Beranda / Romansa / Serenade Cinta Dibawah Bintang / Bab 2 Bayang-Bayang Di Bawah Senja

Share

Bab 2 Bayang-Bayang Di Bawah Senja

Penulis: San_prano
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-06 23:08:55

Pagi itu, Luna terbangun dengan perasaan yang aneh. Di satu sisi, tubuhnya terasa letih karena malam sebelumnya ia pulang larut. Tapi di sisi lain... hatinya ringan. Entah sejak kapan ia merasa seperti ini. Biasanya, pagi selalu menyiksa — seolah hari baru hanya berarti luka baru. Tapi kali ini, berbeda.

Ia duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang pucat. Di luar, matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai. Hangat, tapi tidak menyilaukan. Seperti hati Luna yang perlahan mulai mencair.

Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Rara.

"Lun, hari ini ikut ekskul gak? Udah seminggu kamu ngilang."

Luna menghela napas. Biasanya, ia akan mengabaikan pesan seperti itu. Tapi kali ini, jemarinya bergerak sendiri.

"Mungkin. Lihat nanti."

Ia sendiri terkejut dengan jawabannya. Sejak kapan ia jadi orang yang ‘mungkin’ mau berbaur lagi?

Setelah mandi dan berganti pakaian, Luna turun ke ruang makan. Ayahnya sudah duduk di meja, menyesap kopi sambil membaca koran. Hubungan mereka tak pernah benar-benar dekat sejak kepergian ibunya, dan pagi ini pun, suasananya sama.

"Hari ini kamu sekolah, kan?" tanya ayahnya tanpa menoleh.

Luna hanya mengangguk. "Iya, Yah."

Tak ada percakapan lebih lanjut. Hening kembali mengisi ruang makan, tapi entah kenapa, Luna tak terlalu peduli hari ini. Pikirannya melayang pada malam sebelumnya. Pada Adrian. Pada janji tak tertulis mereka di bawah langit berbintang itu.

Di sekolah, Luna berjalan melewati lorong yang terasa lebih sempit dari biasanya. Bisikan teman-teman yang dulu membuatnya meringkuk kini hanya terdengar seperti gumaman jauh. Ia tak peduli. Ia punya tujuan: bertahan hari ini, lalu malam nanti... kembali ke bukit itu.

"Eh, Luna!" Rara berlari kecil menghampirinya, wajahnya cemas. "Kamu beneran masuk? Aku kira kamu... ya, masih nggak mau ketemu orang."

Luna menoleh, tersenyum kecil. "Aku cuma... lagi pengen nyoba pelan-pelan lagi."

Rara melongo, tak percaya. "Kamu... senyum? Luna, kamu nggak demam, kan?"

Luna terkekeh pelan, sesuatu yang sudah lama tak ia lakukan. "Nggak. Aku baik-baik aja, Ra."

Rara memeluknya spontan. "Ya ampun, akhirnya! Aku kangen kamu yang kayak gini, tahu nggak?"

Untuk pertama kalinya, Luna membalas pelukan itu. Hangat. Nyata. Dan anehnya... nyaman.

Hari berlalu, dan ketika bel pulang berbunyi, Luna langsung merapikan bukunya. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, tapi... karena antisipasi. Malam ini, ia akan kembali ke bukit itu. Bertemu Adrian. Entah kenapa, pikirannya tak bisa lepas dari pemuda itu.

Di perjalanan pulang, langkahnya ringan. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma tanah basah. Langit mulai meremang jingga. Ia tahu, waktunya hampir tiba.

Malam Hari

Luna kembali ke bukit itu, kali ini tanpa ragu. Setiap langkahnya mantap, seolah tempat itu kini sudah jadi bagian dari dirinya.

Dan di sana, di bawah langit yang mulai dipenuhi bintang, Adrian sudah menunggu. Duduk bersandar di pohon, dengan gitar tua di pangkuannya.

"Kamu datang," ujar Adrian, senyumnya tipis tapi hangat.

Luna duduk di sampingnya, menghirup udara malam dalam-dalam. "Aku janji, kan?"

Adrian mengangguk, jemarinya mulai memetik senar gitar, menghasilkan melodi lembut yang mengalun di antara desau angin. Luna terdiam, mendengarkan. Ada kedamaian dalam nada-nada itu.

"Aku... nggak nyangka, kamu bisa main gitar," ujar Luna pelan.

Adrian tersenyum miring. "Bakat terpendam. Dulu, Ibu

dulu yang ngajarin. Sebelum... semuanya berubah.”

Luna menatap wajah Adrian yang sedikit sendu, seolah membawa beban yang tak mudah diungkapkan. Ia tahu setiap orang punya rahasia dan luka sendiri—dan mungkin, di sanalah mereka saling menemukan.

“Mungkin... kita sama,” Luna membisikkan kata-kata itu pelan. “Sama-sama berusaha menyembuhkan diri sendiri.”

Adrian mengalihkan pandangannya kembali ke langit, petikan gitarnya berhenti sejenak. “Iya. Kita mungkin sama, meski jalan kita berbeda-beda.”

Senja makin mereda, bintang mulai bermunculan satu per satu seperti saksi bisu petualangan mereka. Suasana di sekeliling mereka terasa hening, namun penuh dengan kehangatan yang aneh. Mereka tidak perlu bicara banyak untuk mengerti.

Kali ini, giliran Luna yang membuka pembicaraan, suara yang mulai mengandung percaya diri.

“Adrian, kamu bilang dulu keluargamu hancur. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya dengan hati-hati.

Adrian menarik napas panjang, menatapnya. “Itu cerita lama yang selalu aku hindari. Tapi kalau kamu mau dengar... aku akan ceritain.”

Luna mengangguk, memberikan isyarat bahwa ia siap mendengarkan.

“Tujuh tahun lalu, ayahku pergi meninggalkan kami. Ibu sakit parah setelah itu, dan aku harus mengurus adik-adikku. Waktu itu, aku kayak kehilangan arah. Aku merasa gagal... dan dunia ini berat banget buat aku. Aku gak bilang itu untuk minta simpati, cuma pengen kamu ngerti kenapa aku kadang terlihat seperti orang yang lelah,” Adrian jujur.

Luna termenung, merasa semua beban itu begitu berat untuk dipikul sendiri. “Aku tahu perasaan itu. Kalau kamu mau... aku ada di sini buat kamu.”

Adrian tersenyum hangat, menyentuh tangan Luna perlahan. “Terima kasih, Luna. Aku gak pernah ngira bakal dapat teman yang sebegini pengertian.”

Mereka terdiam, membiarkan suara angin dan alunan gitar mengisi keheningan yang nyaman itu.

Tiba-tiba suara langkah kaki dari kejauhan menghampiri. Luna dan Adrian berpaling, melihat sosok Naya berdiri sambil memandang dengan tatapan kosong yang sulit ditebak. Mata Naya seperti menyimpan kekhawatiran yang mendalam.

“Luna? Aku...” suara Naya terdengar gemetar.

Luna berdiri, sedikit kaget melihat teman yang biasanya ceria itu nampak berbeda.

“Ada apa, Naya?” tanyanya lembut.

Naya menarik napas dalam, sebelum berkata dengan suara yang hampir berbisik, “Aku tahu kamu butuh ini. Tapi... please hati-hati sama Adrian. Ada sesuatu... yang harus kamu tahu.”

Luna menatap Naya bingung. “Maksud kamu apa? Apa yang terjadi?”

Naya menggeleng, terlihat ragu. “Besok aku akan ceritakan semuanya. Tapi untuk sekarang, hati-hati ya.”

Tanpa berkata lebih lanjut, Naya berbalik dan pergi meninggalkan mereka berdua di kegelapan malam.

Luna menatap kepergian Naya, hatinya mulai dipenuhi kecemasan yang aneh.

“Kenapa dia seperti itu?” gumam Luna.

Adrian menarik napas, memandang ke arah Naya. “Aku juga gak ngerti. Tapi aku yakin semuanya akan baik-baik saja.”

Namun keraguan masih mengendap di hati Luna. Ia memutuskan malam itu untuk pulang lebih awal, menyempatkan diri merenungkan apa yang baru saja terjadi.

Sepanjang perjalanan pulang, bayangan perkataan Naya terus menghantui pikirannya. Apa yang tersembunyi di balik masa lalu Adrian? Dan kenapa Naya tampak begitu khawatir?

Di rumah, Luna mengambil buku harian lamanya dari laci, membuka halaman-halaman yang sudah mulai pudar. Ia menulis beberapa kata: “Aku takut, tapi juga ingin percaya. Aku ingin tahu siapa sebenarnya Adrian, dan bagaimana masa depanku bersamanya.”

Ia menutup buku harian, dan menatap keluar jendela. Bintang-bintang masih bersinar, seolah memberi perlindungan dan harapan.

Luna tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai. Ada bayangan yang harus dihadapi—tapi bersama, ia percaya mereka bisa melewati apapun.

Luna terbangun keesokan harinya dengan perasaan campur aduk. Pikiran tentang Naya dan peringatan yang diberikan terus menghantuinya. Ia berusaha untuk tidak memikirkan hal itu, tetapi rasa ingin tahunya semakin membara.

Setelah sarapan, Luna memutuskan untuk pergi ke taman tempat ia dan Adrian sering bertemu. Ia berharap bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Saat ia berjalan, sinar matahari pagi menyentuh kulitnya, memberikan sedikit kehangatan di tengah kebingungan yang melanda.

Ketika sampai di taman, Luna melihat Adrian duduk di bangku, memegang gitar. Senyumnya muncul saat melihatnya, tetapi ada sesuatu yang berbeda di matanya—seolah ada bayangan yang menyelimuti hatinya.

“Luna!” panggil Adrian, suaranya ceria, tetapi Luna bisa merasakan ketegangan di antara mereka.

“Adrian, kita perlu bicara,” kata Luna, berusaha terdengar tenang meskipun hatinya berdebar.

Adrian mengangguk, menaruh gitarnya. “Tentu, ada yang ingin kamu tanyakan?”

Luna menatapnya dalam-dalam. “Tentang Naya. Dia bilang ada sesuatu yang harus aku tahu tentang kamu.”

Adrian terdiam sejenak, ekspresinya berubah serius. “Aku tahu. Naya selalu peduli. Tapi ada hal-hal yang lebih baik tidak diungkapkan.”

“Kenapa? Aku ingin tahu. Aku tidak ingin ada rahasia di antara kita,” Luna mendesak, suaranya penuh harap.

Adrian menarik napas dalam-dalam, seolah berjuang dengan kata-katanya. “Baiklah, Luna. Jika kamu ingin tahu, aku akan memberitahumu. Tapi ingat, ini bukanlah cerita yang mudah.”

Luna merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, apa pun yang akan diungkapkan Adrian, itu akan mengubah segalanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
titi12017suharnita
bikin penasaran aja rahasia apa yaaa adrian
goodnovel comment avatar
titi12017suharnita
ayooo Luna semangatt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 98 Jejak Yang Mulai Terlihat

    Udara sore mulai menurunkan suhu kota, meninggalkan sisa-sisa panas yang tertahan di trotoar dan dinding bangunan. Langkah Luna melambat ketika ia sampai di depan sebuah kafe kecil di sudut jalan, tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Maya. Hatinya masih dipenuhi pertanyaan—tentang Adrian, tentang dirinya, dan tentang arah hubungan yang kini terasa rapuh.Pintu kafe berderit pelan saat ia mendorongnya. Aroma kopi dan roti hangat langsung menyambutnya, seolah mengajak untuk duduk dan mengistirahatkan pikiran. Maya sudah duduk di sudut, dengan secangkir teh hangat di hadapannya.“Lo telat lima belas menit,” ucap Maya sambil mengangkat alis. Nada suaranya ringan, tapi sorot matanya penuh rasa ingin tahu.Luna menarik kursi dan duduk, meraih napas panjang sebelum membalas. “Maaf… gue sempat berhenti di taman tadi. Butuh waktu buat mikir.”Maya mencondongkan tubuhnya sedikit. “Tentang Adrian?”Luna hanya tersenyum tipis. “Kalau gue bilang ‘tidak’, lu juga pasti nggak percaya.”Hening

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 97 Langkah di Tengah Keraguan

    Suasana kafe di sudut kota itu terasa hangat oleh aroma kopi, tapi di hati Luna, segalanya tetap dingin. Jemarinya meremas cangkir latte yang mulai kehilangan uap panas. Di seberangnya, Maya duduk dengan ekspresi serius, menatap Luna seakan berusaha membaca pikirannya.“Gue nggak ngerti lagi, May…,” ucap Luna pelan, nadanya penuh resah. “Setelah semua yang terjadi, gue nggak tahu harus percaya sama siapa.”Maya menghela napas. “Lu cuma capek, Lun. Gue ngerti. Tapi kalau lo terus diem kayak gini, masalah nggak akan kelar.”Luna mengangkat pandangannya. “Maksud lo?”“Lu pikir Adrian tahu semua yang lo rasain sekarang? Gua rasa dia nggak punya gambaran jelas. Dia juga lagi perang sama pikirannya sendiri,” jawab Maya tegas.Luna terdiam. Kata-kata Maya menusuk, tapi bukan tanpa alasan. Ia tahu Adrian sedang menghadapi bayang-bayang masa lalunya—termasuk gosip soal hubungan lamanya dengan produser wanita yang kini mulai dibicarakan lagi di media sosial.Sementara itu, di sisi lain kota, Ad

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 96 Bayangan Yang Menyertai

    Hujan gerimis masih menyapu halaman depan café itu ketika Adrian menutup pintu kaca di belakangnya. Napasnya sedikit berat, bukan karena lelah, tapi karena ruang di dalamnya baru saja menyatukan kembali dua dunia yang sempat terpisah. Pertemuan dengan Luna barusan meninggalkan rasa hangat, tapi juga getir yang menempel seperti sisa hujan di jaketnya. Luna masih di meja, jemarinya menggenggam cangkir cokelat panas yang mulai kehilangan uapnya. Tatapannya mengikuti punggung Adrian yang menjauh, seolah ingin menahan, tapi lidahnya kelu. Ada kata yang tadi tak sempat diucapkan, sebuah bagian dari dirinya yang masih ragu untuk dikeluarkan di tengah suasana yang rapuh. Di luar, Adrian melangkah cepat menuju mobil. Namun di tengah langkahnya, ia berhenti. Bayangan pertemuan itu berulang di kepalanya—cara Luna tersenyum setengah hati, bagaimana matanya sedikit menghindar saat ia bicara tentang proyek barunya. Semua itu seperti potongan puzzle yang tak pas, tapi memaksa dirinya untuk meliha

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 95 Pertemuan Kembali

    Hujan turun rintik-rintik malam itu, membasahi trotoar kota yang mulai sepi. Lampu jalan memantulkan kilau keemasan di genangan air, sementara aroma tanah basah memenuhi udara. Luna berdiri di bawah kanopi kafe kecil, menggenggam payung lipat yang belum dibuka. Jantungnya berdebar tak beraturan sejak membaca pesan Adrian tadi sore.Ia belum pernah merasa seperti ini sebelumnya—antara gugup, rindu, dan takut kalau semua ini hanya akan menjadi percakapan singkat yang berakhir hambar. Tapi tatapan Adrian di panggung festival kemarin masih jelas terpatri di kepalanya. Itu bukan sekadar tatapan musisi kepada penonton. Itu tatapan seseorang yang ingin berbicara, tapi menahan kata.Suara langkah mendekat membuat Luna menoleh. Adrian muncul dari arah ujung jalan, mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans gelap. Rambutnya sedikit basah oleh hujan, tapi ia tetap berjalan santai, seolah hujan bukan masalah.“Luna,” panggilnya pelan begitu jarak tinggal beberapa langkah.“Adria

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 94 Nada Yang Menggapai

    Malam di studio terasa berbeda. Adrian duduk sendirian di depan keyboard, lampu temaram memantulkan cahaya lembut ke permukaan piano. Jari-jarinya belum menyentuh tuts; matanya menatap kosong ke arah partitur yang masih kosong.Sejak percakapan terakhir dengan Luna, hatinya seperti terombang-ambing. Ia ingin meraih, tapi juga takut mendorong terlalu jauh.Ia menarik napas panjang, menutup mata, lalu mulai menekan tuts pertama. Nada-nada itu keluar pelan, ragu-ragu, seperti menunggu sesuatu yang bisa menghidupkan mereka. Dan kemudian, sebuah melodi mulai terbentuk—bukan melodi acak, melainkan sesuatu yang lahir dari tempat yang paling dalam di dadanya.“Untuk Luna,” gumamnya.Di layar komputer, ia mulai merekam. Setiap nada mengalir seperti ia sedang berbicara langsung padanya: lembut, tulus, tapi juga penuh kerinduan yang tak terucap. Lirik pun mulai mengalir di kepalanya, potongan kalimat yang terinspirasi dari senyuman Luna, dari tatapan matanya, dari momen-momen kecil yang mereka l

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 93 Suara Yang Mengigatkan

    Pagi itu, udara di kampung masih dibalut aroma laut yang segar. Luna duduk di teras rumah ibunya, menyeruput teh hangat sambil menatap jalanan kecil yang perlahan ramai. Di tangannya, ia menggenggam buku sketsa yang semalam tidak sempat ia sentuh.Beasiswa itu masih berputar di kepalanya. Tawaran itu bagaikan pintu besar yang terbuka lebar, tapi di belakang pintu itu ada jalan panjang yang mungkin akan memisahkannya dari Adrian lebih lama.Saat ia larut dalam pikirannya, suara riang menyapanya. “Luuunaaa! Astaga, beneran kamu di sini?”Luna menoleh. Maya berdiri di depan pagar, mengenakan kaos putih longgar dan celana jeans robek, wajahnya cerah seperti biasa. “Maya? Kok lo bisa di sini?” tanya Luna sambil berdiri.Maya masuk tanpa menunggu undangan, duduk di kursi rotan, dan meraih segelas air yang disodorkan ibu Luna. “Gue kan libur kerja tiga hari. Terus lihat story lo kemarin, gue mikir, kenapa nggak sekalian gue jemput muka lo yang pasti lagi berantakan?”Lu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status