Share

Bab 4

"Apa kita akan tetap datang ke acara pernikahan anak Tante Gina setelah kita hanya disuruh pakai seragam bekas, Yah? Kita sudah tidak di hargai, kalaupun datang pasti hanya akan dijadikan bahan candaan," ujarku ketika kami berempat sedang makan malam.

"Betul, Yah. Arum yakin sebetulnya bukan seragamnya yang habis, tapi memang kita tidak dikasih," sambung adik perempuanku.

Benar apa yang dikatakan oleh Arum, hanya saja aku tidak ingin mengatakan hal itu kepada kedua orangtuaku. Bisa-bisa ibuku akan jatuh sakit nantinya.

"Sudah, jangan berdebat di meja makan. Pamali," jawab Ayah tanpa berniat menyambungi pembicaraan kami.

Memang begitulah Ayah, tak pernah mau berdebat ataupun menjelek-jelekkan saudaranya. Padahal sudah jelas terlihat bahwa mereka tidak suka dengan kita. Sedangkan Ibu? Dia juga hanya diam dan menuruti semua yang dikatakan oleh Ayah.

Awalnya kami juga begitu, tapi lambat laun kami tahu jika sikap Tante Gina sudah diluar batas. Mereka tak hanya ingin kami membantunya, tapi juga ingin merendahkan kami. Entah, sebenarnya ada dendam apa Tante Gina pada keluarga kami.

Aku dan Arum mendengus kesal, lalu melanjutkan makan meski sudah tak berselera. Walau bagaimanapun aku masih memiliki perasaan, dan sangat tidak ingin jika harga diri keluargaku diinjak-injak seperti ini.

Pekerjaanku sebagai buruh pabrik hanya cukup untuk membantu sekolah Arum. Aku tidak bisa berbuat banyak. Namun, setelah pernikahanku dengan Zaki berlangsung aku berharap semua akan menjadi lebih baik lagi.

..

Hari berganti hari, hingga tak terasa waktu yang kami ingin hindari tiba, yaitu pernikahan Tari, anak kedua Tante Gina. Seragam warna maroon yang warnanya hampir pudar sudah disiapkan oleh Ibu sejak malam tadi, tapi aku sama sekali tidak berniat meliriknya walau sebentar. Aku yakin, Arum pun pasti juga merasakan hal yang sama.

"Mbak, apa kita yakin akan berangkat? Dengan seragam yang sudah usang itu?" ucap Arum yang seakan tahu apa yang sedang kupikirkan.

Aku hanya mengangkat kedua bahuku, lalu membuka jendela kamar yang terbuat dari kayu. Ya, rumahku hampir delapan puluh persen masih terbuat dari kayu. Inipun sebenarnya adalah warisan dari orangtua Ibu yang telah tiada.

"Kita tanya Ayah saja, ya," jawabku singkat.

Meskipun kami tahu apa jawabannya, tapi setidaknya kami ingin memastikan sekali lagi. Siapa tahu  keputusan Ayah berubah.

"Kita akan tetap berangkat, dengan atau tidak pakai seragam baru. Semua pakaian itu sama asal bersih dan tertutup. Jangan jadi orang yang hanya memandang sesuatu dari segi uang anak-anakku sayang. Semoga saja, suatu saat nanti kita akan dicukupkan rezekinya sehingga bisa seperti mereka." Perkataan itulah yang pada akhirnya membawaku dan Arum berangkat meski dengan perasaan tak menentu.

Kami tahu maksud Ayah baik, hanya saja kami sebagai anaknya tidak bisa menelan mentah-mentah apa yang telah dilakukan oleh para saudaranya. Kini aku sadar, meski keluar dari rahim yang sama tapi nasib dan sifatnya tidak akan pernah sama.

Dan apa yang kita pikirkan terjadi juga, sesampainya di rumah Tante Gina semua sudah bersiap dengan seragam warna pastel yang beberapa hari yang lalu dibagikan oleh si tuan rumah. Sedangkan keluargaku hanya memakai seragam bekas nikahan Sofia yang warnanya sudah hampir pudar.

Hampir semua orang memandang ke arah kami. Tak terkecuali si tuan rumah yang justru tersenyum sinis dan terlihat sangat puas.

"Astaga, baju warnanya udah pudar kaya gitu masa masih dipakai."

"Emang nggak ada baju lain, ya?"

"Kalau aku sih mending nggak datang. Malu."

Tak hanya itu saja, ada banyak bisikan yang kudengar ketika kami melintas di hadapan mereka. Mereka memang berstatus saudara kami, tapi tidak dengan hatinya. Kata-kata saudara rupanya hanya menjadi sebuah status saja bagi mereka.

"Akhirnya kakakku datang juga. Ayo masuk Mas Tohir dan keluarga," sambut Tante Gina membuatku muak.

Kulirik sekilas Ayah tersenyum tipis meski dipaksakan, begitu juga Ibu. Sedangkan aku dan Arum, tak kami sunggingkan senyuman sedikitpun.

"Duduk di sini saja, biar dekat sama meja makan. Aku tahu pasti kalian dari rumah belum makan, kan? Perjalanan jauh, naik angkot, keringetan, pasti laper. Nanti biar cepet dan duluan ambil makanannya," celetuk Tante Gina lagi membuat telingaku panas.

"Bu, jaga bicaramu. Ada banyak orang," ucap om Burhan, suami Tante Gina.

"Kenapa, Pak? Memang begitu adanya, kan? Sudah ... Kalian di sini saja, ya. Nanti kalau acara sudah selesai sekalian bisa bantu-bantu."

Kukepalkan kedua telapak tanganku, tapi aku masih bisa menahan amarah karena menjaga martabat kedua orangtuaku di depan orang banyak. Hanya saja kulihat kedua mata Arum tersirat sebuah kebencian yang mendalam untuk keluarga adik Ayah itu.

"Tante! Dengar! Jangan rendahkan keluarga kami lagi karena sebentar lagi kakakku akan menikah dengan Kak Zaki. Tahu kan siapa Kak Zaki? Anak dari Tuan Muh, pemilik ladang terbesar di daerah ini. Jadi kalian semua jangan sombong dan besar kepala dengan semua kekayaan kalian. Karena sebentar lagi kami akan sederajat dengan kalian!" tandas Arum menggebu membuat semua orang memandang ke arah kami, terutama Tante Gina. Dia menatap Arum dengan mulut yang menganga.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Anissa Bahmed
sebenar mereka aja oon dah di hina kok masih sok baik ....bagus ga datang daripada menyakitkan hati dan mental diri sendiri ...... geram aku sama orang teralu baik dan ligu
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Keterlaluan banget tantenya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status