Beberapa menit kemudian terdengar ketukan di pintu. “Ya, silakan masuk,” ucap Radit. “Selamat siang, Mas,” salam Ningrum sembari menutup kembali pintunya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” Raditya menatap wajah wanita di depannya dan tersenyum. “Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Raditya. “Alhamdulillah baik, Mas.” “Tadi malam Ning punya mimpi apa?” “Mimpi?” Kedua Ningrum saling merapat. Terasa ada semacam kejanggalan yang ia rasakan dalam pertanyaan itu. “Malah aku nggak sempet mimpi kayaknya, Mas. Tidur saja baru jam dua dini hari baru bisa terlelap, trus bangun subuh. Kenapa, Mas?” “Ntar kujawab pertanyaanmu, aku ingin lanjut bertanya dulu,” ucap Radit. “Kenapa tidurnya terlambat?” “Hm, nggak tau juga, Mas. Terasa gelisah saja, padahal aku sedang tidak memikirkan sesuatu apa pun yang sifatnya berat.” “Hm, berarti itu pengganti mimpinya!” celetuk Radit. “Maksud, Mas?” “Begini, tadi papaku video ca
Beberapa bulan kemudian Noni sudah menemukan kembali keceriaannya. Pihak tim dokter yang menanganinya sudah memperbolehkan ia untuk check out dari rumah sakit. Artinya sudah diperbolehkan untuk dibawa pulang ke Indonesia. Hanya saja, gadis kecil itu selanjutnya masih harus menjalani terapi-terapi khusus di rumah sakit Indonesia secara berkala, terutama untuk mengetahui perkembangan dari kondisi penyakitnya. Namun dokter di Beijing itu berpendapat, bahwa Noni akan mendapatkan kesehatan kesehatannya secara optimal seiring waktu. Setelah di Indonesia, gadis itu lebih banyak tidur bersama kedua orang tuanya, Radit dan Nagita. Ia sangat bahagia karena ia bisa kembali tidur di antara kedua orang yang paling disayanginya. Ia memang selalu rindu pada dongeng-dongeng yang selalu dituturkan oleh kedua orang tuanya itu untuk mengantarkannya ke dunia mimpi. “Oh ya, Sayang,” ucap Radit suatu malam pada Noni, sebelum ia menuturkan sebuah dongeng pada sang putrinya, “sembari menungg
Dengan berbagai pertimbangan, Nagita pun memutuskan untuk mengajak Radit untuk bicara. Akan tetapi, ketika ia hendak membuka mulutnya, laki-laki yang telah berstatus sebagai mantan suaminya itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya, dan tidur miring memeluk guling dengan posisi membelakangi Noni dan dirinya. Nagita menghela nafasnya lalu mengecilnya nyala lampu tidur. Selanjutnya ia berusaha untuk memejamkan matanya. Saat itu jarum jam dinding telah menunjukkan pukul 00.22. Namun pada keesokan harinya ia masih memikirkan tentang rencananya itu. Setelah memikirkannya secara berulang-ulang, Nagita pun memutuskan untuk menelepon Radit. Ia menyampaikan keinginannya untuk bicara itu dengan sangat hati-hati. “Ya silakan bicara saja, insha Allah aku akan mendengarkannya?” sahut Radit. Saat itu kebetulan ia baru saja selesai melakukan pengecekan terhadap file-file laporan yang masuk pada hari itu yang tertera pada layar laptop di hadapannya. “Aku ingin bicara empat mata d
“Mama...” Nagita spontan menoleh. Noni, gadis kecilnya, mengikutinya dari belakang bersama Bi Ipah, sang asisten rumah tangga yang akan mengantar dan menunggunya di sekolah TK-nya. “Iya, Sayang, ada apa...?” tanya Nagita sembari sedikit membungkukkan tubuhnya agar ia bisa menatap wajah imut itu dengan sempurna dari dekat. “Mama tak lupa kan hari ultah Noni besok?” Kedua alis Nagita tertarik ke atas sehingga kedua bola matanya pun sedikit melebar. “Oh iya ... tentu Mama ingat, dooong.” “Tau nggak, Mam, Noni sudah cerita sama teman-teman Noni bahwa acara ultah Noni akan diadakan di sebuah kafe atau restoran,” ucap Noni girang dengan wajah polosnya. “Noni ...!!” spontan Nagita meninggikan suaranya. “Kenapa kaulancang seperti itu? Mama ini lagi nggak pegang uang banyak. Kaukira ngadain pesta di kafe atau di restoran itu biayanya sedikit, heh!? Mama dan ... apalagi papamu, tak akan mampu memenuhi keinginanmu itu, ngerti!? Pesta ultahmu d
Radit langsung keluar dari rumah tanpa sempat lagi untuk menyodorkan tangannya kepada Nagita untuk dicium. Saat itu pun Nagita sudah lebih dahulu melangkah keluar dari rumah dan langsung menuju mobilnya yang terparkir di halaman depan rumah. Radit sendiri berangkat kerja dengan naik sepeda motor, seperti biasa. Posisi sang istri itu memang lebih tinggi di perusahaannya tempatnya bekerja. Sementara Radit sendiri hanya pegawai administrasi biasa di perusahaan yang berbeda. Ketika mulai menjalankan mobilnya, Nagita memberitahukan Radit yang saat itu sudah duduk menghidupkan sepeda motornya bahwa dia akan jalan. Radit membalasnya dengan lambaian tangan. Belum lagi jauh ia melaju di jalanan yang mulai padat, ponsel dalam tasnya berbunyi. Nada panggil. Saat melihat siapa yang panggil, wajah Nagita langsung berubah cerah. Senyumannya mengembang. Dengan cepat ia memasang headset di kedua telinganya. “Pagi, Ganteng. Ini masih dalam perjalanan. Ganteng sendiri di m
Pada saat yang sama, Pak Gunawan Dimitra, Dirut perusahaan, sedang berbicara santai dengan seseorang melalui sambungan telepon kantornya. “Ingat pesan saya, Pak Gunawan, jangan sampai dia mengetahui hal apa pun tentang pemberian itu. Sebab seperti yang saya katakan tadi, jika dia tahu bahwa itu bantuan dari saya, dia bakalan marah dan menolak, sekalipun tujuan saya hanya ingin ikut menyenangkan hati cucu saya di hari ulang tahunnya. Dia sudah mersumpah untuk membangun rumah tangan impiannya dan mendidik anak-anaknya dalam kondisi jauh dari kemewahan dulu. Dan untuk sekian kalinya saya harus mengingatkan Pak Gunawan, jangan pernah memperlakukan dia secara istimewa. Perlakukan secara wajar sebagaimana karyawan pada umumnya.” “Baik, Pak. Tentu saya akan menjadi melaksanakan semua petunjuk Bapak dengan baik.” Ketukan di pintu membuat ia harus mengakhiri pembicaraan lalu berkata, “Ya, silakan masuk...!” Bersamaan dengan pintu terkuak, terlihat wajah Radit. “Maaf, Bap
Radit menghela nafas panjang sembari mengalihkan tatapannya ke wajah Nagita. “Astaghfirullahal adziim. Sejak kapan Mas berbohong ke kamu, Dik? Kalau Dik tak percaya, ya boleh Dik tanyakan pada Pak Dirutnya Mas.” “Oke, oke, oke...!” potong Nagita. “Mas dikasih bonus berapa?” “Ya, cukup untuk biaya acara ultahnya Noni itu, Dik.” “Memangnya seluruh biaya di kafe itu berapa? Mas baru bayar DP-nya berapa?” “Seluruhnya dua puluh juta, Mas baru bayar setengahnya.” “Dua puluh juta ...?” Kedua mata Nagita langsung membeliak. “Kok mahal sekali, Mas? Apa itu ngfak berlebihan?” Radit tersenyum, dan, “Karena Mas ingin memenuhi janji Mas pada Noni untuk membuat pesta ultahnya meriah, ya tentu harus disiapkan acara pestanya yang bagus. Ya sekali-sekali, Dik, karena selama ini kan ultahnya Noni hanya diadakan secara sederhana di rumah ini.” “Iya, aku paham. Lantas ... Mas dapat bonus berapa dari kantor?” “Lima puluh juta,” sahut Radit, seolah-o
Saat melintas di sebuah jalan yang akan memasuki wilayah Tangsel, tanpa sengaja Radit melihat sebuah mobil Baleno merah yang sangat dikenalnya terparkir di sebuah restoran. Dengan spontan ia membelokkan sepeda motornya ke areal parkir restoran itu. Baru saja ia mematikan mesin sepeda motonya, ia melihat Nagita keluar dari restoran besar itu. “Dik, kau malah di sini?” Nagita sangat kaget dengan keberadaan Radit di tempat itu. Tapi hanya sesaat. Kemudian dengan santai ia menjawab, “Iya, ada acara penting kolega. Dan Mas sendiri kenapa ada di sini? Apakah acaranya sudah selesai?” Saat Radit hendak menjawab, beberapa orang laki-laki muda bersama pasangan mereka keluar dari restoran. Kepada Nagita para pasangan itu melambaikan tangan mereka kepada Nagita dan dibalas oleh Nagita dengan hal yang serupa. Seorang pria muda yang keluar sendirian langsung berjalan mendekati Nagita dan berkata, “Terima kasih ya, Mbak Cantik, atas bantuan dananya, sehingga acaraku terlaksana