Share

Sepuluh Senja Terakhir Asa
Sepuluh Senja Terakhir Asa
Author: Bahasa Rindu

Hampa

Author: Bahasa Rindu
last update Last Updated: 2023-04-24 15:53:51

Hampa. Satu kata yang menggambarkan perasaan lelaki bertubuh tegap yang sedang merenung sambil memakan sarapannya. Nyatanya semua yang ia dapatkan tak pernah membuat hidupnya lebih baik. Mimpi buruk itu terus menjadi momok baginya setiap hari. Selama bertahun-tahun.

Sudah lama ia menjadi yatim piatu. Hidup sebatang kara sudah ia jalani hampir lima tahun terakhir. Terkadang ia ingin sekali mendapatkan ketenangan. Terkadang, yang dibutuhkan oleh orang hanyalah tenang dan bahagia.

"Nggak dimakan sarapannya, Den?" ucap seorang pembantu di rumah besar berlantai tiga itu. Sang 'Aden' terbangun dari lamunannya dan menyadari sesuatu. Ia hampir telat.

"Astaga, saya udah telat!" Pekik lelaki yang sudah rapi dengan seragam mewah sekolahnya. Celananya panjang sampai mata kaki warna merah menyala, baju atasnya dilengkapi almamater membuatnya terlihat sangat gagah dan tampan.

"Jangan lupa kunci pintu ya, Bu." Ujarnya memperingatkan. Pembantu yang berpakaian khas putih dan serbet warna hitam itu mengangguk patuh.

Cowok itu segera melajukan motornya bahkan belum dipanaskan. Ia menancap gas untuk membelah jalanan yang ramai. Beberapa lampu merah ia trobos agar sampai sekolah tepat waktu.

Kalau ditanya apakah ia tidak takut untuk asal menerobos lampu merah dan ngebut seperti sedang balap liar jawabannya adalah tidak sama sekali. Ia pernah mengalami sesuatu yang jauh lebih sakit daripada jatuh dari motor atau kecelakaan.

Sekitar satu tancapan gas lagi, gerbang sekolah sudah ditutup rapat oleh satpam. Lelaki itu mengklakson beberapa kali tapi tidak digubris sama sekali oleh satpam.

"Pulang aja Mas! Guru udah capek ngomongin muridnya supaya jangan telat!" teriak satpam yang bernama Reno.

Dengan satu tarikan napas, sang lelaki yang telat itu berujar setelah mematikan mesin motor. "Kan saya telat beberapa detik doang, Pak! Bukain lah!"

"Aturan tetep aturan, Mas. Lagian udah bapak bilangin sampe monyong nih bibir, kalo saya di sini hanya menjadi penjaga. Amanah kepada guru-guru di sini. Coba kalau lain kali mas...."

"Pak! Udah lah, saya mau masuk, sekarang bukain. Jam pertama saya ada ulangan PKN, Pak! Ga kasian sama saya? Nanti saya harus..."

Adu argumen itu terus terjadi. Lelaki itu tak mau kalah begitu juga dengan satpam. "Mau ulangan PKN, mau ulangan hidup, intinya Mas itu udah telat! Cinta negara kok telat sekolah!"

Setelah menelan pahit pil kekalahan, akhirnya si cowok itu memarkirkan motornya asal di depan sekolah. Kemudian berjalan mengendap ke arah samping sekolah. Tempatnya memang seperti kebun tak terawat, dan berbatasan juga dengan sekolah negeri di samping. Setelah melihat sekeliling, orang itu berusaha memanjat pagar yang sebenarnya sangat tinggi. Kalau bukan atlet mungkin tak akan bisa melompat.

Namun sesaat sebelum ia mencoba menaiki pagar, sesuatu mengusiknya. "Ekhem!"

"Katanya sekolah favorit. Kok siswanya ada yang telat?" ujarnya menatap wajah lelaki tampan itu lempeng. Tanpa melihat membalas ucapan gadis berambut panjang bergelombang, lelaki itu tetap melanjutkan usahanya.

"Tolongin dong, ga bisa manjat tembok kak,"

Setelah mendapat ucapan seperti itu sang lelaki menghentikan geraknya. Setelah sekian lama akhirnya ia mendengar ada yang memanggilnya 'kak' lagi. Dengan berdegup kencang sang lelaki membalikkan badannya dan ya!

Wajah cantik gadis di hadapannya sukses membuatnya bengong sekian detik.

"Kenalan!" spontan si lelaki langsung menyodorkan tangannya. Pertemuan mendadak ini menjadikan harapan baru untuk hidupnya.

Ekspresi wajah gadis itu menunjukkan ketidak nyamanan. Lelaki di hadapannya berubah menjadi berwajah tidak sabaran.

"Regandra Putra Prawiranagara. Panggil aja Regan."

Oh, jadi namanya Regan..

Regan menunggu balasan dari gadis di depannya. Sampai melambaikan tangannya di depan wajah cantiknya, Regan berujar "Nama kamu?"

"Aku? Nama...namanya Sri."

"Kamu tinggal di mana?" tanya Regan lagi. Wajah dinginnya berubah 180° menjadi sangat manis dan hangat.

"Di...deket sini kok." Gagapnya menggaruk kepalanya. "Kamu telat?"

"Liatnya aja gimana," ketus gadis itu membalikkan tubuhnya mencoba memanjat pagar yang sudah sedikit berlumut. Regan dengan sangat sigap langsung menyatukan tangannya dan mendekatkan pada gadis yang baru ia temui ini.

"Sini, aku bantuin naik,Sri."

Gadis itu enggan membuka sepatu. Menaiki kedua telapak tangan Regan dan memanjat dengan hati-hati.

"Hati-hati Sri."

"Sri siapa sih?! Dari tadi sok kenal banget panggil-panggil Sri! Sri itu yang jual martabak mini di depan sekolah!" geram gadis itu sedikit gerakan hendak menendang wajah Regan.

"Bukannya kamu Sri? Tadi katanya Sri?"

"Bukan!! Ga usah sok tahu deh. Udah lah, makasih ya kak. Bye!" pamitnya saat sudah sampai di seberang tembok.

Sesuatu terjatuh dari tas gadis misterius itu. Regan segera memungutnya dan menelisik botol kecil itu.

Aurora Seinenda Adharania

2x1

Dalam bungkus obat itu tak tertera nama penakit sama sekali. Regan memasukkan obat itu ke saku celananya dan kembali ke depan gerbang.

**

Bel sekolah berbunyi nyaring, terdengar begitu sibuk kelas sebelas bahasa. Gadis yang sedang berdiskusi tentang pekerjaan kelompok itu menggeledah tasnya untuk mencari sesuatu.

"Nyari apa, Sei?"

"Nyari obat, dimana ya? Perasaan ada di sini deh tadi pagi." Paniknya sambil mengeluarkan semua isi tasnya. Mawar-temannya mencoba menenangkan sahabatnya. "Jangan sambil panik dong nyarinya. Lo pasti lupa naruhnya."

Sei meraba laci meja, hasilnya nihil. Ia tak bisa tidak panik. "Yah, udah lah. Gimana lagi, ilang ya udah. Bagus juga, gue ga usah minum obat sekalian."

Mawar memunguti barang sohibnya yang berserak. Gadis itu meletakkan tas Sei di meja. "Guys, hari ini ga kerja kelompok dulu ya," ujarnya pada teman sekelompok.

Sei tahu. Mawar pasti ingin menjaganya. Pasti Sei tidak akan dibiarkan kelelahan. "Ketinggalan di rumah mungkin?" tanya Mawar.

"Rumah yang mana coba?" Kesal Sei sedikit mengacak rambutnya. Gadis itu merapikan semua bawaannya dan beranjak dari kelas. Ia lelah menghadapi berbagai rintangan hari ini. Dimulai dari telat sekolah, bertemu orang aneh, dibantu naik pagar, dipanggil Sri, ah.. lengkap sudah drama hari ini.

Sei melihat sekeliling, tampaknya hari sudah terlalu sore sampai tidak ada lagi angkot yang melintas. Biasanya kedua sahabat itu memang berjalan, tapi mengingat sekarang Sei sedang malas jadi mendapatkan angkot hari ini adalah sebuah jackpot.

Mawar mengetahui gelagat aneh orang di sampingnya. Berkali-kali Sei melihat ke arah jam yang melingkar di tangannya. "Gimana ya? gue harus jaga toko sekarang. Kalau sekarang gak jalan pasti telat deh,"

Belum sapmpai Mawar menanggapi ucapan Sei, lelaki dengan motor kerennya menghampiri mereka. Sei menerka dalam hatinya, langsung mengetahui bahwa cowok tersebut adalah orang yang sama dengan yang bertemu dengannya pagi tadi.

"Naik,"

Sei menampakkan wajah dinginnya. Ia terlalu gengsi menerima tawaran itu. Mawar menatap lelaki tampan itu dengan senyam senyum sendiri. Kapan lagi ia bisa bertemu dengan lelaki bertampang dewadan proporsi tubuh seperti model?

Regan memutar bola matanya malas. "Aku ngomong sama kamu, Aurora Seinenda Adharania." ujarnya. Sei dan Mawar melempar tatap. Mawar merasa speechless, ini pacar Sei? Sementara itu Sei merasa aneh karena bahkan tadi pagi ia memberikan nama yang salah.

"Aku nungguin kamu,"

Sekali lagi, Sei membalikkan tubuhnya untuk memastikan bahwa lelaki agresif ini sedang bicara dengannya. "Sei, dari pada lo telat kerja mendingan ikut dia deh. Tapi inget jangan cape-cape!"

"Apaan sih, ga mau. Mendingan gue telat daripada sama dia. Lo ga takut gu diculik?"

"Bukannya dia cowok lo?" heran Mawar mengerutkan dahinya dan sesekali tersenyum pada Regan yang sedang menunggu Sei naik ke motornya. "Bukan lah! Mana mau gue sama modelan kaya dia?"

"Sei mau katanya. Tapi emang dia masih malu-malu. Tolong anterin ke toko bunga di deket terminal ya, pokoknya temen gue ini jangan sampe lecet, dilarang ngebut, dan jangan lupa anterin pulang."

Regan tersenyum puas di balik helm full facenya. Menstandart motornya dan menghampiri Sei yang melotot sambil mendumel kepada Mawar. "Mawar lo udah gila. Kalo dia apa-apain gue gimana?"

"Tenang aja, temen lo ini akan gue anterin ke rumah kok. Ayo, Aurora Seinenda Adharania."

"Panggil Sei aja," ujar Sei kesal karena namanya diulang berkali kali.

Regan berdehem dan mengulangi kalimatnya. "Ayo Sei," Sei mendengus kesal sekali lagi pada Mawar dan berbalik menunjukkan wajahnya pada Regan. Lelaki itu memakaikan helm ke kepala Sei tanpa permisi. Dengan perasaan campur aduk Sei melamun lagi.

Tak sampai di situ, Regan menyodorkan jaketnya ke perempuan di hadapannya. "Buat nutupin kaki,"

Sei menengok ke Mawar sekali lagi, meminta tolong. "Daaah!" ujar Mawar terlihat sangat senang apalagi saat Sei naik ke motor Regan. "Gue pulang agak malem. Mau mampir rumah,"

"Iya nanti gue bilangin Ibu!"

Di perjalanan Sei sama sekali tak mau buka suara. Bahkan ia baru melihat lelaki ini pagi tadi, masa sekarang harus bersikap biasa saja seolah mereka sudah kenal lama? Tidak, Sei membenci lelaki pemaksa ini. Pasti ia akan dimanfaatkan. Ya, di novel yang pernah Sei baca alurnya seperti itu.

"Kamu udah kerja sejak kapan?" tanya Regan saat mengehentikan motor saat lampu merah.

"Kepo," jawab Sei sewot.

Regan makin terpesona dengan cewek satu ini. Baru kali ini ada cewek yang menolaknya.

"Belok kanan,"

"Udah tahu, ini udah nyalain seint." jawab Regan. Sei menggaruk kepalanya. Kemudian menyadari bahwa kepalanya terbungkus helm. Ia menepuk jidatnya. Astaga, ia terlihat seperti orang bodoh.

Regan melajukan motornya begitu lampu hijau menyala. Lelaki itu menancap gas sedikit lagi dan berbelok. lokasi tempat Sei bekerja ini sangat strategis. Sudah beberapa kali ia ke sini tapi tak pernah bertemu dengan Sei.

"Udah sampai," ujar Regan. Sei segera turun dari motor dengan bantuan pundak Regan. Regan menstandart motornya dan ikut turun dari motor. "Nih helmnya, makasih."

"Bawa aja dulu. Nanti aku jemput."

"Stop pake aku-kamu. Berasa kaya orang pacaran! Najis banget!"

"Jadi minta dipacarin?" sahut Regan sangat agresif membuat Sei menabok helm yang Regan pakai. Ia segera berbalik dan hendak masuk ke toko.

Dukkk

"Aww!"

Regan menahan tawanya yang hanpir meledak karena Sei menabrak pintu kaca. "Pftt.."

"Jangan ketawa! Pulang sana!"

Regan menatap Sei seperti tatapan seseorang yang sangat rindu dan lama tidak bertemu. lelaki itu tersenyum manis diam-diam dan memikirkan kejutan apa lagi yang akan ia beri untuknya. 

**

Sei melemaskan ototnya. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Waktunya untuk tutup toko. Hari ini lumayan juga, Sei tersenyum menikmati hasil kerjanya. Ia pikir akan menyimpannya untuk saat ini dan membelikan sesuatu untuk yang ia sayang. 

Saat sibuk merekap penjualan pada hari ini, terdengar suara decitan pintu yang dibuka dari luar oleh seseorang. Sosok itu memakai helm jadi tak terlihat wajahnya. Sei menyambut lelaki yang tubuhnya sangat mirip dengan seseorang di hidupnya itu. Gadis itu menatap orang di hadapannya dengan sangat berharap. "Kak Sa.." 

"SURPRISE!!!!!" 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sepuluh Senja Terakhir Asa    Terabaikan

    Mengetuk pintu dengan hati yang berat, Regan terus saja menghela nafas panjang. Seorang ibu yang berpenampilan manis dari dalam rumah membukakan pintu untuk Regan. Melihat calon menantunya datang, Ayun segera menyambutnya dan mempersilakan masuk. "Wellcome Regan, sini masuk dulu." Sapa ibu dari Alya tersebut. Regan menyalami tangan Ayun dengan sopan. Ibu itu tersenyum lebar dan mempersilakan Regan ke kamar putrinya. "Maaf ya Tante jadi ngrepotin kamu, habisnya Tante udah bingung banget. Alya ga mau makan apapun dari tadi. Tahu kan kalau asmanya lagi kambuh bakal manja banget?" Regan tersenyum mencoba bersabar. Sesungguhnya dalam hati ia sudah mengumpat, harusnya sekarang ia sudah menemani Sei di rumahnya. Mereka sudah meluruskan masalah mereka dan menghilangkan kerinduannya akan Sei. "Ga papa kok Tante. Regan lagi ga sibuk," Alhasil itulah jawaban yang keluar dari tenggorokan Regan. Lelaki itu tak tega jika Ayun yang meminta, jika ia memang dibutuhkan maka Regan pasti akan datang

  • Sepuluh Senja Terakhir Asa    Alya

    Setelah kejadian siang tadi, Sei lebih banyak diam dan menyendiri. Dewa yang duduk di samping Sei juga tak berani bertanya macam-macam karena takut mengusik privasi. Sei membuka handphonenya, ia menghidupkannya setelah dua minggu mati. Gadis itu menutupi handphonenya dengan buku agar tidak terlihat oleh guru. Dewa mengerti akan hal itu lalu menegakkan bukunya agar Sei lebih leluasa. "Makasih," ujar Sei. Dewa tersenyum manis membalas perkataan itu. Melihat-lihat room chat, Sei menemukan banyak kejanggalan. Ada banyak sekali pesan yang sudah terbalaskan, padahal Sei tidak membuka handphonenya. Handphone ini baru didapat Sei tadi pagi dan selama dua minggu ini Sagara selalu menyimpannya. Yang paling parah adalah chat antara Alya dengan Sei. Gadis itu melotot tak percaya dengan apa yang ia baca di layar handphone. Alya Sei, lo gapapa? Kemarin sakit apa? Gue baik2 ajaSei menghadap ke belakang melihat Alya, gadis itu tampak menatap Sei dengan sengit sebelum akhirnya kembali fokus p

  • Sepuluh Senja Terakhir Asa    Berubah Rasa?

    Mata indah yang sudah seminggu tertutup itu kembali terbuka. Dengan alat-alat mengerikan di tubuhnya, geraknya tidak bisa leluasa. Ia menatap langit-langit kamar rawat. Seorang dokter langsung tergopoh-gopoh memeriksa tubuh Sei dengan serius. Sei menatap kakaknya yang setia menemaninya sejak hari pertama ia masuk rumah sakit. Sei sendiri tidak ingat apa yang terjadi pada dirinya sampai harus dirawat di rumah sakit. Yang pasti, Sei merasa seperti orang linglung dan baru bangun tidur. Setelah dokter itu keluar dari ruangan dengan Jehan di belakangnya, Sagara duduk di kursi samping brankar lalu menggenggam erat tangan adiknya. Sei melepas alat bantu nafas di hidung dan mulutnya lalu berujar serak pada Sagara. "Haus," Cepat-cepat Sagara mengambil air di nakas dan membantu adiknya minum. Sei meneguk beberapa kali dan mengode kepada Sagara sudah cukup. Melihat wajah tampan kakaknya, Sei tak tahu akan bicara apa. "Apanya yang sakit?" Tanya Sagara mengulum senyum tipis. Ketika tangan Se

  • Sepuluh Senja Terakhir Asa    Orang Itu adalah Alya

    Kelas 12 IPA 3, kelas Regan. Sekitar lima hari lalu telah diumumkan bahwa akan diadakan lomba membuat film antar kelas. Karena Regan sudah menghilang beberapa hari, alhasil ia mendapatkan peran sisa. Mengerem motor warna merahnya di depan rumah Reno, Regan menyita banyak perhatian dari teman perempuannya. "Akhirnya... Dateng juga nih kutu rambut," ujar Gema menyambut kedatangan Regan yang super sibuk. Memasang wajah datar, Regan berdehem singkat dan melakukan tos dengan kawan-kawannya. "Jadi gimana? Tugas gue ngapain?" Tanya Regan mendudukkan dirinya di sofa empuk. Gema dan 10 teman yang lain berpikir keras. Hanya Regan saja yang belum ada di scene mereka. "Oh ya! Kan masih ada tukang ojek, Regan aja!" Ujar Reno exited sambil menepuk pundak Regan jenaka. Melihat wajah para temannya yang sangat memelas, Regan bisa apa. Ini konsekuensinya lepas tanggung jawab. "Ya udah deh, ayo!" Teriak Regan membakar semangat temannya. Semua bersorak gembira, mereka sempat berpikir Regan tak akan

  • Sepuluh Senja Terakhir Asa    Sadap Pesan

    Sibuk merebahkan tubuhnya di sofa, tangan Regan tetap menscroll WhatsApp Sei. Ia menemukan beberapa informasi lagi tentang Sei. Beberapa saat lelaki itu merasa sangat sedih karena Sei yang dulunya sering diabaikan Sagara. Adapun satu nomer yang tidak dikenal terus meneror Sei. Lelaki itu membukanya dan melihat chatingan mereka. Orang itu sering sekali memaksa Sei untuk memberitahukan sesuatu. Regan terkekeh ngeri saat tahu siapa yang mengirimkan pesan seperti ini pada Sei. Siapa lagi kalau bukan ayah kandungnya, yang selalu meminta warisan mendiang istrinya yang kaya raya. Regan memblokir nomor itu, beralih ke chat grup kelas Sei. Ternyata Sei sangat kalem dan pendiam, ia sangat jarang komentar. Tok tok tok"Permisi Tuan," ujar seorang lelaki dari luar pintu. Regan berteriak "Masuk!" Regan duduk di sofa dan meletakkan handphone di meja. "Saya sudah menemukan semua tentang gadis yang Tuan maksud." Regan berdehem kecil dan mengode orang itu agar duduk. "Ini berkas medisnya," Rega

  • Sepuluh Senja Terakhir Asa    Intel

    Pukul setengah 6 pagi Sagara kembali masuk ke kamar Sei untuk memastikan Sei sudah bangun. Cowok itu melirik meja belajar, bahkan posisi piringnya masih sama persis seperti semalam. Sagara duduk di tepi ranjang, sedikit curiga karena posisi tidur Sei juga sama persis dengan terakhir kali ia masuk kamar. Sagara menggoyangkan tubuh adiknya. "Sa, kamu masih marah? Kok makanannya ga dimakan hmm?" "Dek?" Sagara menarik tubuh Sei agar menghadapnya. Lelaki itu terkejut melihat wajah pucat Sei, "Asa, kamu kenapa?" Tak ada respon apapun dari Sei, membuat Sagara semakin panik dibuatnya. "Bangun please, bangun!" "Ini ga lucu, please jangan buat Kakak takut," Sagara terus mencoba membuat Sei sadar tapi hasilnya nihil. Mata Sei tetap tertutup. Sagara segera turun mengeluarkan mobilnya. Lelaki itu meminta tolong Bi Ane untuk membuka gerbang depan rumah. Setelah itu Sagara kembali ke kamar Sei dan menggendong gadis itu ke mobil. Dengan bantuan Bi Ane di kursi belakang, Sagara melajukan mobiln

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status