Masuk👁️🫦👁️
Dari balik kemudinya, Brianna melihat Leon yang menurunkan kaca mobilnya. Pria itu tersenyum dari seberang sana, yang justru membuat Brianna semakin kesal. Suasana hatinya yang memang sudah buruk semakin menjadi-jadi akibat pria itu. TIINN! Brianna mengklaksonnya beberapa kali dengan keras agar Leon segera menyisih. Namun alih-alih pergi, Leon malah dengan santainya meletakkan kepala di ambang jendela mobil dengan kedua punggung tangannya sebagai tumpuan. Pandangannya lurus pada Brianna, seolah iris birunya itu mampu menembus kaca. Tatapan tenangnya mengisyaratkan ia tak akan pergi ke manapun meski Brianna mengklaksonnya sampai hari kiamat. “Astaga, Leon ….” Brianna menggerutu kemudian ikut membuka kaca mobilnya juga. Mengeluarkan kepalanya dan meneriaki mantan pacarnya itu. “Minggir, Leon! Aku mau pulang!” “Bukannya kamu bilang sibuk dan banyak pekerjaan, kenapa sudah mau pulang?” Brianna mendengus, tahu betul bahwa Leon sedang mengembalikan balasan pesannya yang tadi tidak
“Aku tidak pernah menjual rumah, Ma. Aku sedang di luar kota sekarang.” Saat mengatakan itu, Brianna rasa ia hampir menjerit. Dadanya sesak oleh rasa marah yang tertuju pada satu orang. Robert Elwin! “Apa Robert yang melakukannya?” balas sang Ibu masih sama cemasnya. “Akan aku cari tahu sebentar lagi, Mama tenanglah.” “Baiklah.” Panggilan mereka pun mati. Brianna dengan cepat menghubungi Robert. Pria itu menjawabnya dan bertanya, “Ada apa, Brianna?” “Apa yang terjadi dengan rumahku, Robert? Kenapa kamu menjualnya?” “Tahu dari mana kamu?” “Mama memberitahuku,” Brianna menggenggam erat ponsel, merasakan panas dari dadanya menjalar hingga ke wajah dan telinga. “Itu rumah pemberian orang tuaku, Robert! Apa hakmu menjualnya?” “Jangan lupa itu juga rumahku, Brianna! Orang tuamu memberikan itu sebagai hadiah pernikahan. Lagipula kamu tidak ada di rumah saat aku pulang, istri macam apa kamu sebenarnya?” “Robert—” “Jangan menghubungiku kalau untuk membahas ini lagi, wanita serakah!”
Dari lantai lima belas ruang CEO, Leon duduk di balik meja kerjanya siang ini. Bukan untuk membaca neraca keuangan atau proposal kerjasama. Tapi untuk memandang keluar saja, tak jelas tujuannya ke mana. Ia hanya mengistirahatkan dirinya sejenak, melonggarkan dasi yang mencekik lehernya. “Pak Leon,” panggil suara dari belakangnya. Leon memutar kursinya dan menjumpai wajah Ricky yang tersenyum saat meletakkan beberapa map seraya berujar, “Ini laporan QC dari Arcadia.” Salah satu alis lebat Leon menukik ke atas secara spontan. “Laporan QC?” Ia memperjelas. “Iya.” “Siapa yang mengirim?” “Nona Brianna.” “Di mana dia sekarang?” Melihat suasana hati Leon yang tampak buruk, Ricky memilih untuk lebih berhati-hati saat menjawab. “Nona Brianna menitipkan itu pada saya tadi, Pak Leon. Dia bilang ada urusan di lokasi proyek jadi … sedikit terburu-buru.” “Brianna ke sini?” “Ya. Lalu pergi.” “Padahal aku sudah minta biar dia sendiri yang menyampaikannya,” gumam Leon dengan tidak puas.
“Belum mengantuk,” jawab Fiona, meletakkan kembali gelas yang baru diraihnya dari tangan Leon. Gadis itu tampak menatap sebotol minuman beralkohol yang telah hilang separuh bagiannya. “Ke mana larinya minuman itu? Ke dalam perutmu?” tanya Fiona. “Kak Leon mabuk lagi?” “Agak … suntuk. Jadi aku minum sedikit,” jawabnya, beralasan. Pandangan Fiona terlihat cemas. Menatap Leon yang lunglai seperti ini membuatnya teringat masa lalu. “Kamu sudah pernah tenggelam dalam hal seperti ini dulu,” kata Fiona. “Jangan mengulanginya lagi. Katakan saja kalau memang kamu masih suka padanya—aah, ralat. Maksudnya masih cinta.” Leon tersenyum dengan salah satu sudut bibirnya yang lebih tinggi. Tahu betul bahwa ‘padanya’ yang dikatakan oleh Fiona adalah ‘Brianna.’ “Aku bisa saja mengakuinya, Fiona. Tapi sebagai gantinya, apakah pengakuan itu akan berbalas?” “Bukannya kamu bilang kalau hubungan Brianna sedang tidak baik-baik saja dengan suaminya?” Leon mengangguk, membenarkannya. “Dari yang aku de
Semalam, Brianna tidak menunggu Leon kembali dan memutuskan untuk pergi dari hotel. Setelah pelayan hotel mengirim pakaian ganti untuknya, ia meninggalkan tempat itu dengan menggunakan taksi. Pagi ini ia bersiap untuk pergi ke kantor. Matanya sembab dan berat. Dadanya ditumbuhi rasa sesak asing yang tak ia ketahui mengapa hatinya menjadi seperti ini. Ingatan tentang Leon yang beringsut pergi tepat setelah pria itu menerima telepon yang mengatakan perihal kondisi Fiona membuatnya … kesal. Jika Leon melakukan semua ini hanya untuk bersenang-senang, bukankah harusnya Brianna pun demikian? Lagi pula ia pernah mengatakan pada dirinya sendiri bahwa yang dilewatinya bersama Leon adalah caranya untuk melarikan diri dari rasa sakit akibat perselingkuhan Robert. Ia merasa sangat kacau tapi harus terlihat baik-baik saja. Ia memiringkan sedikit kepalanya, menjumpai bekas kemerahan yang tertinggal di lehernya akibat digerus bibir Leon semalam sehingga ia harus menutupnya dengan make up.
Brianna memberi penolakan, ia menarik kepalanya menjauh agar memiliki sedikit jarak dari Leon. “Leon, ka-kamu tahu kalau ini tidak benar, ‘kan?” “Apa yang tidak benar dari dua orang yang sama-sama menginginkan, Brie?” Leon merengkuh Brianna semakin erat, menariknya ke belakang sehingga jarak yang ia usahakan itu tak lagi berguna. “Brianna ….” Ia berbisik sebelum menyingkap rambut Brianna ke satu sisi. Leon lebih leluasa mencium lehernya, sementara Brianna terperangkap dalam rengkuhannya, sia-sia memberikan perlawanan. Resleting gaun di punggung Briana telah sampai ke bawah. Kemudian Leon melepas lengan gaunnya satu demi satu. Bibir lembutnya meluncur di sepanjang bahu lewat gigitan dan kecupan basah. Ia menanggalkan gaun Brianna dan jatuh di lantai, di sekitar kakinya. “Leon—“ Jantungnya berdetak semakin kencang sebab setelah pelukan Leon mengendur, pria itu ia jumpai sedang berlutut di belakangnya. “A-apa yang kamu lakukan?” tanya Brianna, tersengal merasakan sentuhan Leon







