LOGINHari peringatan pernikahan kami yang ke-10, suamiku, Franky melangkah masuk sambil merangkul pacar barunya yang ke-100. Lalu dengan tangannya sendiri melepas kalung simbol cinta kami dan memakaikannya ke leher gadis itu. Di tengah tawa para tamu, gadis itu dengan malu-malu menarik gaun yang kupakai dan berkata, “Kak, Pak Franky bilang dia ingin aku memakai gaun ini sekarang.” Gaun itu adalah hasil modifikasi dari gaun pengantinku sepuluh tahun lalu. Aku sengaja mengenakannya hari ini dan dengan bodohnya berpikir Franky akan mengingatnya. Namun, pada hari peringatan pernikahan kami, dia malah menyuruh istrinya melepaskan gaun di depan semua orang untuk pacarnya. Di tengah semua tatapan meremehkan itu, akhirnya aku memberinya senyuman tulus pertama yang kuberikan selama sepuluh tahun ini. “Franky, kita cerai saja.”
View MoreRichard mengerutkan kening dan melangkah maju, tapi aku mengangkat tangan untuk menghentikannya.“Franky, dengan apa kamu mau memintaku untuk kembali padamu?” ucapku tenang, seolah sedang membicarakan sesuatu yang tak ada hubungannya denganku.Sekilas, cahaya langsung menyala di matanya, “Aku….”“Dengan surat utang bank delapan puluh triliun milik Grup Lister?” ujarku memotongnya, senyuman dingin pun terlukis di bibirku.Raut wajah Franky pun langsung memuram, tubuhnya terhuyung dan hampir tak bisa berdiri tegak.“Atau dengan keangkuhan dan kebodohanmu bertahun-tahun ini?” Aku melangkah maju, tatapanku menembus kepura-puraannya, “Kamu pikir gelas alkohol malam itu adalah jebakan ibuku agar aku bisa mendapatkan pria kaya sepertimu?”“Bukannya memang begitu?” ujarnya secara reflek untuk membantah.“Tentu saja bukan!” Suaraku meninggi, dipenuhi amarah yang telah kupendam selama sepuluh tahun, “Itu semua perbuatan keluargamu sendiri! Perbuatan ayahmu yang munafik dan ibumu yang licik!”“Me
Beberapa hari kemudian, malam lelang amal yang diselenggarakan bersama oleh Grup Sora dan Galeri Seni Rempang diadakan di lantai atas Hotel Pasifik.Richard membukakan pintu mobil untukku. Aku mengenakan gaun panjang berwarna biru galaxy, gaun yang dia pilihkan sendiri. Setelan jas biru tua yang dia kenakan tampak begitu serasi dengan gaunku.Kami berjalan berdampingan memasuki aula dan langsung menjadi pusat perhatian semua orang. Lampu kilatan kamera menyala serempak.“Pak Richard dan Bu Irene benar-benar pasangan serasi!”“Lukisan Bu Irene juga sangat sulit dibeli sekarang!”“Kudengar kakek Pak Richard juga sangat puas dengan calon cucu menantu ini….”Richard menanggapinya dengan tenang, selalu melindungiku di sampingnya dan menutup sebagian tatapan ingin tahu.Saat menaiki tangga, dia membungkuk dengan anggun, mengangkat ujung gaunku dan berbisik di telingaku, “Masih ingat saat di kampus dulu, kamu pernah nggak sengaja menumpahkan cat?”Aku tersenyum dan menjawab, “Kamu masih ingat
Franky tidak menyerah.Usahanya untuk ‘mengejar kembali’ terasa seperti lelucon yang menjengkelkan.Awalnya adalah karangan bunga raksasa yang dikirim ke galeri seni setiap hari. Mawar memenuhi meja resepsionis, dengan kartu bertanda tangan khasnya dan kalimat-kalimat penyesalan yang sudah terlambat.“Irene, aku sudah tahu salah. Berikan aku satu kesempatan lagi.”“Gaun pengantin itu sudah kuperbaiki, mau pulang melihatnya?”“Maagku kambuh lagi, sakit sekali. Tanpa obat yang kamu beli… aku nggak bisa menahannya.”Aku bahkan malas membuka kartunya. Semua bunga itu langsung kusuruh petugas kebersihan untuk membuangnya.Kemudian, dia mulai menelepon tanpa henti. Begitu nomor asing terangkat, terdengar suaranya yang menahan gelisah, “Irene, ayo kita bicara sebentar….”“Tut….” Aku langsung menutup telepon dan memblokir nomornya tanpa ragu.Sampai akhirnya, dia nekat menungguku di depan galeri.Mobil sport mahalnya terparkir di pinggir jalan. Dia bersandar di pintu mobil, wajahnya terlihat p
Cahaya di Galeri Seni Rempang menyinari setiap lukisan dengan lembut.Selama bertahun-tahun ini, aku tidak pernah berhenti melukis dan selalu mengirimkan karya untuk Desain Polla. Baru setelah ibuku meninggal, aku diundang untuk bekerja penuh waktu dan saat itulah aku tahu bahwa bos di balik layar Desain Polla adalah Richard.Dia menganggapku sebagai musenya. Semasa kuliah, dia menyembunyikan identitasnya sebagai pewaris kerajaan finansial untuk menjadi asisten dosen di studio lukisku. Kami pernah berdebat semalaman dan juga pernah menyalin karya Botticelli bersama.“Irene, selamat!” Richard menyodorkan gelas sampanye ke tanganku dan tersenyum hangat, “Kamu berhasil.”Aku menerima sampanye dan mendentingkan gelas dengannya. Lalu mendongak melihat lukisan minyak raksasa yang kuberi judul [Nirwana].Di kanvas itu, seekor burung api terlepas dari kandang, sayapnya yang seperti api menembus kegelapan dan terbang menuju kebebasan.“Pak Richard, karya Bu Irene sungguh luar biasa,” ujar seora
“Ha… mil?” Franky merasa rasa keram di perutnya, seketika berubah menjadi bor yang menggerus keras ke dalam otaknya.Mata Vivian berkaca-kaca, tapi dia tak bisa menyembunyikan rasa kemenangannya, “Pak Franky, kita sudah punya anak. Kamu nggak senang?”Tiba-tiba, tatapan Franky langsung membeku dan berkata dengan dingin, “Gugurkan.”Senyuman di wajah Vivian langsung menegang, “A… pa?”“Aku bilang gugurkan.” Dia menggeram setiap katanya dengan tekanan penuh.“Aku nggak butuh anak, apalagi anak darimu.”“Tapi aku sudah mengumumkannya ke publik!” ujar Vivian dengan suara yang meninggi karena panik.Dia melanjutkan, “Para wartawan sudah tahu! Keluargamu juga pasti akan tahu!”Franky tiba-tiba berdiri, mencengkeram pergelangan tangannya dengan keras dan berkata dengan dingin, “Kamu menjebakku?!”Raut wajah Vivian menjadi pucat seketika, tapi tetap bersikeras, “Pak Franky, kamu mungkin nggak menginginkan anak ini, tapi berbeda dengan keluargamu! Ini bukan keputusanmu sendiri!”Belum selesai
Tatapan Franky terpaku pada surat pemberitahuan di tangannya.“Waktu kematiannya 10 Oktober 2025, pukul 4.23 dini hari.”Tanpa sadar, Franky menggenggam erat-erat kertas itu, tangannya gemetar hebat.“Meninggal?” Suaranya terdengar kering dan dengan gemetar samar yang bahkan tak dirinya sadari, “…benar-benar sudah meninggal?”Pak Budi menunduk, suaranya terdengar berat, “Iya, Pak Franky. Rumah sakit sudah memastikannya. Bu Rina pergi dengan sangat… nggak tenang.”Di benaknya terlintas kembali sorot mata kosong Irene kemarin. Tidak ada keputusasaan, hanya ada kelegaan seseorang yang akhirnya bisa melepaskan segalanya.Rasa sakit yang datang terlambat, perlahan-lahan menghancurkan jantungnya.Namun, detik berikutnya, wajah ibu Irene yang penuh rencana busuk dan bayangan tubuhnya yang panas setelah bangun tidur, serta tatapan ketakutan wanita di bawahnya waktu itu, semua kenangan dirinya dijebak kembali menghantam keras.Franky meremas laporan itu menjadi gumpalan dan melemparkannya denga






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments