Share

PART 10

     Saat mereka menikmati hidangan dengan kepiting Alaska, baik Ningrum maupun Radit hanya sekali-sekali membicara sesuatu hal. Dan itu pun didominasi oleh Ningrum. Entah mengapa, saat itu ia merasa jauh lebih dekat dengan bawahannya itu. Ia lebih sering melihat ke depan. Ia juga merasa, behwa ternyata Raditya  pria yang simpatik, juga tampan, tentunya. Hal yang selama ini seolah-olah luput dari penilaiannya.

     Saat keduanya sedang menikmati makan siang itu, kegiatan tangan Radit di atas piring tiba-tiba terhenti. Pandangan matanya terpaku pada dua tamu restoran yang saat itu mengambil meja di pojok lain ruangan restoran. Itu adalah Nagita bersama seorang laki-laki. Radit merasa tak asing dengan laki-laki yang datang bersama istrunya itu. 

     Tanpa diketahui oleh Ningrum, Radit terus mengarahkan pandangannya ke arah itu. Ketika tiba-tiba laki-laki itu melap bagian wajah Nagita menggunakan tisu, darahnya  berdesir cepat. Saat itu juga ia merasa telah dicurangi oleh Nagita. Selera makanya pun padam seketika. Ia melemparkan begitu saja garpu dan pisau yang dipegangnya di atas piring kepiting di hadapannya.

       Ningrum dibuat kaget dan spontan menatap wajah Radit. Dan spontan pula ia mengikuti arah pandangan matanya Radit. Ia melihat si pria meraih kedua tangan si wanita dan memain-mainkan jari jemarinya.

     “Siapa mereka, Pak Radit ...?”

     Raditya bukannya menjawab tetapi langsung berdiri dan melangkah ke arah kasir, untuk membayar makanan. Kemudian kembali lagi sambil berkata, “Ayo kita keluar dari restoran ini. Keluar lewat pintu kanan itu saja.”

      Ningrum yang masih diliputi keheranan cepat-cepat mengahiri makannya dengan menyedot pipet oranye juice-nya.

      “Maafkan saya atak ketidaknyamanan ini, Bu Ningrum,” ucap Radit ketika keduanya telah berada dalam kendaraan.

      “Iya, tak apa-apa, Pak Radit,” sahut Ningrum. “Hanya saya saya masih merasa heran, mengapa Pak Radit tiba-tiba seperti menahan emosi saat melihat pasangan pria dan wanita tadi. Siapa mereka?”

       “Dia Nagita, istri saya,” jawab Radit santai sembari memutar kunci kontak.

       Namun jawaban itu tak urung membuat Ningrum terperangah. “Jadi barusan ... istrinya Pak Radit? Lalu yang laki-laki siapa?”

     “Entah, Bu.”

     Tak ada lagi yang bersuara. Ningrum pun tak berani mengeluarkan komentar apa-apa selain menyandarkan kepadalnya pada sandaran sofa mobilnya lalu memejamkan matanya. Hanya saja, ia bisa merasakan bagaimana perasaan laki-laki di sampingnya saat itu. Di sisi lain, rasa kagumnya pun tumbuh atas kematangan mental bawahannya sehingga mampu menahan diri untuk tidak melakukan hal apa pun dan lebih memilih untuk menghindarinya.

       Radit tiba-tiba ingat, bahwa pria yang bersama Nagita di restoran itu adalah laki-laki yang pernah ia lihat di gerai perhiasan di sebuah mega mall di kawasan Senayan tempo hari.

      “Jangan-jangan kalung berliontinkan safir biru itu buat nagita ...? Oh tidak! Jika laki-laki benar kalung mewah itu buat Nagita, maka Nagita benar-benar telah bermain api di belakang aku!” geramnya.

     Dari kantor Raditya langsung pulang ke rumahnya. Ia sudah merasa hilang mood untuk menerima order dari calon penumpang ojengnya.  Bahkan ia off-kan aplikasinya.

     Sesampai di rumah, tanpa banyak bicara ia langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu kamarnya dari dalam. Dengan masih menyimpan kecurigaan yang tinggi, ia langsung membuka laci-laci meja rias milik Nagita. Ia tak menemukan apa yang dicarinya di situ.

     Selanjutnya ia mengangkat kasur siapa tahu di disimpan di situ, tapi juga tak ada.  Saat ia menoleh ke lemarinya sang istri, kecurigaannya ada di situ. Lemari itu tertutup dan terkunci, namun anak kuncinya masih terpasang. Mungkin Nagita lupa mencabut dan membawanya seperti biasanya.

     Lemari besar yang terbuat dari kayu jati itu dibuka lalu mengangkat satu per satu lipatan pakaian pada tiap-tiap tingkatnya. Tak ada. Namun saat ia menyingkirkan bagian bawah pakaian di gantung di bagian sebelahnya, Radit melihat sebuah kotak perhiasan. Kotak itu dikeluarkannya dan di buka. Ada banyak perhiasan Nagita di situ, dan sudah pernah ia lihat. Di situ juga ada sebuah  wadah merah berbentuk  hati . Ia mengambilnya dan membukanya.

     Ketika melihat isinya, mata Radit langsung terbelalak. Ia pun geram, terlebih saat dilihat surat pembelian barang mewah itu, tanggal pembelian, serta tempat membelinya.

      “Keparat! Dia benar-benar telah bermain api di belakang aku!” teriaknya. Dan ...

     Bugghk ....!!

     Satu pukulan keras ia hantamkan pada tembok rumah. Sesaat kemudian ia mendengar ibu mertuanya, Bu Ratri, mengetuk pintu kamarnya sembari memanggil namanya berkali-kali.

     Radit memutar anak kunci dan membuka pintu kamar. Ibu mertuanya langsung bertanya, “Ada apa, Dit? Kamu lagi marah-marah, ya?”

     “Nagita telah menghianati aku, Bu!” ucap Radit tanpa melihat wajah ibu mertuanya. “Di luar dia bermain gila dengan laki-laki lain.”

    “Apa ...??” Kedua mata Bu Ratri membuklat sempurna. “Kamu jangan asal menuduh, Dit, tak baik! Menuduh istri berbuat curang itu dosanya sangat besar!”

     “Aku tidak menuduh, Bu, tapi melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri! Tadi di restoran pas aku makan siang, dia datang ke tempat itu bersama seorang laki-laki. Laki-laki itu melap wajah Nagita dengan tisu dan mereka saling berpegangan tangan! Apakah itu perbuatan yang wajar bagi seorang wanita yang sudah bersuami, Bu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status