共有

Empat

作者: Nana Shamsy
last update 最終更新日: 2025-11-17 21:56:18

Seserahan Kebo Gerang -Bab 4

Enam bulan yang lalu ....

Ganang pulang dengan keadaan kalut seperti menyimpan kemarahan malam itu. Ia membuka pintu dengan kasar dan berjalan tanpa melirik Nurul yang tengah duduk di ruang tamu memasang manik-manik pada baju gamis.

Keadaan ekonomi yang sulit membuat Nurul harus ikut memutar otak. Ia bekerja di rumah, mengambil baju gamis dari pengepul untuk dipasangi manik-manik. Satu buah gamis dibayar enam ribu rupiah, tetapi untuk itu Nurul kadang membutuhkan waktu cukup lama. Karena sejak hamil, kondisi fisiknya sedikit mudah lelah.

"Dari mana, Mas? " tanya Nurul. Namun pertanyaannya sama sekali tidak dijawab oleh Ganang. Nurul menatap punggung Gandang yang berlalu ke arah dapur.

"Aneh, " gerutunya sebelum kembali fokus memasang manik-manik.

Di dapur, Ganang mengambil segelas air sambil mengerutu panjang. "Sial! Bagaimana bisa Si Agus itu menemukan keris keramat. Sedangkan aku yang hampir tiap minggu memancing di sana tidak menemukan apapun. "

Ganang mendengkus kesal. Ia berpikir seandainya saja dia yang menemukan keris itu, maka Ganang akan bisa menjadi orang pintar seperti Abi. Di mata Ganang kehidupan Abi terlihat mapan. Ia sering dijemput oleh pasiennya yang memakai mobil, bahkan berderagam, lalu pulang dengan banyak oleh-oleh. Dyah selalu membagi-bagikan oleh-oleh itu kepada anak-anak tetangga.

Aaarrrrgggg!

Ganang membanting gelas untuk meluapkan kekesalannya.

Nurul yang mendengar kegaduhan itu pun buru-buru berlari ke arah dapur.

"Mas, ada apa? "

"Nggak papa, " jawabnya singkat dengan napas mendengkus. Wajahnya merah padam.

"Bersihkan pecahan gelas itu, aku mau mandi. "

Nurul hanya diam, dia tahu betul watak suaminya. Meski sedikit lelah, ia segera membersihkan pecahan gelas untuk menghindari debat.

***

Malam itu Ganang tidak bisa tidur. Pikirannya terus melayang kepada Agus.

"Nang, aku menemukan sebuah keris," bisik Agus saat mereka secara tidak sengaja bertemu di warung.

"Keris apa?"

"Ayo, ke rumah." Agus pun mengajak Ganang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Agus menunjukan keris sepanjang lima belas senti meter padanya.

Keris itu memiliki aura mistis yang sangat kuat. Ganang sempat larut saat memandang keris dengan ukiran naga itu. Seperti ada panggilan halus yang menghipnotis dirinya.

Saat Ganang memegangnya, Ganang merasakan energi panas yang menjalar cepat ke seluruh tubuhnya.

"Keris ini .... " Ganang terpaku. Tangannya sedikit gemetar. Rasanya ia ingin mengambil keris itu dan membawanya pulang.

"Di mana kamu mendapatkannya, Gus? " Ganang pura-pura tidak tertarik. Ia meletakkan keris itu di meja.

"Aku menemukannya di pinggir sungai tempat kita biasa mancing, di dekat pohon beringin."

"Kapan? "

"Kemarin."

"Ah, yang benar kamu. Kemarin aku mancing nggak ketemu sama kamu. "

"Aku langsung balik, begitu menemukan keris ini Nang. "

"Jam berapa? "

"Sore, udah mau magrib itulah, " ujar Agus menjelaskan.

"Oh, pantes. Aku udah pulang, " ucap Ganang mencoba rilex meski dalam hatinya bergejolak kesal, padahal dia lebih dahulu ke sana, kenapa justru Agus yang menemukan keris itu.

"Mau kamu apakan keris ini, dijual? "

"Nggak dulu, sementara mau aku simpan saja, " jawab Agus.

"Kalau mau dijual bllang sama aku. Aku kenal orang yang suka mengoleksi benda antik. Oh, iya, jangan cerita pada siapapun kalau kamu menemukan keris ini. Takutnya malah dicuri, rugi kamu. "

"Nggak."

"Pokoknya kalau mau jual, sama aku aja. "

"Beres."

Mata Ganang terus melihat ke arah keris tersebut tanpa Agus sadari.

***

Keesokan harinya, seperti biasa kalau sedang nganggur, Ganang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mancing. Lumayan hasilnya bisa buat lauk.

Di saat itulah ia bertemu dengan Agus yang sudah berada di atas motor hendak pulang.

"Gus, mau pulang aja, aku baru mau mancing, " Sapanya, "Kamu kenapa pucat gitu, sakit? "

"Aku baru saja mengembalikan keris yang aku temukan ke tempatnya. "

Dahi Ganang mengekerut, "Maksudmu? Keris yang kemarin itu? "

"Iya."

"Kenapa? "

"Kamu nggak akan percaya kalau aku ceritakan kejadiannya." Suara Agus gemetar.

"Halah kamu ini masa sama begituan takut. Jadi kamu taruh di mana kerisnya? Biar tak ambil. "

"Jangan! Lebih baik jangan! Keris itu bukan untuk manusia, Nang! "

"Tenang. Aku bukan manusia biasa, " kata Ganang sambil menepuk dada. Agus hanya diam, melihat punggung Ganang yang melangkah pergi dengan penuh keyakinan. Tak mau melihat keris itu lagi, Agus buru-buru pergi.

Ganang segera mencari keris tersebut di dekat pohon beringin. Bibirnya seketika merekah ketika melihat keris itu tergeletak di sana. Ia mengambilnya. Ganang bahkan mencium keris itu berkali-kali. Ganang tertawa terbahak seperti orang gila. "Aku akan kaya, akan kumanfaatkan keris ini sebaik-baiknya. Aku akan jadi orang hebat."

Tak jadi memancing, Ganang pulang dengan hati riang. Ia memetik beberapa tangkai bunga mawar, bunga melati, dan bunga-bungaan yang ada di sepanjang jalan tanpa meminta izin pemiliknya.

Sesampainya di rumah, Ganang memandikan keris itu dengan air kembang.

"Apa itu, Mas? " tanya Nurul, "kamu dapat dari mana keris itu! "

"Aku menemukannya di sungai. "

"Terus, kenapa kamu mandikan pakai air kembang? "

"Itu permintaan keris ini. Dia mau dimandikan dengan air kembang. Kamu mau kaya kan, Dik? "

"Ya, tentu saja. "

"Keris ini yang akan membantu kita. Aku akan diantar jemput mobil, kamu akan aku belikan perhiasan yang banyak. Kamu nggak perlu lagi memasang manik-manik. "

Nurul menggelengkan kepalanya sambil tersenyum "Memang gimana caranya. "

"Aku akan mengobati orang-orang seperti Abi. "

Nurul terkesima. Benar juga "Emang kamu bisa, Mas? "

"Kenapa tidak? Aku sudah punya keris ini. "

Nurul mulai percaya, dia duduk lebih dekat dengan Ganang. "Apa keris itu bicara? " tanyanya penasaran.

Ganang menatap keris itu cukup lama sebelum menjawab "Iya, namanya Raden Jalandara. "

Tetiba angin berhembus ketika Ganang menyebut nama itu. Menjatuhkan beberapa peralatan masak di dapur.

"Mas, " Lirih Nurul sedikit takut. Sekujur tubuhnya merinding.

"Kamu marasakannya kan? Ini Raden Jalandara. Dia yang akan membantu kita jadi kaya raya."

Suasana tetiba menegang. Nurul tak lagi banyak bicara, ia memperhatikan Ganang yang terlihat sangat gembira. Tak ada sedikitpun rasa takut di wajahnya, berbeda dengan Nurul, ia membayangkan sosok yang disebut suaminya. Bagaimana bentuknya, apakah tampan seperti namanya atau justru sebaliknya.

Ganang membalut keris itu dengan kain putih. Dan menyimpannya di dalam almari. Nanti malam ia akan memulai ritual dari bisikan yang ia dapat.

***

Pukul 12 malam, karena tidak bisa tidur, Ganang mengeluarkan keris itu di saat Nurul tengah tertidur lelap. Ganang membawa keris itu ke ruang tengah.

Ia membuka bungkusan keris tersebut. Jujur, Ganang juga tak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia ke orang pintar untuk bisa mengendalikan Raden Jalanandra. Namun, tak berapa lama, keris itu berdiri seolah ada yang menopangnya, asap tipis mulai keluar seolah keris itu terbakar. Ganang sangat terkejut, ia beringsut mundur.

Asap itu semakin pekat. Ruangan berubah menjadi lembab dan dingin, namun kulit Ganang justru terasa panas. Nafasnya berat, seperti ada beban di dadanya.

Bayangan besar itu mulai menampakkan wujud. Wajahnya samar—antara manusia dan sesuatu yang lebih purba. Matanya merah seperti bara api, namun suaranya tenang, dalam, dan memantul di dinding-dinding rumah.

“Engkau memanggilku dengan bunga dan air dari bumi.”

Ganang menelan ludah tak berkutik.

“Siapa namamu?"

“Ganang,” jawabnya terbata, namun matanya berbinar.

“A-aku ingin… kaya. Dihormati. Hidupku berubah.”

Bayangan itu bergerak, mendekat. Bau kemenyan bercampur amis besi memenuhi udara.

“Kau ingin kaya?”

“Iya.”

“Kau ingin dihormati?”

“Iya.”

“Kau ingin mereka tunduk di bawah kakimu?”

“Iya! Semua! Semua yang meremehkanku!”

Raden Jalanandra tersenyum samar. Bibirnya tidak bergerak, tapi suaranya menembus langsung ke kepala Ganang.

“Segala sesuatu ada tebusannya, Ganang.”

“Apapun." Suara Ganang bergetar, namun hasrat dalam matanya menyala.

“Kau yakin?"

Ganang menelan ludah. “Aku yakin."

Sosok itu menunduk. Dari tubuhnya, keluar tangan-tangan hitam yang menjulur perlahan ke arah Ganang. Salah satunya menyentuh dahi Ganang—dingin seperti batu nisan.

“Baik. Aku terikat oleh panggilanmu. Mulai malam ini, kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan. Tapi pada waktunya nanti, aku juga akan menagih hakku.”

“Apapun itu, aku setuju.”

"Pejamkan matamu."

Ganang memejamkan mata. Ia mengulang kata demi kata yang dibisikkan ke telinganya—bahasa yang tak ia mengerti, namun lidahnya menuruti.

Suara itu menggetarkan lantai, membuat piring di rak berjatuhan satu per satu.

“Mulai malam ini, darahmu adalah jalanku. Nafasmu adalah nyawaku. Kau akan menjadi tangan dan lidahku di dunia manusia.”

Setelah kalimat terakhir terucap, keris di depannya bergetar keras. Nyala biru muncul di bilahnya, lalu—

Cahaya menyilaukan membutakan mata Ganang.

Seketika ia membuka mata, Ganang sangat terkejut. "Apa ini? Aku bermimpi, " ucapnya begitu mendapati dirinya di atas kasur.

“I-itu tadi cuma mimpi… tapi…”

Ganang turun dari tempat tidur berjalan ke arah almari memeriksa apakah keris itu masih ada di sana.

"Syukurlah." Ganang bernapas lega mendapati keris itu masih ada di tempatnya. Ia menggenggam keris itu erat, merasakan panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Tiba-tiba ....

Braak!

Pintu jendela terbuka dengan sendirinya seolah didorong oleh energi yang kuat. Angin berputar masuk, membawa bisikan berat.

D A R A H ….

Ganang terpaku. Senyumnya perlahan menyerigai, ia menganggukan kepala tanda setuju.

D A R A H ....

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Seserahan Kebo Gerang   Lima

    SESERAHAN KEBO GERANG -BAB 5 Tumbal pertama sudah diberikan. Ganang merasakan energi yang tak biasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia tersenyum sambil mengangkat ke dua lengannya ke atas. "Aku sakti, sekarang aku sakti, " ucapnya sambil memegang keris, ia tertawa nyaring di kamarnya. Nurul yang melihat hal itu pun ingin tahu. "Mas, maksudnya gimana?" "Ini urusanku dengan Raden Jalandara. Kamu tidak perlu tahu. " Mata Nurul kemudian beralih pada kotak kayu tempat penyimpanan keris itu dalam almari. Cairan merah pekat meleleh di pinggirannya mengeluarkan bau anyir. "Mas, itu darah apa? " tanyanya hendak menyentuh kotak tersebut, namun dengan cepat Ganang menampik tangannyaMata Ganang melotot, urat matanya mencuat membuat nyali Nurul menciut. "Sudah kubilang jangan ikut campur. " Setelah itu Ganang kembali tertawa dengan sendirinya. Nurul pun memutuskan untuk meninggalkannya sendiri di kamar. Saat ia membuka pintu, ada Rendra-Putra mereka menunggu di balik pintu. "Bapak kenapa, B

  • Seserahan Kebo Gerang   Empat

    Seserahan Kebo Gerang -Bab 4 Enam bulan yang lalu .... Ganang pulang dengan keadaan kalut seperti menyimpan kemarahan malam itu. Ia membuka pintu dengan kasar dan berjalan tanpa melirik Nurul yang tengah duduk di ruang tamu memasang manik-manik pada baju gamis. Keadaan ekonomi yang sulit membuat Nurul harus ikut memutar otak. Ia bekerja di rumah, mengambil baju gamis dari pengepul untuk dipasangi manik-manik. Satu buah gamis dibayar enam ribu rupiah, tetapi untuk itu Nurul kadang membutuhkan waktu cukup lama. Karena sejak hamil, kondisi fisiknya sedikit mudah lelah. "Dari mana, Mas? " tanya Nurul. Namun pertanyaannya sama sekali tidak dijawab oleh Ganang. Nurul menatap punggung Gandang yang berlalu ke arah dapur. "Aneh, " gerutunya sebelum kembali fokus memasang manik-manik. Di dapur, Ganang mengambil segelas air sambil mengerutu panjang. "Sial! Bagaimana bisa Si Agus itu menemukan keris keramat. Sedangkan aku yang hampir tiap minggu memancing di sana tidak menemukan apapun. "

  • Seserahan Kebo Gerang   Tiga

    SESERAHAN KEBO GERANG BAB -3"Dua puluh delapan. Seserahan Kebo Gerang. " Anton-Ayah Pipit-Suami dari Narsih menelan ludah. Tangannya gemetar memegang kertas yang baru ia buat dari tetua kampung. Perhitungan neptu anak dan calon menantunya menunjuk angka dua puluh delapan. Sebuah perhitungan yang sangat dikeramatkan di desa tersebut. Sebuah angka yang membuat bulu kuduk meremang. Konon, neptu tersebut membawa kutukan dan jika dilanggar maka akan membawa mala petakan bagi dirinya sendiri pun juga keluarga. "Lalu, kita harus bagaimana Mas?" tanya Narsih dengan wajah pucat setelah mereka sampai di rumah. "Aku juga bingung. Sedangkan Pipit-" Anton mengacak-acak rambutnya. Pipit putrinya tengah berbadan dua, tak mungkin mereka memutuskan hubungan itu. "Mas, bagaimana kalau kita tanya saja pada Mas Ganang. Siapa tahu dia bisa memberi solusi, " usul Narsih.Anton menatap istrinya ragu, "Mas mu itu bisa apa?" "Mas belum tahu, Mas Ganang sekarang sakti Mas. Dia menemukan keris berpetua

  • Seserahan Kebo Gerang   Dua

    SESERAHAN KEBO GERANG — BAB 2Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya.Tengkuk leher Abi terasa seperti tertiup embusan halus, padahal tak ada angin sama sekali. Bersamaan dengan itu, suara lirih terdengar di telinganya—suara yang seolah datang dari jarak yang tak terjangkau oleh manusia.“Tetepa waspada, ana ingkang nginceng kembang panjenengan. Wonten wekdalipun, piyambakipun badhe nyuwun tanpa panjenengan sumerep, lan menika dados bagéyan saking panyerahing jiwa.”(Berhati-hatilah, ada yang mengincar bungamu. Mereka akan meminta tanpa kalian sadari, dan itu adalah bagian dari penyerahan jiwa.)Abi membuka mata perlahan. Sosok berjubah putih sudah duduk bersila di depannya—tenang, bercahaya, dan tanpa bayangan. Dialah Ki Banyu Wening, jin penjaga tempat suci, yang air wajahnya sebening embun pagi.“Banyu Wening," gumam Abi. Sosok itu menatapnya lembut, matanya teduh seperti danau tak bertepi.Abi menunduk hormat.“Matur suwun sanget, Ki. Panjenengan sampun dipun dhawuh.”

  • Seserahan Kebo Gerang   Satu

    SESERAHAN KEBO GERANG — BAB 1Oleh Nana Shamsy“Nanti, kalau ada yang meminta bunga mawar… jangan diberikan.”Suara Abi terdengar tenang, namun ada sesuatu di balik ketenangan itu—sebuah getar halus yang menimbulkan rasa waswas. Ia meneguk sisa kopi hitam di cangkir, lalu menatap istrinya dalam diam.Dyah yang sejak tadi mengamati sorot mata suaminya, tahu betul—ini bukan pesan biasa.“Ada apa, Mas?” tanyanya lembut, namun wajahnya tegang.Abi menatapnya sekilas. “Pokoknya jangan diberikan. Aku berangkat kerja dulu.”Tanpa menunggu jawaban, ia bangkit dan melangkah pergi.Dyah hanya menatap punggung suaminya hingga menghilang di balik pintu. Dalam hati, timbul tanya yang tak terucap. Tapi Dyah sudah lama mengenal watak suaminya. Abi bukan tipe orang yang bicara tanpa sebab. Jika ia sudah berpesan, maka di baliknya pasti ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.Hari itu, Dyah menyelesaikan pekerjaan rumah dengan gelisah. Setelah semuanya rapi, ia duduk di ruang tamu—menatap

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status