Share

Bab 6

"Maaf, mbaknya yang ingin bertemu dengan saya?"

Aku membalikkan badanku, menoleh ke asal suara, Tampak di sana berdiri seorang pria, karena terkejut, aku menjawabnya terbata.

***

"I-iya pak, nama saya Zia, Zivara Mutia Rahman." Aku langsung berdiri. Ia tersenyum lalu mempersilakan aku duduk kembali.

"Maaf, apakah anda Pak Lukman?" Tanyaku sopan pada pria beruban yang kutaksir berusia sekitar enam puluh tahunan ini.

"Iya, cah ayu, saya Pak Lukman, ada perlu apa?"

Pria yang berdiri dihadapanku ini jauh dari yang kubayangkan dalam benakku tadi. Kupikir, Pak Lukman, pemilik rumah ini akan sinis dan tidak ramah, ternyata aku salah, pria ini sangat santun dan ramah.

Aku mengeluarkan kotak kayu milik bapak dari dalam tas punggungku. kotak kayu itu lalu kuletakkan diatas meja kaca ini.

"Saya kesini hanya menyampaikan pesan terakhir bapak. Ia memintaku mencari Pak Lukman, dan bilang ...." Sejenak aku ragu untuk mengatakannya, apa mungkin pria kaya yang duduk dihadapanku memiliki hutang kepada bapak.

"Siapa nama bapakmu?" Potongnya.

"Rahman, Rahman Sulistyo. Pak," Jawabku cepat.

Mendengar perkataanku, dengan cepat ia lalu mengambil kotak kayu itu, dan membuka isinya. Sebuah surat dan cincin akik merah itu diambilnya dari dalam kotak.

"Rahman ...."

"Cincin dan surat ini memang kuberikan padanya, tiga puluh tahun lalu, sebelum kami berpisah, berarti benar, kau adalah putrinya," ucapnya menatapku.

"Apa kabar bapakmu, cah ayu?" Tanyanya.

"Bapak sudah meninggal sebulan yang lalu, Pak." Ia terkejut, wajah itu lalu memandangku sendu.

"Rahman sudah meninggal?" Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya.

"Dimana kalian tinggal selama ini?" Ia bertanya kembali. Kusebutkan alamat rumahku padanya.

"Maaf pak, saya kesini hanya menyampaikan pesan terakhir bapak. Ia bilang ...." Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Pak Lukman langsung menyela.

"Aku punya hutang dan janji yang belum kubayar padanya. Surat ini kutulis sebagai pengingat, karena saat itu aku belum bisa membayar hutangku. Beberapa tahun aku mencarinya, tapi tak bertemu. Rahman bak hilang ditelan bumi, tak terdengar kabar apapun tentangnya. Entah kenapa dalam hati, aku sangat yakin suatu saat nanti, Rahman akan menagihnya." Jelasnya.

"Kalau saya boleh tahu, hutang apa itu, Pak? Karena bapak tak pernah sekalipun menceritakan tentang hal ini."

"Panjang ceritanya nak"

"Yang jelas, sampai saat ini bapak belum membayar hutang dan janji itu pada bapakmu."

Aku masih tak mengerti, hutang dan janji apa yang ia katakan? Melihat sikapku, ia pun seolah mengerti dan menceritakannya.

"Dulu, aku meminjam uang hasil penjualan sebidang tanah milik bapakmu, sebagai modal usaha ketika akan mengadu nasib ke Jakarta. Saat itu untuk mempererat hubungan kami dan membalas kebaikannya padaku, aku mengucap janji padanya, akan menikahkan anakku dengan anaknya."

"Berarti sampai sekarang, bapakku belum mendapatkan haknya kembali, begitu maksudnya pak?" Tanyaku sesopan mungkin.

"Iya nak, karena itu izinkan bapak melunasi hutang bapak, menikahlah dengan putra bungsu bapak dan kau akan memiliki sepertiga dari kekayaan bapak, sebagai bentuk pelunasan hutang sekaligus memenuhi janjiku pada bapakmu."

Aku terdiam, mataku membulat sempurna saat melihat sosok yang sedang berjalan dibelakang Pak Lukman. Tak lama Pak Lukman pun memanggilnya.

Dengan langkah ragu, laki laki itu mendekat, dan berdiri disamping Pak Lukman.

"Kenalkan, nak. Ini putra bungsu bapak. Namanya Rangga."

Aku melotot kearah laki laki itu, seakan tak percaya dengan apa yang kulihat.

"Maksud Bapak?" Tanyaku memperjelas pernyataannya tadi.

"Tolong kabulkan permohonan bapak nak, agar bapak dapat terbebas dari hutang dan janji pada bapakmu, menikahlah dengan Rangga."

Menikahi laki laki itu?

Tidak.

Wajah itu masih tergambar jelas dipelupuk mataku, kejadian malam terkutuk itu seakan kembali terulang di memori ingatanku. Laki laki yang selalu ku kutuk setiap hari kini berdiri dihadapanku. Sebagai bentuk hadiah dari pembebasan hutang dan janjinya pada bapak.

Haruskah aku menikahinya?

Bayangan wajah Mas Bima kini melintas didalam kepalaku. Membuatku sadar jika harus menolak permintaannya.

***

Aku masih diam, tak ada kalimat yang keluar dari mulutku, mataku masih menatap laki laki itu dengan penuh kemarahan. Aku yakin pasti saat ini ia juga mengenaliku.

"Rangga, kau masih ingat dengan cerita bapak tentang hutang dan janji bapak pada seseorang yang sampai sekarang belum bisa bapak penuhi?" Ucap Pak Lukman menatap anak laki laki nya.

"Iya pak, aku ingat," jawabnya.

"Maaf, apa bapak bermaksud menjodohkan anak bapak denganku?" Aku memperjelas pernyataannya tadi.

Dadaku makin sesak karena melihat laki laki itu dihadapanku. Aku harus menolak tegas permintaannya.

"Maaf, Pak Lukman. Saya menolak pernikahan ini, saya tak mau menikahi anak laki laki bapak. Mohon maaf, tolong jangan tanya alasannya, karena saya tidak bisa mengeluarkan kalimat yang akan menyakiti hati anda, pak." Jelasku.

"Kenapa nak? Apa ada kata kata bapak yang salah?"

Aku hanya bisa menggeleng. Tatapan mataku masih menjurus tajam kepada anak laki lakinya.

"Tidak pak."

"Aku tahu alasan gadis ini menolaknya," sahut pemuda bernama Rangga itu menjawabnya tenang.

Aku mengangkat wajahku, dadaku semakin bergemuruh. Jika aku tak mengingat bahwa saat ini aku sedang bertamu dan menagih janji bapak, mungkin saat ini mulutku akan berbicara kasar dan mengumpat mengenai kejadian malam terkut*k itu dihadapan mereka berdua.

"Kalian sudah saling mengenal?" Tanya Pak Lukman, memandangku tak berkedip.

Aku menggeleng tegas." Tidak pak, aku tidak mengenalnya."

"Maaf, jika tak ada yang dibicarakan lagi, bisakah saya keluar? saya ingin pulang," pamitku kemudian.

Aku menyambar cepat tasku, dan berjalan cepat menuju pintu keluar, masih terdengar suara Pak Lukman memangil namaku, namun aku menepis panggilan itu, berjalan secepat mungkin meninggalkan rumah ini.

"Tunggu ...! Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu. Tolong, beri aku waktu sebentar untuk bicara denganmu," teriak anak laki laki Pak Lukman itu padaku.

Aku menghentikan langkah lalu menoleh ke belakang dengan nafas yang masih tersengal, kulirik lelaki bernama Rangga itu akhirnya sudah berdiri tak jauh dihadapanku.

"Kumohon, izinkan aku menjelaskan semuanya padamu." Ia melangkah perlahan, berusaha mendekat padaku, refleks, aku langsung memintanya berhenti.

"Jangan mendekat atau aku akan berteriak," ancamku.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status