Shinta kembali meratapi nasibnya menyusuri taman yang lebih sepi dari biasanya. "Ya Tuhan, kuatkan aku dalam menghadapi cobaan ini." Shinta menangkupkan kedua tangannya di wajah. Sesal tiada berguna ibarat nasi sudah menjadi bubur. Hamil tanpa seorang suami dan kini dia terlunta-lunta di jalanan.
Shinta sudah berusaha sebisa mungkin berhemat. Tetap saja uang itu habis untuk biaya kehidupannya yang beberapa hari ini kurang fit. Dia memegang nanar satu satunya kalung pemberian orang tuanya. "Haruskah aku jual ini?" pikirnya.
"Ampun! Ampun maafkan saya, saya tidak akan mengulanginya lagi."
"Hajar saja dia!"
"Ampun pak, ampun," remaja itu tersungkur, darah segar mengalir diujung bibirnya.
"Hajar!"
"Masih kecil, sudah jadi pencopet!""Rasakan ini, matilah kau!" Tendangan terakhir diberikan oleh pria berkepala botak. Shinta hanya bisa menatap nanar tiga orang dewasa meninggalkan anak remaja itu dalam keadaan babak belur.
"Kamu tidak apa-apa?" Shinta yang tidak tega melihatnya pun mendekat.
"Auwwhh ... sakit!" Remaja itu mencoba berdiri, dia meringis sebab tubuhnya terasa remuk lalu dia meraba sudut bibirnya yang berdarah. Shinta menuntun remaja itu duduk di bangku taman. Lalu, dia berlari kecil ke ujung taman untuk membeli minuman dingin.
"Kenapa mereka memukul dirimu seperti ini?" Shinta menempelkan minuman dingin pada luka memar remaja itu."Aku mencopet dompetnya." Shinta menghentikan tangannya sejenak, lalu menariknya ke pangkuannya sendiri. Shinta menatap lekat mata lawan bicaranya tidak ada kebohongan di mata remaja itu.
"Untung kamu tidak dibawa ke kantor polisi," timpal Shinta. Remaja itu mengangguk. Remaja itu meraih minuman dingin di tangan Shinta dan meneguknya hingga separuh.
"Siapa namamu, aku Azam Azhari." Remaja itu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Shinta dengan sedikit ragu.
"Shinta!" tersenyum hangat. Dia merasa bahagia setidaknya ada yang mengajaknya berkenalan setelah dua bulan diusir. Bolehkah dia berharap agar memiliki teman setelah ini.
"Kenapa kamu mencopet? Tidak baik mengambil hak milik orang lain." Nasehat Shinta, matanya melirik sekilas remaja yang duduk di sampingnya. Shinta menduga jika pemuda ini pasti setingkat SMP."Aku ingin pulang ke rumah nenekku, tapi aku tidak punya uang. Kota ini sangat pelit untuk bocah seumuran diriku. Aku minta sedekah mereka bilang aku malas kerja, aku minta pekerjaan mereka bilang aku masih di bawah umur. Aku putuskan mencopet, mereka malah menghajar-ku." Shinta mengelus perutnya yang mulai nampak. Remaja itupun memperhatikannya saja tanpa ingin mengetahui kisah Shinta."Dimana orang tuamu," selidik Shinta.
"Ibuku meninggal satu tahun lalu, dan ayahku menikah lagi dengan nenek sihir," terang Azam mengingat dirinya yang muak akan tingkah mama tirinya yang terlalu cerewet.
"Malang sekali nasibmu, pasti kau memilih jalan pintas karna tidak dapat uang saku," tebak Shinta. Azam terlihat menghirup nafas dalam-dalam.
"Kamu sendiri kenapa membawa tas segala? Mau pergi? Kabur dari suami?" tuduh Azam.
"Kota ini juga sangat pelit untuk menjadi tempatku bernaung. Beberapa waktu lalu mereka menerima diriku, tapi sekarang mereka membenci dan mengusirku." Shinta kembali meratapi nasibnya yang pagi tadi di usir oleh pemilik kontrakan sebab di Shinta di goda oleh suami pemilik kontrakan.
"Apakah kau punya sedikit uang?" Shinta mengerutkan kening. "Aku tidak bermaksud apa-apa, kalau kau punya uang, kita pergi saja ke rumah nenekku. Di sana kita bisa hidup bersama, itupun kalau kau mau." Shinta nampak berpikir, mungkin ada baiknya dia meninggalkan kota ini dan memulai hidup yang baru.
Setelah beberapa menit merenung, akhirnya sore itu juga Shinta pergi menuju tempat tinggal neneknya Azam. Mereka pergi menggunakan bis dan kemungkinan sampai sana besok pagi.
"Di sana tempatnya sejuk, dekat perkebunan juga sawah dan ladang. Tapi juga tidak jauh dari keramaian kota. Aku akan meminta nenek untuk memberikan tempat tinggal untukmu juga." Azam bercerita dengan berbinar-binar. Shinta hanya diam mendengarkan tanpa ingin menyambung ucapan Azam.
Shinta masih berpikir apakah tidak akan menimbulkan masalah jika dirinya menumpang di rumah nenek. Secara, orang tuanya saja tidak mau menerimanya dan ibu kost juga tetangga kost sekitarnya juga sering mencaci dan mengoloknya.
✓✓✓✓
"Jadi, Shinta meninggalkan rumah malam itu juga," ucap pria tampan berkaca mata transparan itu, dia terlihat modis dan cool dengan gayanya."Benar, Nak. Bahkan ibu tidak tahu dia berada di mana sekarang." Rena tak hentinya mengeluarkan air mata setelah menceritakan kisah Shinta.
"Ibu tenang saja, aku akan mencari dan menemukan keberadaan Shinta, di manapun dia berada. Aku akan membawa dia pulang kerumah ini lagi," ucap Destra kakak dari Shinta.
"Siapa yang berani berbuat ini kepada Shinta Bu," selidik Destra. Dia harus membalas perbuatan perusak adiknya.
Rena menyodorkan sebuah buku diary milik Shinta. Di sana ada beberapa foto dan curhatan hati Shinta tentang jalinan kasihnya terhadap seorang pria.
"Ibu, aku harus menemui pria ini, Bu. Aku tahu benar siapa dia." Destra mengepalkan tangannya kuat.
"Nak ... !" Terlambat sudah usaha menghentikan Destra. Rena tertinggal jauh di belakang Destra. "Nak, jangan buat keributan, Nak! Tahan emosi kamu." Mobil itu sudah melesat pergi percuma saja Rena berteriak.
Destra mengumpat beberapa kali sebab jalanan yang macet. Dia ingin segera sampai dan meluapkan segala amarah yang bercokol di hatinya. Setelah melewati beberapa tikungan dan lampu merah, akhirnya Destra sampai di apartemen Arya.
"Arya ... buka pintunya," teriak Destra menggedor pintu berulang kali.
"Arya ... !Buka!"
"Silahkan_." Belum selesai Arya bicara, Destra sudah menghadiahi wajahnya dengan bogem mentah.
"Brengsek, Luh! Luh hancurkan hidup adik gua dan luh di sini seneng-seneng sama cewek." Destra semakin naik pitam saat melihat Amara berada di kamar Arya dengan hanya memakai jubah mandi.
"Kau harus mampus. Dasar pengecut! Bukannya tanggung jawab tapi malah bersenang senang dengan wanita lain. Hebat, Luh, ya! Pengecut! Luh harus rasain apa yang adik gua rasain," memukul bertubi tubi tubuh Arya. Arya berusaha menangkis dan menyelamatkan diri dari amukan Destra. Tapi percuma sebab dia kalah start.
"Destra, apa maksud, Luh. Gua nggak ngerti?" teriak Arya yang tidak tahu menahu atau lebih tepatnya pura pura tidak tahu."Luh sudah menghancurkan hidup adik Gua, dan Luh masih sok berlagak bego. Lelaki macam apa kamu hahhhh." teriak Destra menarik kerah Arya tinggi tinggi, lalu menghempaskan nya ke sofa. Tenaga orang yang kalap memang lebih kuat dari biasanya.
"Mas Destra, kita bisa membicarakan hal ini secara baik-baik, kasihan Arya. Dia bisa mati di tanganmu," teriak Amara yang bingung harus berbuat apa. Destra seperti orang yang kesurupan membabi buta tanpa ampun. Beberapa barang bahkan terburai ke lantai menjadi pecahan.
"Kau, bukankah kau teman Shinta? Kenapa kalian berada di sini dengan pakaian seperti ini?" Destra baru sadar jika keduanya memakai jubah mandi."Destra, aku bisa jelaskan. Tapi tolong tenanglah dulu." Arya berusaha berdiri meski tubuhnya remuk sebab amukan Destra.
"Mau jelaskan apa hahh? Bahkan adikku sekarang diusir dari rumah sebab ulah, Luh. Apakah kamu tahu itu?" suara Destra masih meninggi, kilat matanya menyala-nyala seperti hendak memakan lawan bicaranya.
"Mas Destra, kami tidak tahu kalau_."
"Diam kau! Bahkan aku tidak menyangka, kalian bisa setega ini kepada Shinta. Destra menendang meja dan kursi melampiaskan sisa amarahnya.
"Dengarkan dulu penjelasan gua, Please!"
Bibi menggeleng lemah. Sungguh tabiat menantu kedua ini sangatlah arogan. Juga tidak tahu diri. "Apa maksudmu?" Arya memberi kode pada Bibi untuk meninggalkan mereka berdua. Tidak disuruhpun sebenarnya Bibi juga ingin pergi. "Maksudku? Heh, kau belum mengerti juga? Tuan Arya, bukankah aku katakan sebelumnya untuk berpisah tempat tinggal dari orang tuamu?" Arya menoleh ke seluruh penjuru ruang tamu. Meski tidak ada siapapun di sana, tapi sepertinya bukan tempat yang nyaman untuk memperdebatkan sesuatu yang bersifat pribadi."Kita bicarakan ini di kamar saja." Arya menarik jemari Amara.Ini bukan pertama kalinya Amara meminta pisah rumah dari orang tua dengan alasan ingin mandiri. Arya cukup maklum dengan sifat Amara yang mnandiri. Tapi bukan itu masalahnya, sejak Ari mengalami kecelakaan, Arya lah yang menggantikan posisi Ari di perusahaan. Jadi sudah dipastikan jika dia akan lebih sibuk dari biasanya. Tidak mungkin bagi seorang suami membiarkan istrinya sendiri di apartemen. Terle
"Kau terlihat begitu bersemangat!" ketus Shinta dengan muka manyunnya.Ari lebih melebarkan bibirnya meski tidak sampai menampakkan gigi. Segala trik jahat dan menyebalkan sengaja dia gunakan untuk bisa memenuhi segala keinginannya termasuk ancaman memisahkan Shinta dari anak-anak."Tentu saja! Aku bersama bidadari seharian. Sungguh nikmat yang luar biasa. Hatiku amatlah gembira. Setelah ini, aku akan banyak bersedekah dan berdoa." "Wajib kau lakukan karena kau banyak dosa." Gumam Shinta membuang muka."Yah, aku memang banyak berdosa. Dan sebisaku bertaubat." timpal Ari. Wajah yang tadinya secerah mentari pagi kini tertutup awan hitam. Suasana menjadi canggung. Bahkan hening untuk beberapa waktu."Maaf! Karena kau menjadi korban dari dosa-dosa yang ku perbuat."Satu kalimat yang tulus itu mampu membuat Shinta Jadi merasa tidak enak hati. Jika semakin dipikir-pikir lagi yang salah disini bukanlah hanya Ari. Tapi juga dirinya. Andai dulu dia benar-benar bisa menjaga diri. Tentu peristi
Bagian 57"Berhentilah membujukku, Ar! Atau aku semakin benci padamu!"HeningBanyak hal yang ingin Ari sampaikan. Permintaan maaf dan juga penyesalan yang mendalam. Ari tidak ada niat untuk menggoreskan luka dalam hati Shinta terlebih menjebak Shinta agar menjalani hidup yang sulit. Tidak! Semua itu bukanlah keinginannya. Ari telah jatuh cinta dan setiap orang menginginkan kebahagiaan dalam cintanya. Jika pun Tuhan berkehendak lain dia bisa apa?Ibarat kata, manusia hanya bisa berusaha tapi Tuhan yang menentukan. Sungguh lihai Dia memainkan takdir. Manusia hanyalah mainan hidup yang berjalan berdasar kehendak-Nya. Tanpa tahu ada apa dibalik pintu hari esok. Dan kunci pembukanya hanyalah keimanan, ketaqwaan, kesabaran.Mobil membelah jalan ibu kota sesekali berhenti menunggu lampu berubah hijau. Deru mesin sahut menyahut. Dalam keadaan ini, dua orang yang tengah berada dalam satu mobil itu tetap saja bungkam. Hingga sa
Bagian 56"Shinta, kau baik-baik saja?" tanya Aisyah sambil merampas sisir yang sejak tadi dipegang oleh Shinta. Ibu dari dua anak itu terlihat tertegun, sejak pagi pikirannya jauh berkelana. Wajahnya terlihat jelas menggambarkan isi hati yang tengah risau.Aisyah menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya membuang nafas panjang. Kembali pada Anin yang asyik memainkan boneka."Seharusnya kau ambil hikmah dari semua ini. Berarti kedua anakmu bukanlah anak haram. Hubungan Kalian halal." Aisyah membawa Anin ke sofa, gadis kecil itu diabaikan ibunya sejak pagi. Aisyah lah yang memandikan dan mendandaninya hingga tampil cantik. Aisyah melabuhkan ciuman terakhir di kening dan juga kedua pipi. "Sekarang ponakan tante sudah sangat cantik dan wangi," ujar Aisyah.Dokter telah memberi izin pada Shinta dan Anin untuk pulang. Mereka tengah bersiap sambil menunggu jemputan."Meski dengan kebohongan?" lirih Shinta. Aisy
Bagian 55Setelah beberapa menit kemudian, Joe datang dengan sebuah map di tangan. Joe membuka isinya dan menunjukkan kepada semua orang."Apa yang kau lakukan? Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi?" Shinta bahkan sampai tidak mengerti akan kehidupannya ini. Ayahnya sampai tega menikahkan dia dengan seseorang tanpa sepengetahuannya. Apakah ini bisa dipercaya?Malam itu, ayahnya sangat marah, sampai-sampai Shinta harus menahan rasa perih dan sakit akibat cambukan. Bukan itu saja, Shinta harus keluar dari rumah. Menjauh dari orang-orang yang menyanyangi dirinya. Hidup terlunta-lunta, menahan setiap duka dan lara sendiri."Tuan Ari, Anda jangan coba-coba memalsukan data. Bagaimana bisa menikahi seorang gadis tanpa sepengetahuan dirinya?" Azam juga heran. Buku berwarna merah dan hijau kini menjadi bahan kecurigaan semua orang. Bahkan Shinta tidak mengerti kapan dia menandatangani buku kecil itu."Mengapa saya harus memalsuka
Bagian 54Setengah berlari, Ari menyusuri lorong rumah sakit. Entah apa yang sebenarnya dia khawatirkan. Anaknya, ataukah wanita yang sampai sekarang masih memenuhi segala ruang dalam hatinya.Tersengal-sengal, peluh memenuhi setiap bagian dari tubuhnya, Ari tetap melangkah menuju tempat dimana anak dan pujaan hatinya berada."Semoga kau tidak marah dengan keputusanku Ros, aku lakukan semua itu hanya untuk anak kita."Ruang rawat inap khusus itu nampak sepi, Ari masih berdebar-debar saat masuk ke dalamnya."Tidurlah, Nak! Semua baik-baik saja. Jangan menangis lagi ya!" Suara menenangkan jiwa itu membuat langkah Ari terhenti.Rossi dengan penuh kasih sayang, mengelus pelan punggung Anin yang tengah terlelap berada dalam pelukannya."Cepatlah sehat anak Mama, kau harus tertawa ceria lagi seperti biasanya."Sungguh pemandangan yang mempesona. Andai setiap hari dia melihat kenyataan i
Bagian 53Berbincang-bincang dengan Azam, membuat mood booster Shinta kembali membaik. Kini dia duduk pada kursi roda di dorong pelan oleh Azam, menuju ruang rawat inap Anin. Tentunya setelah melalui perdebatan panjang dengan perawat agar mau melepas infus yang terpasang sempurna di tangan Shinta."Nanti Ari bisa marah kak." Ucap Azam enggan menuruti kemauan Shinta. Dasar keras kepala, bukannya menyerah Shinta malah menyakinkan Azam dengan berbagai alasan."Aku sudah sembuh, Ari juga tidak akan berani marah kepadaku, dia sangat mencintaiku." ucap Shinta penuh percaya diri. Dalam hati masih gamang, demi bisa segera melihat Anin, dia harus terlihat menyakinkan."Baiklah, akan aku hadapi si pria bernama Ari, demi dirimu kakakku tersayang.""Panggil dia dengan sebutan yang benar Azam, dia lebih tua darimu." Wajah Azam berubah kecut.Bisakah dia melihatku sekali saja. Selalu saja pria sialan itu yang ada di otaknya.
Bagian 52"Ar, kenapa kau tidak mengatakannya?""Maaf!" Udin dan Azam menatap tak percaya kepada Ari. Bukankah info yang beredar adalah pria ini angkuh dan sombong, tapi dengan mudahnya meminta maaf kepada Shinta."Tata, ini kami lakukan sebab kau belum sadar sejak kemarin. Ari ingin agar kau fokus pada kesehatanmu terlebih dahulu." Udin merasa perlu menjelaskan, Azam jadi kesal dibuatnya. Untuk apa membela laki-laki yang kurang bertanggung jawab.Kasihan juga melihat kondisi Shinta yang nampak pucat tak berdaya."Iya kak, lagian Anin juga hanya demam biasa." Mata ketiga pria saling bersitatap. Azam juga ikutan bicara? Benarkah, meski ragu Shinta mencoba percaya. Pantas saja naluri keibuannya merasa gelisah."Bisakah aku bertemu anakku?" Shinta seolah meminta persetujuan Ari."Bo-boleh!" Aku akan mengantarmu. "Kapan kita menemuinya?""Bisakah nanti saja? Aku baru sampai, dan kau mengacuhkan aku
Bagian 51Aku lelah akan rasa iniTerlalu lama aku menahan beban derita berbalut kerinduan, mencoba bertahan dan mengikhlaskan. Berusaha bangkit meski hati masih terpuruk. Bukannya tidak mau untuk memulai, hanya saja aku terlalu takut untuk terluka kembali.Mungkin kau masih perlu ruang untuk sekedar melepas lelah, tapi ketahuilah tempat ternyaman untuk melakukannya adalah bersandar pada bahuku. Aku peluk, agar lelahmu terobati."Ar, aku ingin pulang!" Pria yang semula memangku laptopnya kini terdiam beberapa saat. Dia meletakkan benda pipih di meja, mendekati Shinta yang masih terbaring."Baru bangun tapi meminta pulang. Kau baik-baik saja?" Ari tidak menyadari kapan mata lentik nan indah itu terbuka sempurna. Dia cukup sibuk dengan pekerjaannya."Aku tidak bisa tidur." Astaga, jadi dari tadi dia hanya pura-pura."Tapi kamu harus istirahat cukup, agar tubuhmu lekas kembali pulih." Bujuk Ari membelai lembut pucuk kepal