"Apa kita akan tetap datang ke acara pernikahan anak Tante Gina setelah kita hanya disuruh pakai seragam bekas, Yah? Kita sudah tidak di hargai, kalaupun datang pasti hanya akan dijadikan bahan candaan," ujarku ketika kami berempat sedang makan malam.
"Betul, Yah. Arum yakin sebetulnya bukan seragamnya yang habis, tapi memang kita tidak dikasih," sambung adik perempuanku.
Benar apa yang dikatakan oleh Arum, hanya saja aku tidak ingin mengatakan hal itu kepada kedua orangtuaku. Bisa-bisa ibuku akan jatuh sakit nantinya.
"Sudah, jangan berdebat di meja makan. Pamali," jawab Ayah tanpa berniat menyambungi pembicaraan kami.
Memang begitulah Ayah, tak pernah mau berdebat ataupun menjelek-jelekkan saudaranya. Padahal sudah jelas terlihat bahwa mereka tidak suka dengan kita. Sedangkan Ibu? Dia juga hanya diam dan menuruti semua yang dikatakan oleh Ayah.
Awalnya kami juga begitu, tapi lambat laun kami tahu jika sikap Tante Gina sudah diluar batas. Mereka tak hanya ingin kami membantunya, tapi juga ingin merendahkan kami. Entah, sebenarnya ada dendam apa Tante Gina pada keluarga kami.
Aku dan Arum mendengus kesal, lalu melanjutkan makan meski sudah tak berselera. Walau bagaimanapun aku masih memiliki perasaan, dan sangat tidak ingin jika harga diri keluargaku diinjak-injak seperti ini.
Pekerjaanku sebagai buruh pabrik hanya cukup untuk membantu sekolah Arum. Aku tidak bisa berbuat banyak. Namun, setelah pernikahanku dengan Zaki berlangsung aku berharap semua akan menjadi lebih baik lagi.
..
Hari berganti hari, hingga tak terasa waktu yang kami ingin hindari tiba, yaitu pernikahan Tari, anak kedua Tante Gina. Seragam warna maroon yang warnanya hampir pudar sudah disiapkan oleh Ibu sejak malam tadi, tapi aku sama sekali tidak berniat meliriknya walau sebentar. Aku yakin, Arum pun pasti juga merasakan hal yang sama.
"Mbak, apa kita yakin akan berangkat? Dengan seragam yang sudah usang itu?" ucap Arum yang seakan tahu apa yang sedang kupikirkan.
Aku hanya mengangkat kedua bahuku, lalu membuka jendela kamar yang terbuat dari kayu. Ya, rumahku hampir delapan puluh persen masih terbuat dari kayu. Inipun sebenarnya adalah warisan dari orangtua Ibu yang telah tiada.
"Kita tanya Ayah saja, ya," jawabku singkat.
Meskipun kami tahu apa jawabannya, tapi setidaknya kami ingin memastikan sekali lagi. Siapa tahu keputusan Ayah berubah.
"Kita akan tetap berangkat, dengan atau tidak pakai seragam baru. Semua pakaian itu sama asal bersih dan tertutup. Jangan jadi orang yang hanya memandang sesuatu dari segi uang anak-anakku sayang. Semoga saja, suatu saat nanti kita akan dicukupkan rezekinya sehingga bisa seperti mereka." Perkataan itulah yang pada akhirnya membawaku dan Arum berangkat meski dengan perasaan tak menentu.
Kami tahu maksud Ayah baik, hanya saja kami sebagai anaknya tidak bisa menelan mentah-mentah apa yang telah dilakukan oleh para saudaranya. Kini aku sadar, meski keluar dari rahim yang sama tapi nasib dan sifatnya tidak akan pernah sama.
Dan apa yang kita pikirkan terjadi juga, sesampainya di rumah Tante Gina semua sudah bersiap dengan seragam warna pastel yang beberapa hari yang lalu dibagikan oleh si tuan rumah. Sedangkan keluargaku hanya memakai seragam bekas nikahan Sofia yang warnanya sudah hampir pudar.
Hampir semua orang memandang ke arah kami. Tak terkecuali si tuan rumah yang justru tersenyum sinis dan terlihat sangat puas.
"Astaga, baju warnanya udah pudar kaya gitu masa masih dipakai."
"Emang nggak ada baju lain, ya?"
"Kalau aku sih mending nggak datang. Malu."
Tak hanya itu saja, ada banyak bisikan yang kudengar ketika kami melintas di hadapan mereka. Mereka memang berstatus saudara kami, tapi tidak dengan hatinya. Kata-kata saudara rupanya hanya menjadi sebuah status saja bagi mereka.
"Akhirnya kakakku datang juga. Ayo masuk Mas Tohir dan keluarga," sambut Tante Gina membuatku muak.
Kulirik sekilas Ayah tersenyum tipis meski dipaksakan, begitu juga Ibu. Sedangkan aku dan Arum, tak kami sunggingkan senyuman sedikitpun.
"Duduk di sini saja, biar dekat sama meja makan. Aku tahu pasti kalian dari rumah belum makan, kan? Perjalanan jauh, naik angkot, keringetan, pasti laper. Nanti biar cepet dan duluan ambil makanannya," celetuk Tante Gina lagi membuat telingaku panas.
"Bu, jaga bicaramu. Ada banyak orang," ucap om Burhan, suami Tante Gina.
"Kenapa, Pak? Memang begitu adanya, kan? Sudah ... Kalian di sini saja, ya. Nanti kalau acara sudah selesai sekalian bisa bantu-bantu."
Kukepalkan kedua telapak tanganku, tapi aku masih bisa menahan amarah karena menjaga martabat kedua orangtuaku di depan orang banyak. Hanya saja kulihat kedua mata Arum tersirat sebuah kebencian yang mendalam untuk keluarga adik Ayah itu.
"Tante! Dengar! Jangan rendahkan keluarga kami lagi karena sebentar lagi kakakku akan menikah dengan Kak Zaki. Tahu kan siapa Kak Zaki? Anak dari Tuan Muh, pemilik ladang terbesar di daerah ini. Jadi kalian semua jangan sombong dan besar kepala dengan semua kekayaan kalian. Karena sebentar lagi kami akan sederajat dengan kalian!" tandas Arum menggebu membuat semua orang memandang ke arah kami, terutama Tante Gina. Dia menatap Arum dengan mulut yang menganga.
"Hahaha ... Mana mungkin anak Tuan Muh yang kaya itu mau sama kakakmu, Arum. Mereka itu keluarga terhormat, sedangkan kalian, hanya mampu pakai seragam bekas," tutur Laras, anak bungsu Tante Gina yang kudengar juga sedang menyukai Zaki.Arum bersiap hendak berteriak, tapi aku segera mencegahnya. "Iya, memang benar adikku bergurau. Dia hanya sedang berhalusinasi. Namun jangan salahkan takdir jika sampai suatu saat nanti derajat kita akan sama, atau bahkan lebih tinggi keluargaku, keluarga Pak Tohir," ucapku dengan lantang sembari menatap ayahku yang hanya menunduk pasrah.Adikku menganggukkan kepala dengan sangat mantap, membuat semangatku berkobar dua kali dari sebelumnya. Ayah dan Ibu terlihat sedih, mungkin mereka menyayangkan sikapku dan Arum yang arogan. Padahal mereka sama sekali tidak pernah mengajarkan hal itu, mereka selalu mengajarkan kami dengan tutur kata yang baik dan harus menghormati orang yang lebih tua dari kami.Namun sekarang, kondisinya berbeda. Mereka sudah terlalu
[Percuma kasih tanda cinta kalau cuma dikit, mending nggak usah. Terimakasih untuk saudara-saudaraku yang lain, kalian memang the best]Dadaku panas, aku yakin status Tante Gina itu ditujukan untuk keluargaku. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk keluargaku? Memang mereka sangat benci dengan kami, entah apa alasannya.[Maaf, Tante. Memang kami hanya bisa memberikan sedikit. Kalau tak berkenan lebih baik di berikan kepada yang membutuhkan saja, tidak perlu diumbar di sosial media]Satu balasan untuk postingan Tante Gina kukirimkan. Jari-jariku begitu gatal ketika membaca postingan-postingan yang ia unggah. Hanya saja kemarin-kemarin aku tak ingin menanggapinya, tapi kali ini ia sudah sangat keterlaluan.Terlebih subuh tadi aku juga melihat jika Laras pun mengunggah sebuah ejekan untukku. Dia berkata jika keluarga miskin tak akan bisa bersanding dengan konglomerat, apalagi sampai menikahi anak juragan ladang.Baiklah, Tante Gina, Laras, dan semua keluarga yang sudah merendahkanku, akan se
Saudara yang terlihat benci dan selalu merendahkan keluargaku karena miskin itu terlihat terkejut ketika tahu bahwa aku calon istri Zaki, anak dari juragan ladang. Mungkin dia masih berfikir, bagaimana bisa aku yang miskin ini akan bersanding dengan lelaki kaya itu."Laras, kenapa diam?" ucapku lagi ketika dia masih terlihat membeku.Baju brukat warna putih masih menempel di badanku. Tante Lusi sangat pandai dalam memadupadankan baju dan aksesoris. Meskipun baru mencoba, tapi aku sudah telihat sangat cantik sebagai pengantin.Laras tak menjawab perkataanku, tapi dia justru tertawa lantang. Dia memang terlihat aneh."Mana mungkin aku percaya, Nana? Sudahlah ... Kalian jangan bergurau," tuturnya membuatku mengernyitkan dahi.Bagaimana dia bisa tidak percaya? Padahal aku sudah mencoba baju pengantin bersama Zaki."Aa Zaki, aku tahu Anda sedang bergurau. Mana mungkin Anda sekeluarga mau meminang gadis miskin seperti dia. Mungkin Nana hanya Anda suruh untuk mencoba baju pengantin untuk ist
"Maaf, Yah. Arum nggak mau datang. Bukan begitu, Mbak? Kami nggak mau datang ke tempat orang yang sudah merendahkan keluarga kita," tutur Arum secara tiba-tiba.Aku yang masih terdiam lantas ikut mengangguk. "Iya, Yah. Nana juga tidak mau ke sana. Nana tidak tahan dengan sikap keluarga yang lain, terutama Tante Gina dan anak-anaknya. Biar saja kita dibilang tak tahu diri, yang penting harga diri kita tak diinjak-injak terus menerus."Ayah terlihat sedih, mungkin dia menyayangkan sikapku dan Arum yang menolak di ajak ke rumah Tante Gina lagi. Biar saja, kami sudah bosan di hina."Yasudah kalau itu mau kalian, biar Ayah dan Ibu saja yang kesana," tutur Ayah membuatku lagi-lagi saling berpandangan dengan Arum.Ayah tetap akan berangkat meski aku dan Arum sudah memberinya nasehat. Bagi kami, semiskin-miskinnya kami, harga diri tetap yang utama. Namun bagi Ayah, keutuhan saudaranya lah yang paling utama. Memang, ayah kami terlalu polos sehingga tidak ingin jika saudara-saudaranya terpecah
"Sudah, pulang sana, Mas. Tapi jangan harap setelah ini kamu sekeluarga bisa kumpul lagi bersama kita. Iya kan Mbak Risma?" tutur Tante Gina membuatku semakin murka.Kupandangi Ayah dalam, aku ingin dia melihat kesungguhan dalam manik matanya. Akankah dia tetap membela saudaranya, atau kami keluarga kecilnya."Cukup. Ini pilihan yang sulit. Apa kalian tidak bisa berdamai? Kita hidup rukun seperti dulu lagi?" tutur Ayah tak memberikan jawaban."Bisa. Kami bisa berdamai seperti dulu lagi asal semua saudara Ayah memperlakukan kita layaknya saudara, bukan pembantu!" tandasku tajam dengan menatap Tante Gina dan Budhe Risma bergantian.Lagipula aku heran, apa suami-suaminya tidak mengajarkan bagaimana bersikap baik kepada saudara? Kenapa aku lihat saudara-saudara ayahku ini seakan menerkam Ayah hidup-hidup. Seharusnya mereka menasehati istri-istrinya, bukan malah mendukung apa yang mereka lakukan."Siapa yang memperlakukan kalian seperti pembantu, Nana? Bukankah dari kamu kecil, memang suda
Semua anggota keluargaku masih terdiam usai orang suruhan Tuan Muh mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke rumahku. Ya, dia datang untuk menyampaikan jika pernikahanku dengan Zaki di majukan."A-apa. Bagaimana, Pak? Apa Anda serius?" ucap Ayah terbata."Iya, Pak. Saya serius. Bu Halimah sedang sakit dan beliau ingin segera menyaksikan anaknya menikah dihadapannya," ucap tangan kanan Tuan Muh yang seingatku bernama Pak Lukas."Tapi kami belum memiliki persiapan apapun, Pak. Bagaimana kami akan datang kesana." Kali ini Ibu yang mengatakan demikian.Pak Lukas tersenyum, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaket hitamnya. "Pak, Bu. Saya mendapatkan amanah dari Tuan Muh. Mohon di terima."Diserahkannya sebuah plastik hitam yang lumayan besar, aku tak tahu apa isinya. Namun jika kuterka sepertinya berisi sejumlah uang."Apa ini?" tanya Ayahku lagi tanpa berani menyentuhnya."Ini ada sejumlah uang untuk kalian gunakan untuk bersiap-siap. Kata Tuan Muh ini kurang lebih dua puluh juta rupi
Pagi-pagi buta semua anggota keluargaku sudah disibukkan dengan persiapan pernikahanku yang diadakan sangat mendadak. Setelah kemarin tangan kanan Tuan Muh datang dan meminta hari ini agar aku dapat menikah dengan Zaki karena ibunya sakit.Aku tak terlalu sibuk, karena sejujurnya saja aku justru sibuk menata hati dan pikiranku yang sedikit kalut. Antara tak percaya dengan apa yang akan kujalani, juga sangat gugup karena sebentar lagi statusku akan berubah."Nana, kok malah diem aja. Buruan siap-siap," ucap Ibu yang baru saja melintas di depan kamarku dan melihatku masih terduduk di atas sajadah sembari melamun.Tanpa menjawabnya, aku lantas melipat sajadah yang telah kugunakan beribadah setengah jam yang lalu. Rasanya duduk dan melamun di atas sajadah seusai sholat sangat menenangkan jiwa."Bu, Arum pakai baju ini saja, ya. Yang masih terlihat bagus hanya ini," teriak Arum dari dalam kamar ketika aku memilih membuka jendela ruang tamu."Bu, jangan sampai ada yang ketinggalan, ya. Kasi
"Mbak, dari tadi Tante Gina telepon aku terus. Om Burhan juga. Kayaknya mereka mau tanya soal pernikahan kamu, deh," ucap Arum ketika kami berada di luar rumah sakit."Terus kamu angkat?"Dia menggeleng, tapi disertai kekehan kecil. "Biar aja, Mbak. Mereka pasti bingung dengan unggahanku itu.""Sebenarnya aku nggak enak, seakan menggunakan nama Zaki untuk naik ke atas," ujarku dengan menyandarkan tubuhku di kursi taman tempat kami mengobrol.Arum juga langsung terdiam, dia menatapku dengan sendu. "Mbak, aku tahu bagaimana perasaanmu. Lagipula soal rumah, itu sudah menjadi hakmu sebagai istri kan? Dan juga, Ayah menolak pemberian rumah dari Mas Zaki "Ya, memang benar. Usai Zaki mengutarakan niatnya untuk mengajak mereka pindah, Ayah menolah. Ia merasa tak enak hati jika lantas pindah dan menempati rumah pemberian keluarga Zaki. Hanya saja, Ayah meminta pekerjaan pada Tuan Muh agar bisa untuk menyambung sekolah Arum. Dan betapa baiknya mereka, Ayah justru dijadikan sebagai pengawas lad