Beranda / Romansa / Serenade Cinta Dibawah Bintang / Bab 1 Malam Di Bawah Bintang

Share

Serenade Cinta Dibawah Bintang
Serenade Cinta Dibawah Bintang
Penulis: San_prano

Bab 1 Malam Di Bawah Bintang

Penulis: San_prano
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-06 19:10:07

Langit malam itu bersih tanpa awan, hanya dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip, seolah sedang menertawakan dunia yang kalut di bawahnya. Luna memeluk lututnya erat, duduk di atas rerumputan yang dingin. Udara malam menggigit kulitnya, tetapi hatinya jauh lebih dingin dari itu.

Di bukit kecil ini, ia selalu datang saat hidup mulai terasa sesak. Tempat ini, jauh dari hiruk pikuk kota, adalah satu-satunya ruang di mana ia bisa bernapas lega. Namun malam ini, bahkan langit yang biasanya menenangkannya terasa lebih jauh dan asing.

Sampai suara langkah kaki terdengar.

“Indah ya, malam ini?”

Suara itu dalam, tenang, namun cukup mengejutkannya. Luna menoleh cepat. Seorang pemuda berdiri beberapa meter darinya. Tubuhnya diselimuti hoodie gelap, wajahnya hanya sedikit tersinari cahaya bulan.

Ia sempat ragu. Namun, anehnya, tatapan mata pemuda itu tidak mengancam. Ada kelelahan di matanya, tetapi juga kehangatan yang samar.

“Iya,” jawab Luna akhirnya, pelan.

Pemuda itu duduk, menjaga jarak. Tak mencoba mendekat lebih jauh, seolah memahami ruang pribadi Luna tanpa harus dijelaskan.

“Aku Adrian,” katanya tanpa basa-basi.

“Luna,” balasnya singkat.

Sejenak, keheningan menyelimuti mereka berdua. Angin malam kembali berhembus, membawa aroma tanah basah. Luna tidak tahu kenapa, tetapi ia merasa... nyaman. Seolah semesta sengaja mempertemukan mereka malam ini.

“Kamu sering ke sini?” tanya Adrian, memecah hening.

“Sering. Kalau lagi... capek.”

Luna menelan ludahnya sendiri. Kata-kata itu nyaris tercekat, tetapi ia paksakan keluar. Adrian mengangguk pelan.

“Aku juga. Kadang kita cuma butuh tempat buat ngeluarin semua, kan?”

Luna meliriknya sekilas. “Tempat seperti ini,” gumamnya.

Adrian tersenyum tipis. “Tempat yang tidak bertanya kenapa kita datang. Tidak menuntut kita untuk selalu kuat.”

Luna menggigit bibir bawahnya. Kata-kata Adrian menohok tepat di dadanya. Selama ini, ia memang selalu berpura-pura. Di rumah, di sekolah, bahkan di depan teman-temannya. Ia adalah Luna yang kuat, yang ceria. Padahal, di dalamnya, sudah lama retak.

“Kamu kabur dari apa?” tanya Luna tiba-tiba.

Adrian menatap langit. “Dari masa lalu. Dari keluarga yang hancur, dari janji-janji yang tidak pernah ditepati. Kamu?”

Luna menunduk. “Dari diri sendiri, mungkin.”

Mereka tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, tetapi tawa getir yang muncul saat dua orang saling memahami luka satu sama lain.

“Aku pernah berpikir,” kata Adrian pelan, “kalau hidup itu kayak langit malam. Kadang gelap, kadang cuma ada satu-dua bintang. Tapi selalu ada cahaya, sekecil apa pun.”

Luna mendongak, menatap bintang-bintang di atas sana. “Aku sudah lama tidak lihat cahayanya.”

“Kamu lihat sekarang, kan?” Adrian menunjuk langit. “Itu artinya kamu masih mau bertahan.”

Luna memejamkan mata. Air mata yang sudah lama ditahan akhirnya lolos, mengalir tanpa bisa dicegah. Ia membenci dirinya karena menangis di depan orang asing. Namun, anehnya, ia tidak merasa malu.

Adrian tak berkata apa-apa. Ia hanya duduk di sana, menjadi saksi bisu dari tangisan Luna.

“Maaf,” ucap Luna di sela isakannya.

“Tidak usah minta maaf. Nangis itu bukan dosa,” ujar Adrian lembut. “Itu tandanya kamu manusia.”

Luna menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia menyeka air matanya kasar.

“Kalau kamu mau,” kata Adrian pelan, “kita bisa mulai dari malam ini. Mungkin tidak semua luka bisa sembuh, tetapi... kita bisa coba jalani pelan-pelan. Bareng.”

Luna menoleh. Mata mereka bertemu dalam gelap. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hangat, yang lama hilang dari hidupnya: harapan.

“Mungkin,” gumam Luna, “aku bisa coba.”

Adrian tersenyum lebih lebar sekarang. “Itu sudah lebih dari cukup.”

Malam terus berlalu, tapi waktu seolah melambat bagi mereka berdua. Mereka bercerita — tentang impian yang belum tercapai, tentang ketakutan yang selama ini dipendam.

Luna bercerita tentang ibunya yang pergi tanpa pamit, tentang ayahnya yang lebih sibuk dengan pekerjaannya ketimbang memperhatikan anaknya sendiri.

Adrian bercerita tentang keluarganya yang tercerai-berai, tentang rasa bersalah yang menghantuinya setiap malam.

Di antara cerita-cerita itu, ada tawa kecil yang menyusup. Tawa yang pelan, tapi tulus. Tawa dua jiwa yang menemukan tempat aman di bawah langit malam.

Saat angin bertiup lebih dingin, Luna sadar sesuatu. Malam ini bukan hanya tentang pelarian. Malam ini adalah titik awal.

“Kalau aku jatuh lagi nanti, kamu masih di sini?” tanyanya pelan.

Adrian mengangguk tanpa ragu. “Aku tidak janji bakal selalu kuat. Tapi... aku janji tidak akan meninggalkan.”

Luna menahan senyum. Hatinya yang lama beku, malam itu mulai mencair, perlahan.

Di bawah langit yang terus bersinar, kisah mereka baru saja dimulai. Sebuah serenade yang pelan, tapi akan mengubah hidup mereka selamanya.

Dan tanpa mereka sadari, bintang-bintang di atas sana seolah ikut menyaksikan, mengamini pertemuan dua jiwa yang tersesat tapi saling menemukan.

Adrian membuka sedikit cerita lain, suaranya hampir berbisik,

“Kamu tahu, Luna, kadang aku merasa hidup itu seperti jalan yang kita tempuh tanpa peta. Aku tersesat beberapa kali, bahkan hampir menyerah. Tapi malam ini, aku rasa aku menemukan alasan untuk terus melangkah.”

Luna menatapnya dalam-dalam. “Aku juga merasakan hal yang sama. Selama ini aku merasa sendirian, tapi malam ini... rasanya berbeda.”

Mereka berdua tertawa pelan, dan Luna merasa ada sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya — kepercayaan, seolah beban yang lama membelenggunya mulai sedikit terangkat.

“Bagaimana dengan besok? Mau ke sini lagi?” Adrian bertanya, dengan harapan yang jelas di suaranya.

Luna mengangguk, bibirnya melengkung menjadi senyum kecil yang tulus.

“Aku akan datang. Aku ingin tahu ke mana kisah ini akan membawa kita.”

Malam semakin larut, dan aroma lembut tanah basah mulai menyapa mereka, membelai lembut udara dingin yang mulai menusuk tulang. Luna berdiri, menghela napas dalam, dan memandang kembali langit penuh bintang yang kini terasa lebih ramah.

“Terima kasih, Adrian,” ucapnya lirih saat mereka berjalan turun dari bukit, “untuk malam ini... dan mungkin untuk yang akan datang.”

Adrian tersenyum, matanya bersinar dalam kegelapan.

“Sama-sama, Luna. Ini baru awal dari sesuatu yang indah.”

Langkah mereka berpisah, namun hati mereka tidak. Malam di bawah bintang itu mengikat dua jiwa yang lelah, memberi mereka secercah harapan, dan sebuah janji kecil untuk tidak menyerah pada masa lalu.

Malam itu, di bawah kilauan bintang, sebuah cerita baru mulai ditulis.

Ketika langkah kaki mereka mulai menjauh ke arah yang berbeda, angin malam membawa sejuk yang—meski menusuk kulit—membawa ketenangan pada jiwa yang resah. Luna menoleh sekali lagi ke belakang, memandang bayangan sosok Adrian yang perlahan hilang dalam gelap.

“Apa yang nanti akan terjadi? Bisakah ini menjadi awal yang baru, ataukah hanya bayangan sementara yang cepat pudar?” pikirnya, membiarkan keraguan dan harapan saling bergelut dalam benaknya.

Setibanya di rumah, Luna mendapati ayahnya masih terjaga di ruang tengah, matanya merah dan lelah. Ia tahu ayahnya khawatir akan kepergiannya malam itu, namun kata-kata penjelasannya masih terhambat di tenggorokan.

“Ma, udah malam, Luna. Kamu ke mana saja?” suara ayahnya berat namun ada nada lembut yang tersembunyi.

Luna menelan ludah, mengumpulkan keberanian. “Aku... ke bukit kecil, Pak. Butuh udara segar,” jawabnya sambil mencoba tersenyum.

Ayahnya menatapnya lama, kemudian hanya mengangguk pelan. “Hati-hati ya,” katanya singkat.

Setelah beranjak ke kamar, Luna merebahkan dirinya di ranjang, matanya menatap langit-langit yang gelap. Malam yang baru saja ia lewati begitu penuh emosi; tawa, tangis, dan harapan bercampur menjadi satu. Namun ada satu hal yang jelas: malam ini, untuk pertama kalinya dalam waktu yang panjang, ia merasa tidak sendirian.

Di kejauhan, cahaya lampu kota berkerlip, seakan mengingatkan bahwa meski dunia bisa begitu hangat dan penuh keramaian, tidak semua orang bisa merasakannya dari balik luka yang tersembunyi.

Ponselnya bergetar menandakan pesan masuk. Dari Adrian.

“Terima kasih sudah datang, Luna. Aku tunggu besok malam.”

Sebuah senyum tipis menghiasi bibir Luna. Sebuah petualangan baru telah dimulai, dan dengan perasaan campur aduk yang tak dapat dijelaskan, ia tahu bahwa perjalanan ini akan membawanya pada kebenaran yang selama ini ia cari—tentang diri sendiri, keluarga, dan mungkin tentang cinta.

Dan di atas sana, di balik awan dan bintang, langit senantiasa menjadi saksi sunyi perjalanan dua insan yang sedang belajar bagaimana tetap berharap, tetap bertahan. Malam itu, di bawah bintang-bintang yang abadi, kisah Luna dan Adrian baru saja dibuka lembarannya.

Selamat datang di malam yang penuh kemungkinan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
titi12017suharnita
gas keun Luna semangat
goodnovel comment avatar
San_prano
Hallo Semuanya, nantikan Bab Selanjutnya pantau terus.......
goodnovel comment avatar
Daffa Sandita Pratama
laku laku yg tulus mksdnya min
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   bab 46 Satu Lagu Lagi

    Senja kembali menggantung rendah di langit Jakarta ketika Luna berdiri di depan jendela kamarnya, memandangi langit jingga yang mulai digantikan semburat malam. Hawa hangat sisa siang terasa nyaman di kulit, tapi pikirannya sibuk dengan nada-nada yang belum selesai ia tulis.Di meja kerjanya, beberapa lembar lirik berserakan. Lagu “Pulang” sudah selesai dan telah membekas dalam ingatan banyak orang. Tapi ada suara baru di dalam dirinya. Bukan suara masa lalu, bukan pula bayangan tentang Adrian, tapi suara yang muncul dari kedalaman dirinya sendiri. Suara tentang langkah ke depan.Luna duduk dan mulai menyusun bait. Tangannya bergerak lincah, namun hati-hati, seperti sedang menenun kisah dari benang-benang yang belum utuh. Ia tidak tahu apakah lagu ini akan ia nyanyikan, atau hanya akan ia simpan. Tapi satu hal yang pasti: ia ingin menyelesaikannya.Beberapa hari setelah penampilannya di acara kampus, Luna kembali aktif sebagai asisten dosen vokal. Jadwalnya padat, tapi hatinya tidak s

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 45 Merangkai Nada Baru

    Studio musik kampus pagi itu lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu kecil menyala redup, menciptakan suasana seolah memeluk setiap nada yang terlahir di dalamnya. Luna melangkah masuk membawa gitar akustiknya, sambil menyapa Adrian yang sudah membuka jendela besar, membiarkan udara pagi dan kicauan burung menyusup lembut.Dia meletakkan gitar di sandaran kursi, mengambil selembar kertas lirik lagu barunya—lagu "Pulang" yang sukses di pertunjukan akhir semester. Lembar itu kini bertuliskan kata-kata revisi, catatan kecil tentang progresi akor, dan tanda-tanda agar baitnya lebih hidup.Setelah menyalakan rekorder, Adrian menyapa singkat, “Siap?”Luna mengangguk, menarik napas dalam, lalu mulai bermain akord, suara gitar memenuhi ruang pagi itu. Tak jarang nadanya sedikit gemetar, tapi justru itu yang membuatnya terasa hidup—karena setiap nada adalah refleksi perjalanan batinnya. Di sudut ruangan, Adrian menyimak dengan serius, membuat catatan kecil di notebook-nya.Saat nadanya berhenti

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 44 Senandung Nada Yang Membawa Pulang

    Langit Jakarta pagi itu masih pucat, seakan belum sepenuhnya terbangun dari malam yang panjang. Di dalam studio musik kampus, Luna duduk sendirian di depan piano, membiarkan jarinya menyentuh tuts-tuts dingin tanpa benar-benar bermain. Di atas meja kecil di sampingnya, lembaran lirik “Setengah Langit” yang diberikan Adrian kemarin masih terbuka. Ia membacanya ulang—bukan karena lupa, tapi karena ingin meresapi tiap kata dengan pemahaman yang baru.Malam sebelumnya masih terbayang jelas dalam benaknya. Percakapan mereka, senyum tenang Adrian, dan bagaimana akhirnya mereka menyadari bahwa hubungan yang dewasa bukan selalu tentang memiliki, tapi tentang mengerti kapan harus saling diam, kapan harus saling dorong. Dan pagi ini, Luna merasa... lebih ringan.Pintu studio terbuka perlahan. Suara langkah pelan menyusul masuk. Luna menoleh. Adrian berdiri di ambang pintu, membawa dua gelas kopi hangat dari kantin.“Kopi pagi?” tawarnya.Luna tersenyum. “Kamu sekarang tiap datang ke studio bawa

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 43 Langkah Yang Tak Lagi Sendiri

    Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui jendela kamar Luna, menyentuh pelan wajahnya yang masih setengah tertutup selimut. Ia membuka mata perlahan, menatap langit-langit kamarnya yang terasa asing setelah sekian minggu di Jepang. Tapi ada ketenangan baru di sana—ketenangan yang tidak ia temukan saat pertama kali ia kembali dari perpisahan dengan Adrian.Ia bangun, lalu membuka tirai. Langit Jakarta cerah, seolah menyambut kepulangannya dengan hangat. Di meja kecil di pojok kamar, CD hasil rekaman penampilannya di Tokyo masih terletak rapi, seperti mengingatkan bahwa apa yang ia alami di sana bukan mimpi. Ia benar-benar telah menyanyi di panggung festival internasional, menyuarakan hatinya di depan ratusan orang asing yang ikut terdiam mendengarnya.Tapi ada hal lain yang membuat pagi itu berbeda: lagu dari Adrian. Lagu berjudul “Langkah Kedua” itu masih berputar di benaknya. Liriknya, melodinya, suara Adrian—semuanya menyatu dalam rasa yang sulit dijelaskan. Itu bukan lagu c

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 42 Di Antara Jarak Dan Doa

    Suara pengumuman dari bandara Narita menggaung samar di kejauhan, bercampur dengan suara langkah kaki para penumpang yang hilir mudik. Di tengah keramaian itu, Luna berdiri mematung, menatap layar ponselnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pesan terakhir dari Adrian belum dibalasnya, bukan karena ia tak ingin, tapi karena ia masih mencari kata yang tepat untuk menjawabnya.“Aku harap kamu bisa nyanyi dengan hati yang sama kayak waktu kamu nyanyi lagu kita,” tulis Adrian semalam, tepat sebelum Luna terbang ke Jepang.Luna menghela napas dan memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia tahu, festival ini bukan hanya tentang pencapaian, tapi juga tentang pembuktian. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa berdiri di atas panggung tanpa membawa bayang-bayang masa lalu. Tapi nyatanya, bayangan itu tetap menempel—dalam bentuk lirik lagu yang ia dan Adrian ciptakan bersama.“Luna-san,” suara seorang panitia festival memanggil. “Kami akan mulai persiapan. Mohon bersiap di belakan

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 41 Menjadi Versi Terbaik Diri Sendiri

    Pagi itu, Jakarta dibasahi gerimis halus yang menggantung di udara seperti perasaan dalam dada Adrian—tenang di permukaan, tapi sesungguhnya penuh gelombang kecil di dalamnya. Di meja kayu berdebu yang terletak di sudut kamar, laptopnya terbuka dengan layar kosong. Namun untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak merasa tertekan oleh keheningan itu.Adrian menatap layar kosong tersebut lalu mengalihkan pandangannya ke jendela. Musik pelan mengalun dari speaker kecil—bukan lagu sedih, bukan pula lagu cinta. Hanya denting piano instrumental yang mengalir seperti napasnya pagi itu.Ia baru saja selesai membaca ulang catatan jurnal yang ia tulis selama beberapa minggu terakhir. Di dalamnya, tersimpan potongan emosi yang dulu sulit ia kenali: marah, kecewa, rindu, takut. Tapi yang paling menonjol—kejujuran. Semua luka yang pernah ia hindari kini justru menjadi bahan bakar untuk karya barunya.Di sisi lain kota, Luna tengah sibuk merapikan koper kecil di kamar kosnya. Di atas meja

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status