ログインSESERAHAN KEBO GERANG BAB -3
"Dua puluh delapan. Seserahan Kebo Gerang. " Anton-Ayah Pipit-Suami dari Narsih menelan ludah. Tangannya gemetar memegang kertas yang baru ia buat dari tetua kampung. Perhitungan neptu anak dan calon menantunya menunjuk angka dua puluh delapan. Sebuah perhitungan yang sangat dikeramatkan di desa tersebut. Sebuah angka yang membuat bulu kuduk meremang. Konon, neptu tersebut membawa kutukan dan jika dilanggar maka akan membawa mala petakan bagi dirinya sendiri pun juga keluarga. "Lalu, kita harus bagaimana Mas?" tanya Narsih dengan wajah pucat setelah mereka sampai di rumah. "Aku juga bingung. Sedangkan Pipit-" Anton mengacak-acak rambutnya. Pipit putrinya tengah berbadan dua, tak mungkin mereka memutuskan hubungan itu. "Mas, bagaimana kalau kita tanya saja pada Mas Ganang. Siapa tahu dia bisa memberi solusi, " usul Narsih. Anton menatap istrinya ragu, "Mas mu itu bisa apa?" "Mas belum tahu, Mas Ganang sekarang sakti Mas. Dia menemukan keris berpetuah." Ganang adalah kakak kandung Narsih yang sangat terobsesi dengan dunia mistis. "Kalau memang bisa, kamu urus aja. Aku sudah nggak bisa berpikir lagi," tukas Anton. Ia menatap foto Pipit di dinding. Putrinya manja, cantik dan kini, ia malah membuatnya hampir hilang akal. Sebagai seorang ayah ia merasa gagal mendidik Pipit, putri semata wayangnya. Anton terlalu memanjakan dirinya selama ini, ia turuti apapun yang diminta oleh Pipit. Ternyata hal itu malah membuat Pipit melampaui batasnya. Kandungan pipit sudah menginjak tiga bulan, hal itulah yang membuat Anton harus buru-buru menikahkannya, tetapi perutnya masih terlihat rata karena selama ini Pipit menyembunyikan kehamilannya di balik baju nya yang longgar pun juga seorang bayi yang tidak diinginkan kehadirannya akan menyembunyikan dirinya sendiri meski berada di dalam rahim ibunya. Itulah sebab nya tidak ada yang curiga dengan keadaan Pipit. Ia juga tidak mengalami mual muntah seperti yang di alami ibu hamil pada umumnya. "Ya sudah, Mas tenang saja. Aku akan ke rumah Mas Ganang sendiri, kamu di rumah saja." Dalam bilik kamar 3x3 itu Narsih dan suaminya sedikit berdebat. Sementara itu, di kamarnya Pipit begitu sibuk memilih dekor impiannya. Di matanya hanya ada bunga, perhiasan, tas dan sepatu. Ia tak tahu di luar sana arwah-arwah leluhur sedang berbisik resah. Benar adanya, sikap manja yang selama ini ia rasakan membuat Pipit tak memiliki rasa bersalah. Hanya sedikit rasa takut awalnya, tetapi begitu Ayah dan Ibunya bisa menerima, beban di bahu nya seolah hilang. Pesta mewah dengan riasan cantik, kehebohan pestanya nanti bersama teman-temannya terus berputar di kepalanya. Itu saja yang ia pikirkan. Keluarga Anton memang kaya, beruntung Narsih diperistri olehnya. Berbanding terbalik dengan keadaan Ganang dan orang tuanya. Narsih memiliki rumah yang cukup besar di kampung, Anton memiliki usaha bahan bangunan, sehingga Narsih hidup dengan mapan. *** "Jadi gimana Mas?" tanya Narsih begitu sampai di rumah Ganang. "Gampang, lemparkan saja sengkolo itu ke orang lain." "Memang bisa, Mas?" Ganang tersenyum tipis, bibirnya hampir tak bergerak,."Kamu meragukanku? Narsih terdiam. Dia tahu betul kakaknya itu bukan siapa-siapa sebelum menemukan keris pusaka di sungai. Namun kini Ganang sudah berubah, dia bukanlah Ganang yang dulu. " Tenang, biar aku yang urus. Kamu hanya perlu mengikuti petunjukku. Di acara pesta pernikahan Pipit Nanti, mintalah dua tangkai bunga mawar milik Abi." "Bunga mawar?" "Ya, bunga mawar. Minta bunga itu secara langsung, agar kamu mendapatkan izin. Tanpa izin seserahan itu tidak akan berpindah." "Izin?" "Kamu tak ingin Pipit mati, kan?" Narsih menjawab cepat, "Nggak! Nggak, Mas." "Kalau begitu, biar anak-anak Abi yang menggantikan. Paham maksudku." Mata Narsih terbelalak. Jujur dari lubuk hatinya yang paling dalam ia tak mau berbuat seperti itu, akan tetapi dia begitu menyayangi Pipit. Logikanya mati membayangkan semyum pipit di pelaminan nanti. *** Narsih pun pulang dengan hati lega, ia menyampaikan hal itu kepada suaminya dengan sedikit cerita berbeda. Tentu saja Narsih tidak ingin membuat kakaknya terlihat jahat di mata suaminya. "Bagaimana?" tanya Anton begitu Narsih pulang. "Bisa, kata Mas Ganang. Dia akan membuat ruwatan di acara manten nanti. Oh iya Mas. Mas Ganang membutuhkan beberapa ekor ayam cemani. Mas tahu kan harga ayam cemani itu tidak murah. Kata Mas Ganang, itu buat tolak bala." "Hanya itu?" Narsih mengangguk. "Iya, Mas." "Baiklah, dia butuh berapa. Biar aku siapkan uangnya." "Sudah kok, Mas. Semua sudah beres. Aku hanya nggak mau Mas mempertanyakan perkara uang itu nantinya." "Berapapun yang diperlukan bayar, kalau itu bisa membuat pernikahan ini baik-baik saja." "Iya, Mas." Sementara yang Anton tahu, mereka hanya menolak bala, sedangkan Narsih menyiapkan sesuatu yang lebih dari itu. Merasa lega, Anton pun fokus mempersiapkan acara pernikahan Pipit dengan waktu yang cukup singkat. Tujuh hari sebelum pernikahan, Ganang mulai ritualnya. Ia membeli delapan ekor ayam cemani, lalu dua di antaranya dilemparkannya ke atap rumah Narsih bersama baju ke dua calon mempelai. Darah hitam ayam itu menetes, merembes di genting, jatuh seperti hujan kecil. Warna hitam legam ayam cemani dianggap sebagai simbol kekuatan dan mistis, menjadikannya simbol perantara antara dunia manusia dan dunia spiritual. Dari sana Dyah yang kebetulan lewat sudah mulai curiga, untuk apa ayam cemani di atap rumah pengantin. Hari pernikahan tiba. Suara gamelan bertalu-talu, wangi bunga menyelimuti ruangan. Pipit tampak cantik di pelaminan, wajahnya berseri tanpa tahu badai di balik senyumnya. Di tengah riuh tamu, Narsih pergi ke rumah Dyah untuk meminta bunga. Namun Dyah tolak mentah-mentah permintaan itu. Narsih panik, wajahnya pucat pasi. Ia segera menemui Ganang. “Dyah tak mau memberikan bunganya, Mas. Sekarang bagaimana?” Ganang mendengus marah. “Sial. Mereka pasti tahu maksud kita.” Tatapan matanya berubah dingin, penuh dendam. “Minta ke yang lain. Sekarang. Kita tak punya waktu.” Narsih pun pergi ke rumah Ismawati — tak tahu bahwa yang ia lakukan justru telah mengundang maut tak berkesudahan. Malamnya, bunga itu diletakkan di samping keris pusaka. Di bawah cahaya lampu redup, kelopak bunga perlahan menghitam, lalu di hari ke tujuh, tepatnya saat Laila mengalami kecelakaan bunga itu mengalirkan darah segar. Ganang menyunghing senyum. “Persembahan telah diterima.” *** Next .... Sesungguhnya. Seserahan Kebo Gerang tak bisa dialihkan. Kutukan itu hanya menunggu giliran. Dari Penulis Bapakku Dukun #NanaShamsySESERAHAN KEBO GERANG -BAB 5 Tumbal pertama sudah diberikan. Ganang merasakan energi yang tak biasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia tersenyum sambil mengangkat ke dua lengannya ke atas. "Aku sakti, sekarang aku sakti, " ucapnya sambil memegang keris, ia tertawa nyaring di kamarnya. Nurul yang melihat hal itu pun ingin tahu. "Mas, maksudnya gimana?" "Ini urusanku dengan Raden Jalandara. Kamu tidak perlu tahu. " Mata Nurul kemudian beralih pada kotak kayu tempat penyimpanan keris itu dalam almari. Cairan merah pekat meleleh di pinggirannya mengeluarkan bau anyir. "Mas, itu darah apa? " tanyanya hendak menyentuh kotak tersebut, namun dengan cepat Ganang menampik tangannyaMata Ganang melotot, urat matanya mencuat membuat nyali Nurul menciut. "Sudah kubilang jangan ikut campur. " Setelah itu Ganang kembali tertawa dengan sendirinya. Nurul pun memutuskan untuk meninggalkannya sendiri di kamar. Saat ia membuka pintu, ada Rendra-Putra mereka menunggu di balik pintu. "Bapak kenapa, B
Seserahan Kebo Gerang -Bab 4 Enam bulan yang lalu .... Ganang pulang dengan keadaan kalut seperti menyimpan kemarahan malam itu. Ia membuka pintu dengan kasar dan berjalan tanpa melirik Nurul yang tengah duduk di ruang tamu memasang manik-manik pada baju gamis. Keadaan ekonomi yang sulit membuat Nurul harus ikut memutar otak. Ia bekerja di rumah, mengambil baju gamis dari pengepul untuk dipasangi manik-manik. Satu buah gamis dibayar enam ribu rupiah, tetapi untuk itu Nurul kadang membutuhkan waktu cukup lama. Karena sejak hamil, kondisi fisiknya sedikit mudah lelah. "Dari mana, Mas? " tanya Nurul. Namun pertanyaannya sama sekali tidak dijawab oleh Ganang. Nurul menatap punggung Gandang yang berlalu ke arah dapur. "Aneh, " gerutunya sebelum kembali fokus memasang manik-manik. Di dapur, Ganang mengambil segelas air sambil mengerutu panjang. "Sial! Bagaimana bisa Si Agus itu menemukan keris keramat. Sedangkan aku yang hampir tiap minggu memancing di sana tidak menemukan apapun. "
SESERAHAN KEBO GERANG BAB -3"Dua puluh delapan. Seserahan Kebo Gerang. " Anton-Ayah Pipit-Suami dari Narsih menelan ludah. Tangannya gemetar memegang kertas yang baru ia buat dari tetua kampung. Perhitungan neptu anak dan calon menantunya menunjuk angka dua puluh delapan. Sebuah perhitungan yang sangat dikeramatkan di desa tersebut. Sebuah angka yang membuat bulu kuduk meremang. Konon, neptu tersebut membawa kutukan dan jika dilanggar maka akan membawa mala petakan bagi dirinya sendiri pun juga keluarga. "Lalu, kita harus bagaimana Mas?" tanya Narsih dengan wajah pucat setelah mereka sampai di rumah. "Aku juga bingung. Sedangkan Pipit-" Anton mengacak-acak rambutnya. Pipit putrinya tengah berbadan dua, tak mungkin mereka memutuskan hubungan itu. "Mas, bagaimana kalau kita tanya saja pada Mas Ganang. Siapa tahu dia bisa memberi solusi, " usul Narsih.Anton menatap istrinya ragu, "Mas mu itu bisa apa?" "Mas belum tahu, Mas Ganang sekarang sakti Mas. Dia menemukan keris berpetua
SESERAHAN KEBO GERANG — BAB 2Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya.Tengkuk leher Abi terasa seperti tertiup embusan halus, padahal tak ada angin sama sekali. Bersamaan dengan itu, suara lirih terdengar di telinganya—suara yang seolah datang dari jarak yang tak terjangkau oleh manusia.“Tetepa waspada, ana ingkang nginceng kembang panjenengan. Wonten wekdalipun, piyambakipun badhe nyuwun tanpa panjenengan sumerep, lan menika dados bagéyan saking panyerahing jiwa.”(Berhati-hatilah, ada yang mengincar bungamu. Mereka akan meminta tanpa kalian sadari, dan itu adalah bagian dari penyerahan jiwa.)Abi membuka mata perlahan. Sosok berjubah putih sudah duduk bersila di depannya—tenang, bercahaya, dan tanpa bayangan. Dialah Ki Banyu Wening, jin penjaga tempat suci, yang air wajahnya sebening embun pagi.“Banyu Wening," gumam Abi. Sosok itu menatapnya lembut, matanya teduh seperti danau tak bertepi.Abi menunduk hormat.“Matur suwun sanget, Ki. Panjenengan sampun dipun dhawuh.”
SESERAHAN KEBO GERANG — BAB 1Oleh Nana Shamsy“Nanti, kalau ada yang meminta bunga mawar… jangan diberikan.”Suara Abi terdengar tenang, namun ada sesuatu di balik ketenangan itu—sebuah getar halus yang menimbulkan rasa waswas. Ia meneguk sisa kopi hitam di cangkir, lalu menatap istrinya dalam diam.Dyah yang sejak tadi mengamati sorot mata suaminya, tahu betul—ini bukan pesan biasa.“Ada apa, Mas?” tanyanya lembut, namun wajahnya tegang.Abi menatapnya sekilas. “Pokoknya jangan diberikan. Aku berangkat kerja dulu.”Tanpa menunggu jawaban, ia bangkit dan melangkah pergi.Dyah hanya menatap punggung suaminya hingga menghilang di balik pintu. Dalam hati, timbul tanya yang tak terucap. Tapi Dyah sudah lama mengenal watak suaminya. Abi bukan tipe orang yang bicara tanpa sebab. Jika ia sudah berpesan, maka di baliknya pasti ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.Hari itu, Dyah menyelesaikan pekerjaan rumah dengan gelisah. Setelah semuanya rapi, ia duduk di ruang tamu—menatap