“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Bangun, Perempuan Pendosa!”Suatu pagi, Nilna terperanjat saat tubuhnya diguncang dengan kasar disertai bentakan keras.“Bangun aku bilang!” Suara itu kembali terdengar.Nilna yang awalnya masih terlelap, mencoba membuka mata. Saat sedikit cahaya mulai menyapa indra penglihatan, ia lebih terkejut lagi. Sang suami, mertua, dan adik iparnya berjejer, menatap dengan pandangan tajam. Sementara kepalanya terasa nyeri luar biasa.“Katakan dengan siapa kamu tidur semalam!” bentak Satria, sang suami.Ruh Nilna belum sepenuhnya terkumpul. Ia tergesa-gesa bangun, tetapi baru menyadari tubuhnya hanya berbungkus selimut. Ia pun kembali berusaha membenahi letak selimut yang sempat sedikit tersingkap.“A-apa maksudmu, Bang?” Terbata-bata Nilna mengucapkannya.“Kenapa kamu bisa ada di hotel ini? Jawab!”“Ho-hotel? A-aku nggak tahu.” Mata Nilna mencoba menyapu pandangan ke sekitar. Sebuah ruangan yang sangat asing baginya.“Nggak tahu kamu bilang? Hah! Kamu telah berzina! Kamu selingkuh! Katakan den
"Pemesan atas nama Nilna Fauziah.” Resepsionis menjawab.“Apa! Tapi saya nggak ngerasa pesan kamar di sini.” Nilna benar-benar bingung. Pelaku fitnah begitu lihai bermain dengan menggunakan namanya sebagai pemesan kamar.“Tapi itu kenyataannya, Bu.”“Lalu siapa yang datang bersama saya ke sini? Maksudnya, saya merasa tidak pernah memesan kamar di sini.” Nilna kembali buka suara.“Kalau masalah itu, saya tidak tahu, Bu. Mungkin rekan saya yang tahu. Saya baru gantian sif.”“Di sini ada CCTV, kan? Bisa minta tolong tunjukkan saya rekamannya? Saya sangat butuh ini karena menyangkut hidup saya.” Nilna kembali memohon.“Maaf, kalau bukan untuk kepentingan penyidikan polisi atau hal mendesak, kami tidak bisa mengumbar rekaman CCTV seenaknya. Ini demi menjaga privasi penghuni kamar.”“Tapi saya difitnah, Mbak. Untuk membersihkan nama saya dari fitnah, saya butuh beberapa bukti. Hanya sedikit yang saya butuhkan. Siapa yang membawa ke sini. Itu saja.” Suara Nilna bergetar. Ia benar-benar lelah
"Hai, Wanita Buruk Rupa. Saya dengar dari suamimu, kamu habis ke-grep, ya. Kasihan. Baguslah, itu berarti saya bisa lekas menggantikan posisimu.”Nilna tahu betul siapa wanita yang kini ada di hadapannya. Dialah Rosa, kekasih Satria. Keduanya bahkan tidak segan dan sering menunjukkan kemesraan di depan Nilna. Entah itu secara langsung atau via telepon.Rosa mengetuk-ngetukkan jari di meja depan Nilna. Sementara seperti biasa, Nilna hanya menunjukkan wajah tenang.“Kenapa diam? Ngerasa malu? Etapi, masih punya nyali juga kerja di sini,” ujar Rosa sambil tersenyum buaya.Nilna ikut tersenyum meski batinnya berdenyut manyun. “Cepat sekali, ya, beritanya menyebar. Heran. Pasti kamu puas banget.”“Jelas. Jadi, saya tidak perlu bersusah-susah memutar otak, mengotori tangan saya demi memisahkan kalian. Nggak nyangka, kelihatannya alim, berkerudung, ternyata kelakuannya busuk. Digrebek pula sama semua keluarga. Malu nggak, tuh? Atau jangan-jangan kerudungmu cuma buat tutup aja? Padahal lehern
"Keluar dari rumahku! Kamu bukan lagi istriku, tapi kenapa masih di sini, hah!”“Gi-gimana keadaan Ibu, Bang? Tadi aku udah beresin barang Ibu yang mau dibawa.” Terbata-bata Nilna mengucapkannya saat sang suami kian merapatkan tubuh kepadanya.Satria mendekat, sedangkan Nilna bergerak mundur. Tatapan tajam Satria beradu dengan pandangan sendu Nilna. Keduanya berhenti saat tubuh Nilna terantuk tembok. Satria mengurungnya dengan kedua tangan.“Masih berani kamu tanya kondisi ibu?” Satria bertanya lirih, tetapi penuh penekanan.“A-aku salah apa lagi?”“Ibu kena stroke dan ini gara-gara kamu, Nilna! Dia pasti kepikiran dengan kelakuan busukmu tadi pagi!”“Bang, berkali-kali aku bilang demi Allah aku enggak ngelakuin apa-apa. Aku nggak sadar.”“Lantas kenapa kamu bisa ada di hotel!”“Kalau pertanyaannya dibalik. Kenapa Abang bisa tahu aku ada di hotel!”“Kamu masih bisa tanya? Hah! Lawak. Ada seorang pria yang menghubungiku dengan ponselmu! Dan apa katanya? Dia mengakui semua kalau kalian