Pagi itu, Luna terbangun dengan perasaan yang aneh. Di satu sisi, tubuhnya terasa letih karena malam sebelumnya ia pulang larut. Tapi di sisi lain... hatinya ringan. Entah sejak kapan ia merasa seperti ini. Biasanya, pagi selalu menyiksa — seolah hari baru hanya berarti luka baru. Tapi kali ini, berbeda.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang pucat. Di luar, matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai. Hangat, tapi tidak menyilaukan. Seperti hati Luna yang perlahan mulai mencair. Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Rara. "Lun, hari ini ikut ekskul gak? Udah seminggu kamu ngilang." Luna menghela napas. Biasanya, ia akan mengabaikan pesan seperti itu. Tapi kali ini, jemarinya bergerak sendiri. "Mungkin. Lihat nanti." Ia sendiri terkejut dengan jawabannya. Sejak kapan ia jadi orang yang ‘mungkin’ mau berbaur lagi? Setelah mandi dan berganti pakaian, Luna turun ke ruang makan. Ayahnya sudah duduk di meja, menyesap kopi sambil membaca koran. Hubungan mereka tak pernah benar-benar dekat sejak kepergian ibunya, dan pagi ini pun, suasananya sama. "Hari ini kamu sekolah, kan?" tanya ayahnya tanpa menoleh. Luna hanya mengangguk. "Iya, Yah." Tak ada percakapan lebih lanjut. Hening kembali mengisi ruang makan, tapi entah kenapa, Luna tak terlalu peduli hari ini. Pikirannya melayang pada malam sebelumnya. Pada Adrian. Pada janji tak tertulis mereka di bawah langit berbintang itu. Di sekolah, Luna berjalan melewati lorong yang terasa lebih sempit dari biasanya. Bisikan teman-teman yang dulu membuatnya meringkuk kini hanya terdengar seperti gumaman jauh. Ia tak peduli. Ia punya tujuan: bertahan hari ini, lalu malam nanti... kembali ke bukit itu. "Eh, Luna!" Rara berlari kecil menghampirinya, wajahnya cemas. "Kamu beneran masuk? Aku kira kamu... ya, masih nggak mau ketemu orang." Luna menoleh, tersenyum kecil. "Aku cuma... lagi pengen nyoba pelan-pelan lagi." Rara melongo, tak percaya. "Kamu... senyum? Luna, kamu nggak demam, kan?" Luna terkekeh pelan, sesuatu yang sudah lama tak ia lakukan. "Nggak. Aku baik-baik aja, Ra." Rara memeluknya spontan. "Ya ampun, akhirnya! Aku kangen kamu yang kayak gini, tahu nggak?" Untuk pertama kalinya, Luna membalas pelukan itu. Hangat. Nyata. Dan anehnya... nyaman. Hari berlalu, dan ketika bel pulang berbunyi, Luna langsung merapikan bukunya. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, tapi... karena antisipasi. Malam ini, ia akan kembali ke bukit itu. Bertemu Adrian. Entah kenapa, pikirannya tak bisa lepas dari pemuda itu. Di perjalanan pulang, langkahnya ringan. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma tanah basah. Langit mulai meremang jingga. Ia tahu, waktunya hampir tiba. Malam Hari Luna kembali ke bukit itu, kali ini tanpa ragu. Setiap langkahnya mantap, seolah tempat itu kini sudah jadi bagian dari dirinya. Dan di sana, di bawah langit yang mulai dipenuhi bintang, Adrian sudah menunggu. Duduk bersandar di pohon, dengan gitar tua di pangkuannya. "Kamu datang," ujar Adrian, senyumnya tipis tapi hangat. Luna duduk di sampingnya, menghirup udara malam dalam-dalam. "Aku janji, kan?" Adrian mengangguk, jemarinya mulai memetik senar gitar, menghasilkan melodi lembut yang mengalun di antara desau angin. Luna terdiam, mendengarkan. Ada kedamaian dalam nada-nada itu. "Aku... nggak nyangka, kamu bisa main gitar," ujar Luna pelan. Adrian tersenyum miring. "Bakat terpendam. Dulu, Ibu dulu yang ngajarin. Sebelum... semuanya berubah.” Luna menatap wajah Adrian yang sedikit sendu, seolah membawa beban yang tak mudah diungkapkan. Ia tahu setiap orang punya rahasia dan luka sendiri—dan mungkin, di sanalah mereka saling menemukan. “Mungkin... kita sama,” Luna membisikkan kata-kata itu pelan. “Sama-sama berusaha menyembuhkan diri sendiri.” Adrian mengalihkan pandangannya kembali ke langit, petikan gitarnya berhenti sejenak. “Iya. Kita mungkin sama, meski jalan kita berbeda-beda.” Senja makin mereda, bintang mulai bermunculan satu per satu seperti saksi bisu petualangan mereka. Suasana di sekeliling mereka terasa hening, namun penuh dengan kehangatan yang aneh. Mereka tidak perlu bicara banyak untuk mengerti. Kali ini, giliran Luna yang membuka pembicaraan, suara yang mulai mengandung percaya diri. “Adrian, kamu bilang dulu keluargamu hancur. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya dengan hati-hati. Adrian menarik napas panjang, menatapnya. “Itu cerita lama yang selalu aku hindari. Tapi kalau kamu mau dengar... aku akan ceritain.” Luna mengangguk, memberikan isyarat bahwa ia siap mendengarkan. “Tujuh tahun lalu, ayahku pergi meninggalkan kami. Ibu sakit parah setelah itu, dan aku harus mengurus adik-adikku. Waktu itu, aku kayak kehilangan arah. Aku merasa gagal... dan dunia ini berat banget buat aku. Aku gak bilang itu untuk minta simpati, cuma pengen kamu ngerti kenapa aku kadang terlihat seperti orang yang lelah,” Adrian jujur. Luna termenung, merasa semua beban itu begitu berat untuk dipikul sendiri. “Aku tahu perasaan itu. Kalau kamu mau... aku ada di sini buat kamu.” Adrian tersenyum hangat, menyentuh tangan Luna perlahan. “Terima kasih, Luna. Aku gak pernah ngira bakal dapat teman yang sebegini pengertian.” Mereka terdiam, membiarkan suara angin dan alunan gitar mengisi keheningan yang nyaman itu. Tiba-tiba suara langkah kaki dari kejauhan menghampiri. Luna dan Adrian berpaling, melihat sosok Naya berdiri sambil memandang dengan tatapan kosong yang sulit ditebak. Mata Naya seperti menyimpan kekhawatiran yang mendalam. “Luna? Aku...” suara Naya terdengar gemetar. Luna berdiri, sedikit kaget melihat teman yang biasanya ceria itu nampak berbeda. “Ada apa, Naya?” tanyanya lembut. Naya menarik napas dalam, sebelum berkata dengan suara yang hampir berbisik, “Aku tahu kamu butuh ini. Tapi... please hati-hati sama Adrian. Ada sesuatu... yang harus kamu tahu.” Luna menatap Naya bingung. “Maksud kamu apa? Apa yang terjadi?” Naya menggeleng, terlihat ragu. “Besok aku akan ceritakan semuanya. Tapi untuk sekarang, hati-hati ya.” Tanpa berkata lebih lanjut, Naya berbalik dan pergi meninggalkan mereka berdua di kegelapan malam. Luna menatap kepergian Naya, hatinya mulai dipenuhi kecemasan yang aneh. “Kenapa dia seperti itu?” gumam Luna. Adrian menarik napas, memandang ke arah Naya. “Aku juga gak ngerti. Tapi aku yakin semuanya akan baik-baik saja.” Namun keraguan masih mengendap di hati Luna. Ia memutuskan malam itu untuk pulang lebih awal, menyempatkan diri merenungkan apa yang baru saja terjadi. Sepanjang perjalanan pulang, bayangan perkataan Naya terus menghantui pikirannya. Apa yang tersembunyi di balik masa lalu Adrian? Dan kenapa Naya tampak begitu khawatir? Di rumah, Luna mengambil buku harian lamanya dari laci, membuka halaman-halaman yang sudah mulai pudar. Ia menulis beberapa kata: “Aku takut, tapi juga ingin percaya. Aku ingin tahu siapa sebenarnya Adrian, dan bagaimana masa depanku bersamanya.” Ia menutup buku harian, dan menatap keluar jendela. Bintang-bintang masih bersinar, seolah memberi perlindungan dan harapan. Luna tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai. Ada bayangan yang harus dihadapi—tapi bersama, ia percaya mereka bisa melewati apapun. Luna terbangun keesokan harinya dengan perasaan campur aduk. Pikiran tentang Naya dan peringatan yang diberikan terus menghantuinya. Ia berusaha untuk tidak memikirkan hal itu, tetapi rasa ingin tahunya semakin membara. Setelah sarapan, Luna memutuskan untuk pergi ke taman tempat ia dan Adrian sering bertemu. Ia berharap bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Saat ia berjalan, sinar matahari pagi menyentuh kulitnya, memberikan sedikit kehangatan di tengah kebingungan yang melanda. Ketika sampai di taman, Luna melihat Adrian duduk di bangku, memegang gitar. Senyumnya muncul saat melihatnya, tetapi ada sesuatu yang berbeda di matanya—seolah ada bayangan yang menyelimuti hatinya. “Luna!” panggil Adrian, suaranya ceria, tetapi Luna bisa merasakan ketegangan di antara mereka. “Adrian, kita perlu bicara,” kata Luna, berusaha terdengar tenang meskipun hatinya berdebar. Adrian mengangguk, menaruh gitarnya. “Tentu, ada yang ingin kamu tanyakan?” Luna menatapnya dalam-dalam. “Tentang Naya. Dia bilang ada sesuatu yang harus aku tahu tentang kamu.” Adrian terdiam sejenak, ekspresinya berubah serius. “Aku tahu. Naya selalu peduli. Tapi ada hal-hal yang lebih baik tidak diungkapkan.” “Kenapa? Aku ingin tahu. Aku tidak ingin ada rahasia di antara kita,” Luna mendesak, suaranya penuh harap. Adrian menarik napas dalam-dalam, seolah berjuang dengan kata-katanya. “Baiklah, Luna. Jika kamu ingin tahu, aku akan memberitahumu. Tapi ingat, ini bukanlah cerita yang mudah.” Luna merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, apa pun yang akan diungkapkan Adrian, itu akan mengubah segalanya.Malam itu, kota Jakarta tidak pernah terlihat begitu ramai. Lampu gedung-gedung tinggi berkilau seperti gugusan bintang yang jatuh ke bumi. Adrian berdiri di balkon apartemennya, menatap langit malam yang sebenarnya jarang bisa menampakkan bintang dengan jelas. Namun malam ini berbeda. Ada satu bintang yang terlihat begitu terang di antara langit yang kelabu. Ia menggenggam liontin kecil berbentuk bintang yang tergantung di lehernya. Liontin itu terasa hangat, seakan menyimpan semua janji dan doa yang ia ucapkan setiap kali menatap ke langit. Ponselnya bergetar pelan. Ada notifikasi email baru. Dari: Luna. Adrian langsung membukanya dengan tangan bergetar. Hatinya berdegup kencang, seperti pertama kali ia berdiri di atas panggung. Dari: Luna Jepang, 23:47 “Adrian, Malam ini aku tampil lagi. Bukan panggung sebesar waktu pertama kali di Jepang, tapi justru aku merasa lebih dekat dengan diriku sendiri. Ruangan kecil, penonton hanya ratusan orang, tapi entah kenapa aku merasa
Cahaya lampu sorot berpendar ke segala arah, memantulkan kilau keemasan di atas panggung megah itu. Di sebuah gedung pertunjukan internasional yang terletak di jantung kota Paris, ribuan pasang mata menanti penampilan seorang gadis yang baru saja naik ke permukaan dunia seni: Luna.Nama itu, yang dulu hanya bergema di ruang-ruang kecil dan festival lokal, kini tercantum besar di layar LED berkilauan: “Luna – Rising Voice of Asia”.Di balik panggung, Luna berdiri di depan cermin rias. Rambutnya ditata sederhana, gaun putih elegan membalut tubuhnya dengan anggun. Tapi yang paling mencolok adalah mata itu—mata yang dulu sering dipenuhi keraguan, kini memantulkan keyakinan.Seorang kru mendekat, memberi tanda lima menit sebelum penampilan dimulai. Luna mengangguk pelan, lalu menatap bayangannya sekali lagi. Hatinya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena sadar bahwa malam ini adalah langkah besar menuju mimpinya.Ia mengingat semua perjalanan panjang: air mata, tawa, kehilangan,
Bandara pagi itu ramai, tapi bagi Luna, semua suara terdengar sayup. Deru langkah, pengumuman maskapai, suara koper berderit—semuanya mengalir seperti gema jauh. Yang nyata hanya satu: beratnya langkah yang harus ia tempuh.Di tangannya, tiket keberangkatan terasa seperti kertas terberat di dunia. Jantungnya berdegup cepat, tidak karena takut akan perjalanan panjang yang menunggu, tapi karena seseorang yang berdiri di sampingnya. Adrian.Pemuda itu mengenakan jaket hitam sederhana, rambutnya sedikit berantakan, namun sorot matanya tegas, menahan badai dalam dirinya sendiri. Ia berusaha tersenyum, tapi garis bibirnya tak pernah bisa menutupi kenyataan: ia juga tidak siap melepaskan.Luna menoleh sejenak, matanya memandangi wajah yang telah menemaninya melewati begitu banyak luka dan harapan. “Aku masih nggak percaya ini beneran terjadi,” katanya lirih.Adrian menarik napas panjang. “Aku juga. Rasanya baru kemarin kita ketemu di taman itu. Sekarang… kamu mau terbang ribuan kilometer jau
Malam menjelang keberangkatan itu terasa berbeda. Udara kota seperti membawa keheningan yang tidak biasa, seolah ikut memahami beratnya hati yang menunggu perpisahan.Luna duduk di tepi ranjang, koper kecil sudah tertutup rapi di sudut kamar. Tangannya menyentuh kotak kayu yang menyimpan surat Adrian dari malam sebelumnya. Kata-kata “Aku tunggu kamu di ujung altar” masih terngiang, memberi kekuatan sekaligus rasa haru yang sulit dijelaskan.Ketukan lembut di pintu terdengar. “Luna?” suara Adrian, pelan.“Masuklah,” jawabnya.Adrian melangkah masuk, mengenakan jaket hitam sederhana. Wajahnya lelah, tapi matanya tetap menyala ketika melihat Luna. “Kamu sudah siap?” tanyanya.Luna mengangguk singkat, lalu menunduk. “Siap… tapi nggak benar-benar siap.”Adrian tersenyum tipis, mendekat lalu meraih tangannya. “Kalau begitu, ikut aku sebentar. Ada tempat yang harus kita datangi malam ini.”Tanpa banyak tanya, Luna mengikuti Adrian keluar rumah. Udara malam dingin menyapa, tapi genggaman tang
Malam itu, meja kerja Adrian dipenuhi kertas kosong yang belum terisi. Pena di tangannya bergetar, bukan karena lelah, melainkan karena beratnya kata-kata yang ingin ia tuliskan. Sejak dulu, ia lebih mudah mengungkapkan perasaannya lewat musik. Namun kali ini, ia tahu, hanya tulisan yang bisa menyampaikan isi hatinya.Surat ini bukan sekadar coretan tinta. Ia ingin menjadikannya saksi janji—bukan pamit, bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang baru.Adrian menatap jendela kamarnya. Hujan turun tipis, mengetuk kaca seolah ikut menemaninya dalam keheningan. Bayangan Luna terlintas jelas di kepalanya: senyum lembut, mata yang berbinar, dan cara sederhana Luna mencintainya tanpa syarat.Ia menarik napas panjang, lalu mulai menulis."Luna...Jika surat ini sampai ke tanganmu, mungkin aku sedang berada di suatu tempat yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Tapi percayalah, setiap detik aku memikirkanmu. Surat ini bukan perpisahan. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu dengan kata-ka
Malam itu, ruang keluarga terasa lebih hening dari biasanya. Lampu gantung berwarna kuning hangat menyinari meja kayu di tengah ruangan, sementara di luar jendela, hujan tipis menetes dengan ritme yang konstan. Adrian duduk bersandar di sofa, jemarinya mengetuk ringan pada permukaan sandaran tangan. Ia menunggu Maya yang sejak tadi sibuk menyiapkan sesuatu di laptop.“Udah siap?” tanya Adrian, suaranya terdengar setengah gugup.Maya tersenyum kecil, lalu menoleh ke arah Luna yang duduk di sebelah Adrian. “Siap, tapi… aku harap kalian nggak kaget setelah nonton ini.”Luna saling bertukar pandang dengan Adrian. Ada ketegangan samar yang tidak bisa diabaikan. Seolah mereka akan menyaksikan sesuatu yang bisa mengubah arah langkah mereka selanjutnya.Maya lalu menghubungkan laptopnya ke layar TV. Dalam hitungan detik, layar menampilkan judul sederhana: “Serenade di Bawah Bintang – Behind the Story”.Video dimulai dengan pemandangan kota kecil tempat semua cerita mereka berawal. Jalanan sem