"Astaghfirullah," ucapku begitu mendengar penjelasan Arum bahwa saat ini rumah Budhe Risma pun sudah di lelang untuk pengobatan Huda.Bagaimana bisa, anak yang ia banggakan justru membuatnya menderita seperti ini. Padahal yang kutahu, Huda adalah anak kesayangan Budhe Risma. Dia pandai dan pendiam, itulah sebabnya Budhe Risma sering kali membanggakannya ketika sedang acara keluarga.Namun siapa sangka, rupanya Huda berkelakuan seperti itu. Bahkan yang lebih mencengangkan, Arum berkata jika Huda membawa seluruh tabungan orangtuanya untuk bersenang-senang? Miris. Hidup memang hanya sebuah panggung sandiwara saja."Tapi biarin aja, Mbak. Budhe Risma kan juga udah jahat banget ke kita. Hanya perkara Ayah miskin ia bisa memaki dan menghina kita seenaknya sendiri. Mungkin ini juga bagian dari karmanya," tutur Arum terdengar sangat geram.Sejenak aku terdiam, rasanya masih tak percaya dengan kabar yang kudengar. Waktu bertemu dengan Budhe Risma saja aku masih belum percaya kalau Huda kecelak
Sebenarnya aku ingin tertawa sekarang, hanya saja aku tak akan setega itu meskipun mereka sudah jahat kepadaku dan keluargaku. Rencananya setelah dari rumah Tante Gina, aku ingin ke rumah Ayah. Namun di sini saja aku justru bertemu dengan Budhe Risma."Eh, Nak Zaki. Kok tiba-tiba muncul, dimana mobilnya?" tanya Tante Gina yang aku tahu hanya ingin memastikan jika kami tidak mendengar pembicaraannya dengan Budhe Risma."Ada di depan, Tante. Maaf jika kedatangan saya dan istri menganggu," tutur suamiku lembut."Ah, tidak. Kedatanganmu sama sekali tidak menganggu, apalagi jika datang sendiri," ujar tanteku itu membuatku muak."Mana mungkin saya datang sendiri, Tante. Ini kan keluarga istri saya. Oh iya, kebetulan ada Budhe Risma juga. Sekalian saja kalau begitu," kata Zaki padahal kami belum dipersilahkan duduk.Sepertinya suamiku itu tahu jika aku sudah tidak nyaman berada di sini. Bagaimana tidak, aku ada tapi tak dianggap ada oleh mereka.Tak apa, aku ke rumah ini pun hanya untuk meny
Aku masih tak bisa berfikir, apa yang sebenarnya diinginkan oleh Budhe Risma. Bukankah sebelumnya ia menghina kami? Bahkan terang-terangan Ayah sudah memutuskan untuk tidak ingin berurusan dengan mereka lagi. Lalu kenapa dia masih datang ke rumah? Padahal biasanya Budhe Risma sama sekali tidak mau menginjakkan kaki ke rumah kami."Astaghfirullah, perbuatan Budhe Risma sudah keterlaluan, Nana," ujar Zaki membuyarkan lamunanku."Bu, tak biasanya orang itu mau datang ke rumah kita. Kenapa tiba-tiba dia datang kemari?""Kita masuk dulu, Sayang. Tidak enak jika sampai ada yang mendengar pembicaraan kita. Ayo Nak Zaki kita masuk dulu, kita temui Ayah juga," kata Ibu tanpa menjawab pertanyaanku.Tanpa berkata-kata lagi kami lantas masuk ke dalam rumah. Memang rasanya tak pantas jika harus berbincang di depan rumah seperti itu.Ibu sepertinya memanggilkan Ayah, karena ia masuk ke dalam kamar. Sedikit banyaknya hatiku sedikit tersentuh, karena kini aku tak tinggal lagi di rumah ini. Sejak keci
Aku dan Zaki saling berpandangan ketika Pakde Irwan bertanya perihal uang kepadaku. Rupanya ia belum tahu jika istrinya baru saja merampas uang ayahku."Jangan dengarkan dia, Pa," ucap Budhe Risma terlihat gugup."Kenapa, Budhe? Aku kemari hanya ingin mengambil hak ayahku yang Budhe rampas."Suaminya itu terlihat lebih terkejut. Bagus saja, jika memang Pakde Irwan tidak tahu. Ia pasti akan marah pada Budhe Risma karena Pakdhe Irwan tak memiliki sifat seperti istrinya."Nana, jelaskan padaku.""Kemarin, Budhe datang ke rumah. Kata Ayah, Budhe meminta jatah warisan lagi. Padahal bukankah dulu warisan sudah di bagi rata? Dan bahkan Ayah hanya mendapatkan rumah itu saja? Lalu kenapa Budhe masih bersikeras memintanya? Dan lagi, Budhe juga merampas uang pemberian mertuaku, Pakde. Tanyakan saja padanya," ujarku dengan berapi-api.Pakde Irwan terlihat sedikit marah, ia menatap istrinya tajam. "Benarkah, Bu?"Kakak kandung ayahku itu terlihat pias, sepertinya perbuatannya itu juga tak diketahu
"Tidak, aku tidak setuju. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!" racau Budhe Risma."Pakde, bagaimana jika rumah ini tidak usah di lelang? Kalau di lelang, kalian mau tinggal dimana?" ucap Zaki tanpa memperdulikan teriakan-teriakan Budhe Risma.Aku menatap Zaki, rupanya dia masih peduli dengan saudaraku itu. Wajar saja, kalau orang normal pasti akan iba jika melihat saudaranya kesusahan. Namun entah apa yang ada di pikiran saudara-saudara Ayah, mereka justru senang jika keluargaku kesusahan."Tidak, Nak Zaki. Biarkan rumah ini di lelang. Aku yakin biaya Huda tidak sedikit. Setelah ini biarkan kami mencari kontrakan kecil, yang penting bisa untuk berteduh.""Jika memang itu keputusan Pakde, biarkan Zaki segera mengurus semuanya agar biaya rumah sakit Huda segera terbayarkan," sambungku, karena aku pun juga tidak tega melihat Huda berada di rumah sakit tanpa biaya. Terlebih menurut kabar yang kudengar, dia berada di ruang ICU. Aku yakin biayanya akan sangat mahal."Diam kamu! Ngga
"Assalamualaikum," ucap Zaki membuat mereka lantas menghentikan pembicaraannya.Aku berdiri di samping Zaki, sedang seorang polisi yang baru saja dihubunginya masih di perjalanan. Semoga saja, nanti Pakde Irwan juga segera sampai di rumah.Mereka tak ada yang menjawab salam yang diucapkan Zaki. Apalagi Tante Gina, dia melihatku dengan tajam."Maaf, Budhe, Tante. Apa Pakde Irwan ada? Kami ingin mengantarkan uang yang beliau sebutkan kemarin sebagai tanda pembayaran tanah," kata Zaki lagi meskipun mereka tak menanggapi kami."Mas Irwan tidak ada, ke rumah sakit," jawab Budhe Risma ketus."Oh, kalau begitu kita tunggu Pakde Irwan saja, A. Lagipula hari ini kita tidak ada jadwal lain, kan?" ujarku kepada suamiku.Zaki mengangguk, lalu duduk di hadapan saudara-saudara ayahku itu. Sedangkan aku, memang ditugaskan oleh Zaki untuk membawa sebuah tas kecil berisi uang lima ratus juta yang diminta oleh Pakde Irwan."Apa yang kamu bawa? Uang?" kata Budhe Risma lagi ketika kami baru saja duduk. M
"Sudahlah, Bu. Jangan mempersulit keadaan, cepat berikan sertifikatnya. Anak kita lebih penting dari apapun, kan?" ucap Pakde Irwan kepada istrinya.Budhe Risma tampak geram, ia berulang kali menatap adiknya. Mungkin ia berharap jika adiknya itu bisa membantunya. Namun apa daya, Pakde Irwan semakin mendesaknya agar segera menyerahkan sertifikat itu."Bu, ingin lihat Bapak marah? Uang bisa dicari, tapi nyawa anak kita tidak akan bisa dicari. Jika Ibu tetap bersikeras ingin mempertahankan aset-aset itu, biarkan Bapak pergi dan semua prosedur rumah sakit Huda juga akan Bapak cabut," kata Pakde Irwan lagi menggertak istrinya.Kakak ayahku itu pun terlihat terkejut dengan perkataan suaminya. Aku tahu jika sejak awal ia hanya berbohong saja dan ingin mengelabui kami. Namun untung saja Zaki sangat cerdik sehingga kami tak mudah tertipu seperti ini."Baik, akan Ibu ambilkan."Senyum merekah di bibir kami semua, terkecuali Tante Gina. Ia melirikku tajam, sepertinya sebuah dendam memuncak di ha
Wajah pias Sofia masih terlihat jelas ketika Zaki dan suaminya datang. Ia tampak sangat terkejut ketika Zaki menyebutku sebagai istrinya. Ya, meskipun semua itu memang benar adanya. Aku sekarang adalah istri dari Zaki, anak pemilik ladang terbesar di daerah ini."Aku sudah kenal, A. Bahkan dari kecil," ujarku membuat Zaki juga terkejut."Benar kah?""Lho, bukannya ini saudaramu, Sayang. Anak Pakde Tohir. Siapa ya namanya, aku lupa," kata suami Sofia dengan menatapku lekat seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.Sofia terlihat malas, ia mendekati suaminya. "Nana namanya. Itu lho Sayang, yang kemarin ke pernikahan Tari dan sekeluarga pakai seragam lusuh bekas waktu pernikahan kita," tandas Sofia ketus. Aku yakin, dia sengaja mengatakan hal itu untuk menjatuhkan harga diriku.Suaminya hanya terdiam, dia terlihat tak bersifat sama dengan istrinya. Lagipula mana mungkin ia akan ikut mengataiku, pasti dia tak enak karena di depan Zaki."Kamu ingat kan, Yang? Bahkan kemarin dia kan marah-mar