共有

2. Hitam-Putih

last update 最終更新日: 2025-03-03 16:53:05

"Putih. Seputih salju"

Raven menatap lekat Selenia yang ia ikat di dinding dengan keadaan tangan dan kaki terentang. Tangannya sibuk memainkan rambut putih bersih gadis itu, menatapnya dengan pandangan penuh penilaian.

Rapuh.

Seperti itulah Selenia Dimata Raven. Seorang iblis berwujud manusia yang dapat meratakan satu batalion dalam sebuah pertarungan jika dia mau. Dan wanita lemah inilah yang digadang-gadang sebagai pembunuhnya kelak?

Lucu.

Raven menarik dagu gadis bersurai putih itu, menatap bibir merah cerinya yang sangat kontras dengan kulit sang hawa. Bak mawar merah yang mekar di hari bersalju. Raven ingin menghancurkannya, namun anehnya menginginkannya. Vampir itu akhirnya menekan dan mengusap kasar bibir Selenia dengan ibu jarinya.

Vampir tersebut mencekik leher putih Selenia, dengan kekuatan yang sama seperti mencekik musuhnya. Raven ingin membunuh Selenia, tak peduli ramalan itu benar atau tidak. Namun seketika tangannya merasakan sensasi terbakar. Secara refleks ia menarik tangannya menjauh dari leher Selenia.

"Tak bisa.... dilukai?"

Bulu mata putih nan lentik bergerak perlahan, sebelum akhirnya netra biru terbit. Wajah seputih porselen seakan mengumpulkan kesadaran, sementara jemarinya bergerak halus. Saat menatap wajah pria di hadapannya, Selenia seketika membeku. Tatapannya seolah menghakimi, tahu betul bahwa pria itulah yang telah menerjangnya dan membawanya ke tempat yang asing ini.

"Sudah bangun, putri tidur?"

Selenia terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di lehernya, seperti ribuan jarum yang menari di atas kulitnya. Ia meraba-raba sekelilingnya dengan tangan gemetar, mencoba memahami di mana ia berada. Namun Selenia menyadari bahwa kedua tangan dan kakinya terjerat di dinding. Pakaiannya sebelumnya pun kini telah berganti dengan gaun putih polos yang sederhana.

Ruangan itu gelap dan dingin, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari lilin yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Bau lilin yang meleleh bercampur dengan aroma lembab dinding batu yang dingin. Tubuhnya terasa lemah dan lemas, seolah-olah darahnya telah dihisap habis oleh makhluk kelam dalam mimpinya.

"Kau benar-benar akan mati jika selalu jatuh pingsan dengan mudah," suara berat dan dingin menggema di seluruh ruangan, seperti bisikan angin malam yang menusuk tulang. Selenia menoleh dengan mata setengah terpejam dan melihat sosok tinggi dan tegap berdiri di sana, bayangannya menyatu dengan kegelapan ruangan. Mata merahnya berkilat dalam kegelapan, memancarkan aura misteri dan ancaman yang menggetarkan hati.

"Siapa kau?" tanya Selenia dengan suara serak, setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti memecahkan kristal yang rapuh. Ia mencoba melepaskan diri dari belenggu, namun tubuhnya terlalu lemah untuk memberontak. Rasa sakit di lehernya berdenyut seperti dentuman genderang perang yang tak henti-hentinya.

"Aku yang harusnya bertanya"

Selenia terdiam, menatap Raven dengan pandangan yang mengisyaratkan kewaspadaan. Pria itu berdiri di hadapannya, menatap mata biru laut Selenia dengan intens. Raven mendorong bahu Selenia ke dinding yang dingin dengan kasar.

"Dan pertanyaan yang tepat adalah, siapa kau dan kenapa kau begitu istimewa sehingga nasibmu bertabrakan dengan milikku," ucap pria itu dengan seringai mengerikan, seperti serigala yang baru saja menemukan mangsanya. Suaranya rendah dan penuh dengan kekejaman yang dingin.

Pria itu melangkah mendekat dengan langkah pelan namun pasti, seolah setiap langkahnya membawa angin kematian. Ia menatap Selenia dengan tatapan penuh kebencian dan rasa ingin tahu yang dalam. Tangan kekarnya meraih dagu Selenia dengan kasar, memaksa gadis itu untuk menatapnya langsung. Matanya yang merah bersinar seperti bara api di malam yang gelap.

"Kau pikir kau bisa melarikan membunuhku kelak? Kau salah besar, gadis lemah. Aku akan memastikan penyiksaan yang mengerikan akan kau terima, sampai ajal menjemputmu," bisik pria itu dengan suara rendah yang menggetarkan, seperti suara gemuruh petir yang jauh.

Selenia merasa ketakutan, namun ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di hadapan pria kejam ini.

"Aku tidak takut padamu, siapapun kau. Kau hanya makhluk yang terjebak dalam kegelapanmu sendiri," jawabnya dengan suara tegas, meskipun hatinya bergetar.

Raven tertawa kecil, tawa yang dingin dan menghina. Ia melepaskan cengkeramannya dari dagu Selenia, namun tetap menatapnya dengan intensitas yang membara.

"Kau memiliki keberanian yang luar biasa. Tapi keberanian itu tidak akan menyelamatkanmu dari takdir yang telah menantimu, Selenia."

Cara Raven menyebut nama Selenia, dalam dan tenang. Selenia merinding, pria itu seolah menikmati bagaimana rasa nama sang gadis terucapkan dari bibirnya. Bagaimana pria yang entah dari mana ini bisa mengetahui namanya?

Raven mulai berbalik, namun tiba-tiba ia berhenti dan memandang Selenia lagi.

"Kau tahu, ada sesuatu yang menarik dalam dirimu, Selenia. Sesuatu yang membuatku ingin lebih mengenalmu," katanya dengan seringai.

"Mungkin aku akan memberimu kesempatan untuk membuktikan dirimu."

Selenia mengangkat alisnya, bingung dengan perubahan sikap pria itu.

"Apa maksudmu?" tanyanya dengan hati-hati.

Raven berjalan perlahan ke arah meja di sudut ruangan, mengangkat sebuah mangkuk perak berisi cairan merah gelap. Ia berjalan kembali ke Selenia dan mengulurkan mangkuk itu ke arahnya.

"Minumlah," perintahnya.

Selenia menatap cairan itu dengan kecurigaan.

"Apa ini?"

"Anggur," jawab Raven dengan nada datar. Selenia menatap skeptis.

"Tentu saja, dengan sedikit tambahan istimewa. Minumlah, dan kau akan mendapatkan kekuatan untuk melawan rasa sakit yang kau rasakan sekarang."

"Aku tidak mau"

"Minum"

Selenia menggeleng, memberikan tatapan kematian pada Raven. Dihadiahi geraman rendah oleh pria itu. Tanpa basa-basi, sang Adam mencengkeram rahang Selenia dan mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu, hingga nafas panas menerpa kulit seputih porselen.

"Minum, atau harus kupaksa dengan cara yang takkan kau sukai" Ucap Raven sembari mendekatkan mangkuk ke bibirnya sendiri.

Selenia merasa ragu, namun ia tahu bahwa ia tidak memiliki banyak pilihan. Daripada harus minum dengan perantara bibir pria asing ini, lebih baik menenggaknya sendiri. Dengan enggan, ia mendekatkan wajahnya ke mangkuk itu dan menyesap cairan merah itu. Rasanya pahit dan aneh, namun ia memaksakan dirinya untuk meminumnya sampai habis.

"Ah, sudahlah. Kalau isinya racun pun, biarlah aku mati hari ini. Aku sudah bosan hidup"

Raven mengamati dengan mata tajam saat Selenia meminum anggur itu. Ia menjauhkan diri dari sang gadis untuk melihat reaksinya.

"Bagus," katanya dengan nada puas.

"Sekarang, mari kita lihat apakah kau benar-benar memiliki keberanian yang kau bicarakan tadi."

Selenia merasakan cairan itu meresap ke dalam tubuhnya, menghangatkan tubuhnya yang dingin dan lemas. Rasa sakit di lehernya perlahan-lahan berkurang, digantikan oleh perasaan kekuatan yang mulai mengalir dalam dirinya. Ia merasa lebih kuat, lebih berani. Wah, apakah dia baru saja diberi obat?

"Hm, aku tak berterima kasih atas obatnya" Ujar Selenia pada Raven.

Raven mengamati perubahan dalam diri Selenia dengan seringai.

"Luar biasa. Ini adalah kekuatan yang sebenarnya. Kekuatan yang bisa membawamu melampaui batasanmu."

Selenia menatap Raven dengan mata berkilat.

"Aku tidak mengerti apa kekuatan yang kau maksud, tapi aku akan menggunakan kekuatan ini untuk melawanmu, bukan untuk menyerah padamu."

Raven tertawa, tawa yang penuh dengan keangkuhan.

"Kita akan lihat, gadis lemah. Kita akan lihat."

Ia melangkah mendekat, menundukkan wajahnya hingga hampir menyentuh wajah Selenia.

"Raven Drachov"

Selenia memandang pria dihadapannya dengan tatapan bertanya-tanya.

"Raja dunia gelap. Ingat namaku, karena kau tidak akan pernah bisa melarikan diri dariku."

Dengan itu, Raven berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Selenia dengan perasaan campur aduk.

"H-Hei, sialan! lepaskan aku dulu! aku tak punya masalah denganmu, aku bahkan tak mengenalmu sebelumnya!"

Raven tertawa dalam kegelapan. Tawa yang menghantarkan ketakutan ke dalam diri Selenia. Tawa yang menggentarkan atma.

"Sayangnya, kau sudah mengenalku sekarang. Bahkan menjadi garis kecil dalam hidup panjangku ini"

Selenia menatap punggung Raven penuh amarah.

"LEPASKAN!"

Akhirnya, sepanjang malam gadis itu mencoba segala cara untuk melepaskan diri dari belenggu yang menahannya di dinding.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    77. Siapa Yang Akan Terlahir

    Salju yang tersisa menutupi tanah seperti selimut tipis, mencair perlahan di bawah sinar matahari yang mulai menghangat. Udara masih menggigit, tetapi angin yang berhembus tak lagi sekejam sebelumnya. Musim dingin akan segera berakhir, digantikan oleh awal musim semi yang baru. Di taman belakang mansion, dua sosok terlihat di antara pohon-pohon yang daunnya belum kembali. Selenia duduk di bangku kayu dengan kedua tangan bertumpu pada perutnya yang semakin besar. Usia kandungannya kini dapat terlihat dari ukuran perutnya, dan gerakan sang bayi mulai terasa. Gaun hangat membalut tubuhnya, dan mantel bulu menyelimuti bahunya. Napasnya membentuk uap tipis di udara saat ia menghela napas panjang. Raven berdiri tak jauh darinya, bersandar pada pohon dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia mengenakan mantel gelap dengan syal tersampir longgar di lehernya. Kedua tangannya tersimpan di saku celana, tetapi sesekali pandangannya melirik ke arah wanita yang sedang membelai perutnya itu. "Aku in

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    76. Nama

    Malam itu, salju turun lebih lebat dari biasanya. Api di perapian berkobar pelan, menciptakan kehangatan yang kontras dengan hawa dingin di luar jendela. Selenia duduk di sofa panjang dengan selimut menutupi kakinya, sementara Raven berdiri di dekat jendela, tangannya menyelip di saku celana panjangnya. Tak ada suara selain api yang berderak dan detik jam yang berdenting pelan. “Sudah semakin besar,” gumam Selenia tiba-tiba, matanya menatap kosong ke arah perutnya yang semakin membesar. Raven meliriknya sekilas.“Dan?” Selenia mendesah.“Kita belum membahas nama.” Pria itu diam sejenak, lalu berbalik, berjalan mendekat hingga akhirnya duduk di kursi di seberangnya.“Kau ingin memberi nama seperti apa?” tanyanya, suaranya datar seperti biasa. Selenia menatapnya lama, sebelum tersenyum miring.“Kau serius bertanya? Kukira kau akan langsung memaksakan nama yang kau inginkan.” Raven menyandarkan punggungnya, menatapnya tanpa ekspresi.“Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan lebih du

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    75. Kepalsuan

    Suatu malam, di dalam kamar... Selenia sedang duduk di tempat tidur, membaca sebuah buku, ketika ia merasakan sesuatu. Gerakan kecil. Selenia terdiam. Tangannya secara refleks bergerak ke perutnya. Lagi. Kali ini lebih jelas. Ia menelan ludah, perasaannya campur aduk. Tanpa sadar, bibirnya sedikit melengkung ke atas. Namun, senyum itu lenyap saat pintu kamar terbuka, dan Raven masuk. Pria itu berjalan dengan langkah santai, hendak melepas mantel hitamnya. Tapi sebelum ia bisa melakukannya, Selenia memanggilnya. “Raven.” Pria itu berhenti, menoleh.“Apa?” Selenia terdiam sejenak, menimbang apakah ia benar-benar ingin mengatakan ini padanya. Tapi akhirnya, ia menghela napas, dan mengulurkan tangan. “Ke sini.” Mata merah itu menyipit, penuh kewaspadaan.“Kenapa?” Selenia menatapnya tajam.“Kau mau ke sini atau tidak?” Raven mendekat, masih dengan sikapnya yang dingin. Namun, saat wanita itu tiba-tiba menggenggam tangannya dan meletakkannya di perutnya, pria itu membeku. H

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    74. Memilikimu

    Hari-hari berlalu dalam keheningan yang aneh bagi Selenia dan Raven. Hubungan mereka masih diliputi gengsi, kebencian yang samar, tetapi juga keintiman yang tak bisa dihindari. Mereka tak pernah benar-benar membahas apa yang ada di antara mereka. Tidak ada kata-kata yang menjelaskan perasaan yang mulai berubah, tidak ada deklarasi cinta yang manis atau momen penuh gairah seperti kisah romantis lainnya. Namun, dalam hal-hal kecil yang mereka lakukan, perasaan itu ada. Seperti saat Raven akan selalu ada di sisinya ketika morning sickness menyerang. Tidak ada komentar sinis, tidak ada ejekan, hanya sebotol air di meja samping tempat tidur, handuk dingin di dahinya, dan kehadiran diam-diam pria itu di kursi ujung kamar. Atau saat Selenia, tanpa sadar, mulai meraih lengan Raven ketika musim dingin menjadi terlalu kejam bagi tubuhnya yang semakin berat. Ia tak pernah meminta bantuan secara langsung, tapi jemari mungilnya akan mencengkeram lengan pria itu dengan halus, dan tanpa berkata a

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    73. Paranoia

    Mansion Drachov Pintu kayu besar itu terbuka, menampilkan sosok pria tinggi dengan mantel panjang yang diselimuti hawa dingin dari luar. Beberapa pelayan yang kebetulan berada di dekatnya langsung menunduk, mata mereka membelalak tak percaya. Raven Drachov pulang. Lebih awal dari yang seharusnya. Biasanya, ia akan kembali menjelang fajar atau bahkan berhari-hari kemudian. Tapi kini, malam bahkan belum terlalu larut, dan sang pemilik kediaman sudah menjejakkan kaki di dalam mansion. Para pengawal yang berjaga pun saling bertukar pandang, namun tak satu pun dari mereka berani menanyakan alasannya. Para pekerja seharusnya bekerja bagai bayangan, tak terlihat. Dan dengan kepulangan sang Tuan, mereka segera menyingkir dalam sekejap.Langkah Raven mantap, tidak tergesa-gesa, namun penuh tekad. Sepanjang perjalanan menuju kamarnya, pikirannya terus dipenuhi oleh satu orang. Selenia. Wanita itu kini hamil, tubuhnya semakin lemah, dan meskipun sang hawa mungkin masih membencinya, enta

  • Senõrita Sang Vampir Mafia    72. Pulang

    Selenia meraup salju, melemparkannya ke mulut Raven yang masih terbahak. Wanita itu kembali menikmati perang salju seperti dulu.Raven tersedak sedikit ketika segumpal salju menghantam mulutnya. Ia mengusap bibirnya dengan kening berkerut.“Selenia, kau—” Namun, wanita itu sudah melompat mundur, mengambil lebih banyak salju, matanya berkilauan seperti dulu, seperti saat dia masih bersama Lucas. Raven mengamati wajahnya dengan tajam. Tawa itu… bukan untuknya. Tatapan itu… bukan melihat dirinya. Selenia benar-benar tenggelam dalam delusinya. “Ayo, Luke! Kau mulai lamban!” serunya, melempar bola salju lagi dengan semangat. Raven menangkap bola salju itu dengan satu tangan, tidak berniat membalas. Sebaliknya, ia berjalan mendekat, perlahan, hingga wanita itu sadar bahwa sesuatu terasa aneh. Selenia mengerjap, tawanya meredup. Ia memandangi wajah pria di depannya, memaksakan delusinya tetap bertahan, namun semakin lama, semakin sulit… semakin kabur… Mata merah itu menembus imajinas

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status