Share

Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)
Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)
Author: Nuri Art

Bab 1. Ke mana Dia?

Ponselku di atas nakas terus saja berdering. Tertera nama Bi Surmi yang ada di layar benda pipih persegi panjang yang masih menyala tersebut.

‘Sebenarnya ada apa sih Bi Surmi menelepon?’ 

Aku menggerutu dalam hati. Kesal dengan semua panggilan asisten rumah tanggaku itu. Ia bahkan sudah mengganggu malam panas dengan Erika, istri mudaku.

Wanita itu membuatku penasaran, sebenarnya apa yang terjadi? 

Tak biasanya ia terus menghubungiku tanpa henti, dengan kesal kuangkat juga teleponnya. 

“Ada apa sih, Bi. Mengganggu waktuku saja,” tekanku.

“Den ... Neng A-arum, Den,” ucap Bi Surmi dengan nada terbata-bata. 

Aku mengernyit heran setelah menangkap kepanikan dari suara Bi Surmi. Tak biasanya asisten rumah tanggaku begitu. Dari suaranya yang bergetar, kutebak pasti Bi Surmi tengah menangis.

“Ada apa dengan Arum, Bi?” tekanku tak sabar ingin mendapatkan penjelasan dengan segera. 

“Neng Arum ... enggak ada di rumah, Den. Ka-kata Mang Mansur dari tadi siang belum pulang,” ujar Bi Surmi menjelaskan hingga membuatku seketika itu terbangun dan melompat dari ranjang.

“Iya, Den. Mang Mansur tadi siang mengantar Neng Arum ke rumah Nyonya Besar. Tapi, sampai sekarang belum pulang juga.” 

Kata-kata Bi Surmi membuat mataku melotot. 

“Apa! Arum ke rumah Mama? Mau apa dia ke sana?” tanyaku heran. 

Tak biasanya Arum menemui Mama. Bahkan telah lama hubungan kami sudah tak baik. Beliau tak mengizinkan diriku menikahi Arum yang yatim piatu.

Aku sangat mencintainya hingga seorang Arga pun rela menentang Mama serta menikahi Arum tanpa restunya. Hanya Papa yang sudi menghadiri pernikahan kami saat itu.

“Bibi juga, enggak tahu, Den,” jawab BI Surmi. Aku mendesah, sebaiknya kutelepon Mama dan tanya apa Arum ada di sana? Barangkali ia berniat menginap.

“Ya sudah, Bi. Biar aku yang hubungi Mama nanti. Mungkin saja, Arum disuruh menginap di sana,” jelasku.

Setelah itu kuakhiri Panggilan dengan Bi Surmi. Aku mencoba menghubungi nomor ponsel Arum. Namun, kontaknya tak aktif  bahkan sudah berulang kali kucoba tetap seperti itu. 

Dengan terpaksa kucari nomor Mama di kontak dan menelepon beliau.

“Halo, Ga. Tumben kamu hubungi Mama malam-malam begini?” tanya Mama di seberang sana.

“Apa Arum menginap di sana, Ma?”

“Ngapain sih kamu tanya dia ke Mama. Memangnya ke mana istrimu itu?”

Suara Mama sontak berubah sinis. Jelas sekali rasa ketidaksukaan dari cara ibu kandungku bereaksi setelah mendengar nama istri pertamaku. 

“Lho, bukannya tadi Mang Mansur antar Arum ke rumah Mama? Kukira menginap, makanya Bi Surmi bilang ia belum pulang. Apalagi nomor ponselnya tak aktif,” tanyaku heran sekaligus panik. Kalau bukan di rumah Mama lantas ke mana Arum pergi?

“Ya enggak, lah. Ngapain dia menginap di sini? Tadi memang istrimu datang ke rumah. Terus Cuma bilang minta maaf sudah buat kamu menentang Mama agar bisa menikahinya. Lalu pulang sendirian dengan taksi yang di pesan.” Ujar Mama menjelaskan hingga membuatku semakin tak enak hati. Di mana Arum sekarang? Kenapa sampai malam begini dia belum juga pulang?

“Terus ke mana Arum pergi, Ma?” Aku terkulai lemas, bingung menghubungi siapa lagi. Sedangkan istriku itu tak punya kerabat, teman pun tidak banyak dan aku tak tahu siapa saja kawannya. Selama kami menikah Arum selalu ada di rumah.

Kalau pergi ke mana pun selalu aku yang menemani. Makanya, Bi Surmi panik saat tahu istriku itu belum juga pulang ke rumah sampai malam begini. Begitu pun aku, dada ini tiba-tiba sesak karena memikirkan istriku. Bayangan sesuatu yang buruk berkeliaran di pikiran.

“Makanya, Mama bilang juga apa. Istrimu itu tak tahu diuntung! Buat orang panik aja. Alah lebay! Palingan juga nyari perhatian kamu doang,” ketus Mama. Aku hanya menghela napas dengan kasar tak menanggapi ucapannya. Yang harus kulakukan sekarang ialah mencari keberadaan Arum.

“Ya sudah, Ma. Lain kali Arga telepon lagi, ya. Sekarang aku mau nyari Arum lagi. Assalamualaikum.”

Tanpa mendengar balasan dari Mama segera kumatikan panggilan telepon dengan beliau. Aku langsung dikejutkan oleh pelukan Erika saat sedang kebingungan memikirkan keberadaan istri pertamaku itu.

“Ada apa, Mas?” tanyanya.

 “Ke mana memangnya istrimu yang manja itu, Mas? Mengganggu acara kita aja.” Erika mencebik, dia mungkin kesal karena kabar ini membuat percintaan kita terganggu. Apalagi kami baru saja berjumpa kembali setelah seminggu tak bertemu.

Erika memang di Bandung sedangkan Arum tinggal di rumahku yang di Jakarta. Sengaja  kujauhkan mereka agar istriku itu tak tahu kalau suaminya ini sudah menikah lagi dengan Erika. Aku tak tega melihatnya terluka. Pernikahanku yang kedua ini memang hanya dilakukan secara agama.

Dia dulunya suster di rumah sakit kecil, desa tempatku mengabdi selama setengah tahun. Pertemuan yang intens membuat kami saling jatuh cinta. Teringat suatu malam ketika aku mengantarnya pulang ke rumah yang ditempati Erika. Hari di mana aku menyatakan cinta.

“Aku juga mencintaimu, Mas. Entah benar atau salah perasaanku ini. Yang pasti, aku tak mau kehilangan kamu. Aku sama sekali tak peduli jika harus menjadi istri kedua,” ungkap Erika menjawab pernyataan cinta dariku. Aku sama sekali tak menyangka, cintaku bersambut.

Hubunganku dengan Erika sama-sama sudah sangat dekat. Kita berdua seperti sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara setiap harinya. Setiap kami bersama, aku selalu saja tak kuasa membendung hasrat sebagai lelaki. Bahkan, kami hampir saja kelepasan ketika tengah berdua saja di rumah saat mengantar Erika pulang ke Bandung tempat orang tuanya tinggal. Saat itu di rumahnya tak ada siapa pun, membuat kami gelap mata dan saling berciuman bahkan hampir saja berlanjut ke hal yang lebih intim. Untunglah bayangan Arum yang tersenyum menggagalkan segalanya. 

“Mas harus pulang, Sayang. Arum pasti sudah menunggu,” ujarku menghentikan ciuman kami ketika tersadar. 

“Tapi, Mas ....”

“Sttt ... jangan sekarang. Mas janji kita akan melakukannya kalau memang kita sudah sah. Ini juga demi kebaikanmu.”

“Kapan?”

“Mas akan urus semua secepatnya,” tuturku mencoba menenangkan.

Meski dapat dilihat ada gurat kekecewaan di wajah Erika, tetapi aku tidak mau kalau kami melakukan itu sebelum resmi menikah.

Setiap aku dan Erika berpacaran, rasa bersalah selalu bergelayut dalam hati kepada Arum, istriku. Namun, perasaan ini tak bisa kubendung lagi. Erika wanita yang cantik, menawan, pintar, dan ... seksi tentunya. Laki-laki mana pun pasti bertekuk lutut dengan pesona seorang Erika termasuk aku.

Selama ini aku selalu kagum dengan cara bicara dan pemikiran dewasanya. Bahkan dengan tak sengaja kubandingkan dia dan Arum. 

Bukan Arum tak menarik, hanya saja dia memang wanita yang bergantung sekali padaku. Dia memang lembut, cantik alami, serta senyumnya yang manis selalu memabukkanku. Arum juga tak pernah banyak meminta. 

Namun, sisi lelakiku menginginkan hal lain. Aku membutuhkan sosok cerdas juga bisa membuatku tertantang, bahkan di atas ranjang. Terbukti bila jatahku bersama Erika setelah kami menikah selalu di habiskan waktu di dalam kamar.

Aku memang lelaki egois namun tak ada salahnya, ‘kan? Bila menginginkan dua wanita mendampingi. Toh waktuku bersama Arum lebih banyak sekarang, sebab aku memang bekerja di Rumah Sakit besar di Jakarta. Ke Bandung hanya sesekali dengan alasan ada seminar di luar kota.

Ketika mendengar perkataan Erika tentang Arum aku merasa kesal, bisa-bisanya dia mengatakan itu ketika suaminya ini sedang panik.

“Jangan bicara begitu, dong. Bagaimanapun Arum tetap istriku. Aku masih mencintainya sama seperti sama seperti aku mencintai kamu,” ucapku dengan suara sehalus mungkin. Kucoba menahan semua rasa kesal ini padanya. Tidak ingin Erika marah dan berujung pertengkaran. Itu semua akan membuat masalah baru nantinya.

Dia hanya mencebik, tak suka mendengar perkataanku, namun aku tak peduli, Erika hanya cemburu. Nanti juga akan kembali seperti semula. Biarlah sekarang ini harus fokus kepada Arum, ke mana harus mencari keberadaannya?

Saat sedang mengingat-ingat siapa saja yang bisa kuhubungi. Lamunanku buyar ketika Bi Surmi menghubungiku kembali. Apa Arum sudah kembali? Kuangkat panggilan itu.

“Den, barusan dua orang polisi yang datang ke rumah. Ada wanita yang kecelakaan kereta api. Di dalam tas yang dipakainya ada dompet milik ... mi-milik Neng Arum, Den.” Ucapan Bi Surmi barusan membuat seluruh tubuhku lemas tak bertulang.

Apa yang terjadi di Arum istriku? Benarkah yang polisi katakan, kalau wanita yang menjadi korban kecelakaan itu dia? Bagaimana aku bisa hidup tanpanya?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Laki² gila ini mah namanya.. mencintai istrinya tapi selingkuh,ihhh gedek bacanya
goodnovel comment avatar
Youe
hallo kak aku mampir nih ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status