Share

PART 09

      Sebenarnya, Radit menginginkan sang istri menjadi ibu rumah tangga biasa saja dan mengurus Noni yang saat itu masih balita dan membutuhkan perhatian penuh dari ibunya. Tetapi Nagita bersikeras ingin menjadi wanita pekerja dan berkarier.

      “Lagian, Mas, kan sayang juga kan jika ijazah sarjana luar negeriku nggak diaplikasikan di dunia kerja,” ucap Nagita saat itu.

       Sebuah alasan yang memang logis, dan membuat Radit tak punya argumen apa pun untuk melarangnya.

       “Baiklah kalau begitu, Dik,” Radit akhirnya mengamini.. “Kausiapkan saja surat-surat yang dubutuhkan untuk melamar. Aku akan coba memasukkannya ke sebuah perusahaan. Kebetulan di perusahaan itu aku punya kenalan. Ya, bisa dikatakan sebagai pejabat penting dalam perusahaan itu. Siapa tahu dia bisa membantu.”

       “Jadi...aku tak perlu memasukkannya sendiri?”

       “Tak perlu. Dik tinggal tunggu panggilan saja.”

       Saat mengantarkan surat lamaran istrinya ke perusahaan yang dimaksud, Radit mewanti-wanti direktur perusahaan itu agar merahasiakan kepada istrinya tentang kaitan dirinya dengan perusahaan itu.

       “Tolong Pak Wendy perlakukan dia sebagaimana karyawan umumnya. Tak ada kesitimewaan apa pun, begitu pun dalam hal kariernya kelak.”

       “Jangan khawatir Mas Radit, saya akan melaksanakan semua pesan Mas Radit dengan baik dan profesional.”

       “Terima kasih.”

       Karena memang Nagita dasarnya memiliki otak yang cerdas, kedisiplinan, serta pengalaman kerja yang baik, tak butuh lama ia mendapat kepercayaan dari pimpinan perusahaan. Kariernya dengan cepat menanjak, bahkan melangkahi para karywan senior dalam perusahaan itu.

     Hanya sayangnya, bersamaan dengan naiknya jabatan, gaji, serta tunjangan lainnya,  justru menjadikan wanita itu berubah dalam bersikap. Seolah-olah ia memiliki watak baru yang nyaris sama sekali beda dengan wataknya. Ia benar-benar telah berubah menjadi wanita yang sangat perhitungan, dan juga angkuh.

***

     Hari itu   Pak Abdul Karim Pambudi melakukan kunjungan khusus ke salah satu kantor perusahaan miliknya di mana Nagita bekerja. Pada kunjungan tersebut sang Big Boss mendapat sambutan dan penghormatan khusus dari segenap karyawan. Dan kepada seluruh karyawan, ia sendiri memutuskan untuk menaikkan gaji beberapa persen dari gaji sebelumnya. Kegembiraan pun pecah.

     Hanya saja, saat ia akan keluar dari kantor dengan diantar oleh Dirut, Wendy Prasojo, Sang Big Boss dibuat kaget oleh kedekatan terasa janggal di antara Nagita, sang menantu, dengan salah seorang manajer yang bernama Dony Setiawan. Keduanya terlihat salah tingkah ketika mendengar Sang Big Boss pura-pura mendehem.

       Andaikata Nagita mengetahui, bang Sang Bis Boss itu adalah ayah mertuanya, tentu dia akan pingsang karena kaget. Namun beda dengan Pak Abdul Karim Pambudi, ia tahu bahwa asisten manajer itu adalah menantunya. Dulu, ketika Raditya Pambudi menikah, ia menghadirinya,  menyamar sebagai tamu undangan, atas permintaan Raditya sendiri.

     “Pak Wendi,” ucap Pak Abdul Karim ketika hendak masuk ke dalam mobilnya, “Nagita sebagai apa di sini?”

     “Dia sebagai asisten manajer pemasaran, Pak.”

    “Oh, yang tadi?”

    “Benar, Pak, Pak Manajer Dony Setiawan. Ada apa, Pak?”

    “Ee, tak apa-apa. Saya ingin agar Pak Wendy mencarikan posisi lain buat menantu saja itu, jangan lagi sebagai asisten manajer.”

     “Oh, baiklah, Pak. Hari ini pun akan saya tindaklanjuti.”

     “Hm.”

***

        Bertempat di ruang kerjanya sang manajer, Bu Ningrum, Radit ikut serius menyusun beberapa proposal bersama sang manajernya. Jam telah menunjukkan pukul 14.00.

     “Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 14 tepat,” ucap Bu Ningrum sembari menoleh ke jam tangannya. Sebaiknya kita makan siang dulu, nanti kita lanjutkan lagi.”

     “Baik, Bu.”  Radit merapikan dulu berkas-berkas sebelum bangkit dari kursinya.

     “Oh, ya, Pak Radit yang nyetir.”

     “Oh, baik, Bu.”

      “Kita akan makan siang di restoran seafood di barat sana. Pak Radit nggak alergi seafood, kan?”

     “Tidak. Bu. Malah jenis makanan favorit saya. Kapan-kapan kita ke daerah Marunda, Bu Ningrum, di sana pilihannya komplit.”

     “Oh, boleh juga, tuh, Pak Radit.”

     Suasana restoran seafood yang mereka datangi cukup ramai, namun masih banyak tempat duduknya.

      “Bu Ningrum pernah merasakan Alaska King Crab?” tanya Radit ketika keduanya sudah duduk berhadapan di sebuah meja makan.

     “Ya mana itu?”

     Radit menunjukkan sebuah foto dalam buku menu. Di situ tertera menut Alaska King Crab berikut harganya.

     “Tentu saja belum, Pak Radit. Kalau kepiting biasa ya sering.”

     “Ok, kalau begitu saya traktir Bu Ningrum, ya? Kita akan nikmati raja kepiting alaska!”

      Bu Ningrum langsung terdiam dengan membulatkan kedua mata indahnya. “Pak Radit mau mentraktir saya? Serius? Tapi ini kepiting sangat mahal, Pak Radit?”

     “Nggak usah khawatir, Bu Ningrum. Kebetulan saya belum lama ini mendapat rejeki nomplok,” ucap Radit santai lalu memanggil memberi kode kepada pelayan restoran.

      “Kami pesan dua porsi Alaska King Crab, ya?” pesan Radit begitu pelayan restoran mendekat.

     “Oh baik, Pak. Lalu minumannya apa, Pak.”

     Radit melihat ke arah Bu Ningrum.

     “Orange Juice, ya?” ucap Bu Ningrum.

     “Berikut air putihnya,” timpal Radit.

    “Baik, Pak, Bu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status