selenia dengan ibu jarinya. Vampir tersebut mencekik leher putih Selenia, dengan kekuatan yang sama seperti mencekik musuhnya. Raven ingin membunuh Selenia, tak peduli ramalan itu benar atau tidak. Namun seketika tangannya merasakan sensasi terbakar. Secara refleks ia menarik tangannya menjauh dari leher Selenia. "Tak bisa.... dilukai?" Bulu mata putih nan lentik bergerak perlahan, sebelum akhirnya netra biru terbit. Wajah seputih porselen seakan mengumpulkan kesadaran, sementara jemarinya bergerak halus. Saat menatap wajah pria di hadapannya, Selenia seketika membeku. Tatapannya seolah menghakimi, tahu betul bahwa pria itulah yang telah menerjangnya dan membawanya ke tempat yang asing ini. "Sudah bangun, putri tidur?" Selenia terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di lehernya, seperti ribuan jarum yang menari di atas kulitnya. Ia meraba-raba sekelilingnya dengan tangan gemetar, mencoba memahami di mana ia berada. Namun Selenia menyadari bahwa kedua tangan dan kakinya terjerat di dinding. Pakaiannya sebelumnya pun kini telah berganti dengan gaun putih polos yang sederhana. Ruangan itu gelap dan dingin, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari lilin yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Bau lilin yang meleleh bercampur dengan aroma lembab dinding batu yang dingin. Tubuhnya terasa lemah dan lemas, seolah-olah darahnya telah dihisap habis oleh makhluk kelam dalam mimpinya. "Kau benar-benar akan mati jika selalu jatuh pingsan dengan mudah," suara berat dan dingin menggema di seluruh ruangan, seperti bisikan angin malam yang menusuk tulang. Selenia menoleh dengan mata setengah terpejam dan melihat sosok tinggi dan tegap berdiri di sana, bayangannya menyatu dengan kegelapan ruangan. Mata merahnya berkilat dalam kegelapan, memancarkan aura misteri dan ancaman yang menggetarkan hati. "Siapa kau?" tanya Selenia dengan suara serak, setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti memecahkan kristal yang rapuh. Ia mencoba melepaskan diri dari belenggu, namun tubuhnya terlalu lemah untuk memberontak. Rasa sakit di lehernya berdenyut seperti dentuman genderang perang yang tak henti-hentinya. "Aku yang harusnya bertanya" Selenia terdiam, menatap Raven dengan pandangan yang mengisyaratkan kewaspadaan. Pria itu berdiri di hadapannya, menatap mata biru laut Selenia dengan intens. Raven mendorong bahu Selenia ke dinding yang dingin dengan kasar. "Dan pertanyaan yang tepat adalah, siapa kau dan kenapa kau begitu istimewa sehingga nasibmu bertabrakan dengan milikku," ucap pria itu dengan seringai mengerikan, seperti serigala yang baru saja menemukan mangsanya. Suaranya rendah dan penuh dengan kekejaman yang dingin. Pria itu melangkah mendekat dengan langkah pelan namun pasti, seolah setiap langkahnya membawa angin kematian. Ia menatap Selenia dengan tatapan penuh kebencian dan rasa ingin tahu yang dalam. Tangan kekarnya meraih dagu Selenia dengan kasar, memaksa gadis itu untuk menatapnya langsung. Matanya yang merah bersinar seperti bara api di malam yang gelap. "Kau pikir kau bisa melarikan membunuhku kelak? Kau salah besar, gadis lemah. Aku akan memastikan penyiksaan yang mengerikan akan kau terima, sampai ajal menjemputmu," bisik pria itu dengan suara rendah yang menggetarkan, seperti suara gemuruh petir yang jauh. Selenia merasa ketakutan, namun ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di hadapan pria kejam ini. "Aku tidak takut padamu, siapapun kau. Kau hanya makhluk yang terjebak dalam kegelapanmu sendiri," jawabnya dengan suara tegas, meskipun hatinya bergetar. Raven tertawa kecil, tawa yang dingin dan menghina. Ia melepaskan cengkeramannya dari dagu Selenia, namun tetap menatapnya dengan intensitas yang membara. "Kau memiliki keberanian yang luar biasa. Tapi keberanian itu tidak akan menyelamatkanmu dari takdir yang telah menantimu, Selenia." Cara Raven menyebut nama Selenia, dalam dan tenang. Selenia merinding, pria itu seolah menikmati bagaimana rasa nama sang gadis terucapkan dari bibirnya. Bagaimana pria yang entah dari mana ini bisa mengetahui namanya? Raven mulai berbalik, namun tiba-tiba ia berhenti dan memandang Selenia lagi. "Kau tahu, ada sesuatu yang menarik dalam dirimu, Selenia. Sesuatu yang membuatku ingin lebih mengenalmu," katanya dengan seringai. "Mungkin aku akan memberimu kesempatan untuk membuktikan dirimu." Selenia mengangkat alisnya, bingung dengan perubahan sikap pria itu. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan hati-hati. Raven berjalan perlahan ke arah meja di sudut ruangan, mengangkat sebuah mangkuk perak berisi cairan merah gelap. Ia berjalan kembali ke Selenia dan mengulurkan mangkuk itu ke arahnya. "Minumlah," perintahnya. Selenia menatap cairan itu dengan kecurigaan."Apa ini?"
"Anggur," jawab Raven dengan nada datar. Selenia menatap skeptis. "Tentu saja, dengan sedikit tambahan istimewa. Minumlah, dan kau akan mendapatkan kekuatan untuk melawan rasa sakit yang kau rasakan sekarang." "Aku tidak mau" "Minum" Selenia menggeleng, memberikan tatapan kematian pada Raven. Dihadiahi geraman rendah oleh pria itu. Tanpa basa-basi, sang Adam mencengkeram rahang Selenia dan mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu, hingga nafas panas menerpa kulit seputih porselen. "Minum, atau harus kupaksa dengan cara yang takkan kau sukai" Ucap Raven sembari mendekatkan mangkuk ke bibirnya sendiri. Selenia merasa ragu, namun ia tahu bahwa ia tidak memiliki banyak pilihan. Daripada harus minum dengan perantara bibir pria asing ini, lebih baik menenggaknya sendiri. Dengan enggan, ia mendekatkan wajahnya ke mangkuk itu dan menyesap cairan merah itu. Rasanya pahit dan aneh, namun ia memaksakan dirinya untuk meminumnya sampai habis. "Ah, sudahlah. Kalau isinya racun pun, biarlah aku mati hari ini. Aku sudah bosan hidup" Raven mengamati dengan mata tajam saat Selenia meminum anggur itu. Ia menjauhkan diri dari sang gadis untuk melihat reaksinya. "Bagus," katanya dengan nada puas. "Sekarang, mari kita lihat apakah kau benar-benar memiliki keberanian yang kau bicarakan tadi." Selenia merasakan cairan itu meresap ke dalam tubuhnya, menghangatkan tubuhnya yang dingin dan lemas. Rasa sakit di lehernya perlahan-lahan berkurang, digantikan oleh perasaan kekuatan yang mulai mengalir dalam dirinya. Ia merasa lebih kuat, lebih berani. Wah, apakah dia baru saja diberi obat? "Hm, aku tak berterima kasih atas obatnya" Ujar Selenia pada Raven. Raven mengamati perubahan dalam diri Selenia dengan seringai. "Luar biasa. Ini adalah kekuatan yang sebenarnya. Kekuatan yang bisa membawamu melampaui batasanmu." Selenia menatap Raven dengan mata berkilat. "Aku tidak mengerti apa kekuatan yang kau maksud, tapi aku akan menggunakan kekuatan ini untuk melawanmu, bukan untuk menyerah padamu." Raven tertawa, tawa yang penuh dengan keangkuhan. "Kita akan lihat, gadis lemah. Kita akan lihat." Ia melangkah mendekat, menundukkan wajahnya hingga hampir menyentuh wajah Selenia. "Raven Drachov" Selenia memandang pria dihadapannya dengan tatapan bertanya-tanya. "Raja dunia gelap. Ingat namaku, karena kau tidak akan pernah bisa melarikan diri dariku." Dengan itu, Raven berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Selenia dengan perasaan campur aduk. "H-Hei, sialan! lepaskan aku dulu! aku tak punya masalah denganmu, aku bahkan tak mengenalmu sebelumnya!" Raven tertawa dalam kegelapan. Tawa yang menghantarkan ketakutan ke dalam diri Selenia. Tawa yang menggentarkan atma. "Sayangnya, kau sudah mengenalku sekarang. Bahkan menjadi garis kecil dalam hidup panjangku ini" Selenia menatap punggung Raven penuh amarah. "LEPASKAN!" Akhirnya, sepanjang malam gadis itu mencoba segala cara untuk melepaskan diri dari belenggu yang menahannya di dinding.Sementara itu, di lain sisi.... "Jadi dia SERING MENGGIGITMU?!" Tanya Lucas dengan amarah yang meluap. Selenia mengusap pelan dada suaminya, keduanya kini berada di dalam mobil yang melaju menuju kediaman Vanderbilt. "Yah, begitulah. Lagipula-" "AKU AKAN MEMBUNUHNYA! BERANINYA DIA MENYENTUH ISTRIKU!" "Sudahlah, Luke. Dia sudah tersegel. Oh iya!" Selenia merogoh saku mantel hitamnya, mengeluarkan sebuah syal berwarna biru tua dengan paduan putih. Syal yang rampung dengan sempurna, dirajut dengan cinta dan sepenuh hati. Bukan seperti milik Raven, yang bahkan tak rampung. "Untuk suamiku tercinta" Selenia tersenyum tulus. Lucas menerima pemberian istrinya dengan mata berkaca-kaca. Pria itu segera memeluk istri yang selama ini diculik, jauh darinya. "Terimakasih sayang" Pria itu memeluk hangat istrinya, mendekap wajah putih itu di dadanya. Sementara tatapannya tajam, memandang ponsel di tangan kanan. Sebuah perintah pada bawahannya terkirim dan baru saja akan dilaksanakan.
Raven memperhatikannya tanpa suara. Nafasnya nyaris tak terdengar, tubuhnya tetap membatu di tempatnya berdiri. Ia tidak percaya pada permohonan, pada harapan, atau pada keajaiban. Tapi melihat Selenia berdiri di tengah hamparan putih, dengan mata terpejam dan tangan yang tertangkup seperti seorang suci yang tengah berdoa—ia tak bisa mengalihkan pandangan. "Apa yang kau harapkan, Selenia?" suara beratnya akhirnya pecah dalam dinginnya udara. Selenia tidak langsung menjawab. Ia tetap dalam posisi itu, membiarkan angin menyentuh wajahnya, membiarkan dingin merayapi kulitnya. Lalu, perlahan, bibirnya yang merah ceri bergerak. "Sebuah keajaiban," katanya pelan. Mata birunya terbuka, bertemu dengan sepasang mata merah yang masih mengawasinya. "Sesuatu yang bisa mengembalikanku pada hidupku yang dulu." Raven menatapnya lama, lalu tersenyum miring. "Kau selalu memohon hal yang mustahil?" Selenia terkekeh pelan. "Boleh saja, kan?" Wanita itu segera menatap Raven dengan waj
Raven mendengus, separuh geli, separuh kesal. "Kalau butuh satu tahun, aku bisa saja membekukanmu di ruang bawah tanah sampai selesai," gumamnya dengan nada setengah bercanda. Selenia mendelik tajam."Silakan coba," tantangnya, meski tubuhnya sudah sedikit bergidik membayangkan kemungkinan itu. Raven hanya tersenyum miring."Aku lebih suka melihatmu meringkuk di sofa seperti anak kucing kedinginan." Selenia menghela napas panjang, memilih untuk mengabaikan ucapannya. Ia kembali merajut, sementara Raven tetap bersandar, memperhatikannya dengan mata yang berkilat-kilat dalam gelapnya malam.Keheningan menyergap. Selenia merasa tak nyaman menyadari vampir itu masih memperhatikan kegiatannya."Kau mau aku menambahkan detail kecil di syalmu?" Tanyanya, memecah keheningan.Raven mengangkat sebelah alisnya, sedikit terkejut karena Selenia yang lebih dulu membuka percakapan. "Detail kecil?" ulangnya, suaranya terdengar malas namun tetap penuh perhatian. Selenia mengangguk, jari-ja
"Ingin... Melarikan diri?" Selenia membeo ucapan Raven. "Maunya sih begitu, tapi aku yakin itu sia-sia. Aku tahu kau akan menikmatinya, dan aku tak ingin memberimu kepuasan saat memburuku" Selenia menatap dedaunan yang gugur. Matanya menunjukkan kesenduan. "Aku akan bertanya satu hal yang serius padamu" Wanita itu menatap langsung ke mata merah delima pria di hadapannya, mata yang selalu membuatnya bergidik ngeri. "Apa sejauh ini... kau memiliki niat untuk membunuhku? Atau memanfaatkanku?" Raven terdiam, menatap Selenia dengan sorot mata yang sulit ditebak. Sejenak, hanya ada suara angin yang berhembus pelan, menggoyangkan dahan-dahan pohon yang mulai gundul. Lalu, pria itu menyeringai tipis. "Sebuah pertanyaan yang menarik," katanya, suaranya terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati permainan catur yang menantang. "Tapi apakah jawaban yang jujur akan membuatmu lebih tenang atau justru lebih takut?" Selenia tetap menatapnya, tak bergeming. Raven menghela nap
"Lapar." Raven sangat lapar malam ini. Aroma darah menguar di seluruh kastil. Selenia tengah menstruasi, dan sialnya itu adalah malapetaka bagi Raven. Penciumannya yang jauh lebih tajam dari manusia tentu membuatnya mampu mencium aroma darah Selenia. Ia melangkah keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga. Langkahnya terhenti sejenak. Vampir itu mendapati Selenia tengah duduk santai di sofa ruang tengah, merajut syal yang tak kunjung rampung. Melihat wanita itu menggelung rambutnya, Raven menelan saliva dengan kasar. Lihatlah leher putih nan jenjang milik sang hawa, Raven sangat ingin menggigitnya dan merasakan darah mengalir ke mulutnya. "Sedang apa disana?" Ucap Selenia tanpa menoleh, menyadari derap langkah Raven yang terhenti. Raven tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada denyut halus di leher Selenia yang terekspos, bergerak seiring aliran darah di bawah kulitnya. Napasnya sedikit berat, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya. Godaan ini hampir menyiksa. Sial. “S
Pagi yang sejuk, dengan cuaca berawan.Selenia duduk di taman belakang kastil seorang diri. Rambut putih panjangnya tergerai bebas, tak lagi tertata dengan rapi. Tangannya masih sibuk merajut syal."Aku tidak bisa menentukan panjang syal yang pas kalau Lucas tidak ada disini... Bagaimana caranya aku mengukurnya?" Gumam Selenia pada dirinya sendiri.Sebuah daun kering gugur, bergerak lembut dan tersangkut di rambut putih Selenia. Namun wanita itu tak menyadarinya.Selenia menghela napas, menatap rajutannya dengan ekspresi tak puas. Ia merasa sudah menghabiskan banyak waktu untuk ini, tapi tanpa Lucas, semuanya terasa setengah hati. Sambil terus menggerakkan hakpen di jemarinya, ia melirik ke langit yang mendung. Musim dingin sebentar lagi datang. Syal ini harus selesai sebelum saat itu tiba, agar Lucas bisa memakainya. Tiba-tiba, hembusan angin mengusik ketenangannya. Ia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepala