Duarr .... Suara tabrakan itu terdengar keras dan membuat tubuhku berguncang. Ditengah kesadaranku yang makin menipis, masih kulihat ia yang tersenyum dalam tangis, menyebut sebuah nama. "Leon, kenapa kau pergi meninggalkanku!" Tak lama setelah mengucap kalimat itu ia menutup kedua matanya. Dengan mengumpulkan sisa tenaga, aku memanggil namanya, dan berusaha membangunnya, namun, kesadaranku semakin menghilang, hal terakhir yang masih kuingat adalah mencium bau parfum Mas Rangga yang sangat kusukai. **** PoV Kinanti. Kutatap undangan pernikahan di tanganku, Undangan yang telah selesai dicetak dan sudah sebagian disebar. Undangan berwarna biru bercampur emas dengan desain kekinian ini terlihat mewah dan elegan. Aku tersenyum saat mendengar laporan dari Wedding Organizer yang kusewa untuk mengurus acara pernikahanku. Aku puas mendengar laporannya yang menyatakan bahwa semua persiapan hampir selesai, sungguh, rasanya sudah tak sabar menunggu hari istimewa ini dua minggu lagi.
Sebuah rencana mulai terpikir olehku saat aku melihat obat penenang yang disiapkan mama untukku ini. Rencana untuk membuat Rangga kembali mengingatku dan membuatnya tak akan pergi meninggalkanku lagi. "Rencana yang hebat," Ucapku sambil tertawa puas saat melihat pil perangsang yang kubeli via online ini sudah berada ditanganku. "Kau adalah milikku mas, selamanya akan selalu jadi milikku. Tak akan kubiarkan kau pergi meninggalkanku lagi," ucapku sambil tersenyum manis.*** PoV Rangga. Singapura Pesawat ini perlahan lahan mulai menukik tajam kebawah, sebentar lagi akan landing di Changi Airport Singapura. Kulihat Kinanti sedang bersiap dan merapikan barang barangnya. Perjalanan ke Singapura ini memang kurencanakan bukan untuk berlibur seperti yang ada dalam pikiran istriku, Zia. Tapi untuk mencoba berusaha menyadarkan dan membuka mata Kinanti. Rencana perjalanan ke Singapura ini kubuat bersama dengan adik laki lakinya, aku terpaksa meminta bantuan dari keluarga Kinanti demi me
Benarkah ini? Leon sudah mati?" Ia terus bergumam. Aku dan adik perempuan Leon, hanya memperhatikan saja. Untuk beberapa saat ia menangis. Tertunduk lemas. Setelah puas menangis, ia kembali menatapku, kupikir ia sudah mengingat masa lalu yang ingin ia kubur itu, sayang, kegembiraanku hanya sesaat. Tak berselang lama. Kinanti pun tertawa. "Makam siapa ini Mas? Ini tidak mungkin Leon," Ujarnya. **** Ia masih tertawa, sesekali diam menatap sedih kearah nisan itu. Karena merasa usahaku tak membuahkan hasil, akupun menelpon adik laki laki Kinanti yang sudah menyusul kami ke Singapura kemarin, agar bersiap membawanya kembali pulang ke Indonesia. Tak lama, Kubujuk dia untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman menuju hotel, tangan Kinanti tak lepas dari lenganku, sesekali wajah itu menatapku tajam seolah ingin melampiaskan kemarahannya. Dua hari lamanya Kinanti menolak keluar dari dalam kamar hotelnya saat mengetahui adiknya datang untuk menjemputnya pulang. D
Mas Rangga kembali menghampiri, lalu memegang erat tanganku, ada rasa hangat dihatiku saat tangannya kemudian menyentuh pipiku, rasa takutku selama ini ketika berdekatan dengannya, tiba tiba menguap dan hilang entah kemana, berganti dengan rasa rindu yang menggebu. "Maafkan aku, Zia!" Aku mengedipkan kedua mataku beberapa kali saat mendengar kalimat itu darinya, Mas Rangga meminta maaf padaku, untuk apa? ****Lidahku masih kaku untuk kuajak bicara. Kucoba untuk duduk, tapi rasa sakit langsung menjalar saat tubuh ini kupaksa bergerak. "Tak usah bergerak, kau mau apa? Cukup katakan saja padaku." Ia bertanya, raut wajahnya terlihat cemas. "A-aku cuma mau minum, mas!" Jawabku pelan dan terbata. "Sebentar, akan kuambilkan untukmu," ucapnya lalu menuang air di teko kecil itu kedalam sebuah gelas. Aku masih berusaha untuk duduk, sayang, dengan tenaga yang kumiliki, ternyata masih belum bisa untuk mengangkat tubuhku sendiri, melihatku yang kesulitan, Ia pun membantu mengangkat tubuhku
Apa kau masih jatuh cinta padaku?" "Aku ...." Ah, sial lidahku mendadak kaku, membuatku akhirnya menggigit bibirku. Kulirik ia terkekeh geli melihat sikapku yang masih malu malu, karena tak tahan menahan malu, kucoba untuk mengalihkan perhatiannya. Lagipula aku masih belum mendengar ungkapan cintanya, untukku. "Mas, bagaimana kabar Mbak Kinanti, apa ia baik baik saja?" Mendengar pertanyaanku Mas Rangga sontak menghentikan tawanya, raut wajahnya langsung berubah cemas. "Kinanti, dia ...." Ucap Mas Rangga ragu. "Apa yang terjadi padanya, katakan mas, aku ingin tahu," desakku penasaran. *** Mas Rangga menatapku dalam, beberapa kali ia mengerjapkan matanya, seolah ragu untuk mengatakannya, membuatku semakin ingin tahu apa yang terjadi pada Kinanti pasca kecelakaan itu. Ia menatapku, meraih dan menggenggam tanganku, lalu menciumnya perlahan, tak lama sebuah kenyataan pahit keluar dari bibirnya. "Kinanti meninggal saat dalam perjalanan kerumah sakit, Zia" Ucap Mas Rangga dengan sua
Sepiring tumis pepaya muda sudah terhidang diatas meja, hanya itu saja menu kami hari ini, kupikir masih ada sisa ikan asin yang kubeli beberapa hari lalu di dapur, ternyata aku salah, hanya tinggal kertas pembungkusnya saja.Buah pepaya muda ini kupetik dari pohon pepaya yang tumbuh di belakang rumah, sudah sangat sering aku menghidangkan menu ini untuk lauk makan kami. Kadang rasanya malu menghidangkan tumis pepaya muda ini untuk bapak. Karena seringnya buah ini menjadi lauk makan kami."Bapak, ayo makanlah dulu. Maaf hanya ini yang ada, semoga besok ada rejeki." Aku memanggil bapak dan mengajaknya untuk makan bersama. Bapak menatapku dengan tatapan sendu, guratan usia semakin tampak di wajahnya, kuambilkan sepiring nasi untuk bapak dan memberikan piring itu padanya."Maafkan bapak ya nak, hanya bisa menyusahkankanmu," lirih bapak."Bapak selalu saja mengatakan hal itu, sampai bosan mendengarnya. Sudahlah jangan berpikir macam macam, yang penting bapak sehat. Besok, jika ada rejeki
Seorang laki laki memakai kemeja berwarna biru berdiri menatap nyalang padaku, bau pekat alkohol tercium dari tubuh dan mulutnya, aku mundur beberapa langkah, tak lama ia bertanya sambil membalikkan badan lalu mengunci pintunya."Siapa kau, cantik?" Sapanya dengan seringai tipis di wajahnya.***Aku menutup hidungku karena bau alkohol itu semakin tercium saat ia berbicara. Sesaat aku terdiam, tak bisa bicara. Hingga laki laki itu mengulang kembali pertanyaannya."Maaf, anda siapa?" Tanyaku, dalam hati aku terus bertanya mungkinkah laki laki ini suami Bu Soraya?"Ini rumah kakakku. Kau siapa, bisa berada didalam rumah kakakku?" Tanyanya dengan nada suara berat."A-aku guru privat nya Allysa," jawabku gemetar."Gurunya Allysa. Oh ya sudah, dimana Mbak Soraya?" Matanya terus mendelik padaku, membuatku tak nyaman."B-bu Soraya, belum pulang, a-aku juga sedang menunggunya," jawabku terbata."Begitu ya." Mata itu menatapku nyalang, seringai tipis mengerikan nampak di wajahnya, aku mulai tak
Seminggu sudah kepergian bapak. hanya tinggal aku sendiri dirumah ini, terkadang aku mencari bayangan bapak dikamarnya, membuatku merasa tak sendiri dan kesepian.Aku berdiri di belakang rumah. Memandang buah pepaya yang sudah setengah matang. Biasanya buah pepaya itu jarang sekali ada yang matang, karena seringnya kupetik sebelum matang.Aku, kini tak ubahnya seperti buah pepaya itu. Tak akan pernah ada Zia yang ranum dan merekah. Semuanya sudah hilang. Aku seperti seonggok tubuh yang sudah terkelupas. Dipetik paksa. Kuambil sebuah galah panjang, yang biasa dipakai untuk memetik buah pepaya ini. Kupetik buah yang hampir matang itu, tak ada apapun di dapur yang bisa kumakan, karena sejak kematian bapak aku belum pernah meninggalkan rumah ini.Ku kupas kulit buah pepaya, Buahnya yang sudah hampir matang, sudah terasa manis saat di makan. Beberapa saat aku diam menatap buah pepaya ini. Entah kenapa dalam diam, tiba tiba aku teringat akan pesan terakhir bapak. Kutinggalkan saja buah