Bagian 10.
"Hai, malaikat kecil yang tampan yang manis. Lihatlah, papa bawa apa untuk kalian." Azam datang dengan menenteng kresek berisi buah-buahan di tangan kiri. Dan finger puppet yang memenuhi jari di tangan kanannya. Diletakkan kresek itu di meja dekat Shinta berbaring. Setelah itu, Azam langsung menggoda bayi kecil di pangkuan neneknya.
"Hai, Sayang! Pasti Kau sangat merindukan papa, ya!," ucap Azam lebih semangat dari sebelumnya. Dia menggerakkan jarinya yang dipenuhi oleh finger puppet.
"Belajar yang giat, Papa! Papa! Ndasmu gundul kui. Kalau mau jadi papa harus lulus ujian nilai paling unggul setelah itu kuliah dan kerja keras, agar jadi orang yang sukses, baru jadi papa." Azam seketika nyengir kuda sambil mengusap kepalanya yang kena tampol dari sang nenek.
"Ini kan sudah giat belajar, Nek. Belajar jadi orang tua. Jadi, kalau nanti ada yang butuh seorang suami yang tampan dan menawan seperti Azam, Azam siap sepenuh jiwa dan raga." Sombong Azam menepuk dadanya berulang kali. Lalu menggoda si kembar lagi."Mana ada yang mau nikah sama pengangguran manja seperti dirimu?" ledek Shinta sambil tersenyum geli akan tingkah Azam yang sepertinya tidak terima. Matanya seketika melotot sebab ucapan Shinta.
"Kita lihat saja nanti, akan aku buat Kak Shinta jatuh cinta kepadaku suatu hari nanti." Tantang Azam tidak mau kalah. Shinta dan Fatma menganggap ucapan Azam hanyalah gurauan. Tapi sepertinya tidak dengan Azam, dia benar-benar serius mengatakan-nya. Apakah itu mungkin? Entahlah.
Canda tawa mereka terhenti saat seorang dokter dan satu orang perawat yang masuk guna memeriksa kondisi Shinta.
"Apa kabar nyonya Shinta? Bagaimana perasaan Anda sekarang?" sapa dokter itu ramah.
"Jauh lebih baik dari kemarin, Dokter. Kalau boleh tahu, kapan saya diperbolehkan pulang, ya, Dok? Saya sudah tidak betah berada di sini," jujur Shinta. Sebab sudah tiga hari ini mereka berada di rumah sakit. Shinta sebenarnya tidak suka dengan bau rumah sakit, seperti bau obat menurutnya.
"Apakah Adek Bayinya sudah BAB?" tanya dokter sambil memeriksa tekanan darah Shinta."Sudah, Dok! Keduanya sudah buang air besar. Buang air kecil malah sudah bolak-balik," jelas Fatma ikut menimpali.
"Karna kondisi ibu dan bayi sudah memungkinkan untuk pulang, jadi hari ini juga Nyonya sudah boleh pulang, saya akan menuliskan resep obat yang harus diminum sebagai pemulihan pasca melahirkan. Dan untuk kelengkapan prosedur rumah sakit silahkan anda menghubungi bagian administrasi," ucap dokter itu sambil tersenyum ramah."Baik, Dok. Terima kasih," ucap Shinta antusias.
"Untuk cek up-nya nanti hari apa, ya, Dok?" tanya Azam tiba-tiba.
"Tiga hari lagi, nanti sekalian kita lihat perkembangan lukanya Nyonya Shinta sampai sejauh ini sudah terlihat mengering, sepertinya tidak butuh waktu lama lagi lukanya akan pulih, ya." terang dokter itu ramah. "Oke, saya permisi dulu. Semuanya, selamat siang." Dokter itu pun pergi setelah memberikan resep obat untuk Shinta.
"Tumben banget, Kamu perhatian sama hal yang beginian," seloroh Fatma setelah dokter itu pergi dari ruangan.
"Katanya sama calon istri kudu pengertian, gimana seh, Grandma!" Azam kesal sendiri sebab neneknya selalu menganggap dirinya sebagai anak-anak.
"Ya, ya, terserah Kamu lah. Cepet sana urus administrasinya setelah itu kita segera pulang. Nenek sudah kangen sama kasur nenek," ucap Fatma penuh semangat.
Hari itu juga akhirnya Shinta pulang ke rumah. Semua anggota keluarga menyambut si kembar dengan penuh suka cita. Bahkan para pekerja kebun sengaja minta libur di hari itu agar bisa menyambut kedatangan si kembar."Ada acara apa ini, kenapa mereka berjajar seperti penyambutan presiden saja," ucap Fatma sambil melongok keluar.
Di halaman rumahnya nampak ramai oleh kehadiran para tukang kebun dan beberapa tetangga terdekat. Walaupun asal mulanya Shinta menjadi bahan pergunjingan mereka, nyatanya kini mereka datang hanya untuk menyambut kehadiran si kembar. Itu semua tidak lepas dari peran nenek Fatma. Shinta diajari banyak hal dalam bercocok tanam dan berdagang sehingga masyarakat notabenenya petani, secara tidak langsung selalu bertutur sapa dan saling mengenal. Terlebih sifat Shinta yang ramah dan sopan membuat para warga terkesan.
Apalagi setelah adanya Shinta, Fatma juga membuka Usaha Tanam Pinjam Modal. Atau disingkat UTAPIM untuk mempermudah petani dalam mengelola perkebunan mereka. Para petani bisa berhutang benih, pupuk, obat dan kebutuhan lainnya. Mereka bisa membayarnya dengan hasil panen tanpa menjualnya terlebih dahulu. Bahkan pinjaman itu tanpa bunga, sehingga banyak warga yang bergantung pada usaha nenek Fatma.
"Jangan begitu kepalanya, Nek. Nanti kalau nyangkut di pagar bagaimana?" celetuk Azam.
"Hai, cucu kurang ajar! Kamu nyumpahin nenekmu, Ya!" serang Fatma tidak terima jangan tanya lagi kondisi kornea mata Fatma yang hampir keluar dari tempatnya. Membuat Azam bergidik ngeri dibuatnya.
"Peace, Nek!" cengir Azam salam dua jari "Jangan cemberut gitu dong, nanti cantiknya hilang lho, masak kembaran Luna Maya cemberut," pinter banget Azam membuat neneknya tersipu. Bahkan Udin geleng-geleng kepala dibuatnya.
Dengan sangat lamban, mobil memasuki pekarangan rumah. Warga semakin tidak sabar menanti Si Kembar dan yang lainnya turun. Mereka bahkan saling berebut membukakan pintu. Hingga mobil itupun tidak bisa terbuka sebab terhalang oleh tubuh mereka yang saling berebut. Keadaan jadi kacau si kembar malah menangis sebab pasokan udara di dalam mobil mendadak sumpek. Padahal Udin sudah menyalakan AC-nya.
"Stop! Stop! Jangan ada yang bergerak atau aku akan meminta polisi datang kemari untuk mensterilkan area ini." Suara lantang Azam mampu mengehentikan aksi mereka. Dengan patuh mereka mundur teratur.
"Gaya banget kamu, Dek! Mentang-mentang kenal sama Pak Jendral jadi sok-sokan panggil polisi segala," cibir Shinta.
"Tapi ampuh, kan? Lihat, tuh! Mereka semua pada mundur. Hebat kan!" Menepuk dadanya sendiri. Fatma dan Shinta saling mencebikkkan bibir tanpa ingin menimpali.
"Mana si kembar, Zam?" tanya salah satu seorang ibu gendut.
"Sabar, Bu! Kalian antri cuci tangan sana, gih! baru boleh pegang Si Kembar. Jangan lupa pakai sanitizer setelah cuci tangan dan ingat, harus jaga jarak. Jangan malah dusel-dusel kayak mau nikah saja," omel Azam sambil berlagak garang. Tanpa perintah kedua kalinya, mereka sudah antri di halaman samping untuk cuci tangan.
"Kak, sini Si Cantik biar aku yang bawa. Mirna, ini, Kamu pegang Si Cantik. Biar Kak Tata aku yang tolongin," titah Azam sambil menyodorkan si kembar ke tangan Mirna.
Mirna adalah pembantu keluarga mereka. Mirna baru kembali dari kampungnya kemarin untuk menengok ayahnya yang sedang sakit. Selain Mirna juga ada dua orang lagi, yaitu istri Ujang sebut saja Bu Ujang dan Ina adiknya Udin, yang umurnya seperantara dengan Azam. Dia juga sekolah di tempat yang sama dengan Azam. Udin dan Ina adalah anak yatim piatu yang kemudian diasuh oleh Fatma."Ah lupa, masih ada Luna Maya di dalam," gurau Azam saat melihat neneknya tetap duduk anteng di sana. Azam hendak berjalan ke sana. Tapi, sudah didahului oleh Udin.
"Hai, mau apa Kau? Pegang saja badanku. Aku mau turun. Aku tidak akan memberikan cucuku kepada siapapun." Udin hanya menghela nafas lalu mengangkat tubuh Fatma dari dalam mobil.
"Ck ... CK ... CK romantis sekali." Azam meletakkan dagunya di atas badan mobil sambil tersenyum simpul menatap drama dadakan. Sedangkan Shinta sudah masuk terlebih dahulu dibantu oleh seorang warga. Dan Ujang sibuk menurunkan barang-barang dari bagasi.
"Udin, besok kau jual saja motor biru yang memekakkan telinga itu," titah Fatma sebelum pergi.
"Dengan senang hati, Nek!" ucap Udin tersenyum devil.
"Wah, parah! Jangan dong!"
To be continue
Bagian 11Seperti kata pepatah "Anak adalah pembawa rezeki" dan kita juga tidak akan pernah menyangka datangnya darimana. Hari ini terbukti saat rumah tiba-tiba ramai dengan puluhan warga membuat Nenek Fatma melongo sendiri. Bagaimana tidak coba? Segala jenis buah-buahan segar, kue, dan beberapa camilan kering. Tersedia dengan sendirinya tanpa Nenek Fatma perintah apalagi minta. Pantang, ya, bagi orang kaya minta-minta. Semua terjajar rapi di atas karpet tebal juga ucapan "SELAMAT DATANG SI KEMBAR" menggantung sempurna di dinding."Nek, siapa yang membuat ini semua?" Shinta masih tidak percaya jika akan mendapatkan sambutan semeriah ini."Para warga tadi yang bawa, mereka sengaja mengadakan syukuran untuk kelahiran si kembar," terang Mirna sambil tersenyum tulus. Mirna pun meletakkan bayi Shinta ke dalam box."Box, ini bukannya belum ada, ya? Kenapa sekarang sudah ada di sini? Dan kenapa warnanya berubah?" Shinta menunjuk dua box bayi ya
Bagian 12"Hai, perempuan tidak tahu diri," bariton suara itu membuat Jamilah menjatuhkan gorengan yang hampir saja mendarat di mulutnya."Kalau Kau hanya ingin membuat masalah dan menggosip lebih baik cepat pergi dari sini! atau, aku akan berbuat hal yang kurang baik terhadap dirimu." Mata elang Udin memindai tubuh Jamilah. Mata itu bagaikan busur beracun yang siap membidikkan anak panahnya kapan saja."Maaf! Maaf saya tidak ber_." Mendadak Jamilah yang super jago bersilat lidah itu kehabisan stok kata-kata. Dia mundur ke belakang hingga mencapai motor yang tadi sempat dia tinggalkan. Sedangkan mata elang Udin semakin melebar. Membuat Jamilah gugup dan gemetar, bahkan dia kesulitan mencari kunci motornya. Dengan gugup dia meraba saku tapi tidak ada. Ternyata masih menempel di tempatnya."Cepat pergi atau_." Belum selesai Udin berucap, Jamilah segera kabur bersama motornya. Para ibu-ibu yang tadi melihat menahan tawa yang hampir saja meledak, untung mer
Bagian 13Delapan bulan telah berlalu.Saat itu, setelah luka bekas jahitannya mengering, Shinta mulai beraktivitas kembali membantu pembukuan toko. Shinta menemukan banyak kejanggalan tentang pendapatan dan pengeluaran. Sebab memang Nenek Fatma kurang memperhatikan hal yang seperti itu. Nenek Fatma hanya tahunya berjualan hingga barang habis, baru dia akan membeli lagi. Sehingga para pelanggan yang tidak mendapatkan barang dari toko Nenek Fatma, mereka langsung pindah ke toko lainnya untuk mendapatkan barang yang mereka perlukan. Alhasil, banyak pelanggan yang pindah sebab kecewa.Meski Shinta sudah membenahinya sewaktu hamil, tapi sepertinya tidak ada yang meneruskannya lagi di saat Shinta libur dua bulan untuk pemulihan tubuhnya. Sehingga toko terbengkalai lagi.Shinta lalu membuat pembukuan toko, mencatat semua pengeluaran juga pemasukan, sehingga barang-barang persediaan di dalam toko tetap stabil. Shinta gigih berjuang agar
Bagian 14"Bagaimana dengan stok bahan baku kita? Apakah masih bisa mencapai target?" Seorang pria mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari-jarinya. Ada tiga orang tengah duduk di hadapannya. Dua jam yang lalu dia mendapat laporan dari kepala bagian produksi bahwa beberapa hari terakhir bahan baku tersendat sebab pengiriman bahan baku terkendala cuaca selain itu, hasil panen di beberapa tempat yang mengalami kegagalan karna faktor alam."Persediaan barang di gudang sudah menipis Pak. Dan supplier kita bilang jika pengiriman bahan masih membutuhkan waktu lima sampai satu minggu lagi." Seorang pria berkemeja putih itu menyampaikan informasi."Harga barang lagi bagus-bagusnya, dan permintaan konsumen meningkat Pak! Tapi kita kekurangan stok bahan baku.""Saya meminta kalian berkumpul di sini untuk mencari solusi, bukan hanya untuk membuat kepalaku semakin pusing." Gertak Adi selaku pemimpin utama di pabrik. Dia tidak menyangka akan mengalami kendal
Bagian 15Senyum terpancar jelas dari bibir Shinta. Dengan diantar oleh Udin, dia datang ke tempat yang telah diberitahukan oleh Budi. Sebuah kantor yang tidak terlalu besar, namun begitu bersih dan rapi. Halamannya di hiasi oleh taman yang begitu sedap dipandang."Masih seperti 10 tahun yang lalu," ucap Shinta tanpa sadar. Dia ingat jika dia dan teman-temannya pernah mengunjungi pabrik ini bersama guru saat masih sekolah. Industri makanan ringan ini terkenal akan cita rasa yang enak dan nikmat selain itu, pabrik ini juga lebih mengutamakan kebersihannya."Apa kau pernah kemari?""Iya, aku dan teman-teman satu kelas. Kami di beri peci bergambar logo pabrik itu," Shinta menunjuk logo yang terpampang begitu jelas di sana. "Tapi sepertinya logo itu telah berubah," ucap Shinta kemudian. Dia menunjuk sebuah bangunan yang berada di dalam pagar, yang jaraknya lumayan jauh dari tempatnya berdiri. Seorang satpam tampak duduk santai di dalam gerbang.&nb
Bagian 16"Maaf, Tuan! Adikku tidak sengaja." Aisyah memegang lengan Azam dan meremasnya pelan, agar acara menyalahkan itu tidak ada. Bukannya tidak mampu melawan, tapi Aisyah tidak mau menjadi pusat perhatian dengan menciptakan keributan di mall ITU.Pria berjas hitam, rapi dan bersih itu malah sibuk dengan benda pipih di. Dilihat dari baju yang melekat pada tubuhnya dari atas sampai bawah, sudah bisa dipastikan jika orang itu dari kalangan yang berada. Dia berulang kali menoleh ke kanan dan ke kiri celingukan seperti mencari
Bagian 17Seseorang yang kini tengah berada di dalam mobil. Pria itu semula hanya menatap lurus ke depan. Tapi kemudian tanpa sengaja dia menoleh ke kanan. Tatapannya tepat mengenai wajah cantik Shinta yang nampak memegang benda pipih di pipi sebelah kanan.*Benarkah apa yang aku lihat ini? Diakah itu? Tapi kenapa semuanya nampak berbeda. Dan laki-laki itu, siapa dia. Tidak mungkin! Shinta adalah gadis yang sederhana dan tidak pernah lepas dari kacamata. Tapi dia ... Dia begitu modis dan cantik. Tunggu! Wajah, ya wajah itu sangat mirip. Apakah ada orang yang begitu mirip atau memang orang yang sama."*"Tuan, silahkan!" ucap seorang pria yang tak kalah tampannya dari sang Bos. Pria yang duduk di bangku itupun tersentak, lamunannya hilang bersama dirinya pindah ke kursi roda, dibantu oleh sang asisten."Joe ... !" Belum sempat pria itu meneruskan kata-katanya Budi datang bersama dua karyawan lainnya."Selamat pagi menjel
Bagian 18"Shin Shin! Kumohon untuk kali ini dengarkanlah aku," Shinta memejamkan matanya saat tangannya dicekal oleh Ari. Tidak bisa dipungkiri jika rasa cinta itu masih ada. Entah kenapa rindu itupun semakin menggebu. Bahkan janjinya untuk membenci ayah dari anak-anaknya itu, tidak bisa dia tepati. Andai saja Shinta tidak ingat akan penderitaan yang dia alami, mungkin dia sudah menenggelamkan kepalanya di dada kekar mantan kekasihnya itu.Shinta menyapu kasar air mata yang hampir saja terjatuh dengan lengannya. "Maaf Tuan! Anda salah orang, aku Tata bukan Shin Shin, aku mohon lepaskanlah." pinta Shinta dengan lembut. Shinta menarik tangannya, tetap saja Ari masih bertahan dengan posisinya."Tolong!" lirih Shinta memelas, yang membuat Ari goyah dan melepaskan tangannya."Permisi!" ucap Shinta lalu pergi.Shinta mengusap ujung matanya yang berair. Mendongakkan kepalanya menatap langit yang tidak bersalah. Ingin rasanya melontarkan segala