Share

I Have Kept My Promise

"Ga ada kerjaan banget ya lo!" Protes Sei sedikit ngegas. Ekspresinya langsung hilang seketika saat tahu Regan yang datang. 

"Ya ini kerjaan aku. Nganterin kamu sampe rumah." Jawab Regan tersenyum manis. Sei berdecih malas dan melanjutkan mencatat penghasilan hari ini.

Setelah selesai, Regan mendekatinya dan menatap Sei dalam. "Mau beli satu buket bunga mawar putih dong, pake kartu ucapan." Setelah Sei sadar bahwa Regan sedang menatapnya intens, entah mengapa rasanya sangat gugup. Gadis itu menjawab dengan kalimat apapun yang ada di otaknya.

"Mawar putih udah habis." Jawabnya singkat. Siapa yang tidak grogi ditatap dalam oleh lelaki bertampang dewa ini?

"Itu masih!" Ujar Regan menunjuk puluhan mawar putih yang ada di pojok ruangan. Sei menghela nafasnya pasrah. Entah sudah berapa kali ia terlihat sangat bodoh di depan Regan.

"Ya udah iya! Tunggu dulu!" Jawab Sei sedikit marah sambil menyiapkan semua yang dibutuhkan. Setelah sekitar sepuluh menit Regan menunggu dengan bermain handphone, Sei kembali dengan sebuket mawar putih di tangannya.

"Nih,"

"Berapa?"

"Ga usah bayar," jawab Sei malas.

"Kenapa? Emang toko ini kasih gratisan ke orang yang ganteng?" Tanya Regan lagi-lagi menyombongkan diri.

"Apaan sih! PD banget jadi orang. Emang kaya gitu. Pelanggan terakhir digratiskan. Udah ini mau kartu ucapan warna apa?"

"Warna kuning." Jawab Regan cepat saat melihat pilihan warna kertas.

"Tulisannya?"

"I have kept my promise." Ujar Regan membuat Sei sedikit bimbang. Lelaki yang di hadapannya ini memang sama saja seperti yang lain. Apa lelaki ini sengaja mendekati Sei agar dapat bunga gratis? Oh Tuhan, masa iya lelaki yang tampangnya seperti orang kaya ini tidak modal?

"Mau ditulis pengirimnya ga?"

"No, dia pasti udah tahu siapa yang ngirim." Jawab Regan tersenyum.

Sei meletakkan pulpen yang baru ia pakai. Gadis itu menyodorkannya ke Regan. "Nih, semoga ceweknya suka!"

"Pasti lah! Ya udah yuk, pulang." Ajak Regan menarik tangan Sei. Bahkan ia tak menunggu jawaban dari Sei sebelum mengajaknya pulang.

"Ga, gue sendiri aja kak."

"Ga baik cewek cantik pulang sendiri." Sanggah Regan lagi.

"Ga usah ngegodain cewek lain. Nanti yang mau Kak Regan kirimin bunga ini cemburu," sahut Sei menggendong tasnya dan berjalan keluar. Regan mengikuti Sei seperti anak kecil dan mengambil alih helm dan jaket dari tangan Sei setelah selesai mengunci pintu.

"Yuk balik!"

Sei ditarik oleh Regan menuju mobilnya. Perempuan itu terus bertanya-tanya dalam hatinya.

Apa akan baik-baik saja kalau ia tetap meladeni permainan yang Regan buat?

"Kamu pulang ke mana Sei?"

"Ke perumahan baru yang di depan toko distro tahu ga?"

"Iya tahu, ke sana sekarang?" Tanya Regan memastikan. Sei mengangguk singkat. Selama perjalanan, Sei tengah sibuk berpikir akan bagaimana respon ayahnya saat tahu dirinya kembali ke rumah itu.

**

Sampailah mereka berdua di depan perumahan yang dimaksud. Sei tersenyum paksa. Regan menggenggam tangan gadis di sampingnya serius. "Sei, makasih hari ini kamu udah mau aku anterin."

"Ga usah GeEr. Udah sana pulang. Makasih. Lagi." Ujar Sei menarik tangannya dan keluar mobil. Namun saat ia hendak melangkah masuk ke komplek perumahan itu, Regan kembali memanggilnya.

"Sei sebentar!"

Langkah Sei terhenti, ia menunggu Regan keluar mobil. Dengan buket bunga yang ia beli tadi Regan turun dari mobil dan menyerahkannya ke Sei.

"Buat kamu,"

"Huh? Jadi...." Sei menjeda kalimatnya. Ia menelisik bunga dan tulisan yang ada di buket itu teliti. Ada tambahan tulisan deret angka. Kenapa tulisannya begitu? I have kept my promise?

"Ga perlu makasih," jawab Regan dengan percaya diri sambil tersenyum polos.

"Jadi Kak Regan ngasih aku barang gratisan?"

Senyuman di wajah Regan luntur seketika berubah menjadi wajah canggung. "Kan kamu yang ngasih gratisan. Tahu lah, buat yang tampangnya kaya aku pasti digratisin."

"Mulai deh! Udah sana pergi, udah malem." Usir Sei sedikit memaksa. Ia mendorong tubuh Regan agar menjauh darinya dan masuk ke mobil.

"Besok-besok boleh aku ajak kamu jalan?"

"Gak," sewot cewek itu kemudian berbalik arah menuju rumah ayahnya.

"Sei Sei.. ga berubah dari dulu. Tetep ngeselin." Kekeh Regan bergeleng kecil.

**

Tok tok tok

Setelah beberapa menit sosok yang Sei tunggu akhirnya muncul. "Malem, Bi. Papah ada di rumah?"

"Ada Non, silakan masuk."

Sei masuk dengan canggung. Rumah sebesar ini terlalu kecil untuk ditinggali satu majikan. Entah mengapa, besar keinginan Sei agar ia bisa kembali akrab dengan ayahnya seperti dulu.

"Bibi panggilkan sebentar ya, silakan duduk dulu."

"Iya Bi, aku tunggu sini ya?" Jawab Sei dengan ramah. Gadis itu melihat-lihat rumah baru ayahnya. Sangat elit dan juga mewah. Sesuatu yang sudah direnggut darinya sejak dua bulan lalu.

"Ngapain kamu datang ke rumah saya?!!" Teriak Arga secara tiba-tiba dengan marah saat tahu putrinya datang ke rumah.

Pranggg

Tak sengaja Sei menjatuhkan satu vas kecil yang ada di sampingnya. "Ma-maaf Pah. Aku ga sengaja."

"Ngapain kamu ke sini? Bukannya saya sudah buang kamu?" Tanya lelaki berumur 40-an yang bertampang sangar itu.

"Papa.." panggil Sei dengan hati yang sesak.

"Saya bukan Papa kamu. Pergi dari rumah saya sekarang!"

"Ini rumah aku." Jawab Sei sedikit mengumpulkan keberanian.

Arga meraih satu gelas antik di sampingnya. Kemudian melemparkannya ke arah Sei tanpa ragu. Beruntung tak sampai mengenai Sei, benda itu hanya terjatuh ke lantai.

"Berhenti bersikap seperti kita ada hubungan!! Kamu ataupun dia bukan anak saya!" Teriak Arga lagi. Sei dapat melihat dengan jelas penolakan besar dari ayahnya atas kehadirannya.

"Aku salah apa, Pa? Aku udah minta maaf, udah usaha supaya Papa mau ngakuin aku sebagai anak, tapi kenapa Papa justru buang aku?!"

Setelah selesai berbicara lantang pada ayahnya, Arga maju menuju Sei dengan sangat marah dan menjambak rambutnya. "Dasar kurang ajar!!! Anak ga tahu diuntung! Saya sudah bilang, kamu penyebab saya menderita sekarang!"

"Sakit Pah.."

Arga menangkup wajah putrinya dengan kasar dan berujar dengan penuh tekanan. "Kamu.cuma.bocah.penyakitan."

Air mata Sei meleleh dengan sendirinya. Ucapan ayahnya bagai belati di hati Sei. Gadis itu tahu betul. Karena penyakitnya lah ibunya pergi meninggalkannya.

"Duit buat kamu beli obat itu kurang huh? Apa gimana? Tiap bulan saya sudah jatah kamu duit buat beli obat. Masih kurang?!"

"Aku ke sini..cuman mau ketemu sama Papa. Bukan yang lain. Beneran."

"Saya ga mau ketemu sama kamu." Jawab Arga tanpa hati.

Senyuman pahit terbit di bibir Sei. Ia sendiri tidak tahu kenapa ayahnya begitu membencinya. "Aku cuman mau Papa anggap aku ada di sisa umur aku. Aku ga tahu kapan aku bakalan nyusul Mama. Tapi apa aku salah kalau mau sebentar aja habisin waktu aku sama Papa?"

"SALAH! HARAPAN KAMU ITU... CUMAN MIMPI YANG GA AKAN JADI NYATA." Teriak Arga mendorong anaknya sampai terbentur tembok. Buket bunga yang tadi diberikan tetap Sei pertahankan di genggamannya.

"Balik ke panti asuhan!"

"Kenapa aku harus ke panti asuhan kalau Papa aku masih hidup?! Tolong Pa, berhenti sakiti Sei."

"Diem kamu! Kamu yang sebelumnya sudah membuat saya sakit! Sekarang...kamu juga harus tahu rasanya. Oh ya, asal kamu tahu. Kamu sudah mati bagi saya bahkan sebelum kamu mati!"

"Hiks.." tangisan akhirnya pecah saat itu.

"Satpam!!" Panggil Arga tanpa memandang Sei lagi.

"Aku bisa keluar sendiri. Papa ga perlu suruh orang buat usir aku dari rumah ini. Kalau dengan aku pergi Papa bisa bahagia...akan Sei lakukan."

**

Di trotoar jalan dekat perumahan ayahnya, Sei berjalan dengan pilu. Gadis itu melamun dan berpikir keras. Tak sadar, cairan kental berwarna merah keluar dari hidungnya menetes ke bunga mawar putih. Menimbulkan bercak merah pada bunga indah itu.

Sei mengambil tisu di tasnya dan segera mengelap hidungnya. Hal seperti ini sudah biasa ia alami. Setiap ia merasa kelelahan pasti akan mimisan.

Gadis itu duduk di kursi dekat pos satpam. Meraba sakunya untuk menelfon Mawar. Hanya perlu beberapa waktu untuk sahabatnya mengangkat telfon.

"Hiks.. Mawar tolong jemput gue." Ujar Sei saat menyangka telefon itu tersambung. Malam-malam begini pasti Mawar tidak akan aktif di W******p. Alhasil Sei harus menelfon lewat pulsa.

Hallo Sei? Lo kenapa?! Bukannya tadi sama cowok itu?

"Di rumah Papa. Sekarang." Tegas Sei sekali lagi.

O-oke!

**

Regan tersenyum lebar ketika sampai di rumahnya. Hari yang ia sangka menjadi hari yang paling menyebalkan akhirnya menjadi hari yang paling menyenangkan dalam hidupnya.

Selama ini ia mencarinya. Anak kecil manis yang membuat hidupnya pernah berwarna.

Lelaki itu beralih menatap foto besar di kamarnya. "Ma, Pa.. semoga kalian cepet ketemu. Balik ke rumah ini dan keluarga kita lengkap lagi,"

Regan mengucel wajahnya frustasi. Ia kembali menangis karena trauma itu. Ditinggalkan oleh orang yang ia sayang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Namun entah ada energi dari mana, setelah ia bertemu Sei hatinya sedikit membaik.

Sepertinya, Sei akan menjadi warna dalam setiap lembar kehidupan Regan. Terpikir kembali soal Sei, Regan membuka sosial medianya dan segera mengetikkan nama Sei di mesin pencarian. Tak perlu waktu yang lama, Regan langsung menemukan i*******m yang ia maksud. Lelaki itu melihat-lihat highlight di akun tersebut dan menemukan sebuah foto Sei bersama seorang cowok yang wajahnya tidak terlalu asing bagi Regan. Ia sering melihat lelaki yang bersama Sei. Regan kembali mengamati wajah orang itu.

"Dia kan..."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status