Lily berkunjung ke Lindunagari di bulan ke tiga Muria bekerja di kebun Sindukala. Ia tidak bersama suaminya, melainkan lelaki yang tidak dikenal Marsala, namun wajahnya tampak tidak asing. Lily berkeliling, mengamati rumah dan kebun, memetik beberapa butir dewandaru yang ranum, dan mengunyahnya. Sindukala berbicara panjang lebar tentang bagaimana ia mendapatkan tanah ini. Mereka mengobrol sampai sore, dan meninggalkan sebungkus cemilan untuk Raesaka.Tiga minggu setelahnya, Lily kembali lagi bersama lelaki yang sama, yang namanya tidak pernah diingat Marsala hingga hari ini. Tidak banyak berbasa-basi, Lily mengatakan maksud dan tujuannya datang ke kebun Sindukala. Sambil memperlihatkan setumpuk surat yang dibungkus map kertas, dengan tenang Lily berkata, “Tanah ini milikku, Sindu. Tanah ini sudah diwariskan oleh ayahku sebelum dia meninggal. Ini semua adalah bukti-buktinya.”Rupanya Ardiwilaga, yang menjual tanah ke ibunya Sindu itu nama ayahnya Lily, pikir Marsala, baru menyadari.“
“Namaku Zurek, orang yang berkuasa di wilayah ini.” Sindukala dan Marsala mengira Zurek dan keenam temannya (yang tidak melepas maskernya) adalah orang-orang suruhan Lily untuk membantunya merampas tanah ini. Ternyata, mereka hanya sekumpulan preman kampung yang menginginkan uang. Tanpa sepengetahuan Marsala, Sindukala sering kali dikunjungi orang-orang perwakilan Zurek yang meminta sebagian uang penjualan hasil kebun, namun Sindukala tidak pernah memberi mereka sepeser pun.Mereka membakar kayu-kayu di pekarangan depan, sehingga terbentuk api unggun yang cukup besar. Sindukala dan Marsala duduk dalam keadaan dibelenggu di sekitar api, tidak terkecuali Lily, teman lelakinya, dan Muria—mereka tidak dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini; mulut, tangan, dan kakinya ikut dibelenggu.Teman-teman Zurek yang lain berkeliaran di sekitar rumah, mengambil sejumlah uang, laptop, ponsel, televisi dan motor. Mereka juga membawa semua lukisan Marsala dan membakarnya. Padahal, lukisan-lukisan itu
“Rae dibawa ke Lindunagari besok aja ya, Mars. Dia masih betah di Niskala.” Suara Abhinanda menggema melalui ponsel bekas yang dibeli Sindukala kemarin. “Kamu kenapa kok tiba-tiba ganti nomor? Sindu juga enggak bisa dihubungi.” “Ponselnya ada yang nyolong.” Marsala berbohong sambil melirik ke jendela, melihat suasana di luar yang sudah gelap, dan menutup tirai.“Oh, gimana ceritanya?”“Panjang, Mah.” Marsala menghela nafas dan kembali duduk di sisi ranjang. “Kapan-kapan aja Marsala ceritain.”Usai menutup obrolan, tanpa sengaja Marsala menjatuhkan ponsel itu ke lantai. Layarnya retak sedikit, tapi masih bisa menyala. Ia taruh ponsel itu di dekat bantal, mengamatinya sambil menggigiti kuku jari, sementara kepalanya berpikir acak. Ia tersentak mendengar pintu yang dibuka Sindukala. Suaminya masuk membawa dua mangkuk bubur asin polos dan dua gelas minuman yang ditaruh di atas nampan.“Kamu baik-baik aja?” tanya Sindukala, menyimpan nampan itu di meja.Marsala menggeleng. Jelas ia tidak
Darah mengalir dari luka sobek pada lutut kiri Sindukala yang membengkak, dan Marsala geram, sekaligus tidak percaya apa yang sedang dialami suaminya sekarang. Mereka tidak hanya menuduhnya merampas tanah milik Lily, memalsukan dokumen dan surat-surat, tetapi juga menuduhnya melakukan tindakan kekerasan sexual terhadap Lily.Bagaimana dengan laporannya kemarin, Zurek dan lainnya? Bukankah Lily dan teman lelakinya termasuk korban? Ada apa ini? Kenapa jadi begini?“Soal luka (di lututnya),” jelas kepala unit kriminal, “itu karena pada saat ditangkap, dia berusaha kabur, lantas jatuh dan lututnya membentur aspal.”“Bapak pikir saya bodoh?” gumam Marsala, lututnya gemetar. Dari sudut matanya, terlihat Sindukala duduk di kursi yang lain, memeluk Raesaka. Wajah keduanya muram (meskipun tidak memahami apa-apa, Raesaka seolah dapat merasakan kesedihan dan ketegangan yang berpendar di ruangan sempit itu). “Saya bisa membedakan mana luka jatuh, dan mana luka yang dipukul. Saya tahu, pasti ada s
“Tiga hari setelah menemui Sindu di kepolisian sektor Lindunagari, aku bangun di hari yang aneh, baik aroma mau pun atmosfernya. Semua benda di sekelilingku membiru, janggal, bengkok-bengkok, dan dingin. Enggak ada yang menyadari keanehan itu selain diriku sendiri.” Tapi, Marsala tidak bisa menjabarkan setiap bentuk yang dilihatnya, seakan-akan istilah “bentuk” itu sendiri tidak pernah ada dari awal. Dia diberi pakaian, namun merasa sangat telanjang. Telapak kakinya kotor tidak beralas. Jajaran besi yang mengurungnya sendirian, meninggalkan aroma yang tidak menyenangkan pada telapak tangannya. Satu per satu, tembok-tembok beton bermunculan dari permukaan tanah, membentuk benteng yang meninggi hingga mencapai langit. Dari setiap celah benteng itu, semua mata tertuju kepada Marsala, membicarakannya sekaligus mengecamnya. Ketika Marsala balas memandang, mata-mata itu berpaling dan menutup celahnya. Di hadapan keluarga, teman-teman, bahkan ibunya sendiri, ia menjadi asing dan jauh. Jeru
Selama tujuh hari berturut-turut, Marsala menyembunyikan rasa syok-nya—tidak pernah mengira ia tidak akan bertemu Sindukala lagi. Setiap kali menengok ke luar jendela, selalu ada dua atau tiga orang tidak dikenal berkeliaran di sekitar rumah yang dikontraknya, di Minara (Marsala menolak ikut bersama ibunya ke Niskala).Sampai detik ini, ia tidak tahu di mana jenazah suaminya berada. Ia mendatangi kepolisian Lindunagari, namun jawabannya tetap sama. Mereka tidak memberitahukan di mana jenazah Sindukala disimpan, selain masih dalam keperluan autopsi, dan mereka telah mengurus laporan dugaan penganiayaan yang menyebabkan kematian Sindukala yang dilakukan beberapa tahanan. Saat Marsala ingin bertemu para pelaku, petugas itu mengatakan bahwa mereka sudah dipindahkan ke rumah tahanan lain.Tidak ada yang setuju dengan kecurigaannya yang menduga Sindukala bukan meninggal karena dikeroyok sesama tahanan, melainkan oleh para oknum kepolisian. Memikirkan tentang oknum, Maruk adalah orang yang m
Setelah mengobati luka pada sikunya, Marsala melirik ke kaca spion, melihat dua teman Maruk—entah sesama polisi atau bukan, Marsala tidak bertanya—berdiri di belakang bak mobil, mengobrol sambil mengawasi sekitar. Aroma persawahan yang mengapit jalan lingkar selatan Narwastu, mengalir dari sela-sela jendela.“Aku tahu tujuan kamu mencariku,” ujar Maruk, yang duduk di samping Marsala di kabin belakang. “Kamu pasti ingin memastikan kematian Sindu.” Ia terkekeh singkat, dan keduanya saling berpandangan. Maruk menggeser duduknya, mendekati Marsala; telapak tangannya terangkat, menempel pada kaca jendela, dan tubuhnya yang besar menaungi Marsala. Walaupun rasa takut mengepung hatinya, Marsala tidak melepas pandangannya dari Maruk. Punggungnya menempel pada pintu mobil, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Maruk.“Dengar,” bisik Maruk. “Setelah kamu bertemu Sindu, kamu pulang dan lupakan semuanya. Kasus suamimu enggak pernah ada sejak awal, dan terima saja kematiannya.”“Jadi.. Sindu...”
Maruk melarikan Marsala ke klinik. Dokter yang menangani lukanya, memberi saran agar Marsala dirawat inap, namun Maruk malah membawanya ke penginapan yang lokasinya cukup jauh dari keramaian kota. Di bawah pengaruh obat, mata Marsala hanya setengah terbuka, memandang Maruk yang duduk di sampingnya.“Untung cuma keserempat peluru,” gumam Maruk. “Tapi, kita harus tunda keberangkatan kita. Seenggaknya, untuk semalam.”Marsala mengangguk lemah.“Dengar,” lanjut Maruk. “Urusanmu berhenti di Catra. Artinya, mau enggak mau, kamu harus terima kematian Sindu. Kamu enggak bisa melangkah lebih jauh lagi dari ini. Aku serius, Mars. Pokoknya, lanjutkan hidup kamu seperti biasa, dan fokus saja mengurus anakmu.”Marsala mengangguk lagi. Ia meraih tangan Maruk dan menaruhnya di pipinya sendiri, lalu memejamkan mata. Tidak menyadari pipinya yang memerah, Maruk tercenung, memandangi Marsala yang sudah melayang ke dunia mimpi. Nafas Maruk tercekat, jemarinya gemetar, menelusuri bentuk halus pipi, r