"Baik, aku akan mendengarkanmu. Duduklah!" Ketusku Kami duduk di kursi rotan yang ada diteras depan rumahku. Lama ia terdiam, membuatku mulai tak sabar."Apa yang ingin kau jelaskan padaku? Jangan bilang jika malam itu kau khilaf," sindirku."Tidak, Zia.""Kalau begitu, bicaralah! karena aku ingin segera istirahat," hardikku keras padanya.***Mata Mas Rangga memandangku dengan pandangan mata yang terasa menelisik. Segera saja, kupalingkan wajahku dengan menatap kearah jalan. Tak bisa dipungkiri jika aku tak bisa bersikap ramah padanya."Aku dijebak, Zia!" Lirihnya membuka cerita.Dia diam sejenak, seakan ingin mengatur emosinya. Aku melipat kedua tangan didada, menunggunya bicara."Aku masih menunggu." Ucapku mengingatkan.Ia mengangkat salah satu sudut bibirnya, melanjutkan kembali ceritanya."Awalnya, aku berniat datang memenuhi sebuah undangan pernikahan seorang teman. Aku datang kesana bersama seorang wanita yang sudah beberapa minggu ini dekat denganku, tapi jujur saja meski ka
Sebenarnya, aku tak begitu ingin orang orang mengetahui rencana lamaran Mas Bima. Namun, tak bisa kupungkiri, Bintang memang mengetahui hubungan kami, karena Mas Bima seringkali menjadikan bintang sebagai alasan untuk bertemu sekalian memborong habis daganganku.Besok malam adalah hari pertemuanku dengan kedua orang tuanya. Mengingat hal itu, membuatku terus dilanda cemas. Disatu sisi aku ingin segera menerima lamarannya, tapi entah mengapa jauh di lubuk hatiku, rasa takut akan kehilangan Mas Bima menggerogotiku jika ia mengetahui kejadian malam itu.Bagaimana jika ia tahu jika aku sudah tak perawan lagi? ***Pertanyaan itu terus saja menghantuiku, sebaiknya aku harus segera menceritakannya, aku tak ingin memulai sebuah ikatan dengan kebohongan. Aku akan berusaha menerima apapun keputusan Mas Bima nanti. Karena aku tak mau rahasia malam itu suatu saat nanti akan menjadi bom waktu untukku. Jika nantinya ia akan menolak, maka aku akan pasrah menerima keputusannya.Aku mendorong gerobak
"Kau sudah siap, Zia?""Iya." Aku mengangguk pelan. Namun, saat tangan kekarnya berusaha meraih tanganku, refleks segera kutepis."Mas, sebelum itu bisakah aku bicara denganmu? Ada hal yang sangat penting yang ingin ku sampaikan padamu sebelum kau membawaku bertemu dengan kedua orangtuamu," pintaku padanya."Oh tuhan, beri aku kekuatan untuk mengatakannya." Bisikku dalam hati.***"Aku ingin bicara sesuatu, mas."Mata Mas Bima mendelik tajam padaku, beberapa saat kemudian, ia melirik jam di pergelangan tangannya."Kau bisa bicara nanti, Zia, setelah acara pertemuan. Tak enak rasanya membuat papa menunggu lama dirumah.""Tapi mas ...! Ini penting," desakku."Sudahlah. Ayo cepat masuk ke mobil, setelah acara pertemuan aku janji akan mendengarkanmu, " Ia menarik tanganku, aku terpaksa mengikuti langkahnya. Tak lama, ia membukakan pintu mobilnya, aku menurut. Masuk kedalam mobilnya.Malam ini bulan terlihat terang, bintang bintang juga bertaburan di langit, mataku nyaris tak berkedip saat
Harapan untuk bersanding dengan Mas Bima kini kubuang jauh. Kenyataan ini memang sangat pahit untuk diterima, tapi aku masih bersyukur, karena Allah masih menjaga aibku. "Terima kasih Tuhan, karena kau mencegahku untuk mengatakan kejadian malam terkutuk itu pada Mas Bima, setidaknya aku masih bisa berdiri dan menegakkan kepala dihadapan mereka," gumamku dalam hati.****Matahari masih terlihat malu malu dan bersembunyi dibalik awan saat aku mendorong gerobak pagi ini. Beberapa orang menyapaku ramah, aku pun membalas sapaan mereka, ketika kami berpapasan.Sudah dua hari berlalu sejak pertemuanku dengan orang tua Mas Bima, dan sejak malam itu aku memutuskan sendiri untuk mengakhiri hubungan kami, karena akan percuma untuk diteruskan. Mengingat kedua orang tuanya tak akan memberikan restu.Beberapa kali Mas Bima mencoba mencari ataupun meneleponku, namun tak pernah sekalipun kujawab, aku selalu menghindar, hingga dalam pesan terakhirnya semalam, ia berkata akan datang kerumah untuk menj
"Maaf, kerena telah mengganggu waktumu, Zia. Tapi mbak ingin bicara sebentar.""Apa ini ada hubungannya dengan adik Mbak Soraya?" Aku balas bertanya."Iya, kau benar. Aku mengajakmu kesini, karena memang ingin membicarakan tentang dirinya, tentang kejadian malam itu." Jawab Mbak Soraya yang sontak langsung membuatku tercekat.****Aku merebahkan tubuhku diatas tempat tidur. Rasanya hari ini lelah sekali, kupijat sebentar kepalaku yang terasa berat. Setidaknya, ini sedikit meringankannya.Tadi siang Mbak Soraya mengajak ku bicara. Ia memohon padaku untuk memberi satu kesempatan pada adik laki lakinya, Rangga. Meminta ku agar memberikan padanya kesempatan untuk lebih mengenal diriku."Hanya satu hari saja, Zia! Berikan Rangga waktu satu hari saja bersamamu, agar kalian saling mengenal, Setelah itu, jika kau masih tetap ingin menolak pernikahan ini, maka adikku tak akan mengganggumu lagi." Ucapan Mbak Soraya tadi siang masih terngiang di telingaku.Dari penjelasan Mbak Soraya, aku tahu j
"Mas Rangga lebih baik pulang saja, karena aku tidak jualan hari ini." Usirku cepat."Kalau begitu baguslah, cepatlah mandi dan berdandanlah secantik mungkin, karena aku akan mengajakmu berkencan hari ini."Perkataannya sukses membuatku tak berkedip memandangnya. Apa yang sedang direncanakan pria ini sebenarnya?***Aku tercekat, kemudian mencubit lenganku keras, memastikan jika ini nyata, wajah Mas Rangga terlihat menyunggingkan seraut senyum saat melihat sikapku. Kulirik lenganku yang memerah karena bekas cubitan tadi. Jadi ini nyata?"Ayo cepat, Zia. Masuk dan bersiap siaplah, aku akan menunggumu disini," ucapnya karena melihatku yang masih bergeming.Butuh beberapa detik agar bisa mengembalikan kesadaranku. Oh astaga! Inikah yang dimaksud dengan permintaan Mbak Soraya saat kami bicara kemarin? sungguh lucu, rasanya ingin menertawakan diriku saat ini. Ia masih memandangiku, menunggu jawaban dariku. Aku melipat kedua tangan di dada lalu balas menatapnya tajam."Jika tujuanmu ke
"Maaf ya nak Zia. Sebenarnya sudah lama Bima akan kami jodohkan dengan Vira. Tolong jangan tersinggung, tapi Bima perlu seorang wanita yang cerdas, berpendidikan dan berasal dari keluarga yang baik untuk mendampinginya. Nak Zia mengerti kan maksud Tante?" Meski Tante Mira mengatakan kalimat itu pelan, tetap saja mampu membuat kepercayaan diriku hancur. Keluarga yang baik? Apakah karena aku berasal dari keluarga sederhana? Aku meremas ujung pakaianku lalu menggigit bibirku. Menahan sesak didada atas hinaan yang kuterima, belum cukup sampai disitu, tak lama gadis bernama Vira itu juga menyiramnya lebih panas membuat hatiku semakin terbakar api kemarahan, ketika Tante Mira pamit meninggalkan kami berdua ke kamar kecil sebentar."Maaf, ya mbak Zia. Tapi, Mas Bima dan mbaknya sampai kapanpun tak akan bisa bersama, berkacalah dulu sebelum berniat ingin menikahi Mas Bima, penjual gorengan keliling kok bisanya berkhayal tinggi menjadi seorang nyonya Bima Satria Hanggono." Aku berdiri menga
Aku diam tak bergeming sambil menatapnya tanpa berkedip, untuk beberapa saat ku pejamkan mata. Rasa sakit hati dan nyeri yang masih tersisa akhirnya membuat sebuah keputusan yang selalu kuhindari selama ini.Sebuah keputusan yang ku harap akan mengubah hidupku."Ayo Zia, cepat masuk kedalam. Tubuhmu sudah basah.""Mas ..." Panggilku lirih."Bicara didalam saja, Ayo." Kembali ia mengulang ajakannya."Tunggu, mas! A-aku datang kemari dengan maksud untuk menagih hutang dan janji Pak Lukman pada almarhum bapakku. Demi membebaskan papamu, aku menerima perjodohan itu dan bersedia menikah denganmu," ucapku lirih sambil menyeka air mata yang tak mampu lagi kutahan.****Ia memandangku dengan sorot mata penuh tanya, menyadari hujan mulai bertambah deras, setengah berlari ia menghampiriku dan merangkulku, menutupi tubuhku agar tidak terkena guyuran air hujan."Lekas masuk ke dalam Zia, kau bisa sakit jika terlalu lama terkena air hujan malam-malam begini."Refleks, aku menepis tangannya. Tubuhk