Short
Seratus Kali Janji Palsu

Seratus Kali Janji Palsu

By:  MakjosCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
7Chapters
5views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Hari pendaftaran pernikahan, aku menunggu di Kantor Catatan Sipil sejak pagi hingga langit gelap. Sementara itu, pacarku Soni malah menemani cinta pertamanya naik gunung. Aku meneleponnya belasan kali, tapi semuanya ditolak. Sampai telepon ke-20 baru dia mengangkat. "Sehari nggak ketemu aku saja kamu harus menelepon puluhan kali, mau nyawa aku diambil, ya? Kamu sebenarnya segitu kekurangan lelaki, ya?" "Yeni lagi nggak enak badan, jantungnya kambuh. Aku harus jagain dia di rumah sakit. Urusan nikah, lain kali saja." Sepuluh tahun bersama, ini sudah ke-100 kalinya Soni meninggalkanku sendirian di depan Kantor Catatan Sipil demi perempuan itu. Untuk ke-101 kalinya, dia hanya meninggalkan pesan. [Sayang, jam sepuluh ketemu di Kantor Catatan Sipil.] Aku menahan tawa dingin, mengabaikan pesannya, lalu melangkah naik ke pesawat menuju luar negeri. Soni, kali ini aku tidak akan memilihmu lagi. Pria yang biasanya selalu terlihat tenang itu, begitu tahu aku pergi, benar-benar kehilangan kendali menggila.

View More

Chapter 1

Bab 1

Dari telepon terdengar suara jernih Yeni.

"Maaf ya, Cesya. Jantungku lagi nggak enak. Soni khawatir, jadi maksa aku tinggal di rumah sakit buat observasi beberapa hari. Nanti pulang, aku pasti suruh dia minta maaf sama kamu."

Aku tidak menjawab, hanya diam mendengarkan suara angin yang berdesir, lalu terdengar suara dingin Soni.

"Kamu memang terlalu lembut. Kalau ada yang nyakitin kamu, kamu sendiri pun nggak sadar."

"Cesya, kamu jangan terlalu mempermasalahkan ini. Badan Yeni memang selalu lemah. Kita cari waktu lain saja buat urus pernikahan ini."

Ternyata dia bukannya tidak tahu hari ini hari mendaftar pernikahan, hanya sibuk menemani perempuan yang paling dia sayangi bahkan kabar pembatalan pun enggan dia sampaikan padaku.

Dulu, di saat seperti ini, aku pasti sudah hancur, menangis, dan kehilangan kendali. Aku akan memaksa bertengkar dengan Soni untuk mencari jawaban.

Sekarang, hatiku benar-benar tenang.

Suaraku tetap datar. "Kalau nggak ada urusan lain, aku tutup dulu."

Soni mengira aku akhirnya mengerti, suaranya bahkan terdengar lembut. "Asal kamu nggak marah. Aku beneran nggak bisa ninggalin Yeni sekarang. Nanti beberapa hari lagi kita…"

Aku tanpa ekspresi memutus telepon, menatap pintu Kantor Catatan Sipil yang tertutup rapat. Aku melepaskan cincin dari jariku dan membuangnya ke tempat sampah di samping.

Dalam perjalanan pulang, aku membuka status WhatsApp Yeni.

Waktu unggahannya baru saja. [Naik gunung bareng orang tercinta! Bos besar hari ini sibuk sekali, tapi tetap mau luangin waktu nemenin aku! Cinta kamu!]

Mereka berdua bergandengan erat, wajah saling menempel mesra seperti pasangan yang sedang dimabuk cinta. Sinar matahari senja menyinari mereka, tenang dan indah.

Kolom komentar penuh dengan tulisan “iri banget!”

Jujur saja, selama bertahun-tahun, aku dan dia bahkan tidak punya satu pun foto yang layak ditunjukkan.

Dulu aku pernah berkali-kali mengajaknya naik gunung, tapi dia hanya tertawa sambil bilang akan menemaniku setelah urusannya selesai.

Aku menunggu tahun demi tahun. Saat aku bertanya terlalu sering, dia hanya melambaikan tangan dan berkata, "Naik gunung itu capek. Aku sibuk kerja. Kamu bisa nggak berhenti ganggu aku sama hal kecil begini?"

Ternyata dia bukan nggak mau naik gunung, dia hanya tidak mau naik gunung denganku.

Aku terus menggulir linimasa Yeni, dadaku terasa perih seperti ditusuk jarum rapat-rapat.

Mereka pernah melihat indahnya pegunungan salju bersama, menonton konser penyanyi favoritku bersama, bahkan keliling dunia bersama. Setiap foto yang mereka ambil jadi bukti mereka pernah saling memiliki.

Semua momen itu jatuh tepat di hari ketika Soni bilang padaku bahwa dia harus dinas luar kota atau sedang bersiap urus pernikahan denganku.

Aku seperti lelucon, terus-menerus menghibur diri sendiri dengan keyakinan bahwa dia pasti sedang berusaha demi masa depan kami.

Saat sampai di rumah, aku membuka kotak yang dia simpan rapi di ruang kerjanya.

Melihat setumpuk tiket pesawat dan foto-foto yang tak terhitung jumlahnya. Hatiku benar-benar mati. Aku langsung menekan nomor telepon seniorku.

"Kak Risti, aku sudah memutuskan. Aku siap pergi ke luar negeri bergabung sama orkestra yang Kakak dirikan. Aku nggak akan kembali lagi."

Seniorku jelas terkejut, lalu suaranya terdengar senang.

"Serius, Cesya? Begitu visa kamu turun, aku langsung belikan tiket. Aku sudah mengundangmu dari lama, akhirnya kamu mau juga."

Lalu dia terdengar sedikit khawatir. "Soni tahu belum? Jangan-jangan ini karena kalian bertengkar, terus kamu asal mengiyakan?"

Aku menggeleng. "Bukan, ini keinginanku sendiri."

Risti terdengar lega. Setelah memastikan, dia langsung mengirim kontrak padaku.

Tanpa ragu sedikit pun aku menandatanganinya.

Aku mendorong pintu gudang sesampainya depan gudang lantai dua.

Di tengah ruangan, piano itu dipenuhi debu tebal, persis seperti semua waktu yang dulu kuanggap indah tapi diam-diam terkubur.

Setelah lama bersama, Soni selalu nggak suka kalau aku ikut tur bersama orkestra. Dia selalu bilang orang-orang di sana penuh intrik dan berantakan, katanya itu bisa merusak pikiranku. Dia takut aku meninggalkannya.

Karena dulu dia putus dengan Yeni juga gara-gara Yeni ingin mengejar mimpi musiknya ke luar negeri.

Aku tahu dia tidak punya rasa aman, aku pikir dia sungguh membutuhkanku.

Hatiku luluh, aku mengundurkan diri dari orkestra, meninggalkan mimpiku yang sudah kujalani bertahun-tahun, lalu hidup hanya untuk mengurus rumah tangga demi dia.

Tapi, di linimasa Yeni, aku justru melihat di hari jadi hubungan kami. Soni sengaja memborong semua tiket konser dan mengajak seluruh karyawannya datang untuk mendukungnya. Hari itu aku jelas-jelas sudah memberi tahu lebih awal, menyiapkan belasan hidangan dan kue, menunggunya sampai tengah malam.

Mataku panas dan basah, lalu air mata jatuh begitu saja.

Kenapa Yeni bisa bebas mengejar mimpinya?

Sedangkan aku tidak.

Pernah aku bertanya padanya. Dia hanya tertawa sambil merangkulku. "Kamu dan Yeni itu beda."

Saat itu aku yakin, di matanya aku istimewa.

Sekarang aku baru mengerti. Bedanya ada di sana. Yeni adalah perempuan yang paling dia sayangi, jadi dia bisa bebas melakukan apa pun. Sedangkan aku tidak. Aku hanya dianggap pelengkap hidupnya. Semua tentangku harus ada dalam genggamannya.

Aku meminta pembantu membersihkan piano. Setelah itu aku duduk sendiri dengan tenang, memainkan beberapa lagu.

Esok harinya, untuk pertama kalinya aku bisa tidur sampai bangun alami.

Soni duduk di sofa dan menatapku dengan nada kesal. "Hari ini kenapa bangun selambat ini? Masih kepikiran soal kemarin? Kamu kok sekecil itu saja dibawa perasaan?"

Aku memotong perkataannya. "Aku nggak marah. Akhir-akhir ini capek, jadi tidur lebih lama."

"Bagus kalau begitu." Soni meletakkan ponselnya dan mengerutkan kening. "Cuma soal daftar nikah, nggak usah dibesar-besarkan. Beberapa hari lagi kita bisa pilih tanggal lain."

"Yeni kondisinya memang nggak bagus. Dia sendirian di sini tanpa keluarga. Aku harus lebih sering jagain dia. Kamu jangan manja."

Tatapan Soni tajam. Alisnya terkatup rapat, seolah pertanyaan kecilku kemarin adalah kesalahan besar yang tidak bisa dimaafkan.

Dia mendorong kotak kecil berisi roti udang dari Hadalo ke arahku. Suaranya datar seperti memberi sisa makanan. "Sarapan, makanlah."

Karena aku tidak segera mengambilnya, dia berdiri dengan nada jengkel. "Kamu ini masih marah, 'kan? Sebenarnya kamu maunya apa…"

"Aku alergi makanan laut."

Sepuluh tahun bersamanya, dia tetap tidak ingat apa yang kusuka dan apa yang membuatku alergi.

Kalimat singkat itu langsung menahan amarahnya. Wajahnya memerah. Matanya berkedip penuh rasa gugup dan bersalah. Suaranya merendah. "Tadi pagi aku terlalu buru-buru… kamu… kamu minta bibi bikinin yang lain saja, ya."

Aku menatapnya lurus. Tatapanku membuatnya gelisah dan tidak nyaman.

Dering telepon yang tiba-tiba nyaring menyelamatkannya. Dia menoleh padaku ragu, lalu menggenggam ponselnya erat-erat.

Aku berkata tenang. "Jawab saja, siapa tahu penting."

Dari seberang terdengar suara Yeni. Manja dan terisak, katanya dia lagi nggak enak badan.

Beberapa kalimat ringan itu saja sudah cukup membuat Soni panik. Dia langsung menyuruh Yeni menunggu, lalu meraih mantel dan keluar terburu-buru tanpa menoleh.

Padahal aku sudah memutuskan pergi. Tapi hatiku tetap terasa sakit.

Soni, kalau kamu memang sudah nggak cinta, aku tidak akan menunggu lagi.
Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
7 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status