ログインSESERAHAN KEBO GERANG -BAB 5
Tumbal pertama sudah diberikan. Ganang merasakan energi yang tak biasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia tersenyum sambil mengangkat ke dua lengannya ke atas. "Aku sakti, sekarang aku sakti, " ucapnya sambil memegang keris, ia tertawa nyaring di kamarnya. Nurul yang melihat hal itu pun ingin tahu. "Mas, maksudnya gimana?" "Ini urusanku dengan Raden Jalandara. Kamu tidak perlu tahu. " Mata Nurul kemudian beralih pada kotak kayu tempat penyimpanan keris itu dalam almari. Cairan merah pekat meleleh di pinggirannya mengeluarkan bau anyir. "Mas, itu darah apa? " tanyanya hendak menyentuh kotak tersebut, namun dengan cepat Ganang menampik tangannya Mata Ganang melotot, urat matanya mencuat membuat nyali Nurul menciut. "Sudah kubilang jangan ikut campur. " Setelah itu Ganang kembali tertawa dengan sendirinya. Nurul pun memutuskan untuk meninggalkannya sendiri di kamar. Saat ia membuka pintu, ada Rendra-Putra mereka menunggu di balik pintu. "Bapak kenapa, Buk? " "Nggak papa," jawab Nurul singkat. Ia menarik tangan Rendra-putranya untuk menjauh dari sana. Rendra tahu, ada yang salah dengan Bapaknya Dan dia tidak suka hal itu. "Bu, ini nggak benar, " protes Rendra. "Kamu anak kecil tahu apa. " "Aku tahu, Bu. Sejak ada keris itu .... " "Sudah diam. Bapakmu tidak berbuat apa-apa. Dia hanya membantu orang yang kesusahan seperti hal nya bapaknya Mila. Apa salahnya? " "Pak Abi tidak begitu. " "Kamu ini kenapa malah membela orang lain. " "Aku melihatnya, Bu." Nurul menatap tajam mata Rendra , " Melihat apa? " "Makhluk itu, yang bapak panggil Raden Jalandara-" "Permisiiiii! " Percakapan itu seketika terhenti karena tiba-tiba ada tamu yang datang. "Oh, Mas Joyo, masuk-masuk . " Nurul tersenyum ramah. Joyo adalah tetangga desa, sudah ke dua kalinya dia datang ke rumah untuk meminta bantuan sejak mendengar Ganang punya pegangan. "Sebaiknya kamu diam Rendra. Bapakmu tidak melakukan hal yang salah, " bisik Nurul. Rendra pun tak bisa berbuat banyak. Ia hanya tak suka bapaknya seperti itu. Rumahnya tiap malam gaduh. Banyak orang yang tiba-tiba datang mengadu ilmu. Bukan hanya itu, Rendra juga mendengar kesepakatan yang tak lazim. "Aku mau membuat Yanti tunduk. Aku mau dia jadi istriku. " Apa-apaan ini? Pikir Rendra. Menundukkan wanita hanya karena nafsu. Sejak itulah Rendra mulai membaca gerak gerik bapaknya. *** Tiga minggu berlalu. “Astagfirullah ya Allah .... " Sudah entah berapa kali Narsih membasuh wajahnya. Air selalu jatuh, namun rasa ngeri di dadanya tak ikut luruh. Bayangan Laila dengan kain kafan merah terus mengikuti dari sudut matanya. Beruntung bukan Pipit yang mengalami hal itu. Satu lagi, kurang satu lagi, siapa? Siapa yang harus dia korbankan untuk menolak sengkolo itu. Otak Narsih benar-benar buntu. Sedangkan hari terus berlalu. Empat puluh hari bukanlah waktu yang lama. Hari terus berganti, tetapi bunga ke dua belum Narsih dapatkan. Lorong dapur terasa lebih gelap, seperti ada seseorang sedang berdiri memerhatikannya dari ujung tembok. Pandangan Narsih kosong. “Bu." Tangan Pipit menepuk bahunya, membuat Narsih hampir menjatuhkan wajan. “Ibu kenapa? Telurnya gosong semua,” tegur Pipit pelan sambil mematikan api kompor. Narsih terdiam beberapa detik. Napasnya naik-turun tak teratur. “Nggak papa, ibu cuma nggak enak badan.” “Kalau gitu beli lauk aja, Bu. Nggak usah masak. Biar Pipit yang beli ke warung Mbak Atun. " “JANGAN!” Teriakan itu membuat Pipit tersentak mundur. “Ibu kenapa, sih?” Suaranya mulai bergetar melihat ibunya seakan tak seperti biasanya. Narsih gelagapan membuat alasan. Pipit tidak boleh keluar sebelum sengkolo itu berakhir. “Kamu kan lagi hamil, Nak, jangan keluar. Di rumah saja. Biar ibu yang urus semua.” "Aku bisa ngajak Mas Iqbal, Bu. Lagian larangan keluar rumah sebelum empat puluh hari itu hanya mitos. Temen-temenku banyak, habis nikah mereka langsung masuk kerja. Bahkan bulan madu keluar kota, mereka nggak kenapa-napa. Aku juga mau baby moon, Bu," cerocos Pipit kesal. Ia sudah sangat bosan terkurung di rumah tiga minggu ini. "Kamu tidak mengerti. " "Kenapa sih, Bu. Jangan kolot lah. " "PIPIT DIAM!" Teriak Narsih membuat putrinya terdiam seketika. Kali ini Pipit tidak membantah, ini kali pertama ibunya membentaknya. Narsih mengelus pipi Pipit pelan. "Nanti, akan ibu jelaskan, jangan sekarang. Ibu pergi dulu, kamu sudah lapar kan? " Pipit menatap lama. Ada rasa aneh melihat tingkah ibunya. Namun ia mengangguk pelan. Narsih segera mengambil sandalnya, melangkah pergi sambil terus menahan getar pada lututnya. Dalam hatinya hanya satu kalimat yang berputar: “Aku harus menyelesaikan ini. Sengkolo itu harus segera di akhiri. " *** Narsih pun pergi ke rumah Ganang. “Mbak Nurul, Mas Ganang ada?” Narsih memaksa suaranya terdengar normal. “Ada. Masuk saja.” Nurul tersenyum ramah, tak mengetahui badai dalam hati adik iparnya. Narsih menutup pintu kamar Ganang setelah mengetuk. Di dalam, Ganang sedang mengelap keris—bilahnya hitam pekat, seolah menyerap cahaya. “Ada apa, Nar? Sampai wajahmu sepucat itu?” Nada Ganang datar, tapi bibirnya tersenyum tipis. Narsih menelan ludah. “Mas, aku merasa ada sosok yang mengikutiku. Di kamar mandi, di dapur aku melihat sosok itu, berkafan merah darahnya menetes, Mas. Tapi, suaranya adalah suara anakku. " Ganang berhenti mengelap sejenak. Mata hitamnya menatap tajam. “Itu hanya perasaanmu. Jangan cengeng. Kamu masih punya tugas. Masih ada satu.” “Satu…?” Kata itu menusuk dadanya meski Narsih tahu hal itu. “Sudah tiga minggu berlalu. Sengkolo akan menuntut dua jiwa. Kamu mau anakmu dan cucumu yang jadi tumbalnya kalau kamu gagal?” “Nggak lah, Mas. Mangkanya tolong aku, Mas. Aku harus apa?" “Aku sudah menolongmu.” Senyum itu kembali muncul—lebih dingin dari sebelumnya. “Kematian Laila, kamu pikir itu buat siapa?" Narsih tertegun. Matanya membesar ketakutan. “Minum ini.” Segelas air hitam berbau amis tersodor ke hadapannya. “Apa ini Mas? Aku-aku nggak sanggup, " tolaknya dengan suara gagap. Ganang mendekat. “Jadi kamu lebih memilih dihantui oleh tumbalmu. Dia ingin menagih darahnya yang kamu tawarkan sebagai pengganti sengkolomu. " Narsih gemetar. Dengan tangan bergetar ia menelan cairan itu. “He—” Belum sempat ditelan sempurna, perutnya bergejolak hebat. “HUEKK!” Ia berlari ke kamar mandi setelah berhasil meminum minuman yang Ganang berikan. Nurul datang tergesa, menopang bahunya. “Nar? Kamu kenapa?” “Cuma masuk angin, Mbak." Tapi dari pintu kamar, sepasang mata merah memperhatikannya dengan tajam. Dan bukan mata manusia. "Aku buatkan teh hangat." "Nggak usah, Mbak. Aku sudah selesai dengan Mas Ganang. Lagian Pipit sedang nungguin aku di rumah. Aku mau ke warung Atun. Mau beli lauk. " "Oh, gitu. Ya sudah kalau begitu." "Aku pulang dulu, Mbak, " pamit Narsih setelah membasuh wajah. Ia pun pulang dengan pikiran yang masih berkecamuk. Langit seperti menekan bumi. Udara pekat dan berat ketika Narsih melangkah menuju warung Atun. “Mau beli apa, Bude?" Suara Silvi menyapanya membuat Narsih terhenyak. "Lho, Sil. Kamu nggak sekolah? " "Tadi, tiba-tiba ada rapat mendadak Bude, jadi kami dipulangkan. Bude mau beli apa? " Sejenak dunia terasa berhenti. Tatapan Narsih menempel pada wajah polos gadis itu. Kembali suara Ganang menggema di kepalanya: “Satu jiwa lagi, maka sengkolo itu akan berakhir. " Narsih tersenyum kaku, mengelus kepala Silvi seolah mengelus bunga segar yang siap dipetik. “Bungkus ayam goreng, ati ampela, lele, tahu tempe, sambal ijo.” “Nggih, Bude.” Setelah membayar, Narsih melirik Atun di belakang meja. “Bunga kamu cantik sekali, Tun. Boleh aku minta?” Suaranya lirih namun penuh maksud. Atun menoleh ke arah bunga mawar rambat di depan warungnya. Mawar yang ia tanam dengan bunga bougenvile. “Boleh. Ambil aja. Cuma bunga.” “Baik ... Aku ambil bungamu, ya, Tun?” “Iya.” Akad sederhana itu mematikan. Narsih memetik satu tangkai mawar paling merah—berdarah di ujung durinya. Ia tatap bunga itu seperti menatap keselamatan hidupnya sendiri sambil berbisik halus: Kembang iki wus dados takdirku. Kanthi idinmu, wus kasembadan. Ora ana paksa, ora ana rubeda. Saiki sengkala, Sira bali marang sing kagungan. Sengkala dadi sengkalamu, Saka tembung nganti nyawa. Sumpah ora kena kewalik. Narsih bernapas lega. Dengan langkah lebih ringan dari sebelumnya, ia kembali ke rumah Ganang dan menyerahkan bunga itu. Ganang tersenyum puas. “Bagus. Sekarang. Kamu sudah aman.” Setelah Narsih pulang, Ganang meletakkan bunga mawar itu di samping keris. "Ini persembahan ke dua ku. " *** Tidak kurang dari satu minggu, lagi-lagi tersiar kabar mengguncang desa. Silvi meninggal tertimpa pohon besar yang tiba-tiba tumbang di jalan. Ia meninggal di tempat. Darahnya menggenang bahkan sebelum ia sempat menjerit. Keluarganya tak kuasa menahan duka. Pilu tangis Atun menggema. Setelah kehilangan suaminya beberapa tahun silam, kini ia harus kehilangan putrinya. Selama ini Silvi yang ia andalkan untuk mengantarnya belanja sebelum berangkat sekolah. Sedangkan Rania-kakak Silvi memilih jadi TKI untuk menyokong usaha warung ibunya. Mereka bergotong royong demi bisa hidup sejahtera setelah kehilangan sosok yang paling bertanggung jawab dalam keluarga mereka. Atun neratap hebat menangisi satu-satunya harapan yang masih bersamanya. Akan tetapi di balik tangis pilu tersebut, ada rasa lega tersirat di hati Narsih. "Sudah, sudah selesai., " ucapnya begitu mendengar kabar tersebut. Ia pergi melayat dengan hati tenang. *** "Ya Allah lagi-lagi. Mas, apa ini ada hubungannya dengan Pernikahan Pipit? " tanya Dyah. Ia tengah bersiap melayat ke rumah Atun. "Ya. Kasian Atun. Mereka hanya korban dari keegoisan seseorang. Tapi ini bukan yang terakhir. " "Maksudnya gimana, Mas?" "Sesuatu yang sudah dimulai, tidak bisa berhenti." "Jadi, akan ada korban dan korban lagi?" Abi tak menjawab, namun tatapannya diam seolah menunggu badai datang. *** Di rumah Atun, Abi bertemu Ganang. Mereka duduk bersebrangan menunggu proses pengurusan jenasah Silvi selesai. "Lihat dukun itu." Ganang menunjuk Abi yang baru saja datang dengan sorot mata tajam. Dua kekuatan bertolak belakang beradu dalam senyap. "Dia pura-pura perduli padahal dia lah yang bermain-main dengan nyawa seseorang untuk memperkuat ilmunya, " bisik Ganang pada seseorang di sebelah kiri kanannya. "Masa sih, Nang? " timpal Edi. "Tadinya aku juga tidak menyangka, tapi sekarang aku sudah bisa melihat. Orang sepolos dia, ternyata tidak sebaik itu. Kalian harus hati-hati dengannya, " hasut Ganang. "Yang benar kamu. " "Kalian tidak percaya? Pegang omonganku baik-baik. Kurang dari sepuluh hari, akan ada korban yang meninggal lagi dengan cara yang sangat mengenaskan. " "Jangan main-main kamu, Nang, " Desis Edi. "Memangnya siapa? " timpal Mul. "Kalian lihat saja nanti. Buktikan ucapanku. " Suara Ganang merayap seperti ular. Ia menegakkan punggung suaranya mengandung keyakinan gelap. Sepuluh hari lagi_SESERAHAN KEBO GERANG -BAB 5 Tumbal pertama sudah diberikan. Ganang merasakan energi yang tak biasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia tersenyum sambil mengangkat ke dua lengannya ke atas. "Aku sakti, sekarang aku sakti, " ucapnya sambil memegang keris, ia tertawa nyaring di kamarnya. Nurul yang melihat hal itu pun ingin tahu. "Mas, maksudnya gimana?" "Ini urusanku dengan Raden Jalandara. Kamu tidak perlu tahu. " Mata Nurul kemudian beralih pada kotak kayu tempat penyimpanan keris itu dalam almari. Cairan merah pekat meleleh di pinggirannya mengeluarkan bau anyir. "Mas, itu darah apa? " tanyanya hendak menyentuh kotak tersebut, namun dengan cepat Ganang menampik tangannyaMata Ganang melotot, urat matanya mencuat membuat nyali Nurul menciut. "Sudah kubilang jangan ikut campur. " Setelah itu Ganang kembali tertawa dengan sendirinya. Nurul pun memutuskan untuk meninggalkannya sendiri di kamar. Saat ia membuka pintu, ada Rendra-Putra mereka menunggu di balik pintu. "Bapak kenapa, B
Seserahan Kebo Gerang -Bab 4 Enam bulan yang lalu .... Ganang pulang dengan keadaan kalut seperti menyimpan kemarahan malam itu. Ia membuka pintu dengan kasar dan berjalan tanpa melirik Nurul yang tengah duduk di ruang tamu memasang manik-manik pada baju gamis. Keadaan ekonomi yang sulit membuat Nurul harus ikut memutar otak. Ia bekerja di rumah, mengambil baju gamis dari pengepul untuk dipasangi manik-manik. Satu buah gamis dibayar enam ribu rupiah, tetapi untuk itu Nurul kadang membutuhkan waktu cukup lama. Karena sejak hamil, kondisi fisiknya sedikit mudah lelah. "Dari mana, Mas? " tanya Nurul. Namun pertanyaannya sama sekali tidak dijawab oleh Ganang. Nurul menatap punggung Gandang yang berlalu ke arah dapur. "Aneh, " gerutunya sebelum kembali fokus memasang manik-manik. Di dapur, Ganang mengambil segelas air sambil mengerutu panjang. "Sial! Bagaimana bisa Si Agus itu menemukan keris keramat. Sedangkan aku yang hampir tiap minggu memancing di sana tidak menemukan apapun. "
SESERAHAN KEBO GERANG BAB -3"Dua puluh delapan. Seserahan Kebo Gerang. " Anton-Ayah Pipit-Suami dari Narsih menelan ludah. Tangannya gemetar memegang kertas yang baru ia buat dari tetua kampung. Perhitungan neptu anak dan calon menantunya menunjuk angka dua puluh delapan. Sebuah perhitungan yang sangat dikeramatkan di desa tersebut. Sebuah angka yang membuat bulu kuduk meremang. Konon, neptu tersebut membawa kutukan dan jika dilanggar maka akan membawa mala petakan bagi dirinya sendiri pun juga keluarga. "Lalu, kita harus bagaimana Mas?" tanya Narsih dengan wajah pucat setelah mereka sampai di rumah. "Aku juga bingung. Sedangkan Pipit-" Anton mengacak-acak rambutnya. Pipit putrinya tengah berbadan dua, tak mungkin mereka memutuskan hubungan itu. "Mas, bagaimana kalau kita tanya saja pada Mas Ganang. Siapa tahu dia bisa memberi solusi, " usul Narsih.Anton menatap istrinya ragu, "Mas mu itu bisa apa?" "Mas belum tahu, Mas Ganang sekarang sakti Mas. Dia menemukan keris berpetua
SESERAHAN KEBO GERANG — BAB 2Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya.Tengkuk leher Abi terasa seperti tertiup embusan halus, padahal tak ada angin sama sekali. Bersamaan dengan itu, suara lirih terdengar di telinganya—suara yang seolah datang dari jarak yang tak terjangkau oleh manusia.“Tetepa waspada, ana ingkang nginceng kembang panjenengan. Wonten wekdalipun, piyambakipun badhe nyuwun tanpa panjenengan sumerep, lan menika dados bagéyan saking panyerahing jiwa.”(Berhati-hatilah, ada yang mengincar bungamu. Mereka akan meminta tanpa kalian sadari, dan itu adalah bagian dari penyerahan jiwa.)Abi membuka mata perlahan. Sosok berjubah putih sudah duduk bersila di depannya—tenang, bercahaya, dan tanpa bayangan. Dialah Ki Banyu Wening, jin penjaga tempat suci, yang air wajahnya sebening embun pagi.“Banyu Wening," gumam Abi. Sosok itu menatapnya lembut, matanya teduh seperti danau tak bertepi.Abi menunduk hormat.“Matur suwun sanget, Ki. Panjenengan sampun dipun dhawuh.”
SESERAHAN KEBO GERANG — BAB 1Oleh Nana Shamsy“Nanti, kalau ada yang meminta bunga mawar… jangan diberikan.”Suara Abi terdengar tenang, namun ada sesuatu di balik ketenangan itu—sebuah getar halus yang menimbulkan rasa waswas. Ia meneguk sisa kopi hitam di cangkir, lalu menatap istrinya dalam diam.Dyah yang sejak tadi mengamati sorot mata suaminya, tahu betul—ini bukan pesan biasa.“Ada apa, Mas?” tanyanya lembut, namun wajahnya tegang.Abi menatapnya sekilas. “Pokoknya jangan diberikan. Aku berangkat kerja dulu.”Tanpa menunggu jawaban, ia bangkit dan melangkah pergi.Dyah hanya menatap punggung suaminya hingga menghilang di balik pintu. Dalam hati, timbul tanya yang tak terucap. Tapi Dyah sudah lama mengenal watak suaminya. Abi bukan tipe orang yang bicara tanpa sebab. Jika ia sudah berpesan, maka di baliknya pasti ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.Hari itu, Dyah menyelesaikan pekerjaan rumah dengan gelisah. Setelah semuanya rapi, ia duduk di ruang tamu—menatap







