Langit malam itu bersih tanpa awan, hanya dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip, seolah sedang menertawakan dunia yang sedang kalut di bawahnya. Luna memeluk lututnya erat, duduk di atas rerumputan yang dingin. Udara malam menggigit kulitnya, tapi hatinya jauh lebih dingin dari itu.
Di bukit kecil ini, ia selalu datang saat hidup mulai terasa sesak. Tempat ini, jauh dari hiruk pikuk kota, adalah satu-satunya ruang di mana ia bisa bernapas lega. Namun malam ini, bahkan langit yang biasanya menenangkannya, terasa lebih jauh dan asing. Sampai suara langkah kaki terdengar. "Indah ya, malam ini?" Suara itu dalam, tenang, namun cukup mengejutkannya. Luna menoleh cepat. Seorang pemuda berdiri beberapa meter darinya. Tubuhnya diselimuti hoodie gelap, wajahnya hanya sedikit tersinari cahaya bulan. Ia sempat ragu. Tapi anehnya, tatapan mata pemuda itu tidak mengancam. Ada kelelahan di matanya, tapi juga kehangatan yang samar. "Iya," jawab Luna akhirnya, pelan. Pemuda itu duduk, menjaga jarak. Tak mencoba mendekat lebih jauh, seolah memahami ruang pribadi Luna tanpa harus dijelaskan. "Aku Adrian," katanya tanpa basa-basi. "Luna," balasnya singkat. Sejenak, keheningan menyelimuti mereka berdua. Angin malam kembali berhembus, membawa aroma tanah basah. Luna tidak tahu kenapa, tapi ia merasa... nyaman. Seolah semesta sengaja mempertemukan mereka malam ini. "Kamu sering ke sini?" tanya Adrian, memecah hening. "Sering. Kalau lagi... capek." Luna menelan ludahnya sendiri. Kata-kata itu nyaris tercekat, tapi ia paksakan keluar. Adrian mengangguk pelan. "Aku juga. Kadang kita cuma butuh tempat buat ngeluarin semua, kan?" Luna meliriknya sekilas. "Tempat seperti ini," gumamnya. Adrian tersenyum tipis. "Tempat yang gak tanya kenapa kita datang. Gak menuntut kita buat selalu kuat." Luna menggigit bibir bawahnya. Kata-kata Adrian menohok tepat di dadanya. Selama ini, ia memang selalu berpura-pura. Di rumah, di sekolah, bahkan di depan teman-temannya. Ia adalah Luna yang kuat, yang ceria. Padahal, di dalamnya, sudah lama retak. "Kamu kabur dari apa?" tanya Luna tiba-tiba. Adrian menatap langit. "Dari masa lalu. Dari keluarga yang hancur, dari janji-janji yang gak pernah ditepati. Kamu?" Luna menunduk. "Dari diri sendiri, mungkin." Mereka tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, tapi tawa getir yang muncul saat dua orang saling memahami luka satu sama lain. "Aku pernah berpikir," kata Adrian pelan, "kalau hidup itu kayak langit malam. Kadang gelap, kadang cuma ada satu-dua bintang. Tapi selalu ada cahaya, sekecil apa pun." Luna mendongak, menatap bintang-bintang di atas sana. "Aku udah lama gak lihat cahayanya." "Kamu lihat sekarang, kan?" Adrian menunjuk langit. "Itu artinya kamu masih mau bertahan." Luna memejamkan mata. Air mata yang sudah lama ditahan akhirnya lolos, mengalir tanpa bisa dicegah. Ia membenci dirinya karena menangis di depan orang asing. Tapi anehnya, ia tidak merasa malu. Adrian tak berkata apa-apa. Ia hanya duduk di sana, menjadi saksi bisu dari tangisan Luna. "Maaf," ucap Luna di sela isakannya. "Gak usah minta maaf. Nangis itu bukan dosa," ujar Adrian lembut. "Itu tandanya kamu manusia." Luna menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia menyeka air matanya kasar. "Kalau kamu mau," kata Adrian pelan, "kita bisa mulai dari malam ini. Mungkin gak semua luka bisa sembuh, tapi... kita bisa coba jalanin pelan-pelan. Bareng." Luna menoleh. Mata mereka bertemu dalam gelap. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hangat, yang lama hilang dari hidupnya: harapan. "Mungkin," gumam Luna, "aku bisa coba." Adrian tersenyum lebih lebar sekarang. "Itu udah lebih dari cukup." Malam terus berlalu, tapi waktu seolah melambat bagi mereka berdua. Mereka bercerita—tentang impian yang belum tercapai, tentang ketakutan yang selama ini dipendam. Luna bercerita tentang ibunya yang pergi tanpa pamit, tentang ayahnya yang lebih sibuk dengan pekerjaannya ketimbang memperhatikan anaknya sendiri. Adrian bercerita tentang keluarganya yang tercerai-berai, tentang rasa bersalah yang menghantuinya setiap malam. Di antara cerita-cerita itu, ada tawa kecil yang menyusup. Tawa yang pelan, tapi tulus. Tawa dua jiwa yang menemukan tempat aman di bawah langit malam. Saat angin bertiup lebih dingin, Luna sadar sesuatu. Malam ini bukan hanya tentang pelarian. Malam ini adalah titik awal. Ia menatap Adrian. "Kalau aku jatuh lagi nanti, kamu masih di sini?" tanyanya pelan. Adrian mengangguk tanpa ragu. "Aku gak janji bakal selalu kuat. Tapi... aku janji gak akan ninggalin." Luna menahan senyum. Hatinya yang lama beku, malam itu mulai mencair, perlahan. Di bawah langit yang terus bersinar, kisah mereka baru saja dimulai. Sebuah serenade yang pelan, tapi akan mengubah hidup mereka selamanya. Dan tanpa mereka sadari, bintang-bintang di atas sana, seolah ikut menyaksikan, mengamini pertemuan dua jiwa yang tersesat tapi saling menemukan. Luna menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang masih berdebar tak karuan. Entah karena udara malam yang makin dingin, atau karena kalimat Adrian barusan yang tanpa sadar menusuk hatinya. Ia sendiri tak yakin. "Kenapa... kamu bisa bilang begitu?" tanya Luna, suaranya masih serak karena tangis. Ia menatap Adrian, mencari jawaban di wajah pemuda itu. Adrian tersenyum samar. "Karena aku juga pernah jatuh, berkali-kali. Tapi tiap kali aku ngerasa sendirian... ternyata masih ada orang-orang yang mau narik aku lagi ke atas. Walau kadang... orang itu cuma satu." Luna terdiam. Kata-kata itu seperti menamparnya pelan. Selama ini, ia terlalu sibuk mengasihani diri sendiri, sampai lupa kalau mungkin... ada yang juga pernah merasakan sakit yang sama. "Aku gak janji bisa bikin semua jadi mudah," lanjut Adrian, matanya masih menatap bintang di atas. "Tapi kalau kamu mau, kita bisa belajar bareng. Jalan pelan-pelan, ngelangkah sedikit demi sedikit." Luna menelan ludah, dadanya sesak, tapi hangat. Ada bagian dalam dirinya yang selama ini beku, kini mulai retak-retak dan mencair. Ia mengusap air matanya sekali lagi, kali ini dengan lebih pelan. "Aku... mau," bisiknya. "Aku mau coba." Adrian menoleh, menatapnya dengan mata yang bersinar samar dalam gelap. "Itu udah lebih dari cukup, Luna." Untuk pertama kalinya malam itu, Luna tersenyum. Senyum kecil, tapi tulus. Angin malam kembali berhembus, seolah ikut menari di antara mereka. Rerumputan bergoyang pelan, seperti ikut menyaksikan pertemuan dua jiwa yang patah tapi berusaha untuk saling menyembuhkan. Mereka terdiam lagi, tapi bukan keheningan yang canggung. Lebih seperti... keheningan yang nyaman. Seolah mereka tak perlu banyak kata-kata untuk saling memahami. "Aku sering mikir," gumam Adrian pelan, "kalau mungkin... orang-orang kayak kita ini ditakdirkan buat saling ketemu di waktu yang pas. Di saat semuanya nyaris runtuh." Luna mengangguk pelan. "Kayak malam ini." Adrian menoleh, tersenyum. "Iya. Kayak malam ini." Luna menarik napas dalam-dalam. Udara malam yang dingin menusuk paru-parunya, tapi anehnya, dadanya terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa... lega. "Kalau boleh tahu," ujar Luna, suaranya lebih stabil kini, "apa yang bikin kamu selalu datang ke tempat ini?" Adrian mengangkat bahu. "Ini satu-satunya tempat yang nggak pernah ngehakimin aku. Langitnya selalu sama. Bintang-bintangnya selalu nyala, walau kecil. Di sini... aku bisa jadi diriku sendiri. Nggak perlu pura-pura kuat." Luna tersenyum miris. "Aku juga... capek pura-pura kuat. Di rumah, di sekolah... semuanya ngira aku baik-baik aja." Adrian menatapnya lekat. "Kamu gak sendiri, Luna. Banyak orang yang pura-pura, termasuk aku." Tatapan mereka bertemu lagi. Kali ini, lebih lama. Ada semacam ikatan tak terlihat yang terjalin di antara mereka. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan, tapi terasa nyata. "Aku senang bisa ketemu kamu malam ini," bisik Luna, suaranya nyaris tak terdengar. Adrian tersenyum kecil. "Aku juga." Jam di ponsel Luna menunjukkan pukul sebelas malam. Ia tahu, ia harus pulang sebelum ayahnya mulai mencari. Tapi hatinya enggan beranjak dari tempat ini, dari malam yang entah kenapa terasa begitu berarti. "Besok... kamu bakal ke sini lagi?" tanya Luna, berharap jawabannya adalah 'ya'. Adrian mengangguk pelan. "Kalau kamu datang, aku bakal di sini." Luna menghela napas lega, hatinya menghangat. Untuk pertama kalinya, ia menantikan hari esok. Adrian berdiri, menepuk-nepuk celana jeansnya yang kotor oleh tanah. "Aku pulang dulu. Kamu hati-hati ya." Luna ikut bangkit, masih enggan meninggalkan tempat itu. "Kamu juga." Mereka saling bertukar senyum kecil, lalu melangkah turun dari bukit, berjalan ke arah berlawanan. Tapi di hati Luna, langkahnya terasa ringan. Seolah beban yang selama ini menekannya perlahan terangkat. Di jalan pulang, Luna menatap langit malam sekali lagi. Bintang-bintang masih bersinar, tak berubah. Tapi baginya, malam ini, mereka bersinar lebih terang. Malam ini, di bawah bintang-bintang yang bersaksi, sebuah cerita baru mulai ditulis. Sebuah serenade cinta yang pelan, tapi pasti, akan mengubah segalanya.lPagi itu, mentari memancar cerah, tapi hati Luna masih diselimuti awan gelap. Kata-kata Rio semalam terus terngiang di telinganya, mengikis ketenangan yang baru saja ia rasakan.Di meja makan, ibunya sudah menyiapkan sarapan, tapi Luna hanya menatap piringnya kosong. Sendok di tangannya bahkan belum bergerak sedikit pun.“Luna, kamu kenapa, Nak? Nggak enak badan?” tanya sang ibu, nada suaranya penuh kekhawatiran.Luna menggeleng pelan. “Nggak, Bu… cuma lagi mikir aja.”Ibunya menghela napas, lalu duduk di hadapannya. “Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, cerita ya. Ibu selalu di sini.”Luna tersenyum hambar. Andai semudah itu. Ada banyak rahasia yang mengendap di keluarga ini—rahasia yang sekarang tampaknya siap meledak kapan saja. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. "Aku berangkat dulu, Bu," ujarnya singkat.Ia bangkit dan melangkah cepat keluar, tak peduli pada panggilan ibunya yang memintanya untuk sarapan dulu.Di sekolah, suasana tak banyak berubah.
Malam itu, bintang-bintang bersinar lebih terang dari biasanya, seolah ikut menyaksikan kegelisahan yang menyelimuti hati Luna. Setelah kejadian di taman bersama Adrian, pikirannya tak pernah tenang. Ia berjalan sendirian di sepanjang jalan kecil yang membelah kota, mencoba menenangkan diri, namun bayangan wajah Adrian selalu muncul di benaknya.Di sisi lain, Adrian pun tak kalah gelisah. Di kamar apartemennya yang sempit, ia mondar-mandir tanpa arah. "Kenapa aku begitu peduli?" gumamnya pelan, sambil menatap langit malam dari jendela kecil. Udara malam terasa dingin, tapi dada Adrian justru terasa panas, penuh pertanyaan yang belum menemukan jawabannya.Keesokan paginya, mereka bertemu lagi—tak sengaja, di kafe kecil dekat kampus. Tatapan mereka bertemu, canggung, tapi dalam. Tak satu pun yang bicara lebih dulu, hingga akhirnya Luna memecah keheningan dengan suara pelan, "Kamu di sini juga?"Adrian hanya mengangguk. Hatinya berdebar, tapi ia berusaha tampak tenang. "Iya, cuma... nump
Pagi itu, matahari baru saja menyapa kota ketika Luna menerima surat ke-16 di depan pintu apartemennya. Kini, ritual membaca surat dari Adrian sudah menjadi bagian dari harinya, meskipun ia masih menjaga jarak.Ia membuka amplop itu pelan-pelan, jemarinya sedikit gemetar."Aku tahu aku bukan lagi orang yang pantas di sampingmu, Luna. Tapi aku berharap, suatu hari nanti… kamu bisa melihatku dengan tatapan yang sama seperti dulu."Luna menarik napas dalam, matanya terasa hangat. Entah sejak kapan, surat-surat itu seperti merajut kembali benang-benang halus di hatinya yang dulu putus begitu saja.Sambil menyesap kopi panasnya, pikirannya melayang ke tiga tahun lalu, saat ia dan Adrian masih bermimpi bersama tentang masa depan. Tapi semua itu buyar karena satu keputusan Adrian yang meninggalkannya tanpa penjelasan. Luka itu membekas, dan kini, perlahan-lahan, Adrian mencoba menjahitnya kembali.Hari itu, Luna memutuskan untuk berjalan-jalan ke toko buku favoritnya, tempat yang dulu sering
Malam itu, Luna menatap langit dari balik jendela kamar kecilnya. Hujan memang sudah reda, tapi bekasnya masih tertinggal di kaca yang berembun. Jemarinya menelusuri tetesan itu, menggambar pola tak beraturan, seperti pikirannya saat ini. Percakapannya dengan Adrian tadi terus terngiang di kepala. Kata-kata janji yang dulu pernah ia percaya, kini kembali diucapkan. Luna ingin percaya lagi, tapi luka-luka masa lalu masih menahan langkah hatinya. "Apa benar dia berubah? Apa benar kali ini dia nggak akan lari lagi?" batinnya, sambil menutup mata pelan. Di tempat lain, Adrian menatap layar ponselnya. Pesan terakhirnya untuk Luna masih belum dibalas. Ia tahu, tak semudah itu menghapus rasa sakit yang pernah ia ciptakan. Tapi ia bersungguh-sungguh kali ini. Tangannya mengepal erat. "Aku harus menebus semuanya. Aku harus berjuang," gumamnya. Keesokan harinya, kota masih basah oleh sisa hujan semalam. Luna berangkat kerja seperti biasa, tapi ada rasa aneh yang mengganjal di dadanya. Di
Langit malam yang biasanya bersih, malam itu tampak muram. Awan gelap menggantung berat, seolah menahan air mata yang siap tumpah. Suasana itu seakan mewakili hati Luna yang tak menentu. Ia duduk di balkon kamarnya, menatap kosong ke arah jalanan yang perlahan basah oleh gerimis.Di tangannya, tergenggam sebuah kertas musik yang berisi notasi lagu yang ia ciptakan bersama Adrian. Lagu itu adalah saksi bisu setiap tawa dan harapan yang pernah mereka ukir bersama. Tapi malam itu, setiap not yang biasanya terdengar manis kini terasa getir di telinganya."Luna..." suara Mama memanggil dari balik pintu. "Jangan terlalu malam begadang, Nak. Besok kau harus berangkat pagi."Luna hanya mengangguk tanpa menoleh. Ia tahu Mama khawatir, tapi hatinya terlalu berat untuk sekadar berdiri dari kursi itu. Ia meremas kertas musik itu, berharap rasa sesak di dadanya ikut luruh bersama rintik hujan yang kini turun semakin deras.Sementara itu, di sisi lain kota, Adrian pun terjebak dalam pikirannya send
Pagi itu, Luna terbangun dengan perasaan yang aneh. Di satu sisi, tubuhnya terasa letih karena malam sebelumnya ia pulang larut. Tapi di sisi lain... hatinya ringan. Entah sejak kapan ia merasa seperti ini. Biasanya, pagi selalu menyiksa — seolah hari baru hanya berarti luka baru. Tapi kali ini, berbeda. Ia duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang pucat. Di luar, matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai. Hangat, tapi tidak menyilaukan. Seperti hati Luna yang perlahan mulai mencair. Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Rara. "Lun, hari ini ikut ekskul gak? Udah seminggu kamu ngilang." Luna menghela napas. Biasanya, ia akan mengabaikan pesan seperti itu. Tapi kali ini, jemarinya bergerak sendiri. "Mungkin. Lihat nanti." Ia sendiri terkejut dengan jawabannya. Sejak kapan ia jadi orang yang ‘mungkin’ mau berbaur lagi? Setelah mandi dan berganti pakaian, Luna turun ke ruang makan. Ayahnya sudah duduk di meja, menyesap kop
Langit malam itu bersih tanpa awan, hanya dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip, seolah sedang menertawakan dunia yang sedang kalut di bawahnya. Luna memeluk lututnya erat, duduk di atas rerumputan yang dingin. Udara malam menggigit kulitnya, tapi hatinya jauh lebih dingin dari itu.Di bukit kecil ini, ia selalu datang saat hidup mulai terasa sesak. Tempat ini, jauh dari hiruk pikuk kota, adalah satu-satunya ruang di mana ia bisa bernapas lega. Namun malam ini, bahkan langit yang biasanya menenangkannya, terasa lebih jauh dan asing.Sampai suara langkah kaki terdengar."Indah ya, malam ini?"Suara itu dalam, tenang, namun cukup mengejutkannya. Luna menoleh cepat. Seorang pemuda berdiri beberapa meter darinya. Tubuhnya diselimuti hoodie gelap, wajahnya hanya sedikit tersinari cahaya bulan.Ia sempat ragu. Tapi anehnya, tatapan mata pemuda itu tidak mengancam. Ada kelelahan di matanya, tapi juga kehangatan yang samar."Iya," jawab Luna akhirnya, pelan.Pemuda itu duduk, menjaga ja