Sore itu, Jakarta seperti menahan napas. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma aspal basah yang berpadu dengan wangi tanah. Adrian memarkir mobilnya di pinggir jalan kecil di kawasan Menteng, menatap bangunan tua bercat krem di depannya—sebuah kafe kecil yang dulu menjadi awal segalanya.Kafe itu tidak banyak berubah. Kursi rotan masih setia di dekat jendela besar, lampu gantung temaram masih memantulkan cahaya hangat di permukaan meja kayu. Dan di sudut kanan dekat rak buku, ada kursi yang pernah ia duduki saat pertama kali bertemu Luna.Langkahnya terasa berat saat memasuki ruangan. Aroma kopi dan kayu manis menyambut, seolah mencoba meredakan rasa sesak di dadanya. Ia memesan kopi hitam, lalu berjalan ke meja yang dulu jadi saksi awal perbincangan mereka. Jemarinya menyusuri permukaan meja itu—bekas goresan kecil masih ada, sama seperti dulu.Ingatannya melayang. Waktu itu, ia datang hanya untuk menunggu teman band-nya. Luna masuk tergesa, membawa sketsa yang hampir
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis di apartemen Adrian, tapi suasana di dalam masih berat. Ia duduk di meja kerjanya, menatap secangkir kopi yang sudah dingin. Semalam ia dan Luna sudah bicara panjang. Rasanya lega, tapi juga muncul kesadaran baru: janji yang ia buat bukan hal ringan. Janji itu menuntut konsistensi, kesabaran, dan mungkin pengorbanan.Notifikasi email masuk. Dari Edward. Judulnya singkat: “Final Approval”. Adrian membuka file terlampir—draft kontrak kerjasama internasional yang ternyata sudah diberi cap resmi yayasan. Tapi ada perubahan besar: nama Adrian tidak lagi berdiri sendiri sebagai pemilik label, melainkan “di bawah supervisi penuh yayasan keluarga”.Adrian menutup laptop dengan cepat, seolah takut layar itu akan menghisap seluruh harga dirinya. Ia tahu, kalau ia menandatangani ini, label yang ia bangun dari nol akan kehilangan kedaulatan. Tapi menolak berarti memutus akses modal dan jaringan yang selama ini menopangnya.Ia bersandar di kursi, lalu
Malam itu, Jakarta tampak redup oleh cahaya lampu jalan yang menyebar seperti cahaya bintang di antara kabut. Adrian duduk di dalam mobilnya, terparkir di depan kafe tempat ia biasa bertemu dengan beberapa musisi dan produser. Hari itu, ia baru saja menyelesaikan sesi mixing lagu terbarunya—lagu yang semestinya terasa lega setelah diselesaikan. Tapi tidak malam ini.Di genggamannya, ada pesan suara yang baru saja dikirimkan oleh salah satu staf dari label.“Mas, tadi mbak Reina mampir ke studio. Dia katanya mau ngobrol langsung soal proyek duet itu. Saya udah bilang Mas Adrian lagi sibuk, tapi dia bilang nggak apa-apa nunggu. Btw, kelihatannya dia tahu banyak soal struktur internal label…”Adrian mematikan suara pesan itu sebelum selesai. Nama Reina, produser wanita yang dulu sempat dekat dengannya saat proyek musik beberapa tahun lalu, kini kembali muncul di hidupnya. Dulu, hubungan profesional mereka sempat menimbulkan gosip. Tak ada yang terjadi, memang. Tapi Luna… Lu
Jakarta kembali diguyur hujan. Rintiknya menari di kaca studio, menciptakan irama alami yang mengiringi suara minor dari dentingan tuts piano yang dimainkan Adrian. Tapi pikirannya tidak berada di dalam ruangan itu. Ia melayang entah ke mana—ke kota lain, ke orang yang kini rasanya makin jauh, bahkan dalam diam.Sudah dua hari sejak Luna mengabarkan tentang beasiswa ke Bali. Adrian tentu senang. Seharusnya. Tapi entah mengapa, ada ruang kosong yang tidak bisa diisi dengan kata-kata. Seolah jarak yang akan mereka tempuh tak sekadar kilometer, tapi juga perasaan yang makin renggang.Ia menatap ponsel yang diletakkan di samping keyboard. Ada beberapa pesan belum dibaca, semuanya dari Luna. Adrian belum membalas. Bukan karena tak peduli, tapi karena tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu ini bukan salah Luna. Tapi tetap saja, ada suara kecil dalam hatinya yang bertanya: kenapa tidak didiskusikan dulu?Ketika seseorang memilih jalan besarnya tanpa melibatkanmu, apakah itu artinya... mereka
Langit pagi di Kyoto berwarna abu-abu pucat. Awan menggantung rendah, seolah menyerap setiap detik keraguan yang mengisi benak Luna. Di tangannya, surat tawaran beasiswa dari program magister seni yang prestisius di Bali tampak begitu nyata, begitu menggiurkan. Tapi bersamaan dengan itu, hatinya terasa berat.Luna duduk di balkon penginapannya, mengenakan sweater hangat dan memeluk lutut sambil menatap halaman kosong jurnal pribadinya. Angin bertiup pelan, membawa aroma teh hijau dari dapur. Tapi bahkan aroma favoritnya tak cukup untuk menenangkan badai pikiran di kepalanya."Ini kesempatan sekali seumur hidup," gumamnya lirih.Tapi kesempatan itu datang di saat yang paling rumit.Hubungan dengan Adrian—yang sempat membaik setelah segala dialog terbuka dan kejujuran yang mereka rawat—kini perlahan meredup kembali. Bukan karena kurang cinta, tapi karena dunia mereka seperti tak mau bersinggungan. Campur tangan Edward yang semakin menjadi, ditambah tekanan Adrian dalam
Udara pagi di Jakarta masih basah oleh sisa hujan semalam. Aroma tanah yang lembap menyusup ke sela-sela jendela apartemen Adrian. Ia duduk di ruang tengah, mengenakan hoodie kelabu dan celana training, menatap layar laptop yang menampilkan grafik laporan keuangan dari label musik barunya. Sambil menyesap kopi, ia mengernyit—ada satu kolom anggaran yang tampak tak sesuai.Suara ketukan di pintu memecah konsentrasinya. Adrian bangkit, membuka pintu, dan mendapati seseorang yang tidak ia sangka akan datang sepagi ini.“Pak Edward?”Lelaki paruh baya itu berdiri tegak dengan setelan jas rapi dan tatapan yang tak berubah sejak pernikahan ibunya—dingin, kaku, dan penuh ekspektasi.“Kita perlu bicara,” ujar Edward tanpa basa-basi, melangkah masuk tanpa menunggu izin. Adrian menahan napas, menutup pintu perlahan.Mereka duduk berhadapan. Edward mengeluarkan map cokelat dan menyeret laptop Adrian ke arahnya.“Aku lihat laporanmu. Proyek duet dengan penyanyi Korea itu memang menarik, tapi kamu