Share

Sampai

Bagian 5

Shinta dan Azam sampai di terminal menjelang subuh. Mereka harus menanti bis kedua, yang kata kondektur sebentar lagi pasti akan datang. 

"Kak! Apakah kakak baik-baik saja?" Azam begitu cemas melihat Shinta mengeluarkan keringat dingin sambil memegang perutnya. 

"Ada apa, Dek?" Seorang warga yang kebetulan lewat di depan mereka berada berhenti. 

"Ini, kakak saya sepertinya kesakitan, Bang." Azam bingung harus berbuat apa. Sedangkan Shinta menggigit bibir bawah, tangannya mencengkram lengan Azam sebab menahan rasa kram di perutnya. 

"Owh, Adek sedang hamil, ya? Kita rebahan saja di sana." Menunjuk bangku panjang di emperan toko. Tanpa permisi pemuda itu membopong tubuh Shinta ala bridal style. 

"Adek rebahan sebentar di sini, biar saya ambil mobil. Kita ke klinik terdekat," ucap pemuda itu sambil meletakkan tubuh Shinta. Terkadang kita tidak menduga, bahwa orang asing terlihat begitu baik dimata kita.

Tidak berapa lama abang itu kembali dengan mobilnya. Di sampingnya ada seorang perempuan yang lumayan gemuk namun cantik. 

"Cepat kita bawa ke Sebening Kasih, Mas. Kasihan dia." ucap perempuan itu ikut panik. 

"Apa ada dokter kandungan di sana?" tanya si pria sambil membopong kembali tubuh Shinta. 

"Ya ... ndak tahu! Tapi alat-alatnya lebih lengkap, Mas. Pengobatannya juga bagus," timpal perempuan itu lagi. Azam yang bingung tidak bisa memikirkan apapun dia masih terlalu muda untuk menghadapi situasi seperti ini. 

"Tapi, saya tidak punya uang untuk membayar rumah sakit. Bagaimana kalau ke Puskesmas saja," pinta Shinta disela-sela rasa sakitnya. Separuh uangnya sudah dia gunakan untuk membayar bis dan makan di jalan. Lalu, apa yang akan dia gunakan untuk membayar pengobatannya nanti. Shinta semakin pusing memikirkannya. 

"Iya, Bang. Kami sudah tidak memiliki uang. Kalau boleh, bisakah kami nanti meminjam uang Abang dan Kakak, saya akan mengembalikannya setelah saya punya uang." Kini Azam yang bicara, dia tidak mau jika terjadi hal buruk yang menimpa Shinta.

"Itu kita pikirkan nanti, sekarang turunlah kita sudah sampai." Pria itu bergegas turun. 

"Mas, sepertinya dia pingsan, Mas!" 

Tanpa banyak kata pria itu membopong tubuh Shinta untuk yang ketiga kalinya. "Dokter, tolong wanita ini, Dok." Kebetulan sekali ada seorang dokter yang keluar dari ruang IGD.

"Bawa dia ke dalam." Membuka pintu IGD lebar-lebar. Dengan sigap pria itu meletakkan Shinta di atas brankar.

Ketiganya kini menunggu dengan gelisah di depan pintu. "Adek, nama adek siapa? Dan kalian mau pergi ke mana?" Perempuan itu mendekati Azam yang sesekali menyeka air matanya. 

"Saya Azam, saya dan Kak Shinta ingin pergi ke rumah nenek." 

Kedua orang itu saling pandang. 

"Nama kamu, Azam." Menunjuk ke Azam "Dan  nama kakaknya Shinta, ya?" Ganti menunjuk ruang di hadapannya. Azam mengangguk pelan.  "Nama saya Lani dan dia sumi saya namanya  Angga," ucap Lani sambil tersenyum.

"Jangan terlalu khawatir, kakak Kamu pasti baik-baik saja." Azam hanya mengangguk pelan. 

Selang berapa lama, dokter yang menangani Shinta keluar dari IGD. "Keluarga pasien," ucapnya. 

"Bagaimana keadaan kakak saya, Dok?" Azam dengan cemas menghampiri dokter. 

"Kakakmu hanya pingsan sebab kecapean dan tekanan darahnya rendah. Setelah istirahat yang cukup, dia boleh pulang." Tak henti-hentinya Azam mengucap syukur. 

"Terima kasih, Dokter!" Dokter itu hanya mengangguk lalu pergi. 

Mereka bertiga akhirnya masuk ke dalam untuk melihat kondisi Shinta. Di sana Shinta sudah bisa duduk dan di temani oleh seorang perawat. 

"Kakak, kakak baik-baik saja, kan?" Shinta hanya mengangguk lemah. 

"Kalian mau pergi kemana memangnya, pagi sekali sudah berada di terminal?" tanya Lani.

"Kami mau pergi ke rumah nenek di desa N," ucap Azam. 

"Kebetulan, kami mau ke desa Bandungharjo untuk menemui saudara kami. Sebaiknya kalian bareng kami saja. Biar kami punya teman di perjalanan," ucap Lani menyakinkan, dia juga menatap suaminya yang hanya mengangguk.

"Di mana rumah nenek kalian?" tanya Angga sambil menoleh ke kanan dan kiri, mengamati setiap detail jalan yang dilalui. Beberapa warga seperti-nya sudah mulai beraktivitas, dari cara berpakaian sudah dapat ditebak jika mereka pasti pergi ke sawah.

"Di situ, Bang! Rumah yang paling ujung yang ada pagarnya."

"Waoooow, gede banget rumah nenek kamu!" seloroh Lani. Mereka langsung memasuki halaman sebab pagarnya terbuka. 

"Kak Shinta baik-baik saja kan?" tanya Azam melihat Shinta yang sejak tadi hanya mengunci mulut.  

"Tidak Azam, Kakak hanya lelah," jujurnya. Dia ingin segera merebahkan tubuhnya kembali. Ternyata goncangan di bis membuat janinnya mengalami kontraksi. Bersyukur dia segera mendapat pertolongan. Dia juga meminta kepada dokter untuk memperbolehkan dirinya pulang. 

"Wah, segarnya udara di sini, ya, Mas!" Angga merenggangkan otot-ototnya setelah itu merentangkan kedua tangannya, menghirup udara dengan rakus. 

"Benar, segar banget udara di sini ya, Mas!" Diangguki oleh suaminya. Angga menarik pinggang istrinya melihat sang mentari yang baru bangun dari peraduannya. Rumah yang berada di pegunungan menyajikan panorama yang menyejukkan mata. 

Azam segera mengajak Shinta masuk ke dalam. Dia berncana untuk menjelaskan kepada neneknya dahulu sebelum menyuruh sepasang tamu itu masuk. Azam mengucapkan salam sambil mengetuk pintu. 

"Siapa yang bertamu, Jang?" Suara seorang nenek jelas  banget terdengar. Shinta meremas ujung daster lusuhnya. Dia takut jika diusir untuk yang ketiga kalinya. Kemana lagi dia harus pergi nanti.

"Ada den Azam, Mbah!" ucap seorang yang membukakan pintu. "Silahkan, Den." Melebarkan pintu dan mempersilahkan tamu masuk. 

"Biarkan saja pintunya terbuka, Bang! ada dua tamu lagi diluar, tolong ajak mereka masuk dan buatkan minum, ya," ucap Azam sambil nyelonong masuk. "Kakak, duduk dulu di sini. Aku akan menemui nenek," pamit Azam. 

"Nenek, Azam pulang, Nek. Mereka tidak menerima kehadiran Azam. Maafkan Azam, ya, Nek," Azam langsung berlutut di bawah kursi malas tempat neneknya berada. Nenek yang menginjak usia enam puluhan itu nampak segar bugar. 

"Dasar cucu nakal. Aku sudah menduganya. Sudah kubilang jangan temui mereka sebelum dirimu sukses. Tapi, seperti-nya kau meragukan ucapan nenekmu ini," cerca Fatma. 

"Iya, Nek! Aku sadar sekarang. Aku tidak akan meninggalkan nenek lagi," Azam merangkul neneknya. 

"Nah, gitu dong! Jangan sombong, mentang-mentang punya ayah, neneknya di tinggal." Fatma terkesan menyindir, tapi sebenarnya dia sangat bahagia karena disisa hidupnya akan ditemani oleh sang cucu. Tiada yang lebih membahagiakan daripada melihat satu-satunya keluarga berada di sampingnya. 

"Aku juga membawa anggota keluarga lagi, Nek! dia bisa menjadi pengganti ibu bagi nenek," ucap Azam. Yang langsung ditanggapi antusias oleh Fatma. 

"Dimana dia?"

"Ayo, Nek. Di luar juga ada tamu, suami istri yang membantu kami saat di perjalanan tadi." 

"Maksudnya?" ucap Fatma terkesan penuh selidik. 

"Nanti Azam ceritakan semuanya, Nek. Tapi sebelum itu ada baiknya nenek menemui tamu itu terlebih dahulu." Azam menggandeng lengan neneknya yang mulai rapuh itu. Menuntunnya untuk menemui tamu yang dimaksud.

"Apakah dia yang kamu maksud sebagai pengganti ibumu?" tanya Fatma menaikkan sebelah alisnya. 

"Kasihan dia, Nek. Bantu dia, ya, Nek! Dia diusir dari rumah dan tidak memiliki saudara. Dia juga yang menolong Azam waktu dikeroyok sama warga," terang Azam.

"Baiklah, akan aku pikirkan." tubuh Azam seketika lemas. Bagaimana dengan janji yang dia ucapkan jika neneknya menolak wanita itu. 

"Tapi ... !" 

"Jangan protes." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status