Share

Bab 2

Author: Lotus
Ruang bawah tanah itu lembap dan dingin. Saya menempel pada pintu besi yang dingin, badan gemetar hebat karena ketakutan.

“Lepasin aku! Kondisi ibuku benar-benar kritis!” Aku menghabiskan seluruh tenaga, meninju pintu sampai tanganku berlumuran darah dan terjatuh lemas ke lantai.

Baterai ponselku benar-benar mati dan kata ‘kesempatan terakhir’ dari dokter masih terngiang di kepala.

Aku pernah berjanji pada ibu, kalau uangnya sudah cukup, aku bakal meninggalkan Franky dan membawanya pergi dari sini. Pergi ke tempat yang hangat dan tenang untuk berobat.

Kenapa harus hari ini? Kenapa Franky nggak kasih aku kesempatan untuk memastikannya?!

Dalam kegelapan, ingatanku pun mulai menyerbu.

Di studio lukis SMA, aku sedang mewarnai kelopak bunga matahari dengan warna biru klein. Teman-teman menertawakan aku buta warna, hanya Franky yang kebetulan lewat dan berhenti.

Dia berkata, “Ini bunga matahari yang hidup di bawah sinar bulan, ya? Kamu juga nonton ‘Midnight Sun’?” Jari-jarinya menyentuh warna biru itu dan menoleh ke arahku. Cahaya matahari menyinari senyumannya, dia melanjutkan, “Estetika yang sangat kesepian, seperti orang yang melukisnya.

Perasaan tersentuh saat itu pun menjadi awal dari mimpi burukku selama sepuluh tahun.

Kemudian, di pesta makan malam keluarga Franky. Aku terbangun di ranjangnya, seluruh badanku memar. Dia mencekik leherku sambil mencibir, “Dasar ibu dan anak murahan! Berani-beraninya menjebakku?!”

Setelah kejadian itu, aku baru tahu bahwa alkoholnya diberikan keluarga Franky pada ibuku. Keluarganya butuh menantu boneka yang patuh dan aku yang mengejar-ngejarnya sejak SMA adalah kandidat paling cocok.

Aku tetap meringkuk di sudut, kenangan terus berputar di kepala. Entah sudah berapa lama, mungkin satu jam, mungkin semalaman.

“Trek.”

Pintu ruang bawah tanah terbuka dan langit sudah terang.

Franky berdiri membelakangi cahaya, “Sudah selesai dramanya?”

Vivian merangkul lengan Franky dan terkikik manja, “Pak Franky, jangan marah. Memang ada orang yang suka pura-pura kasihan.”

“Nggak ada apa-apa di rumah sakit,” ujarnya dengan sinis.

“Pak Budi bilang nggak ada panggilan telepon malaikat maut semalam.”

Aku pun langsung mendongak!

Tidak ada panggilan… itu justru kabar buruk sesungguhnya!

Kali ini, aku tidak lagi seperti biasanya. Tidak langsung bangkit, tidak minta maaf, tidak menjelaskan dengan rendah diri.

Aku hanya menurunkan tangan yang menutupi wajahku. Setelah mataku mulai menyesuaikan diri dengan cahaya, aku pun melihat mereka berdua dengan jelas.

Tatapan kami pun bertemu.

Gaun yang kukenakan penuh debu dan alkohol, sama sekali tidak terlihat seperti gaun pengantin yang dulu. Air mata di wajahku sudah kering, tapi tatapanku kini tenang, tanpa emosi seperti laut mati.

Franky pun mengerutkan keningnya dan membentak tidak puas, “Apain diam di sana? Cepat ke sini!”

Aku pun berpegangan pada dinding, perlahan-lahan menyangga tubuhku yang kaku dan mati rasa untuk berdiri. Kedua kakiku terasa seperti ditusuk jarum.

Aku berjalan melewatinya tanpa berhenti dan dengan suara serak, berkata, “Kunci.”

Franky mencengkeram lenganku dan bertanya, “Kamu mau apain lagi?”

“Kunci mobil,” ujarku tanpa menoleh.

“Berikan kuncinya padaku, aku mau pergi ke rumah sakit.”

Vivian bergumam pelan di belakangnya, “Pak Franky, dia masih saja keras kepala….”

“Biarkan saja.” Franky mencibir sambil melepaskan tangannya, “Yanto, ikuti dia.”

Yanto menyetir dengan sangat cepat.

Begitu mobil berhenti, aku pun membuka pintu mobil dan terhuyung-huyung berlari menuju lorong ICU.

Melihatku, perawat pun berkata dengan mata berkaca-kaca, “Bu Irene, kamu datang juga akhirnya… ibumu bertahan sepanjang malam. Saat sekarat, dia terus memanggil namamu, tangannya terus terulur ke arah pintu….”

Aku menggertakkan gigiku dan suaraku terdengar keluar dengan susah payah, “Bawa aku… untuk menemuinya.”

Lampu putih di kamar jenazah sangat pucat.

Saat kain putih itu disingkap, wajah ibu yang pucat langsung terpampang. Dua hari lalu kami masih menonton video promosi penginapan di pulau, dia tersenyum dan berkata akan memasakkan sup kesukaanku setelah keluar dari rumah sakit.

Sekarang matanya terpejam rapat, bibirnya membiru dan alisnya berkerut erat. Bahkan di saat terakhirnya, dia masih khawatir padaku.

“Waktu meninggal?” Suaraku terdengar bergetar.

“Pukul 4.23 dini hari,” jawab perawat dengan pelan.

“Kami menelepon lebih dari sepuluh kali….”

Tepat di saat aku dikunci di ruang bawah tanah dan menangis hingga kehabisan suara.

Dengan lembut aku memijat kerutan di dahi ibu. Aku membungkuk dan mencium keningnya yang dingin.

“Ibu… tunggu sebentar lagi. Kita akan segera bebas.”
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sepuluh Tahun Terperangkap Di Pernikahan Yang Salah   Bab 9

    Richard mengerutkan kening dan melangkah maju, tapi aku mengangkat tangan untuk menghentikannya.“Franky, dengan apa kamu mau memintaku untuk kembali padamu?” ucapku tenang, seolah sedang membicarakan sesuatu yang tak ada hubungannya denganku.Sekilas, cahaya langsung menyala di matanya, “Aku….”“Dengan surat utang bank delapan puluh triliun milik Grup Lister?” ujarku memotongnya, senyuman dingin pun terlukis di bibirku.Raut wajah Franky pun langsung memuram, tubuhnya terhuyung dan hampir tak bisa berdiri tegak.“Atau dengan keangkuhan dan kebodohanmu bertahun-tahun ini?” Aku melangkah maju, tatapanku menembus kepura-puraannya, “Kamu pikir gelas alkohol malam itu adalah jebakan ibuku agar aku bisa mendapatkan pria kaya sepertimu?”“Bukannya memang begitu?” ujarnya secara reflek untuk membantah.“Tentu saja bukan!” Suaraku meninggi, dipenuhi amarah yang telah kupendam selama sepuluh tahun, “Itu semua perbuatan keluargamu sendiri! Perbuatan ayahmu yang munafik dan ibumu yang licik!”“Me

  • Sepuluh Tahun Terperangkap Di Pernikahan Yang Salah   Bab 8

    Beberapa hari kemudian, malam lelang amal yang diselenggarakan bersama oleh Grup Sora dan Galeri Seni Rempang diadakan di lantai atas Hotel Pasifik.Richard membukakan pintu mobil untukku. Aku mengenakan gaun panjang berwarna biru galaxy, gaun yang dia pilihkan sendiri. Setelan jas biru tua yang dia kenakan tampak begitu serasi dengan gaunku.Kami berjalan berdampingan memasuki aula dan langsung menjadi pusat perhatian semua orang. Lampu kilatan kamera menyala serempak.“Pak Richard dan Bu Irene benar-benar pasangan serasi!”“Lukisan Bu Irene juga sangat sulit dibeli sekarang!”“Kudengar kakek Pak Richard juga sangat puas dengan calon cucu menantu ini….”Richard menanggapinya dengan tenang, selalu melindungiku di sampingnya dan menutup sebagian tatapan ingin tahu.Saat menaiki tangga, dia membungkuk dengan anggun, mengangkat ujung gaunku dan berbisik di telingaku, “Masih ingat saat di kampus dulu, kamu pernah nggak sengaja menumpahkan cat?”Aku tersenyum dan menjawab, “Kamu masih ingat

  • Sepuluh Tahun Terperangkap Di Pernikahan Yang Salah   Bab 7

    Franky tidak menyerah.Usahanya untuk ‘mengejar kembali’ terasa seperti lelucon yang menjengkelkan.Awalnya adalah karangan bunga raksasa yang dikirim ke galeri seni setiap hari. Mawar memenuhi meja resepsionis, dengan kartu bertanda tangan khasnya dan kalimat-kalimat penyesalan yang sudah terlambat.“Irene, aku sudah tahu salah. Berikan aku satu kesempatan lagi.”“Gaun pengantin itu sudah kuperbaiki, mau pulang melihatnya?”“Maagku kambuh lagi, sakit sekali. Tanpa obat yang kamu beli… aku nggak bisa menahannya.”Aku bahkan malas membuka kartunya. Semua bunga itu langsung kusuruh petugas kebersihan untuk membuangnya.Kemudian, dia mulai menelepon tanpa henti. Begitu nomor asing terangkat, terdengar suaranya yang menahan gelisah, “Irene, ayo kita bicara sebentar….”“Tut….” Aku langsung menutup telepon dan memblokir nomornya tanpa ragu.Sampai akhirnya, dia nekat menungguku di depan galeri.Mobil sport mahalnya terparkir di pinggir jalan. Dia bersandar di pintu mobil, wajahnya terlihat p

  • Sepuluh Tahun Terperangkap Di Pernikahan Yang Salah   Bab 6

    Cahaya di Galeri Seni Rempang menyinari setiap lukisan dengan lembut.Selama bertahun-tahun ini, aku tidak pernah berhenti melukis dan selalu mengirimkan karya untuk Desain Polla. Baru setelah ibuku meninggal, aku diundang untuk bekerja penuh waktu dan saat itulah aku tahu bahwa bos di balik layar Desain Polla adalah Richard.Dia menganggapku sebagai musenya. Semasa kuliah, dia menyembunyikan identitasnya sebagai pewaris kerajaan finansial untuk menjadi asisten dosen di studio lukisku. Kami pernah berdebat semalaman dan juga pernah menyalin karya Botticelli bersama.“Irene, selamat!” Richard menyodorkan gelas sampanye ke tanganku dan tersenyum hangat, “Kamu berhasil.”Aku menerima sampanye dan mendentingkan gelas dengannya. Lalu mendongak melihat lukisan minyak raksasa yang kuberi judul [Nirwana].Di kanvas itu, seekor burung api terlepas dari kandang, sayapnya yang seperti api menembus kegelapan dan terbang menuju kebebasan.“Pak Richard, karya Bu Irene sungguh luar biasa,” ujar seora

  • Sepuluh Tahun Terperangkap Di Pernikahan Yang Salah   Bab 5

    “Ha… mil?” Franky merasa rasa keram di perutnya, seketika berubah menjadi bor yang menggerus keras ke dalam otaknya.Mata Vivian berkaca-kaca, tapi dia tak bisa menyembunyikan rasa kemenangannya, “Pak Franky, kita sudah punya anak. Kamu nggak senang?”Tiba-tiba, tatapan Franky langsung membeku dan berkata dengan dingin, “Gugurkan.”Senyuman di wajah Vivian langsung menegang, “A… pa?”“Aku bilang gugurkan.” Dia menggeram setiap katanya dengan tekanan penuh.“Aku nggak butuh anak, apalagi anak darimu.”“Tapi aku sudah mengumumkannya ke publik!” ujar Vivian dengan suara yang meninggi karena panik.Dia melanjutkan, “Para wartawan sudah tahu! Keluargamu juga pasti akan tahu!”Franky tiba-tiba berdiri, mencengkeram pergelangan tangannya dengan keras dan berkata dengan dingin, “Kamu menjebakku?!”Raut wajah Vivian menjadi pucat seketika, tapi tetap bersikeras, “Pak Franky, kamu mungkin nggak menginginkan anak ini, tapi berbeda dengan keluargamu! Ini bukan keputusanmu sendiri!”Belum selesai

  • Sepuluh Tahun Terperangkap Di Pernikahan Yang Salah   Bab 4

    Tatapan Franky terpaku pada surat pemberitahuan di tangannya.“Waktu kematiannya 10 Oktober 2025, pukul 4.23 dini hari.”Tanpa sadar, Franky menggenggam erat-erat kertas itu, tangannya gemetar hebat.“Meninggal?” Suaranya terdengar kering dan dengan gemetar samar yang bahkan tak dirinya sadari, “…benar-benar sudah meninggal?”Pak Budi menunduk, suaranya terdengar berat, “Iya, Pak Franky. Rumah sakit sudah memastikannya. Bu Rina pergi dengan sangat… nggak tenang.”Di benaknya terlintas kembali sorot mata kosong Irene kemarin. Tidak ada keputusasaan, hanya ada kelegaan seseorang yang akhirnya bisa melepaskan segalanya.Rasa sakit yang datang terlambat, perlahan-lahan menghancurkan jantungnya.Namun, detik berikutnya, wajah ibu Irene yang penuh rencana busuk dan bayangan tubuhnya yang panas setelah bangun tidur, serta tatapan ketakutan wanita di bawahnya waktu itu, semua kenangan dirinya dijebak kembali menghantam keras.Franky meremas laporan itu menjadi gumpalan dan melemparkannya denga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status