Masuk
“Tidak becus! Bawa timmu pergi dari sini dalam dua hari, Brianna Ellery!”
Jari-jari Brianna mati rasa saat kalimat itu menghantam telinganya. Suara dingin yang membungkam seisi ruangan itu datang dari seorang CEO perusahaan developer, Leon Alejandro Ronan. Saat ini, mereka tengah bekerja sama dalam pembangunan sebuah rumah sakit. Banyaknya kelalaian yang dilakukan oleh project manager sebelumnya membuat Brianna dimutasi ke kota kecil ini. Kini, ia lah yang bertanggung jawab membersihkan ‘sampah’ yang ditinggalkan oleh rekannya itu. Meski sudah berusaha sebaik mungkin, tapi bagi Leon kehadirannya masih dianggap tidak bisa memperbaiki keadaan. Keterlambatan kedatangan bahan konstruksi dari pihak vendor dinilai Leon sebagai kelalaian yang menghambat, dan pria itu berakhir mengusir mereka. Berdiri di dekat layar proyektor, Brianna menelan ludah, darahnya berdesir panas sewaktu mengatakan, “Tolong, dengar—” “Rapat selesai,” potong Leon seraya menutup map di depannya. Leon berdiri, berjalan melewati Brianna bersama anak buahnya tanpa menoleh sedikit pun. Brianna hanya bisa menyaksikan punggungnya menghilang di balik pintu. Detak jantungnya berpacu kencang. Rasa malu seperti menarik kulit wajahnya hingga terkelupas. Di mata Brianna, kepribadian pria itu sangat jauh berbeda dengan yang pernah ia kenal. Leon adalah mantan pacar Brianna di masa lalu dan dulunya ia adalah seorang pribadi yang hangat. Namun, lima tahun yang lalu, hubungan mereka berakhir dengan cara yang kurang baik. Mungkinkah karena itu sekarang Leon bersikap angkuh? “Kamu baik-baik saja?” tanya Katie, teman sekaligus bawahannya. Ia berjalan menghampiri Brianna saat semua orang sudah pergi dari ruangan itu tanpa banyak berkomentar, mereka sudah hafal betapa buruk hubungan kerjasamanya dengan Leon. “Iya, Kat.” “Setidaknya dia harus mendengar penjelasanmu dulu, ‘kan? Kita juga tidak mau ada keterlambatan seperti ini.” “Aku tidak mau pergi dari proyek ini, Kat. Kalau ini gagal, aku pasti dipecat. Kepala divisi terlanjur percaya padaku.” Dengan khawatir, Katie bertanya, “Lalu sekarang bagaimana, Brianna?” “Tidak tahu, sebentar biar aku pikirkan,” jawab Brianna seraya duduk dan meremas rambutnya. “Ya sudah aku keluar dulu. Beri tahu aku kalau mau kembali ke kantor.” Brianna mengangguk, sementara Katie meninggalkan ruang meeting dan menyisakan dirinya di dalam sana. ‘Dua hari.’ Peringatan Leon terngiang dan membuat perutnya mual. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan lalu menatap ponselnya yang bergetar di atas meja. Satu notifikasi muncul di layar, yang tanpa pikir panjang Brianna segera melihatnya. Sebuah foto dari sosial media milik wanita yang dibenci setengah mati oleh Brianna, wanita selingkuhan suaminya. ‘Honeymoon’, begitu yang tertulis di sana. Sebenarnya, kepergian Brianna ke kota ini bukan semata untuk pekerjaan, tapi karena ia ingin menenangkan diri dari kenyataan pahit yang diketahuinya tentang Robert Elwin, suaminya. Pernikahannya ada di ambang kehancuran karena pria itu berselingkuh. Ditambah lagi, wanita simpanannya sedang hamil sepuluh minggu. Banyak sekali foto-fotonya, bahkan ada beberapa yang menunjukkan Robert secara jelas meski itu hanya dari belakang. Seolah yang mereka lakukan itu tidak berdiri di atas hatinya yang luluh lantak. Brianna bangun dari duduknya lalu berjalan menuju ruangan Leon. Memutuskan dalam hati, tak akan ia biarkan mantan pacarnya itu membuatnya semakin terpuruk. Sudah cukup Robert dan wanita itu saja. Brianna mengetuk pintu berdaun dua di depannya. Suara berat terdengar dari dalam mempersilakannya masuk. Di balik mejanya, Leon tak langsung menoleh. Ia hanya mengangkat sedikit wajah tampannya. Tatapan beberapa detik itu membuat dada Brianna seakan diremas. Meski ada banyak kemelut di benaknya, ia memaksa dirinya terus melangkah. “Jangan bawa masalah pribadi dalam hal ini, Leon,” ucap Brianna tanpa basa-basi. “Kalau tidak suka padaku sebaiknya kamu bilang! Jangan dicampurkan ke pekerjaan!” “Jangan terlalu percaya diri.” Leon tertawa lirih, mengunci pandang pada manik hazel Brianna dan dengan tenang menyandarkan punggungnya. “Aku tidak perlu alasan pribadi untuk menyingkirkan orang yang menghambat proyekku.” “Dengar dulu penjelasan—” “Tidak akan mengubah apapun,” balas Leon, nyaris terdengar enggan. “Aku sudah mengatakan semuanya tadi di ruang meeting.” Brianna mengamati Leon yang tampak sibuk dengan map dokumen, hampir tak sudi menatapnya. “Aku akan lakukan apapun untuk tetap berada di sini. Pekerjaan ini bukan hanya aku saja yang membutuhkan. Ada banyak orang yang bergantung. Jangan egois!” Pena yang digenggam oleh Leon diletakkan tanpa celah emosi. Ada hening panjang yang terjadi kala pria itu menatap Brianna. “Jadi kamu mau apa?” Leon bangun dari duduknya. Langkah tenangnya mengitari meja, berhenti di depan Brianna yang harus menengadahkan wajah sebab ia hanya berdiri sebatas dada pria itu. “Jangan berharap bisa merayuku dengan wajah cantikmu itu, Brianna!” Brianna mengepalkan jemarinya di samping tubuh, “Aku tidak—” “Tapi—” Leon menyela seraya selangkah mendekat. Mata birunya menatap Brianna cukup lama dengan rahang yang mengetat. “Kalau kamu bisa mencari cara yang membuat kita sama-sama diuntungkan, aku akan pertimbangkan permintaanmu.” Brianna menahan napas mendengarnya, pria itu seolah memberinya tantangan yang sama sekali bukan soal pekerjaan. Ia meraba-raba dalam prasangka, apa yang sebenarnya diinginkan Leon? “Pergilah kalau sudah selesai bicara.” Kalimat bernada pengusiran itu terdengar bersamaan dengan Leon yang mengayunkan kakinya untuk pergi dari hadapan Brianna. “Leon, tunggu,” panggil Brianna. Langkah Leon berhenti di dekat pintu. Namun, ia tak sepenuhnya menoleh, hanya menatap melalui bahunya sebelum Brianna mengatakan, “Kalau begitu, ayo tidur denganku!”Brianna menahan napas, jantungnya bertalu keras sewaktu berpikir ia telah tertangkap basah oleh anak buahnya sendiri.Dalam ketegangan yang mencekik leher itu, mendadak anggota timnya yang lain menyela dengan mengatakan, “Kami hanya sebentar saja pergi ke sana dan pulang karena ada keributan.”“Aah iya, ada wanita gila yang jadi simpanan dan dilabrak istri sah.” Anak buah Brianna yang tadi menatapnya itu membenarkan.“Astaga, selain gila sepertinya wanita itu juga punya kebodohan yang menembus tulang!”“Kenapa dia mau-mau saja jadi simpanan?”Brianna sangat lega saat pandangan menelisik anak buahnya itu telah berpindah darinya.Tak apa meski ia harus disebut gila dan bodoh oleh mereka.Ia melirik Leon dan kebetulan pandangan mereka bersirobok. Intensitasnya dalam menahan senyuman meningkat, menikmati situasi saat Brianna jadi bahan olok-olokan anak buahnya sendiri.Sedetik kemudian, Leon berdeham dan berujar, “Saya memang ada di sana, tapi tidak melihat kalian.”“Apa Pak Leon juga per
Seseorang berdiri di ambang pintu sebelum terhuyung masuk ke dalam kamar.‘Katie?’“Ah, kenapa gelap sekali?” racau Katie, melemparkan tasnya ke lantai secara sembarangan.Aroma alkohol menguar saat Katie mendekat.‘Dia mabuk?’ gumam Brianna kemudian membungkam bibir Leon dengan telapak tangannya, mengisyaratkan agar ia diam.Brianna menarik Leon agar menyisih sewaktu Katie berjalan ke arah ranjang tanpa menghiraukan keberadaan mereka.Kegelapan yang membatasi jarak pandang dan ditambah Katie yang mabuk adalah perpaduan sempurna yang menyelamatkan Brianna agar tak tertangkap basah membawa masuk pria oleh temannya itu.Katie terlihat melepas sepatu yang ia kenakan lalu menghempaskan dirinya ke atas ranjang. Hanya dalam waktu singkat setelahnya, ia tak bergerak, jatuh dalam lelap.Brianna menoleh pada Leon saat tangannya yang ada di wajah pria itu diturunkan.“Sepertinya tidak bisa lanjut, Brie,” bisik Leon di dekat telinganya. “Tapi tenang, tawaranku tadi masih berlaku.”Leon mengusap
“Lepaskan aku, Leon ….” pinta Brianna seraya menarik wajahnya menjauh.Tapi alih-alih pergi, Leon justru merenggut dagunya semakin erat. “Kamu tidak kedinginan?” tanyanya. “Bukannya kamu harus cepat ganti karena bajumu basah?”Brianna menelan kasar ludahnya sewaktu embusan hangat napas Leon dan wangi cocktail yang tadi diminumnya itu menyeruak. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri saat pria itu mengatakan, “Akan aku antar kamu ke kamar.”“Tidak perlu. Aku bisa sendiri,” tolak Brianna dengan cepat.“Artinya kamu tidak takut gelap? Yang tadi itu hanya alasan supaya aku masuk. Begitu?”Niat Brianna untuk meminta tolong kini telah berubah menjadi bumerang.Ini adalah pisau bermata dua. Jika Brianna tak mengizinkan Leon mengantarnya, artinya ia membenarkan pria itu bahwa ia memang tengah menggodanya. Tapi jika Brianna membiarkan Leon mengikutinya hingga ke kamar … entah apa yang akan terjadi.“Jadi kamu memang sengaja—”“Kamu bisa masuk,” potong Brianna agar prasangka Leon tidak menj
Leon terlihat menyipitkan mata. Senyum tipis terlukis di bibirnya dan itu membuat Brianna lega karena sepertinya Leon akan bermurah hati membantunya.Tapi, ia salah. Brianna benar-benar putus harapan sewaktu Leon menepis tangannya.“Tidak!”Wanita yang ada di depannya itu tersenyum penuh ejekan dan melangkah mendekat pada Brianna.‘Here we go ….’ batinnya berpasrah.Niat hati ingin melepaskan lelah, kedatangannya ke tempat ini malah membuatnya mendapat label sebagai ‘penggoda suami orang.’Tapi, wanita itu tiba-tiba berhenti. Sepasang matanya melebar seperti halnya Brianna karena Leon mendadak merangkul bahunya.Tubuh mereka berbenturan saat Leon mengatakan, “Ya. Aku ke sini memang untuk bertemu dia.”Kebas, Brianna merasakan hentakan tak karuan di dalam rongga dadanya.“Bohong!” sangsi wanita itu, menatap curiga sewaktu Leon turun dari kursinya tanpa melepas rangkulannya.“Kalian berdua saling kenal?”“Mana ada perempuan gila yang sembarangan mengklaim pria asing jadi pacarnya, Nona?
‘Bodoh! Kenapa aku malah mengajak dia tidur?’ batin Brianna dalam kepanikan begitu ajakan itu lolos dari bibirnya.Wajahnya memanas, Brianna ingin menampar dirinya keras-keras.Menarik ucapan pun percuma karena Leon sudah mendengarnya dan memutar tubuhnya menghadap pada Brianna.“Katakan sekali lagi,” pinta Leon dengan nada bicara yang menuntut. Selangkah mendekat pada Brianna yang menelan ludah dan berusaha menjaga bahunya tetap tegak.Padahal Brianna hanya asal berucap dan ingin tahu bagaimana tanggapan Leon. Tapi sekarang, rasa percaya dirinya mendadak hilang.“A-aku tidak bermaksud—”Bibir Brianna terbungkam rapat, kalimat pembelaannya hanya sampai di tenggorokan saat Leon menundukkan kepalanya dan berbisik, “Tidak bermaksud apa?”“M-maksudnya aku salah bicara.”Salah satu alis lebat Leon menukik ke atas. “Salah bicara bagaimana?”Panas di wajahnya telah menjalar ke sekujur badan, sadar semakin bicara akan semakin salah kaprah, Brianna memilih untuk menjauh dari Leon.Melarikan di
“Tidak becus! Bawa timmu pergi dari sini dalam dua hari, Brianna Ellery!”Jari-jari Brianna mati rasa saat kalimat itu menghantam telinganya. Suara dingin yang membungkam seisi ruangan itu datang dari seorang CEO perusahaan developer, Leon Alejandro Ronan.Saat ini, mereka tengah bekerja sama dalam pembangunan sebuah rumah sakit. Banyaknya kelalaian yang dilakukan oleh project manager sebelumnya membuat Brianna dimutasi ke kota kecil ini. Kini, ia lah yang bertanggung jawab membersihkan ‘sampah’ yang ditinggalkan oleh rekannya itu.Meski sudah berusaha sebaik mungkin, tapi bagi Leon kehadirannya masih dianggap tidak bisa memperbaiki keadaan.Keterlambatan kedatangan bahan konstruksi dari pihak vendor dinilai Leon sebagai kelalaian yang menghambat, dan pria itu berakhir mengusir mereka.Berdiri di dekat layar proyektor, Brianna menelan ludah, darahnya berdesir panas sewaktu mengatakan, “Tolong, dengar—” “Rapat selesai,” potong Leon seraya menutup map di depannya.Leon berdiri, berjal







