Pagi setelah penampilan mereka, sinar matahari menyusup perlahan melalui celah tirai kamar Luna. Udara masih dingin, namun hatinya terasa hangat. Ia terbangun dengan perasaan campur aduk: lega karena pertunjukan berjalan lancar, gugup karena pengakuan Adrian malam tadi, dan bahagia karena jawaban yang telah ia berikan.
Cincin perak di jari manisnya masih tersemat rapi, seolah mengikat janji yang belum sepenuhnya terucap, tapi sudah terasa begitu nyata.Luna bangkit dari ranjang kosnya, berjalan ke dapur kecil untuk membuat kopi. Tangannya gemetar sedikit saat menuang air panas, tak sepenuhnya karena suhu pagi, tapi lebih karena efek emosional yang masih tersisa. Setiap detik yang ia lalui sejak kemarin malam terasa seperti alunan musik yang menenangkan.Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Adrian.“Hari ini kosong? Mau jalan sebentar? Aku jemput jam 10 ya.”Luna tersenyum kecil. Jam masih menunjukkan pukul 08.45. Ia punya cukup waktu untuk bersiap.MereSenja mulai turun di Kyoto, menggores langit dengan semburat jingga lembut yang membasuh atap-atap kota tua. Di dalam kamar asramanya, Luna duduk di depan meja kerja, menatap layar laptop yang menyala lemah. Di layar itu, terbuka halaman kosong dari surat balasan yang belum sempat ia kirim pada Adrian.Sudah hampir dua minggu sejak “Janji Hati” dinyanyikan Adrian di festival kolaborasi Asia. Luna menonton rekamannya berulang kali—bukan karena belum hafal, tapi karena tiap baitnya terasa seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh, namun juga seperti salep yang menenangkan.Ia menarik napas panjang. Suara Adrian di video itu bukan hanya suara kekasih. Tapi suara seseorang yang sedang memeluknya dari jauh, membisikkan, “Aku masih di sini.”Namun bahkan dengan semua keyakinan itu, jarak tetap menyisakan jeda. Diam-diam yang tak sepenuhnya bisa diisi kata-kata.Luna menutup laptopnya perlahan. Di atas meja, tergeletak sebuah undangan acara penghargaan animasi kampus—acara
Langit senja di Kyoto memamerkan gradasi warna yang memesona—perpaduan ungu, jingga, dan biru yang menggantung di atas pepohonan sakura yang mulai rontok. Luna berdiri di depan jendela kamarnya di asrama, masih mengenakan sweater hangat berwarna abu-abu dan celana jeans longgar. Di tangannya, selembar kertas sketsa dengan gambar dua karakter animasi; satu menyerupai dirinya, satu lagi mirip Adrian—berdiri di dua sisi gunung yang berbeda, tapi saling menatap langit yang sama.Ia tersenyum kecil. Dalam diam, ia mengingat kembali lagu Adrian di panggung showcase Asia Music Fest, lagu yang Maya rekam dan kirimkan padanya beberapa hari lalu. "Janji Hati" bukan sekadar lagu, tapi pengakuan. Dan lebih dari itu, sebuah serenade dari kejauhan.Di sisi lain, Adrian menatap layar laptopnya di kamar studio apartemennya di Jakarta. Ia baru saja selesai menulis email balasan kepada panitia festival kolaborasi internasional. Kali ini, mereka meminta Adrian untuk menulis lagu tema untuk program kolab
Langit sore Jakarta berwarna keemasan, seolah menyiram kota dengan cahaya hangat yang menenangkan. Di antara hiruk-pikuk kendaraan dan kehidupan yang terus berjalan, Adrian berdiri di depan studio musik kecil tempat ia biasa berlatih. Tangannya memegang selembar kertas—lirik lagu yang belum selesai. Namun kali ini, bukan soal notasi atau harmoni yang membuatnya ragu. Tapi perasaan di dadanya yang belum sempat ia selesaikan.Ia menatap kertas itu sejenak, lalu menaruhnya ke dalam saku. Langkah kakinya membawanya menuju halte terdekat, pikirannya melayang pada Luna. Sejak Luna pergi ke Jogja bersama Maya, banyak hal yang terdiam dalam hubungan mereka. Bukan karena hilang, tapi karena masing-masing sedang berusaha merapikan isi hati yang porak-poranda.Di sisi lain, Luna tengah duduk di bangku taman yang rindang di sekitaran Malioboro. Sore itu, angin bertiup sejuk, membelai pipinya yang mulai sedikit lebih cerah. Ia baru saja selesai dari workshop animasi yang digelar oleh kom
Hujan pertama di bulan Oktober turun dengan malu-malu. Rintiknya membasahi jendela studio tempat Adrian menghabiskan sore sendirian. Tangannya menggenggam gitar, namun jemarinya hanya diam di atas senar, seperti kehilangan nada.Sudah hampir sebulan sejak Luna pergi ke Kyoto. Dan meskipun mereka rutin bertukar pesan, panggilan video, bahkan mengirimkan surat dengan gambar-gambar kecil yang lucu, ada kekosongan yang tak bisa dijembatani oleh sinyal atau kata-kata.Adrian menarik napas panjang, lalu mencoba memainkan nada. Tapi suara yang keluar terdengar datar. Tak ada emosi. Tak ada getaran. Ia berhenti, lalu menatap jendela. Kilas balik percakapan mereka sebelum Luna naik ke pesawat masih sering muncul di kepalanya."Satu tahun dan kamu kembali, atau aku menyusul."Satu tahun. Tapi sebulan saja rasanya seperti satu musim penuh kehampaan.Pintu studio terbuka, dan Maya masuk dengan membawa dua gelas kopi. "Lo belum pulang juga?"Adrian mengangguk pelan. "Nggak bisa tidur kalau belum n
Hujan belum juga reda. Derasnya seakan menyamarkan segala suara, kecuali satu—suara di dalam dada Adrian yang makin gaduh. Tangannya memegang erat jaket yang dulu pernah ia berikan pada Luna. Kini hanya tersisa aroma samar yang perlahan memudar.Adrian termenung di kamar yang kini terasa asing. Sejak Luna pergi, suasana rumah itu seperti kehilangan nadanya. Tidak ada lagi tawa kecil Luna saat memeluk kucing liar yang mereka rawat. Tidak ada lagi bau masakan yang ia coba pelajari hanya untuk membuat Adrian senyum. Yang ada hanya diam, dan rasa kehilangan yang kian mencubit.Ia melangkah ke meja belajar Luna, yang tak sempat dirapikan sejak malam itu. Di sana, tergeletak selembar kertas, coretan tangan Luna yang penuh dengan emosi. Adrian mengambilnya hati-hati, membacanya pelan."Aku tidak pergi karena membencimu. Aku pergi karena aku butuh menemukan diriku sendiri, tanpa harus terus mengukur langkah dari jejakmu."Kalimat itu membuat napas Adrian tercekat. Ia sadar,
Langit sore mulai merona oranye, seolah menyambut perpisahan yang belum sempat diucapkan. Adrian berdiri di tepi balkon apartemennya, memandangi jalanan yang dipenuhi mobil dan manusia yang bergerak tanpa henti—berbeda dengan hatinya yang justru terdiam.Kepergian Luna meninggalkan ruang kosong yang tak bisa diisi siapa pun. Aroma lavender dari parfum yang biasa dipakainya masih samar di bantal. Di sudut ruangan, mug teh hijau kesukaannya masih diletakkan dengan rapi. Semua terasa seperti museum dari cinta yang baru saja dikubur hidup-hidup.Adrian menyandarkan kepala ke dinding, mencoba mengulang semua percakapan terakhir mereka. Kalimat Luna terus terngiang."Aku pergi bukan karena aku takut, Adrian. Aku pergi karena aku lelah terus bertahan tanpa didengar."Itu bukan sekadar perpisahan. Itu adalah penegasan. Sebuah keputusan yang lahir dari luka yang tak pernah sembuh, dari harapan yang terus terabaikan. Dan kini, yang tersisa hanyalah dirinya sendiri—dan seribu penyesalan.Di temp