Share

Bab 6

Penulis: Rira Faradina
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-26 16:12:53

"Maaf, mbaknya yang ingin bertemu dengan saya?"

Aku membalikkan badanku, menoleh ke asal suara, Tampak di sana berdiri seorang pria, karena terkejut, aku menjawabnya terbata.

***

"I-iya pak, nama saya Zia, Zivara Mutia Rahman." Aku langsung berdiri. Ia tersenyum lalu mempersilakan aku duduk kembali.

"Maaf, apakah anda Pak Lukman?" Tanyaku sopan pada pria beruban yang kutaksir berusia sekitar enam puluh tahunan ini.

"Iya, cah ayu, saya Pak Lukman, ada perlu apa?"

Pria yang berdiri dihadapanku ini jauh dari yang kubayangkan dalam benakku tadi. Kupikir, Pak Lukman, pemilik rumah ini akan sinis dan tidak ramah, ternyata aku salah, pria ini sangat santun dan ramah.

Aku mengeluarkan kotak kayu milik bapak dari dalam tas punggungku. kotak kayu itu lalu kuletakkan diatas meja kaca ini.

"Saya kesini hanya menyampaikan pesan terakhir bapak. Ia memintaku mencari Pak Lukman, dan bilang ...." Sejenak aku ragu untuk mengatakannya, apa mungkin pria kaya yang duduk dihadapanku memiliki hutang kepada bapak.

"Siapa nama bapakmu?" Potongnya.

"Rahman, Rahman Sulistyo. Pak," Jawabku cepat.

Mendengar perkataanku, dengan cepat ia lalu mengambil kotak kayu itu, dan membuka isinya. Sebuah surat dan cincin akik merah itu diambilnya dari dalam kotak.

"Rahman ...."

"Cincin dan surat ini memang kuberikan padanya, tiga puluh tahun lalu, sebelum kami berpisah, berarti benar, kau adalah putrinya," ucapnya menatapku.

"Apa kabar bapakmu, cah ayu?" Tanyanya.

"Bapak sudah meninggal sebulan yang lalu, Pak." Ia terkejut, wajah itu lalu memandangku sendu.

"Rahman sudah meninggal?" Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya.

"Dimana kalian tinggal selama ini?" Ia bertanya kembali. Kusebutkan alamat rumahku padanya.

"Maaf pak, saya kesini hanya menyampaikan pesan terakhir bapak. Ia bilang ...." Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Pak Lukman langsung menyela.

"Aku punya hutang dan janji yang belum kubayar padanya. Surat ini kutulis sebagai pengingat, karena saat itu aku belum bisa membayar hutangku. Beberapa tahun aku mencarinya, tapi tak bertemu. Rahman bak hilang ditelan bumi, tak terdengar kabar apapun tentangnya. Entah kenapa dalam hati, aku sangat yakin suatu saat nanti, Rahman akan menagihnya." Jelasnya.

"Kalau saya boleh tahu, hutang apa itu, Pak? Karena bapak tak pernah sekalipun menceritakan tentang hal ini."

"Panjang ceritanya nak"

"Yang jelas, sampai saat ini bapak belum membayar hutang dan janji itu pada bapakmu."

Aku masih tak mengerti, hutang dan janji apa yang ia katakan? Melihat sikapku, ia pun seolah mengerti dan menceritakannya.

"Dulu, aku meminjam uang hasil penjualan sebidang tanah milik bapakmu, sebagai modal usaha ketika akan mengadu nasib ke Jakarta. Saat itu untuk mempererat hubungan kami dan membalas kebaikannya padaku, aku mengucap janji padanya, akan menikahkan anakku dengan anaknya."

"Berarti sampai sekarang, bapakku belum mendapatkan haknya kembali, begitu maksudnya pak?" Tanyaku sesopan mungkin.

"Iya nak, karena itu izinkan bapak melunasi hutang bapak, menikahlah dengan putra bungsu bapak dan kau akan memiliki sepertiga dari kekayaan bapak, sebagai bentuk pelunasan hutang sekaligus memenuhi janjiku pada bapakmu."

Aku terdiam, mataku membulat sempurna saat melihat sosok yang sedang berjalan dibelakang Pak Lukman. Tak lama Pak Lukman pun memanggilnya.

Dengan langkah ragu, laki laki itu mendekat, dan berdiri disamping Pak Lukman.

"Kenalkan, nak. Ini putra bungsu bapak. Namanya Rangga."

Aku melotot kearah laki laki itu, seakan tak percaya dengan apa yang kulihat.

"Maksud Bapak?" Tanyaku memperjelas pernyataannya tadi.

"Tolong kabulkan permohonan bapak nak, agar bapak dapat terbebas dari hutang dan janji pada bapakmu, menikahlah dengan Rangga."

Menikahi laki laki itu?

Tidak.

Wajah itu masih tergambar jelas dipelupuk mataku, kejadian malam terkutuk itu seakan kembali terulang di memori ingatanku. Laki laki yang selalu ku kutuk setiap hari kini berdiri dihadapanku. Sebagai bentuk hadiah dari pembebasan hutang dan janjinya pada bapak.

Haruskah aku menikahinya?

Bayangan wajah Mas Bima kini melintas didalam kepalaku. Membuatku sadar jika harus menolak permintaannya.

***

Aku masih diam, tak ada kalimat yang keluar dari mulutku, mataku masih menatap laki laki itu dengan penuh kemarahan. Aku yakin pasti saat ini ia juga mengenaliku.

"Rangga, kau masih ingat dengan cerita bapak tentang hutang dan janji bapak pada seseorang yang sampai sekarang belum bisa bapak penuhi?" Ucap Pak Lukman menatap anak laki laki nya.

"Iya pak, aku ingat," jawabnya.

"Maaf, apa bapak bermaksud menjodohkan anak bapak denganku?" Aku memperjelas pernyataannya tadi.

Dadaku makin sesak karena melihat laki laki itu dihadapanku. Aku harus menolak tegas permintaannya.

"Maaf, Pak Lukman. Saya menolak pernikahan ini, saya tak mau menikahi anak laki laki bapak. Mohon maaf, tolong jangan tanya alasannya, karena saya tidak bisa mengeluarkan kalimat yang akan menyakiti hati anda, pak." Jelasku.

"Kenapa nak? Apa ada kata kata bapak yang salah?"

Aku hanya bisa menggeleng. Tatapan mataku masih menjurus tajam kepada anak laki lakinya.

"Tidak pak."

"Aku tahu alasan gadis ini menolaknya," sahut pemuda bernama Rangga itu menjawabnya tenang.

Aku mengangkat wajahku, dadaku semakin bergemuruh. Jika aku tak mengingat bahwa saat ini aku sedang bertamu dan menagih janji bapak, mungkin saat ini mulutku akan berbicara kasar dan mengumpat mengenai kejadian malam terkut*k itu dihadapan mereka berdua.

"Kalian sudah saling mengenal?" Tanya Pak Lukman, memandangku tak berkedip.

Aku menggeleng tegas." Tidak pak, aku tidak mengenalnya."

"Maaf, jika tak ada yang dibicarakan lagi, bisakah saya keluar? saya ingin pulang," pamitku kemudian.

Aku menyambar cepat tasku, dan berjalan cepat menuju pintu keluar, masih terdengar suara Pak Lukman memangil namaku, namun aku menepis panggilan itu, berjalan secepat mungkin meninggalkan rumah ini.

"Tunggu ...! Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu. Tolong, beri aku waktu sebentar untuk bicara denganmu," teriak anak laki laki Pak Lukman itu padaku.

Aku menghentikan langkah lalu menoleh ke belakang dengan nafas yang masih tersengal, kulirik lelaki bernama Rangga itu akhirnya sudah berdiri tak jauh dihadapanku.

"Kumohon, izinkan aku menjelaskan semuanya padamu." Ia melangkah perlahan, berusaha mendekat padaku, refleks, aku langsung memintanya berhenti.

"Jangan mendekat atau aku akan berteriak," ancamku.

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 70

    Apa kau masih jatuh cinta padaku?" "Aku ...." Ah, sial lidahku mendadak kaku, membuatku akhirnya menggigit bibirku. Kulirik ia terkekeh geli melihat sikapku yang masih malu malu, karena tak tahan menahan malu, kucoba untuk mengalihkan perhatiannya. Lagipula aku masih belum mendengar ungkapan cintanya, untukku. "Mas, bagaimana kabar Mbak Kinanti, apa ia baik baik saja?" Mendengar pertanyaanku Mas Rangga sontak menghentikan tawanya, raut wajahnya langsung berubah cemas. "Kinanti, dia ...." Ucap Mas Rangga ragu. "Apa yang terjadi padanya, katakan mas, aku ingin tahu," desakku penasaran. *** Mas Rangga menatapku dalam, beberapa kali ia mengerjapkan matanya, seolah ragu untuk mengatakannya, membuatku semakin ingin tahu apa yang terjadi pada Kinanti pasca kecelakaan itu. Ia menatapku, meraih dan menggenggam tanganku, lalu menciumnya perlahan, tak lama sebuah kenyataan pahit keluar dari bibirnya. "Kinanti meninggal saat dalam perjalanan kerumah sakit, Zia" Ucap Mas Rangga dengan sua

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 69

    Mas Rangga kembali menghampiri, lalu memegang erat tanganku, ada rasa hangat dihatiku saat tangannya kemudian menyentuh pipiku, rasa takutku selama ini ketika berdekatan dengannya, tiba tiba menguap dan hilang entah kemana, berganti dengan rasa rindu yang menggebu. "Maafkan aku, Zia!" Aku mengedipkan kedua mataku beberapa kali saat mendengar kalimat itu darinya, Mas Rangga meminta maaf padaku, untuk apa? ****Lidahku masih kaku untuk kuajak bicara. Kucoba untuk duduk, tapi rasa sakit langsung menjalar saat tubuh ini kupaksa bergerak. "Tak usah bergerak, kau mau apa? Cukup katakan saja padaku." Ia bertanya, raut wajahnya terlihat cemas. "A-aku cuma mau minum, mas!" Jawabku pelan dan terbata. "Sebentar, akan kuambilkan untukmu," ucapnya lalu menuang air di teko kecil itu kedalam sebuah gelas. Aku masih berusaha untuk duduk, sayang, dengan tenaga yang kumiliki, ternyata masih belum bisa untuk mengangkat tubuhku sendiri, melihatku yang kesulitan, Ia pun membantu mengangkat tubuhku

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 68

    Benarkah ini? Leon sudah mati?" Ia terus bergumam. Aku dan adik perempuan Leon, hanya memperhatikan saja. Untuk beberapa saat ia menangis. Tertunduk lemas. Setelah puas menangis, ia kembali menatapku, kupikir ia sudah mengingat masa lalu yang ingin ia kubur itu, sayang, kegembiraanku hanya sesaat. Tak berselang lama. Kinanti pun tertawa. "Makam siapa ini Mas? Ini tidak mungkin Leon," Ujarnya. **** Ia masih tertawa, sesekali diam menatap sedih kearah nisan itu. Karena merasa usahaku tak membuahkan hasil, akupun menelpon adik laki laki Kinanti yang sudah menyusul kami ke Singapura kemarin, agar bersiap membawanya kembali pulang ke Indonesia. Tak lama, Kubujuk dia untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman menuju hotel, tangan Kinanti tak lepas dari lenganku, sesekali wajah itu menatapku tajam seolah ingin melampiaskan kemarahannya. Dua hari lamanya Kinanti menolak keluar dari dalam kamar hotelnya saat mengetahui adiknya datang untuk menjemputnya pulang. D

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 67

    Sebuah rencana mulai terpikir olehku saat aku melihat obat penenang yang disiapkan mama untukku ini. Rencana untuk membuat Rangga kembali mengingatku dan membuatnya tak akan pergi meninggalkanku lagi. "Rencana yang hebat," Ucapku sambil tertawa puas saat melihat pil perangsang yang kubeli via online ini sudah berada ditanganku. "Kau adalah milikku mas, selamanya akan selalu jadi milikku. Tak akan kubiarkan kau pergi meninggalkanku lagi," ucapku sambil tersenyum manis.*** PoV Rangga. Singapura Pesawat ini perlahan lahan mulai menukik tajam kebawah, sebentar lagi akan landing di Changi Airport Singapura. Kulihat Kinanti sedang bersiap dan merapikan barang barangnya. Perjalanan ke Singapura ini memang kurencanakan bukan untuk berlibur seperti yang ada dalam pikiran istriku, Zia. Tapi untuk mencoba berusaha menyadarkan dan membuka mata Kinanti. Rencana perjalanan ke Singapura ini kubuat bersama dengan adik laki lakinya, aku terpaksa meminta bantuan dari keluarga Kinanti demi me

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 66

    Duarr .... Suara tabrakan itu terdengar keras dan membuat tubuhku berguncang. Ditengah kesadaranku yang makin menipis, masih kulihat ia yang tersenyum dalam tangis, menyebut sebuah nama. "Leon, kenapa kau pergi meninggalkanku!" Tak lama setelah mengucap kalimat itu ia menutup kedua matanya. Dengan mengumpulkan sisa tenaga, aku memanggil namanya, dan berusaha membangunnya, namun, kesadaranku semakin menghilang, hal terakhir yang masih kuingat adalah mencium bau parfum Mas Rangga yang sangat kusukai. **** PoV Kinanti. Kutatap undangan pernikahan di tanganku, Undangan yang telah selesai dicetak dan sudah sebagian disebar. Undangan berwarna biru bercampur emas dengan desain kekinian ini terlihat mewah dan elegan. Aku tersenyum saat mendengar laporan dari Wedding Organizer yang kusewa untuk mengurus acara pernikahanku. Aku puas mendengar laporannya yang menyatakan bahwa semua persiapan hampir selesai, sungguh, rasanya sudah tak sabar menunggu hari istimewa ini dua minggu lagi.

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 65

    "Ayo kita pulang kerumah, Mbak," ajak adik laki lakinya. Kinanti diam saja, akhirnya wanita itu menurut, membuang pecahan vas bunga itu kelantai setelah Mas Rangga yang berhasil membujuknya. Ia masih diam terpaku disana, aku menghela nafas lega, setidaknya benda tajam itu tak lagi dipegangnya. Tanpa menyadari jika sedetik kemudian wanita itu tiba tiba berdiri dengan seringai mengerikan di wajahnya lalu berjalan cepat kearahku, tangannya kembali mencengkram leherku. "Aku akan menyingkirkan wanita ini Mas, agar kau tak meninggalkanku lagi," ancamnya dengan pecahan vas ditangan kirinya yang ia tempelkan di wajahku. **** "Lepaskan Zia, Kinanti, Jangan melukainya. Dia tak tahu apa apa," Mas Rangga mencoba membujuknya. Aku memejamkan mata, pecahan vas itu kini turun ke leherku. Cengkeraman tangannya terlalu kuat untukku, membuatku semakin sulit bernapas. "Mbak, lepaskan aku ... A-aku tak tahu apapun tentang kalian," ucapku terbata. "Diam kau, ikut aku," ia menarikku paksa lalu mas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status