共有

Seserahan Kebo Gerang
Seserahan Kebo Gerang
作者: Nana Shamsy

Satu

作者: Nana Shamsy
last update 最終更新日: 2025-11-09 17:29:20

SESERAHAN KEBO GERANG — BAB 1

Oleh Nana Shamsy

“Nanti, kalau ada yang meminta bunga mawar… jangan diberikan.”

Suara Abi terdengar tenang, namun ada sesuatu di balik ketenangan itu—sebuah getar halus yang menimbulkan rasa waswas. Ia meneguk sisa kopi hitam di cangkir, lalu menatap istrinya dalam diam.

Dyah yang sejak tadi mengamati sorot mata suaminya, tahu betul—ini bukan pesan biasa.

“Ada apa, Mas?” tanyanya lembut, namun wajahnya tegang.

Abi menatapnya sekilas. “Pokoknya jangan diberikan. Aku berangkat kerja dulu.”

Tanpa menunggu jawaban, ia bangkit dan melangkah pergi.

Dyah hanya menatap punggung suaminya hingga menghilang di balik pintu. Dalam hati, timbul tanya yang tak terucap. Tapi Dyah sudah lama mengenal watak suaminya. Abi bukan tipe orang yang bicara tanpa sebab. Jika ia sudah berpesan, maka di baliknya pasti ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.

Hari itu, Dyah menyelesaikan pekerjaan rumah dengan gelisah. Setelah semuanya rapi, ia duduk di ruang tamu—menatap bunga mawar yang tumbuh di depan rumah. Dua tangkai mawar merah mekar sempurna di antara kuncup yang masih tertutup. Entah kenapa, pandangan Dyah tertahan di sana cukup lama.

Pesan Abi bergema di kepalanya.

Jangan berikan bunga mawar itu.

Abi bukan lelaki sembarangan. Ia memiliki sesuatu yang tak dimiliki orang kebanyakan—sebuah anugerah sekaligus beban: indra keenam.

Kelebihan itu bukan untuk dipamerkan, bukan pula untuk menakut-nakuti. Ia memanggulnya sebagai amanah, dengan bimbingan Ustaz Ikhwan, agar kepekaannya menjadi alat untuk menolong sesama, bukan menjerumuskannya dalam kesombongan.

Sebab indra keenam bukanlah perhiasan, melainkan titipan yang berat.

Ia menuntut ketundukan, bukan kebanggaan.

Sebab ketika mata batin terbuka, maka hati harus lebih luas dari samudra—agar tidak karam oleh apa yang dilihatnya.

Banyak yang mampu menyingkap tabir gaib, tapi sedikit yang sanggup menundukkan ego setelah melihatnya.

Sebab semakin jauh mata itu menembus yang tak kasat, semakin besar pula tanggung jawabnya untuk menjaga cahaya agar tak berubah menjadi nyala yang membakar diri.

“Nduk, duduk di ruang tamu ya. Ibu ke belakang sebentar. Kalau ada yang datang meminta bunga mawar, jangan diberi.” Suara Dyah lembut, tapi tegas.

Mila mengernyit. “Kenapa, Bu?”

“Bapakmu berpesan begitu.”

“Oh .…” Mila tak bertanya lagi. Ia tahu, jika bapaknya sudah berpesan, pasti ada maksud.

Suara gamelan dari rumah Bu Narti terdengar menggema pelan. Hari itu tetangga mereka tengah mengadakan pesta pernikahan. Jalan desa yang biasanya sepi kini ramai oleh para tamu dan kerabat.

Dyah menatap jam dinding. Abi bilang ia akan pulang sebelum akad dimulai.

Tak lama, Dyah kembali dari dapur. Mila pun menuju kamarnya, tempat sang kakak, Santi, sedang membaca.

“Mbak, tahu nggak, kenapa Bapak melarang kasih bunga mawar?”

“Memangnya Bapak bilang begitu?” tanya Santi tanpa menoleh, matanya masih menelusuri halaman buku Aku Sedang Beribadah Haji.

“Iya.”

“Berarti ada sesuatu.”

Mila mendekat, merebahkan diri di samping kakaknya, memeluknya erat. Besok pagi, Santi akan kembali ke kota.

“Bu Dyah! Bu Dyah!”

Suara panggilan itu memecah siang. Mila dan Santi spontan saling pandang.

“Siapa, Mbak?”

“Entah, ayo keluar.”

Mereka berdua bergegas ke teras. Terlihat Bu Narti berdiri di depan pagar, senyumnya kaku.

“Nggih, ada apa, Bu?” tanya Dyah sopan.

“Mau minta bunga mawar, Bu. Buat acara manten, kurang dua tangkai.”

Dyah menarik napas pelan. “Maaf, Bu Narti. Suami saya berpesan, kalau ada yang meminta bunga mawar, jangan dikasih. Kalau boleh tahu, untuk apa ya?”

“Ya buat dekorasi pengantin, cuma bunga kok, masa nggak boleh?”

Nada suaranya mulai meninggi.

“Bukan masalah boleh atau tidak, Bu. Saya cuma menjalankan pesan suami.”

“Halah! Perkara bunga aja segitunya. Pelit amat!” gerutu Bu Narti sambil menghentakkan kakinya, meninggalkan halaman dengan langkah berat.

Dyah masih terpaku di tempat. Mila dan Santi mendekat.

“Bu ....” bisik Santi.

“Firasat Bapakmu kuat.”

“Firasat?” tanya Mila heran.

“Ibu rasa, ini ada hubungannya dengan pernikahan itu. Seserahan Kebo Gerang."

Santi menatap Ibunya serius. “Sengkolo, apa Ibu berpikir begitu? "

Dyah mengangguk perlahan. “Iya. Sejak kemarin sebenarnya ibu sudah curiga, waktu adep ulap-ulap, mereka melempar dua ayam cemani ke atap rumah. Itu pertanda buruk. Sengkolo besar sedang dialihkan. Bunga mawar yang mereka minta itu bukan sekadar bunga, tapi penanda."

Santi terdiam. Mila menelan ludah, wajahnya pucat.

"Penanda? Maksudnya?" tanya Mila tak mengerti dengan obrolan Kakak dan Ibunya.

“Ibaratnya kamu dan Mbak mu ini Nduk. Kalau bunga itu diberikan, artinya ibu menyerahkan kalian sebagai penanggung sengkolo itu.”

"Enak sekali mereka, " desis Santi.

Mila tercekat. Tiba-tiba pesan Bapaknya terngiang jelas di kepalanya. Jangan berikan bunga mawar itu.

***

Sore harinya, Abi pulang. Dyah menceritakan semuanya. Abi hanya diam beberapa saat, lalu mengucap pelan, ia menatap bunga mawar di halaman. Angin sore berhembus pelan, membuat kelopak merah itu bergoyang lembut.

“Yang penting bunga itu tidak diambil. Narti sudah mengincar anak kita."

Dyah mengangguk, matanya sendu. “Aku tahu."

"Terus baca doa untuk anak-anak, " Pesan Abi. Mereka pun saling tatap dalam diam, dengan pikiran masing-masing.

***

Satu minggu setelah acara manten selesai, Bu Narti mulai jarang menegur keluarga Abi. Tiap kali berpapasan, wajahnya selalu menegang, seperti menyimpan amarah yang tak selesai.

Sore itu tiba-tiba Mila dikejutkan oleh kabar duka yang ia dengar dari toa masjid. Anak bungsu Bu Ismawati meninggal. Kabarnya Laila meninggal dalam kecelakaan tunggal. Kabar itu begitu cepat menyebar dari mulut ke mulut.

“Laila .…” Mila nyaris tak percaya, tadi pagi ia masih bersenda gurau dengan Laila di sekolah. Ia melompat dari kasurnya, mencari ibu bapaknya di belakang. Abi dan Dyah sudah siap-siap mau melayat.

"Bapak, Ibu, bener tadi yang kudengar kalau Laila meninggal?"

Abi hanya menatap kosong. “Apakah Narti meminta bunga pada Ismawati? "

Dyah baru ingat, Narti hari itu mengambil mawar di dekat sumur Ismawati. Saat menghadiri acara nikahan, Dyah sempat bertanya apakah dia sudah dapat bunga atau belum. "I-iya, " jawabnya terbata.

"Bu Narti meminta bunga mawar dengan maksud tak bersih. Bunga mawar itu tumbal, bukan sekedar hiasan. Satu dari dua bunga mawar itu belum gugur. Masih ada bunga ke dua. Seserahan kebo gerang ini belum selesai, " ucap Abi membuat Mila bergidik ngeri.

Jadi, Laila adalah bunga mawar itu. Ya Tuhan.

Lalu siapa bunga ke dua?

Mila merasakan tubuhnya gemetar. Kata-kata Bapaknya menggema dalam kepalanya.

Seserahan Kebo Gerang ini … belum selesai.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Seserahan Kebo Gerang   Lima

    SESERAHAN KEBO GERANG -BAB 5 Tumbal pertama sudah diberikan. Ganang merasakan energi yang tak biasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia tersenyum sambil mengangkat ke dua lengannya ke atas. "Aku sakti, sekarang aku sakti, " ucapnya sambil memegang keris, ia tertawa nyaring di kamarnya. Nurul yang melihat hal itu pun ingin tahu. "Mas, maksudnya gimana?" "Ini urusanku dengan Raden Jalandara. Kamu tidak perlu tahu. " Mata Nurul kemudian beralih pada kotak kayu tempat penyimpanan keris itu dalam almari. Cairan merah pekat meleleh di pinggirannya mengeluarkan bau anyir. "Mas, itu darah apa? " tanyanya hendak menyentuh kotak tersebut, namun dengan cepat Ganang menampik tangannyaMata Ganang melotot, urat matanya mencuat membuat nyali Nurul menciut. "Sudah kubilang jangan ikut campur. " Setelah itu Ganang kembali tertawa dengan sendirinya. Nurul pun memutuskan untuk meninggalkannya sendiri di kamar. Saat ia membuka pintu, ada Rendra-Putra mereka menunggu di balik pintu. "Bapak kenapa, B

  • Seserahan Kebo Gerang   Empat

    Seserahan Kebo Gerang -Bab 4 Enam bulan yang lalu .... Ganang pulang dengan keadaan kalut seperti menyimpan kemarahan malam itu. Ia membuka pintu dengan kasar dan berjalan tanpa melirik Nurul yang tengah duduk di ruang tamu memasang manik-manik pada baju gamis. Keadaan ekonomi yang sulit membuat Nurul harus ikut memutar otak. Ia bekerja di rumah, mengambil baju gamis dari pengepul untuk dipasangi manik-manik. Satu buah gamis dibayar enam ribu rupiah, tetapi untuk itu Nurul kadang membutuhkan waktu cukup lama. Karena sejak hamil, kondisi fisiknya sedikit mudah lelah. "Dari mana, Mas? " tanya Nurul. Namun pertanyaannya sama sekali tidak dijawab oleh Ganang. Nurul menatap punggung Gandang yang berlalu ke arah dapur. "Aneh, " gerutunya sebelum kembali fokus memasang manik-manik. Di dapur, Ganang mengambil segelas air sambil mengerutu panjang. "Sial! Bagaimana bisa Si Agus itu menemukan keris keramat. Sedangkan aku yang hampir tiap minggu memancing di sana tidak menemukan apapun. "

  • Seserahan Kebo Gerang   Tiga

    SESERAHAN KEBO GERANG BAB -3"Dua puluh delapan. Seserahan Kebo Gerang. " Anton-Ayah Pipit-Suami dari Narsih menelan ludah. Tangannya gemetar memegang kertas yang baru ia buat dari tetua kampung. Perhitungan neptu anak dan calon menantunya menunjuk angka dua puluh delapan. Sebuah perhitungan yang sangat dikeramatkan di desa tersebut. Sebuah angka yang membuat bulu kuduk meremang. Konon, neptu tersebut membawa kutukan dan jika dilanggar maka akan membawa mala petakan bagi dirinya sendiri pun juga keluarga. "Lalu, kita harus bagaimana Mas?" tanya Narsih dengan wajah pucat setelah mereka sampai di rumah. "Aku juga bingung. Sedangkan Pipit-" Anton mengacak-acak rambutnya. Pipit putrinya tengah berbadan dua, tak mungkin mereka memutuskan hubungan itu. "Mas, bagaimana kalau kita tanya saja pada Mas Ganang. Siapa tahu dia bisa memberi solusi, " usul Narsih.Anton menatap istrinya ragu, "Mas mu itu bisa apa?" "Mas belum tahu, Mas Ganang sekarang sakti Mas. Dia menemukan keris berpetua

  • Seserahan Kebo Gerang   Dua

    SESERAHAN KEBO GERANG — BAB 2Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya.Tengkuk leher Abi terasa seperti tertiup embusan halus, padahal tak ada angin sama sekali. Bersamaan dengan itu, suara lirih terdengar di telinganya—suara yang seolah datang dari jarak yang tak terjangkau oleh manusia.“Tetepa waspada, ana ingkang nginceng kembang panjenengan. Wonten wekdalipun, piyambakipun badhe nyuwun tanpa panjenengan sumerep, lan menika dados bagéyan saking panyerahing jiwa.”(Berhati-hatilah, ada yang mengincar bungamu. Mereka akan meminta tanpa kalian sadari, dan itu adalah bagian dari penyerahan jiwa.)Abi membuka mata perlahan. Sosok berjubah putih sudah duduk bersila di depannya—tenang, bercahaya, dan tanpa bayangan. Dialah Ki Banyu Wening, jin penjaga tempat suci, yang air wajahnya sebening embun pagi.“Banyu Wening," gumam Abi. Sosok itu menatapnya lembut, matanya teduh seperti danau tak bertepi.Abi menunduk hormat.“Matur suwun sanget, Ki. Panjenengan sampun dipun dhawuh.”

  • Seserahan Kebo Gerang   Satu

    SESERAHAN KEBO GERANG — BAB 1Oleh Nana Shamsy“Nanti, kalau ada yang meminta bunga mawar… jangan diberikan.”Suara Abi terdengar tenang, namun ada sesuatu di balik ketenangan itu—sebuah getar halus yang menimbulkan rasa waswas. Ia meneguk sisa kopi hitam di cangkir, lalu menatap istrinya dalam diam.Dyah yang sejak tadi mengamati sorot mata suaminya, tahu betul—ini bukan pesan biasa.“Ada apa, Mas?” tanyanya lembut, namun wajahnya tegang.Abi menatapnya sekilas. “Pokoknya jangan diberikan. Aku berangkat kerja dulu.”Tanpa menunggu jawaban, ia bangkit dan melangkah pergi.Dyah hanya menatap punggung suaminya hingga menghilang di balik pintu. Dalam hati, timbul tanya yang tak terucap. Tapi Dyah sudah lama mengenal watak suaminya. Abi bukan tipe orang yang bicara tanpa sebab. Jika ia sudah berpesan, maka di baliknya pasti ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.Hari itu, Dyah menyelesaikan pekerjaan rumah dengan gelisah. Setelah semuanya rapi, ia duduk di ruang tamu—menatap

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status