Share

Pelukan Hangat

"Permisi, Bu Adams."

Saat telingaku berhasil menangkap suara sebuah ketukan berlabuh di depan ruang rawatku, aku tidak tahu harus berbuat bagaimana selain mencoba mendorong tubuh Bryan menjauh untuk menghentikannya.

Keadaanku saat ini benar-benar sedang sangat berantakan akibat ulah Bryan. Usai tadi berhasil membungkamku hingga membisu dengan melumat seluruh bibirku, entah bagaimana suasana menjadi lebih bergelora dan memanas. Sampai-sampai tangan Bryan sudah mulai naik menggerayangi bagian atas tubuhku.

"Br ... yan!"

Nafsu gairah di dalam atmosfir ruangan ini sudah terlalu menggebu-gebu. Bahkan aku saja benar-benar tenggelam dalam gelora gairahku sendiri bersama Bryan kalau saja telingaku secara tidak sengaja menangkap suara ketukan di luar sana. Hati kecil dalam raga ini sesungguhnya sudah menggerutu akan waktu sangat tidak tepat itu.

"Hmh?"

Bryan kemudian mengangkat kepala untuk bertemu kontak mata denganku setelah beberapa saat lalu telah menenggelamkan diri di leher jenjangku dan sibuk mencumbuinya. Ia benar-benar terlihat begitu kacau sekaligus menggoda dengan wajah sayu menyorotkan sedang menahan hasrat tertahan itu.

"Ada seseorang di luar." lirihku setengah berbisik kepada Bryan. Aku sembari berusaha menenangkan dentaman jantungku sendiri supaya kembali normal sehingga tidak mengganggu ritme nafasku.

Mendengarku membuat Bryan seketika mengerjap. Ia buru-buru turun dari ranjang rumah sakit ini sebelum membantuku merapikan kembali jubah rumah sakit di tubuhku.

Pintu ruanganku tidak berapa lama kemudian bergeser terbuka. Seperti bagaimana telingaku menangkap ketukan tersebut, dokter bersama seorang suster kemudian masuk ke dalam ruanganku. Tapi kali ini tidak membawa nakas dorong atau bahkan nampan besi tempat biasa suntikan-suntikan tersusun rapi.

Hal itu membuatku menghela nafas lega.

"Selamat malam, Bu Adams, Pak Adams." sapa Dokter Andrea.

"Malam ... Bu." balasku terbata-bata dengan sedikit canggung.

Rasa canggung itu muncul begitu saja akibat sebagian dari diriku masih sangat terngiang-ngiang akan sentuhan dari Bryan tadi. Sungguh aku tidak tahu harus bertindak bagaimana. Seakan ada hal tidak tertuntaskan bergejolak dalam diriku.

"Maaf sekali harus mengganggu waktu istirahat anda, Bu." ujar Dokter Andrea. Ia begitu ramah dan lemah lembut sebagaimana biasa.

Meski begitu aku tidak bisa untuk tidak gelisah saat Dokter Andrea mulai menempelkan stetoskop di sekitar dadaku. Yang benar-benar aku takutkan adalah kalau-kalau saja Dokter Andrea sadar kemudian menemukan sebuah kejanggalan, entah itu mungkin sebuah bekas merah dari kecupan Bryan, kondisi ranjang saat ini, atau bahkan hal-hal lain nan serupa.

Tapi beruntung setidaknya sampai stetoskop itu berhenti menjelajahi dadaku, Dokter Andrea tidak memberikan komentar tentang selain mengenai kondisi kesehatanku sekarang ini. Sehingga begitu Dokter Andrea dan sang suster tadi kemudian meninggalkan ruanganku setelah menyelesaikan tugas mereka, aku secara spontanitas menghembuskan nafas cukup lama.

"Sayang."

Bryan kemudian menduduki kembali kursi di samping ranjangku. "Maaf sekali jika tadi aku menyakiti kamu dan tidak dapat menahan hasratku sendiri." ujar Bryan kecil dengan rasa menyesal menggerogoti setiap kata.

"Ka ... Kamu tidak salah, Bryan!" sergahku cepat berupaya mengusir rasa menyesal itu dari dalam diri Bryan. Sama sekali bukan salah Bryan jika tidak dapat menahan gejolak gairah terhadap istri sendiri setelah sekian lama tidak dapat bersenggama atau bahkan menyentuh, bukan? Sangat tidak adil rasanya.

Lagipula ...

"Aku juga menginginkannya." ujarku menambahkan di ujung sergahanku.

Sedikit rasa malu beserta salah tingkah kemudian naik membuat wajahku menghangat. Tapi aku tidak boleh berbohong atau menepis fakta kalau tubuhku juga sangat menginginkan hal tersebut, dan meninggalkan Bryan dengan rasa menyesal itu begitu saja.

Mendengarku berkata demikian membuat Bryan bungkam. Ia seakan benar-benar tidak menduga akan mendengarku mengakui hal tersebut secara terang-terangan. Sehingga kemudian begitu tersadarkan setelah membungkam selama beberapa detik, guratan kesenangan tidak dapat Bryan sembunyikan.

Ia kemudian mengukir senyum kecil sebelum bangkit dari kursi lalu melabuhkan sebuah kecupan hangat di keningku dalam sekejap, "Terimakasih, Sayang."

Sejenak kupejamkan mata untuk meresapi kecupan hangat tersebut. Sangat berharap Bryan tidak akan mengakhiri kecupan tersebut, meski kemudian harapan tersebut sirna begitu saja akibat Bryan kembali menarik diri dengan kembali duduk di kursi.

"Kita lanjutkan itu setelah kembali ke rumah saja, okay?" tukas Bryan lembut.

Sesungguhnya itu membuat rasa kecewa mulai menyeruak begitu saja dalam diriku. Tapi aku mengerti Bryan khawatir kalau-kalau saja tubuhku sekarang ini tidak dapat menghadapi luapan gejolak tersebut. Sehingga meski sangat tidak ingin, aku mengiyakan Bryan dengan memberi sebuah anggukan.

"Sabar itu indah, cantik. Kamu harus tahu betapa besar hasratku kepadamu, sehingga membuatku takut kalau-kalau saja itu akan menyakitimu." bisik Bryan sembari menarik hidungku dengan gemas.

"Iya, iya."

Tidak dapat kusembunyikan wajah menghangatku setelah mendengar Bryan mengungkapkan itu secara terang-terangan. Usai melabuhkan satu tarikan gemas kepada hidungku, sekarang telapak tangan besar milik Bryan itu menangkup sisi dari wajahku. Menciptakan kenyamanan sehingga membuatku secara naluriah memegang tangan Bryan dan merasakan kehangatan telapak tangan itu dengan kedua mata terpejam sejenak.

"Apa aku boleh meminta sesuatu, Bryan?" tanyaku berbisik setelah meresapi telapak tangan besar nan hangat milik Bryan.

"Tentu saja. Kamu mau minta apa, Sayang?"

Tidak langsung aku memberitahu Bryan. Aku terlebih dahulu tenggelam dalam kedua mata itu selagi menimang-nimang keputusan dalam mengutarakan keinginanku sebelum benar-benar mengatakannya kepada Bryan.

Mungkin saja ini sedikit terdengar menggelikan, namun ...

"Peluk aku sampai aku tertidur."

***

Keinginanku benar-benar Bryan kabulkan saat itu juga. Sekarang bersamaku, Bryan menghuni ranjang rumah sakit ini sembari membiarkanku berbaring menenggelamkan diri dalam dekapan hangat kedua lengan kekarnya.

Pandanganku tidak lepas dari memandangi wajah Bryan dari bawah. Meski aku meminta Bryan untuk memeluk hingga aku jatuh terlelap, namun sampai detik ini, rasa kantuk bahkan tidak ingin mengusik fokusku dalam mengagumi setiap detail wajah suami-ku sendiri.

Ia sekarang sedang memejamkan mata. Entah mungkin tengah berusaha menenangkan diri dengan menghindar dari berkontak mata denganku sebab dapat kudengar jantungnya sedang bergemuruh cukup nyaring di dalam sana seiring aku semakin menenggelamkan tubuhku dalam dekapannya.

"Sampai kapan kamu mau melihat aku dengan tatapan begitu?" bisik Bryan dengan suara sedikit memberat, begitu memanjakan telingaku.

Kelopak mata Bryan bahkan masih belum terbuka. Tapi bagaimana bisa Bryan tahu aku sedang memaku diri dengan memandangi wajahnya?

"Sampai aku tidur." balasku singkat.

Sekarang tanganku mulai terangkat membelai wajah Bryan. Mengusap lembut rahang tegas itu, merasakan rambut-rambut kasar di sana, membuat nafas Bryan menjadi sedikit lebih memburu. Salah satu tangan Bryan kemudian menahan tanganku lalu memberikan kecupan-kecupan singkat kepada tanganku seiring kedua kelopak mata itu kembali terbuka dengan sayu.

"Terimakasih karena kembali kepadaku, Kaitlyn." ujar Bryan berbisik dengan lirih.

Kalimat itu membuatku tidak tahu harus memberi reaksi bagaimana. Sehingga alih-alih memberi respon terhadap rangkaian kata itu, aku melepaskan tanganku dari genggaman tangan Bryan, kemudian berganti menjadi memeluk tubuh Bryan dengan erat.

Yang tidak lama setelah itu Bryan melabuhkan kecupan bertubi-tubi terhadap kepala dan rambutku.

Sepuluh menit atau lebih telah berlalu begitu saja. Kami sama-sama masih terjaga, namun memilih untuk tidak berbicara. Saling sibuk dengan benak-benak satu sama lain, meski secara teknis, aku tidak dapat memikirkan hal selain andai-andai tentang gambaran bagaimana hubunganku dengan Bryan sebelum ini.

Tubuhku masih betah dan belum ingin berhenti tenggelam sekaligus melepaskan dekapan tersebut. Sementara itu dapat kurasakan jari jemari Bryan sedang sibuk memainkan ujung rambutku.

"Bryan."

Aku memanggil sembari mengangkat kepala untuk menatap Bryan. Tadi sempat terbesit dalam benak di kepalaku untuk mencoba memberanikan diri memanggil Bryan dengan sebutan kasih sayang sebagaimana Bryan biasa memanggilku. Tapi lidahku terlalu kelu untuk melakukan itu, sehingga kuurungkan niat tersebut untuk saat ini.

Sang empunya nama kemudian menurunkan atensi untuk balas memandangiku. "Iya?"

Apa ini waktu tepat untuk menanyakan tentang foto-foto rusak itu?

Atau mungkin saja Bryan tahu sesuatu mengenai Revan?

"Tadi siang aku sudah lihat album foto kita."

Sudut alis tebal Bryan kemudian tertarik sebelah, mengartikan Bryan tertarik membahas ini lebih jauh. "Oh, ya?"

Aku menganggukkan kepala.

"Tapi aku bingung sekaligus tidak nyaman, kenapa bisa kebanyakan foto-foto itu rusak?"

Pertanyaan itu membuat Bryan bungkam sejenak. Ia tidak langsung memberi jawaban. Tapi aku sama sekali tidak mendapati kecemasan atau gestur mencurigakan dalam Bryan ketika aku mengajukan tanda tanya mengenai hal itu. Sehingga sedikit tidak itu membuatku semakin yakin atas kecurigaanku, kalau foto-foto tersebut rusak bukan atas ulah Bryan.

Melainkan karena ...

"Waktu itu kamu marah besar sama aku."

Ia sedikit bergeser mencari kenyamanan selagi mulai menceritakan sekaligus memberikan jawaban kepadaku. "Karena aku bikin kamu mengandung disaat kamu bilang belum ingin hamil."

Penjelasan singkat namun menciptakan semakin banyak tanda tanya dari Bryan itu membuatku terdiam seribu bahasa. Jadi foto-foto rusak itu memang ulahku sendiri?

Tapi mengapa aku bisa menjadi begitu marah dengan Bryan? Seharusnya bukankah itu hal membahagiakan dapat mengandung benih cinta sendiri? Apa berarti sekarang aku sudah memiliki seorang anak dari Bryan?

"Jadi kita sudah memiliki anak?"

Sekarang wajah Bryan menjadi sedikit lebih sendu. Ia menggelengkan kepala sebelum berkata dengan sangat kecil, hampir tidak dapat tertangkap telingaku. "Tidak. Kamu menggugurkannya setelah itu."

Seketika nafasku berhenti terhembus, bagai tercekat di ujung tenggorokan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status