Bagian 6
Destra dan Arya tanpa sengaja bertemu di depan kontrakan yang beberapa hari lalu ditempati oleh Shinta. Destra mendapat kabar bahwa Shinta menginap disana dari sumber terpercaya yaitu Aisyah. Aisyah tanpa sengaja bertemu dengan Destra di sebuah Mall. Aisyah juga bercerita jika dirinya tidak pernah lagi bertemu dengan Shinta, sebab dia masih di Pesantren.
Destra menatap benci mobil yang juga bersamaan parkir di hadapannya. Destra tahu benar bahwa pemuda itu ikut andil dalam rusaknya kehidupan sang adik.
"Untuk apa Kau kemari? Tidak level Kau mendatangi tempat kumuh seperti ini. Atau, kau kurang puas hanya satu orang yang meninggalkan rumahnya, sehingga kau akan menggusur rumah mereka?" tuduh Destra sambil tertawa meledek. Dia masih sakit hati sebab Arya juga ikut andil dalam kepergian adiknya yang sampai saat ini belum ketemu.
"Berhentilah menuduhku terus Destra, bukankah Kau tahu bahwa aku tidak ada kaitannya dengan semua ini? Aku bahkan tidak tahu ji_."
"Kau, memang licik. Setelah apa yang kalian lakukan, tetap saja Kau cuci tangan. Kau sama sekali tidak peduli dengan korban kalian. Bukankah Kau juga ikut andil dalam persekongkolan adikmu itu hah!" suara Destra semakin tinggi memotong kalimat Arya yang belum sempurna.
"Yah, Destra ... !" suara Arya terdengar berat. Ada rasa bersalah juga di hatinya. Tapi, semua sudah terjadi. Akankah bisa dia perbaiki? Entahlah. "Izinkan aku ikut mencarinya. Aku ingin bertanggung jawab juga," suara Arya melemah. Selama ini, Shinta adalah anak didiknya yang rajin dan unggul di bidang akademik. Dan sekarang, Shinta hilang bagai ditelan bumi. Arya juga sempat terkejut dengan pernyataan Destra yang mengatakan jika Shinta pergi dari rumah, diusir lebih tepatnya. Arya tidak pernah menduga, jika ulah konyolnya akan berakibat seburuk ini.
"Aku tidak butuh bantuan dari, Kau!" Menuding wajah Arya lalu pergi dari sana. Arya tetap bergeming dia juga ingin memastikan apakah Shinta masih di tempat itu, atau tidak.
Setelah lama menunggu, Arya melihat Destra keluar dengan muka memerah. "Bagaimana Destra? Apakah Shinta masih ada di dalam?" Destra mengehentikan langkahnya ada embun di matanya dan juga amarah.
"Apa urusannya dengan dirimu?" Sinis Destra bahasanya juga sudah berbeda bukan 'Luh' lagi. Dia tidak ingin bicara dengan Arya, tujuannya hanyalah ingin menemukan keberadaan adiknya."Destra, dengarkan aku sekali saja. Terserah apa yang akan kau putuskan nanti, tapi aku mohon berhentilah sebentar saja. Dengarkan penjelasan-ku." Destra berhenti sejenak, namun tetap tidak menoleh.
"Itu tidak perlu!" tukas Destra. Sejak kejadian di apartemen, Destra tidak pernah lagi mau mendengar apa yang diucapkan oleh Arya.
"Datanglah ke rumah sakit nanti sore, jika kau tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Kami memang bersalah terlebih dirinya yang telah berani merusak adikmu, dan itu semua di luar kendaliku. Aku tidak tahu jika hubungan mereka sampai sejauh itu dalam waktu yang singkat. Sedangkan dia sekarang terbaring tidak berdaya." Destra sejenak termenung mendengar penuturan Arya. Tapi ego menuntun dirinya untuk pergi.
"Destra, Ari tidak pernah jatuh cinta kepada siapapun. Dia memang orang yang bejat, tapi tidak pernah sekalipun aku melihat dirinya mencintai wanita sedalam itu!" Destra berhenti sejenak sebelum pintu mobilnya terbuka sempurna.
"Terserah!""Maaf, Destra, aku tidak menyangka semuanya akan seperti ini, jika saja aku tahu aku tidak akan mengikuti ide konyol Ari dan persahabatan kita akan tetap baik-baik saja," gumam Arya setelah Destra pergi.
Arya kemudian melanjutkan tujuannya untuk menemui pemilik kos tempat Shinta menginap. Di sana dia mengetahui jika Shinta menjalani hari-hari dengan begitu sulit. Shinta berjualan keliling di tengah trimester pertama dari kehamilan. Bahkan banyak tetangga yang menggunjing dirinya.
"Saya juga merasa bersalah terhadap Shinta, sebab saya mengusirnya tanpa menanyakan kebenarannya terlebih dahulu. Ternyata bukan mbak Shinta yang bersalah, tapi suami saya." Ibu kos menangis sesenggukan sebab merasa bersalah.
"Lalu, apakah ibu tahu kemana Shinta pergi?" Tentu saja ibu kos itu menggeleng. Waktu itu dia begitu benci kepada Shinta, jadi mana mau peduli kemana perginya.
✓✓✓
Sore harinya
Destra menatap nanar pasien yang tergeletak tidak berdaya di ruang ICU. Seluruh mukanya di perban. Bahkan kaki dan juga beberapa tubuh yang lain, tak ubahnya seperti mumi dalam sebuah film. Beberapa alat medis menempel pada titik tertentu untuk membantu kelangsungan hidup pasien itu.
"Setelah kepergian dirimu, aku dan Amara bertengkar hebat. Amara tetap menyalahkan dan menyuruhku untuk mencari Shinta. Aku juga menyesal sebab mau mengikuti ide konyol Ari untuk bertukar profesi selama enam bulan. Amara sudah tahu sejak lama bahkan sebelum pertukaran itu terjadi, jika aku memiliki kembaran. Aku juga tahu, jika adikmu yang polos, memiliki perasaan denganku sedangkan aku, sudah jatuh cinta dengan Amara lebih dahulu, dan saat pertukaran profesi, di sanalah Ari melakukan kesalahan." Arya berdiri dari tempat duduknya sejajar dengan Destra berdiri.
"Ari kakak kembar saya, dia merasa bosan dengan banyak tuntutan dari papa. Kami memiliki kebiasaan yang sama dalam segala hal termasuk cita-cita Dia. Yang juga ingin menjadi pengajar seperti diriku. Tapi tidak pernah sedikitpun ada celah baginya untuk mencapai apa yang dia inginkan. Dia terlalu penurut jika di rumah dan begitu liar jika di luar. Mungkin sebagai kamuflase dalam bentuk pemberontakan jiwa yang tertekan."
"Papa selalu membebaninya dengan banyak pekerjaan dan tuntutan sebab dia dianggap sebagai anak tertua. Karna itulah, dia meminta sedikit waktu untuk menenangkan pikirannya dengan bertukar profesi denganku."
Destra hanya diam saja mendengarkan sahabatnya bercerita. Agar semuanya jelas. Destra masih menatap pasien yang tergeletak itu. Pasien yang mengalami kecelakaan sebab berhari-hari mencari keberadaan Shinta. Destra memang tahu, jika Arya memiliki kembaran yang bernama Ari. Tapi, tidak pernah bertemu secara langsung, sebab Arya dan Ari sekolah di tempat berbeda.
"Ari akhirnya tinggal di Apartemen milikku. Aku melihat dia begitu bersemangat dia juga bercerita jika menyukai seorang gadis. Kakakku yang dingin dan hanya bergelut dengan pekerjaan sudah mulai bisa tersenyum. Aku pun bahagia melihat perubahannya. Dia juga bisa sedikit bercanda dengan diriku. Tapi, setelah enam bulan papa tahu, jika kami bertukar profesi."
Arya mengusap air matanya yang menetes. "Papa menjodohkan Ari dengan seorang gadis, anak dari rekan bisnis papa." Tangan Destra terkepal erat kini dia tahu alasannya.
"Jadi, karna itulah dia membuang adikku?" Destra mencengkeram kerah baju Arya dengan kuat.
"Destra, aku mohon, dengarkanlah semuanya. Jangan kau potong ceritaku."
"Mau dengarkan apa? Bahkan adikku belum ketemu sampai sekarang." Destra frustasi dipukulnya dinding rumah sakit.
"Destra, Ari langsung mencari adikmu setelah tahu jika Shinta mengandung. Dan perlu Kau ketahui, Dia menjauhi adikmu bukan atas kemauannya," ucap Arya lagi.
"Omong kosong! Kalian para orang kaya memang suka semena-mena." Destra langsung pergi dari sana tanpa menoleh lagi, walau Arya memanggilnya berkali-kali.
"Kau belum tahu cerita selengkapnya," ucap Arya menatap nanar kepergian temannya.
Bagian 7Suasana pagi begitu mempesona, embun basah menetes perlahan dari dedaunan, kilaunya bagai permata, indah dan menyejukkan mata. Hamparan alam tercipta begitu sempurna. Membuat Shinta enggan beranjak dari tempatnya. Dia kini berada di ujung halaman rumah. Sudah lima bulan lamanya setiap pagi, Shinta akan mematung di tempat itu untuk beberapa lama.Membiarkan tubuhnya tertimpa sorot mentari pagi yang menghangatkan. Shinta memejamkan mata, merasakan sejuknya udara pagi dan belaian cahaya yang berwarna kekuningan merambat melalui pori-pori kulit."Seperti mentari yang selalu menyinari bumi meski tidak dinanti, aku akan selalu hadir di hati ini." Shinta tersentak. Dia langsung membelalakkan matanya. Sadar, jika itu hanya sebuah serpihan kecil kenangannya bersama Arya. Kenangan yang sulit sekali bagi Shinta untuk melupakan.Bukannya Shinta tidak pernah mencoba, dia sudah mencobanya dengan cara menyibukkan diri mengembangkan usaha Fatma, tapi apa daya,
Bagian 8"Ya, saya, Mbak!" jawab Ujang, yang langsung paham apa maksud Shinta menunjuk koper masih berada di dalam rumah Dengan sigap Ujang berbalik arah menyambar koper itu segera. Lalu dia masukkan koper itu ke bagasi mobil.Shinta semakin meringis sambil mengatur pernafasan, dengan susah payah dia masuk ke dalam mobil. Dadanya mendadak sesak, deru nafasnya mulai memburu, dia berusaha menarik udara sebanyak-banyaknya melalui hidung lalu menghembuskan lewat mulut. Begitu berulang kali sesuai dengan apa yang dia pelajari saat mengikuti kelas ibu hamil. Sedangkan Fatma duduk di sampingnya disertai rasa panik dan cemas juga tidak tega. Wajah Shinta yang bersih kini berubah merah dengan peluh keringat bercucuran di seluruh wajah, atau mungkin juga di seluruh tubuhnya."Tahan, ya, Sayang! Sebentar lagi kita akan sampai." Sebisa mungkin Fatma menenangkan Shinta. Semua orang di mobil terlihat cemas bahkan Ujang tidak henti-hentinya menoleh ke belakang. Udin s
Bagian 9Shinta meneteskan air mata kebahagiaan. Rasa sakit dan juga penderitaan yang dialaminya hilang sudah bersama tangisan kedua bayi mungil itu. Perutnya masih terasa nyeri akibat operasi yang dia jalani beberapa jam yang lalu, tidak menyurutkan niatnya untuk memberikan asi eksklusif kepada si buah hati. Meski yang keluar hanyalah cairan bening yang sedikit kekuning-kuningan."Sayang, kamu tampan sekali." Shinta membelai lembut wajah anak laki-laki-nya yang terlihat rakus menyedot ASI. Sedangkan anak perempuannya anteng saja di dalam gendongan Fatma."Apakah ASI-nya sudah keluar?" Fatma masih menimang cicit perempuan-nya."Sudah keluar tapi sedikit sekali, Nek." Shinta masih setia menatap wajah tampan anaknya. Wajah mungil yang terlihat mirip dengan wajah kekasihnya."Ndak apa-apa nanti juga keluar banyak kalau dirangsang terus," nasihat Fatma yang tidak ditanggapi oleh Shinta. Fatma sering melihat Shinta seperti ini. Melamu
Bagian 10."Hai, malaikat kecil yang tampan yang manis. Lihatlah, papa bawa apa untuk kalian." Azam datang dengan menenteng kresek berisi buah-buahan di tangan kiri. Dan finger puppet yang memenuhi jari di tangan kanannya. Diletakkan kresek itu di meja dekat Shinta berbaring. Setelah itu, Azam langsung menggoda bayi kecil di pangkuan neneknya."Hai, Sayang! Pasti Kau sangat merindukan papa, ya!," ucap Azam lebih semangat dari sebelumnya. Dia menggerakkan jarinya yang dipenuhi oleh finger puppet."Belajar yang giat, Papa! Papa! Ndasmu gundul kui. Kalau mau jadi papa harus lulus ujian nilai paling unggul setelah itu kuliah dan kerja keras, agar jadi orang yang sukses, baru jadi papa." Azam seketika nyengir kuda sambil mengusap kepalanya yang kena tampol dari sang nenek."Ini kan sudah giat belajar, Nek. Belajar jadi orang tua. Jadi, kalau nanti ada yang butuh seorang suami yang tampan dan menawan seperti Azam, Azam siap sepenuh jiwa dan raga." Sombong
Bagian 11Seperti kata pepatah "Anak adalah pembawa rezeki" dan kita juga tidak akan pernah menyangka datangnya darimana. Hari ini terbukti saat rumah tiba-tiba ramai dengan puluhan warga membuat Nenek Fatma melongo sendiri. Bagaimana tidak coba? Segala jenis buah-buahan segar, kue, dan beberapa camilan kering. Tersedia dengan sendirinya tanpa Nenek Fatma perintah apalagi minta. Pantang, ya, bagi orang kaya minta-minta. Semua terjajar rapi di atas karpet tebal juga ucapan "SELAMAT DATANG SI KEMBAR" menggantung sempurna di dinding."Nek, siapa yang membuat ini semua?" Shinta masih tidak percaya jika akan mendapatkan sambutan semeriah ini."Para warga tadi yang bawa, mereka sengaja mengadakan syukuran untuk kelahiran si kembar," terang Mirna sambil tersenyum tulus. Mirna pun meletakkan bayi Shinta ke dalam box."Box, ini bukannya belum ada, ya? Kenapa sekarang sudah ada di sini? Dan kenapa warnanya berubah?" Shinta menunjuk dua box bayi ya
Bagian 12"Hai, perempuan tidak tahu diri," bariton suara itu membuat Jamilah menjatuhkan gorengan yang hampir saja mendarat di mulutnya."Kalau Kau hanya ingin membuat masalah dan menggosip lebih baik cepat pergi dari sini! atau, aku akan berbuat hal yang kurang baik terhadap dirimu." Mata elang Udin memindai tubuh Jamilah. Mata itu bagaikan busur beracun yang siap membidikkan anak panahnya kapan saja."Maaf! Maaf saya tidak ber_." Mendadak Jamilah yang super jago bersilat lidah itu kehabisan stok kata-kata. Dia mundur ke belakang hingga mencapai motor yang tadi sempat dia tinggalkan. Sedangkan mata elang Udin semakin melebar. Membuat Jamilah gugup dan gemetar, bahkan dia kesulitan mencari kunci motornya. Dengan gugup dia meraba saku tapi tidak ada. Ternyata masih menempel di tempatnya."Cepat pergi atau_." Belum selesai Udin berucap, Jamilah segera kabur bersama motornya. Para ibu-ibu yang tadi melihat menahan tawa yang hampir saja meledak, untung mer
Bagian 13Delapan bulan telah berlalu.Saat itu, setelah luka bekas jahitannya mengering, Shinta mulai beraktivitas kembali membantu pembukuan toko. Shinta menemukan banyak kejanggalan tentang pendapatan dan pengeluaran. Sebab memang Nenek Fatma kurang memperhatikan hal yang seperti itu. Nenek Fatma hanya tahunya berjualan hingga barang habis, baru dia akan membeli lagi. Sehingga para pelanggan yang tidak mendapatkan barang dari toko Nenek Fatma, mereka langsung pindah ke toko lainnya untuk mendapatkan barang yang mereka perlukan. Alhasil, banyak pelanggan yang pindah sebab kecewa.Meski Shinta sudah membenahinya sewaktu hamil, tapi sepertinya tidak ada yang meneruskannya lagi di saat Shinta libur dua bulan untuk pemulihan tubuhnya. Sehingga toko terbengkalai lagi.Shinta lalu membuat pembukuan toko, mencatat semua pengeluaran juga pemasukan, sehingga barang-barang persediaan di dalam toko tetap stabil. Shinta gigih berjuang agar
Bagian 14"Bagaimana dengan stok bahan baku kita? Apakah masih bisa mencapai target?" Seorang pria mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari-jarinya. Ada tiga orang tengah duduk di hadapannya. Dua jam yang lalu dia mendapat laporan dari kepala bagian produksi bahwa beberapa hari terakhir bahan baku tersendat sebab pengiriman bahan baku terkendala cuaca selain itu, hasil panen di beberapa tempat yang mengalami kegagalan karna faktor alam."Persediaan barang di gudang sudah menipis Pak. Dan supplier kita bilang jika pengiriman bahan masih membutuhkan waktu lima sampai satu minggu lagi." Seorang pria berkemeja putih itu menyampaikan informasi."Harga barang lagi bagus-bagusnya, dan permintaan konsumen meningkat Pak! Tapi kita kekurangan stok bahan baku.""Saya meminta kalian berkumpul di sini untuk mencari solusi, bukan hanya untuk membuat kepalaku semakin pusing." Gertak Adi selaku pemimpin utama di pabrik. Dia tidak menyangka akan mengalami kendal