共有

Dua

作者: Nana Shamsy
last update 最終更新日: 2025-11-09 17:29:59

SESERAHAN KEBO GERANG — BAB 2

Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya.

Tengkuk leher Abi terasa seperti tertiup embusan halus, padahal tak ada angin sama sekali. Bersamaan dengan itu, suara lirih terdengar di telinganya—suara yang seolah datang dari jarak yang tak terjangkau oleh manusia.

“Tetepa waspada, ana ingkang nginceng kembang panjenengan. Wonten wekdalipun, piyambakipun badhe nyuwun tanpa panjenengan sumerep, lan menika dados bagéyan saking panyerahing jiwa.”

(Berhati-hatilah, ada yang mengincar bungamu. Mereka akan meminta tanpa kalian sadari, dan itu adalah bagian dari penyerahan jiwa.)

Abi membuka mata perlahan. Sosok berjubah putih sudah duduk bersila di depannya—tenang, bercahaya, dan tanpa bayangan. Dialah Ki Banyu Wening, jin penjaga tempat suci, yang air wajahnya sebening embun pagi.

“Banyu Wening," gumam Abi.

Sosok itu menatapnya lembut, matanya teduh seperti danau tak bertepi.

Abi menunduk hormat.

“Matur suwun sanget, Ki. Panjenengan sampun dipun dhawuh.”

(Terima kasih, Ki. Sudah memberi peringatan.)

Ki Banyu Wening hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya tubuhnya berpendar cahaya putih, lalu lenyap di udara—menyisakan aroma melati dan mawar yang samar.

Abi kembali memejamkan mata, melanjutkan dzikirnya mencoba mencari petunjuk, siapa orang tersebut. Namun di antara zikir yang bergema di dadanya, tampak selintas bayangan seorang wanita lewat di ujung pikirannya—rambut panjang, wajah samar, membawa bunga mawar merah yang meneteskan darah.

Keesokan paginya, Abi meminta Dyah agar menjaga bunga mawar di pekarangan rumah mereka.

***

Sore itu berita duka datang menghentak desa.

Tangis Bu Ismawati pecah mengiringi alunan sirine ambulans.

Putrinya, Laila, meninggal dengan cara mengenaskan—selangkang*nnya robek, kaki kanannya hampir terlepas. Dar*h mengucur deras bahkan setelah ia dinyatakan tidak bernyawa.

Kain kafan yang seharusnya putih, berubah menjadi merah pekat dan menebar bau anyir yang tidak lazim.

Jenazah Laila dimasukkan ke dalam kantung agar dar*hnya tidak tercecer sepanjang jalan.

Bu Ismawati beberapa kali pingsan, terus mengigau memanggil anaknya yang katanya sedang berpuasa.

“Dia sedang puasa, anakku sedang puasa... Aku sudah masak opor ayam, dia ingin makan itu saat buka nanti...” jeritnya histeris.

Laila memang sosok yang santun. Dia sering berpuasa senin dan kamis. Orang tua mana yang tidak terpukul kehilangan putrinya yang begitu baiknya.

***

"Kamu di rumah aja, Nduk. Tutup pintu dan jendela, hari sudah surup. "

Mila mengangguk, dia di rumah sendirian. Kakaknya sudah kembali ke luar kota untuk bekerja. Sudah satu tahun ini Santi bekerja di sebuah bank swasta.

Wajah Dyah begitu tegang, ada rasa lega, tetapi juga sedih bercampur jadi satu. Lega karena putrinya selamat, tetapi sedih mendengar kabar buruk dari Laila yang meninggal dengan cara mengenaskan.

Sesampainya di sana, Dyah menyempatkan diri melihat jenasah Laila, akan tetapi hanya kantong berwarna orange yang ia dapati. Motor yang Laila pakai terparkir di sebelah rumah. Motor itu sama sekali tidak mengalami kerusakan parah, hanya lecet kecil di bagian depan.

Kronologi yang Dyah dengar, Laila menabrak pik up yang mengangkut bahan bangunan terpakir di pinggir jalan sedang menurunkan muatan. Mereka dikagetkan dengan bunyi gubrak. Laila sudah tersungkur dengan darah mengucur. Kakinya mengenai seng di pik up tersebut. Bagai belah pisau tajam, selakang*n Laila terbelah.

Bulu kuduk Dyah meremang, ia mengusap usap lengan tangannya, tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya saat seng itu mengenai bagian paling sensitif Laila.

"Astaqfirullahaladzim, " ucap Dyah berkali-kali. Pantas kalau darahnya tidak berhenti.

***

Hari semakin petang, Laila dikebumikan usai melaksanakan sholat magrib, dengan penerangan obor dan senter jenasah Laila diberangkatkan ke pemakaman.

Suasana yang sedari tadi tenang seketika berubah menjadi mencekam. Langit ditutupi awan hitam, guntur tiba-tiba bersahutan, dan hujan rintik mulai turun.

"Buruan, mau hujan, " kata seorang pelayat. Mereka pun mempercepat langkah.

"Lailahaillallah!"

"Lailahaillallah!"

"Laillahaillallah!"

"Senter-senter." Teriak yang lain dari arah belakang.

Malam itu, langit muram seolah ikut berduka. Obor dinyalakan, senter dinyalakan, tapi angin berembus kencang hingga semua cahaya padam satu per satu.

Abi ikut di antara pelayat, merapalkan doa dalam diam. Aroma mawar yang menyengat tiba-tiba memenuhi udara.

Di kejauhan, di ujung jalan setapak menuju pemakaman, Abi melihat sosok perempuan bersimbah darah berdiri dengan satu kaki—wajah pucat, tangan gemetar memegangi mawar merah.

“Laila...” bisiknya.

Laila menangis kesakitan, ia memegangi satu kakinya yang bersimpah darah. Semakin ia menjerit, semakin kencang angin bertiup.

Pak Jamal Ayah Laila pun semakin pilu, ia memegang keranda putrinya dengan tangan gemetar. "Nduk, bantu bapak dan yang lainnya meredam angin ini. Bapak tahu kamu sakit, Nduk. Inshaallah Bapak akan selalu mendoakan kamu, ayo bantu Bapak! " usai Pak Jamal berkata demikian, sosok Laila menghilang bersamaan dengan suasana kembali tenang, obor dinyalakan kembali, lampu penerangan yang tadinya remang pun jadi terang. Akhirnya pemakanan Laila selesai dengan lancar.

***

Malam berganti larut.

Abi baru tiba di rumah selepas isya’. Dyah menyambutnya dengan wajah tegang. Mereka duduk di ruang tamu. Dyah sudah menyiapkan kopi sedari tadi menunggu Abi pulang.

“Gimana, Mas?”

“Parah. Kain kafannya merah semua.”

Dyah terdiam, wajahnya pucat.

“Mas, bunga kedua, apa mungkin akan ada korban lagi?”

Abi menatapnya dalam-dalam.

“Bisa iya, bisa tidak. Kalau mereka berhenti, tidak akan ada korban berikutnya. Tapi kalau tidak...”

Ia berhenti bicara, menatap ke arah Bunga mawar kelopaknya bergetar padahal udara malam begitu diam.

“Mas, kamu dengar sesuatu? "

Abi menajamkan telinga. Tidak ada siapa-siapa. Tapi suara langkah kaki terdengar jelas seperti seseorang berkeliling rumah.

"Abaikan! " ucap Abi ketika Dyah bangkit berniat membuka pintu, mencari tahu asal suara langkah kaki tersebut.

Angin tiba-tiba menelusup masuk melalui celah jendela. Lampu gantung bergoyang pelan. Dari ruang tengah, tercium aroma mawar menyengat—lebih tajam dari biasanya.

“Mas, bau mawar. "

"Jaga anakmu baik-baik. Bunga ke dua itu, Mila."

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Seserahan Kebo Gerang   Lima

    SESERAHAN KEBO GERANG -BAB 5 Tumbal pertama sudah diberikan. Ganang merasakan energi yang tak biasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia tersenyum sambil mengangkat ke dua lengannya ke atas. "Aku sakti, sekarang aku sakti, " ucapnya sambil memegang keris, ia tertawa nyaring di kamarnya. Nurul yang melihat hal itu pun ingin tahu. "Mas, maksudnya gimana?" "Ini urusanku dengan Raden Jalandara. Kamu tidak perlu tahu. " Mata Nurul kemudian beralih pada kotak kayu tempat penyimpanan keris itu dalam almari. Cairan merah pekat meleleh di pinggirannya mengeluarkan bau anyir. "Mas, itu darah apa? " tanyanya hendak menyentuh kotak tersebut, namun dengan cepat Ganang menampik tangannyaMata Ganang melotot, urat matanya mencuat membuat nyali Nurul menciut. "Sudah kubilang jangan ikut campur. " Setelah itu Ganang kembali tertawa dengan sendirinya. Nurul pun memutuskan untuk meninggalkannya sendiri di kamar. Saat ia membuka pintu, ada Rendra-Putra mereka menunggu di balik pintu. "Bapak kenapa, B

  • Seserahan Kebo Gerang   Empat

    Seserahan Kebo Gerang -Bab 4 Enam bulan yang lalu .... Ganang pulang dengan keadaan kalut seperti menyimpan kemarahan malam itu. Ia membuka pintu dengan kasar dan berjalan tanpa melirik Nurul yang tengah duduk di ruang tamu memasang manik-manik pada baju gamis. Keadaan ekonomi yang sulit membuat Nurul harus ikut memutar otak. Ia bekerja di rumah, mengambil baju gamis dari pengepul untuk dipasangi manik-manik. Satu buah gamis dibayar enam ribu rupiah, tetapi untuk itu Nurul kadang membutuhkan waktu cukup lama. Karena sejak hamil, kondisi fisiknya sedikit mudah lelah. "Dari mana, Mas? " tanya Nurul. Namun pertanyaannya sama sekali tidak dijawab oleh Ganang. Nurul menatap punggung Gandang yang berlalu ke arah dapur. "Aneh, " gerutunya sebelum kembali fokus memasang manik-manik. Di dapur, Ganang mengambil segelas air sambil mengerutu panjang. "Sial! Bagaimana bisa Si Agus itu menemukan keris keramat. Sedangkan aku yang hampir tiap minggu memancing di sana tidak menemukan apapun. "

  • Seserahan Kebo Gerang   Tiga

    SESERAHAN KEBO GERANG BAB -3"Dua puluh delapan. Seserahan Kebo Gerang. " Anton-Ayah Pipit-Suami dari Narsih menelan ludah. Tangannya gemetar memegang kertas yang baru ia buat dari tetua kampung. Perhitungan neptu anak dan calon menantunya menunjuk angka dua puluh delapan. Sebuah perhitungan yang sangat dikeramatkan di desa tersebut. Sebuah angka yang membuat bulu kuduk meremang. Konon, neptu tersebut membawa kutukan dan jika dilanggar maka akan membawa mala petakan bagi dirinya sendiri pun juga keluarga. "Lalu, kita harus bagaimana Mas?" tanya Narsih dengan wajah pucat setelah mereka sampai di rumah. "Aku juga bingung. Sedangkan Pipit-" Anton mengacak-acak rambutnya. Pipit putrinya tengah berbadan dua, tak mungkin mereka memutuskan hubungan itu. "Mas, bagaimana kalau kita tanya saja pada Mas Ganang. Siapa tahu dia bisa memberi solusi, " usul Narsih.Anton menatap istrinya ragu, "Mas mu itu bisa apa?" "Mas belum tahu, Mas Ganang sekarang sakti Mas. Dia menemukan keris berpetua

  • Seserahan Kebo Gerang   Dua

    SESERAHAN KEBO GERANG — BAB 2Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya.Tengkuk leher Abi terasa seperti tertiup embusan halus, padahal tak ada angin sama sekali. Bersamaan dengan itu, suara lirih terdengar di telinganya—suara yang seolah datang dari jarak yang tak terjangkau oleh manusia.“Tetepa waspada, ana ingkang nginceng kembang panjenengan. Wonten wekdalipun, piyambakipun badhe nyuwun tanpa panjenengan sumerep, lan menika dados bagéyan saking panyerahing jiwa.”(Berhati-hatilah, ada yang mengincar bungamu. Mereka akan meminta tanpa kalian sadari, dan itu adalah bagian dari penyerahan jiwa.)Abi membuka mata perlahan. Sosok berjubah putih sudah duduk bersila di depannya—tenang, bercahaya, dan tanpa bayangan. Dialah Ki Banyu Wening, jin penjaga tempat suci, yang air wajahnya sebening embun pagi.“Banyu Wening," gumam Abi. Sosok itu menatapnya lembut, matanya teduh seperti danau tak bertepi.Abi menunduk hormat.“Matur suwun sanget, Ki. Panjenengan sampun dipun dhawuh.”

  • Seserahan Kebo Gerang   Satu

    SESERAHAN KEBO GERANG — BAB 1Oleh Nana Shamsy“Nanti, kalau ada yang meminta bunga mawar… jangan diberikan.”Suara Abi terdengar tenang, namun ada sesuatu di balik ketenangan itu—sebuah getar halus yang menimbulkan rasa waswas. Ia meneguk sisa kopi hitam di cangkir, lalu menatap istrinya dalam diam.Dyah yang sejak tadi mengamati sorot mata suaminya, tahu betul—ini bukan pesan biasa.“Ada apa, Mas?” tanyanya lembut, namun wajahnya tegang.Abi menatapnya sekilas. “Pokoknya jangan diberikan. Aku berangkat kerja dulu.”Tanpa menunggu jawaban, ia bangkit dan melangkah pergi.Dyah hanya menatap punggung suaminya hingga menghilang di balik pintu. Dalam hati, timbul tanya yang tak terucap. Tapi Dyah sudah lama mengenal watak suaminya. Abi bukan tipe orang yang bicara tanpa sebab. Jika ia sudah berpesan, maka di baliknya pasti ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.Hari itu, Dyah menyelesaikan pekerjaan rumah dengan gelisah. Setelah semuanya rapi, ia duduk di ruang tamu—menatap

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status