Mas Rangga kembali menghampiri, lalu memegang erat tanganku, ada rasa hangat dihatiku saat tangannya kemudian menyentuh pipiku, rasa takutku selama ini ketika berdekatan dengannya, tiba tiba menguap dan hilang entah kemana, berganti dengan rasa rindu yang menggebu. "Maafkan aku, Zia!" Aku mengedipkan kedua mataku beberapa kali saat mendengar kalimat itu darinya, Mas Rangga meminta maaf padaku, untuk apa? ****Lidahku masih kaku untuk kuajak bicara. Kucoba untuk duduk, tapi rasa sakit langsung menjalar saat tubuh ini kupaksa bergerak. "Tak usah bergerak, kau mau apa? Cukup katakan saja padaku." Ia bertanya, raut wajahnya terlihat cemas. "A-aku cuma mau minum, mas!" Jawabku pelan dan terbata. "Sebentar, akan kuambilkan untukmu," ucapnya lalu menuang air di teko kecil itu kedalam sebuah gelas. Aku masih berusaha untuk duduk, sayang, dengan tenaga yang kumiliki, ternyata masih belum bisa untuk mengangkat tubuhku sendiri, melihatku yang kesulitan, Ia pun membantu mengangkat tubuhku
Apa kau masih jatuh cinta padaku?" "Aku ...." Ah, sial lidahku mendadak kaku, membuatku akhirnya menggigit bibirku. Kulirik ia terkekeh geli melihat sikapku yang masih malu malu, karena tak tahan menahan malu, kucoba untuk mengalihkan perhatiannya. Lagipula aku masih belum mendengar ungkapan cintanya, untukku. "Mas, bagaimana kabar Mbak Kinanti, apa ia baik baik saja?" Mendengar pertanyaanku Mas Rangga sontak menghentikan tawanya, raut wajahnya langsung berubah cemas. "Kinanti, dia ...." Ucap Mas Rangga ragu. "Apa yang terjadi padanya, katakan mas, aku ingin tahu," desakku penasaran. *** Mas Rangga menatapku dalam, beberapa kali ia mengerjapkan matanya, seolah ragu untuk mengatakannya, membuatku semakin ingin tahu apa yang terjadi pada Kinanti pasca kecelakaan itu. Ia menatapku, meraih dan menggenggam tanganku, lalu menciumnya perlahan, tak lama sebuah kenyataan pahit keluar dari bibirnya. "Kinanti meninggal saat dalam perjalanan kerumah sakit, Zia" Ucap Mas Rangga dengan sua
Sepiring tumis pepaya muda sudah terhidang diatas meja, hanya itu saja menu kami hari ini, kupikir masih ada sisa ikan asin yang kubeli beberapa hari lalu di dapur, ternyata aku salah, hanya tinggal kertas pembungkusnya saja.Buah pepaya muda ini kupetik dari pohon pepaya yang tumbuh di belakang rumah, sudah sangat sering aku menghidangkan menu ini untuk lauk makan kami. Kadang rasanya malu menghidangkan tumis pepaya muda ini untuk bapak. Karena seringnya buah ini menjadi lauk makan kami."Bapak, ayo makanlah dulu. Maaf hanya ini yang ada, semoga besok ada rejeki." Aku memanggil bapak dan mengajaknya untuk makan bersama. Bapak menatapku dengan tatapan sendu, guratan usia semakin tampak di wajahnya, kuambilkan sepiring nasi untuk bapak dan memberikan piring itu padanya."Maafkan bapak ya nak, hanya bisa menyusahkankanmu," lirih bapak."Bapak selalu saja mengatakan hal itu, sampai bosan mendengarnya. Sudahlah jangan berpikir macam macam, yang penting bapak sehat. Besok, jika ada rejeki
Seorang laki laki memakai kemeja berwarna biru berdiri menatap nyalang padaku, bau pekat alkohol tercium dari tubuh dan mulutnya, aku mundur beberapa langkah, tak lama ia bertanya sambil membalikkan badan lalu mengunci pintunya."Siapa kau, cantik?" Sapanya dengan seringai tipis di wajahnya.***Aku menutup hidungku karena bau alkohol itu semakin tercium saat ia berbicara. Sesaat aku terdiam, tak bisa bicara. Hingga laki laki itu mengulang kembali pertanyaannya."Maaf, anda siapa?" Tanyaku, dalam hati aku terus bertanya mungkinkah laki laki ini suami Bu Soraya?"Ini rumah kakakku. Kau siapa, bisa berada didalam rumah kakakku?" Tanyanya dengan nada suara berat."A-aku guru privat nya Allysa," jawabku gemetar."Gurunya Allysa. Oh ya sudah, dimana Mbak Soraya?" Matanya terus mendelik padaku, membuatku tak nyaman."B-bu Soraya, belum pulang, a-aku juga sedang menunggunya," jawabku terbata."Begitu ya." Mata itu menatapku nyalang, seringai tipis mengerikan nampak di wajahnya, aku mulai tak
Seminggu sudah kepergian bapak. hanya tinggal aku sendiri dirumah ini, terkadang aku mencari bayangan bapak dikamarnya, membuatku merasa tak sendiri dan kesepian.Aku berdiri di belakang rumah. Memandang buah pepaya yang sudah setengah matang. Biasanya buah pepaya itu jarang sekali ada yang matang, karena seringnya kupetik sebelum matang.Aku, kini tak ubahnya seperti buah pepaya itu. Tak akan pernah ada Zia yang ranum dan merekah. Semuanya sudah hilang. Aku seperti seonggok tubuh yang sudah terkelupas. Dipetik paksa. Kuambil sebuah galah panjang, yang biasa dipakai untuk memetik buah pepaya ini. Kupetik buah yang hampir matang itu, tak ada apapun di dapur yang bisa kumakan, karena sejak kematian bapak aku belum pernah meninggalkan rumah ini.Ku kupas kulit buah pepaya, Buahnya yang sudah hampir matang, sudah terasa manis saat di makan. Beberapa saat aku diam menatap buah pepaya ini. Entah kenapa dalam diam, tiba tiba aku teringat akan pesan terakhir bapak. Kutinggalkan saja buah
"Melamar? Maksud Mas Bima?" Balasku bertanya padanya."Sebenarnya, sudah lama aku suka padamu. A-aku ... ingin menikahimu. Secepatnya, aku akan minta kedua orangtuaku datang kesini untuk melamarmu," ucapnya sambil menatapku. Aku gugup. Melamar? Tuhan, mungkinkah saat ini aku sedang bermimpi?***Tak ada gadis di daerah sini yang tak mengenal sosok Bima Satria Hanggono. Pemuda itu adalah putra pertama dari sebuah keluarga terpandang daerah sini, ayahnya memiliki usaha furniture dan puluhan ruko. Sedang ibunya, mengelola usaha bakery yang sedang berkembang.Mas Bima adalah kakak kelasku sewaktu di SMA dulu, beliau dua tingkat diatasku. Kudengar ia baru saja menyelesaikan kuliahnya dua bulan lalu, Rasanya aneh, pria dengan banyak wanita yang mengidolakannya tiba tiba melamar seorang yatim piatu sepertiku.Hubungan kami selama ini biasa saja, tak ada yang istimewa, kadang kami bertemu saat aku sedang berjualan, sesekali ia memborong daganganku, dengan alasan untuk cemilan adiknya di rum
"Saya cari rumahnya Pak Lukman, Mbah," jawabku.''Pak Lukman?" Ia terlihat mengernyitkan dahi, berpikir.Aku mengeluarkan foto usang yang kubawa dari rumah, dan memperlihatkan foto itu padanya."Ini bu, yang ini." Kutunjuk gambar diri seorang pria dalam foto itu.***"Ora ketonan mbak," balasnya, aku mulai bingung, diusianya yang mulai sepuh, wajar saja matanya sudah tak begitu jelas melihat."Bu, niki sopo?" Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan tiba tiba mendekat."Maaf, saya cuma bertanya Pak, kenal dengan Pak Lukman?""Pak Lukman siapa, Mbak. Maaf, tapi desa ini cukup luas, dan yang namanya Lukman cukup banyak disini."Aku tersenyum getir sambil membuang nafas panjang saat mendengarnya. Oh tuhan, jangan sampai pencarianku sia sia."Njenengan coba nanya Pak kades, mbak. Rumahnya disana," katanya sambil menunjuk arah."Imah, ngeneh." Laki laki itu memanggil seorang gadis remaja, tak lama gadis itu menghampiri kami."Dalem pak,""Anterin mbak'e, kerumah Pak Kades, gawa m
"Maaf, mbaknya yang ingin bertemu dengan saya?" Aku membalikkan badanku, menoleh ke asal suara, Tampak di sana berdiri seorang pria, karena terkejut, aku menjawabnya terbata.***"I-iya pak, nama saya Zia, Zivara Mutia Rahman." Aku langsung berdiri. Ia tersenyum lalu mempersilakan aku duduk kembali."Maaf, apakah anda Pak Lukman?" Tanyaku sopan pada pria beruban yang kutaksir berusia sekitar enam puluh tahunan ini."Iya, cah ayu, saya Pak Lukman, ada perlu apa?"Pria yang berdiri dihadapanku ini jauh dari yang kubayangkan dalam benakku tadi. Kupikir, Pak Lukman, pemilik rumah ini akan sinis dan tidak ramah, ternyata aku salah, pria ini sangat santun dan ramah.Aku mengeluarkan kotak kayu milik bapak dari dalam tas punggungku. kotak kayu itu lalu kuletakkan diatas meja kaca ini."Saya kesini hanya menyampaikan pesan terakhir bapak. Ia memintaku mencari Pak Lukman, dan bilang ...." Sejenak aku ragu untuk mengatakannya, apa mungkin pria kaya yang duduk dihadapanku memiliki hutang kepada