Sebenarnya, Radit menginginkan sang istri menjadi ibu rumah tangga biasa saja dan mengurus Noni yang saat itu masih balita dan membutuhkan perhatian penuh dari ibunya. Tetapi Nagita bersikeras ingin menjadi wanita pekerja dan berkarier.
“Lagian, Mas, kan sayang juga kan jika ijazah sarjana luar negeriku nggak diaplikasikan di dunia kerja,” ucap Nagita saat itu.
Sebuah alasan yang memang logis, dan membuat Radit tak punya argumen apa pun untuk melarangnya.
“Baiklah kalau begitu, Dik,” Radit akhirnya mengamini.. “Kausiapkan saja surat-surat yang dubutuhkan untuk melamar. Aku akan coba memasukkannya ke sebuah perusahaan. Kebetulan di perusahaan itu aku punya kenalan. Ya, bisa dikatakan sebagai pejabat penting dalam perusahaan itu. Siapa tahu dia bisa membantu.”
“Jadi...aku tak perlu memasukkannya sendiri?”
“Tak perlu. Dik tinggal tunggu panggilan saja.”
Saat mengantarkan surat lamaran istrinya ke perusahaan yang dimaksud, Radit mewanti-wanti direktur perusahaan itu agar merahasiakan kepada istrinya tentang kaitan dirinya dengan perusahaan itu.
“Tolong Pak Wendy perlakukan dia sebagaimana karyawan umumnya. Tak ada kesitimewaan apa pun, begitu pun dalam hal kariernya kelak.”
“Jangan khawatir Mas Radit, saya akan melaksanakan semua pesan Mas Radit dengan baik dan profesional.”
“Terima kasih.”
Karena memang Nagita dasarnya memiliki otak yang cerdas, kedisiplinan, serta pengalaman kerja yang baik, tak butuh lama ia mendapat kepercayaan dari pimpinan perusahaan. Kariernya dengan cepat menanjak, bahkan melangkahi para karywan senior dalam perusahaan itu.
Hanya sayangnya, bersamaan dengan naiknya jabatan, gaji, serta tunjangan lainnya, justru menjadikan wanita itu berubah dalam bersikap. Seolah-olah ia memiliki watak baru yang nyaris sama sekali beda dengan wataknya. Ia benar-benar telah berubah menjadi wanita yang sangat perhitungan, dan juga angkuh.
***
Hari itu Pak Abdul Karim Pambudi melakukan kunjungan khusus ke salah satu kantor perusahaan miliknya di mana Nagita bekerja. Pada kunjungan tersebut sang Big Boss mendapat sambutan dan penghormatan khusus dari segenap karyawan. Dan kepada seluruh karyawan, ia sendiri memutuskan untuk menaikkan gaji beberapa persen dari gaji sebelumnya. Kegembiraan pun pecah.
Hanya saja, saat ia akan keluar dari kantor dengan diantar oleh Dirut, Wendy Prasojo, Sang Big Boss dibuat kaget oleh kedekatan terasa janggal di antara Nagita, sang menantu, dengan salah seorang manajer yang bernama Dony Setiawan. Keduanya terlihat salah tingkah ketika mendengar Sang Big Boss pura-pura mendehem.
Andaikata Nagita mengetahui, bang Sang Bis Boss itu adalah ayah mertuanya, tentu dia akan pingsang karena kaget. Namun beda dengan Pak Abdul Karim Pambudi, ia tahu bahwa asisten manajer itu adalah menantunya. Dulu, ketika Raditya Pambudi menikah, ia menghadirinya, menyamar sebagai tamu undangan, atas permintaan Raditya sendiri.
“Pak Wendi,” ucap Pak Abdul Karim ketika hendak masuk ke dalam mobilnya, “Nagita sebagai apa di sini?”
“Dia sebagai asisten manajer pemasaran, Pak.”
“Oh, yang tadi?”
“Benar, Pak, Pak Manajer Dony Setiawan. Ada apa, Pak?”
“Ee, tak apa-apa. Saya ingin agar Pak Wendy mencarikan posisi lain buat menantu saja itu, jangan lagi sebagai asisten manajer.”
“Oh, baiklah, Pak. Hari ini pun akan saya tindaklanjuti.”
“Hm.”
***
Bertempat di ruang kerjanya sang manajer, Bu Ningrum, Radit ikut serius menyusun beberapa proposal bersama sang manajernya. Jam telah menunjukkan pukul 14.00.
“Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 14 tepat,” ucap Bu Ningrum sembari menoleh ke jam tangannya. Sebaiknya kita makan siang dulu, nanti kita lanjutkan lagi.”
“Baik, Bu.” Radit merapikan dulu berkas-berkas sebelum bangkit dari kursinya.
“Oh, ya, Pak Radit yang nyetir.”
“Oh, baik, Bu.”
“Kita akan makan siang di restoran seafood di barat sana. Pak Radit nggak alergi seafood, kan?”
“Tidak. Bu. Malah jenis makanan favorit saya. Kapan-kapan kita ke daerah Marunda, Bu Ningrum, di sana pilihannya komplit.”
“Oh, boleh juga, tuh, Pak Radit.”
Suasana restoran seafood yang mereka datangi cukup ramai, namun masih banyak tempat duduknya.
“Bu Ningrum pernah merasakan Alaska King Crab?” tanya Radit ketika keduanya sudah duduk berhadapan di sebuah meja makan.
“Ya mana itu?”
Radit menunjukkan sebuah foto dalam buku menu. Di situ tertera menut Alaska King Crab berikut harganya.
“Tentu saja belum, Pak Radit. Kalau kepiting biasa ya sering.”
“Ok, kalau begitu saya traktir Bu Ningrum, ya? Kita akan nikmati raja kepiting alaska!”
Bu Ningrum langsung terdiam dengan membulatkan kedua mata indahnya. “Pak Radit mau mentraktir saya? Serius? Tapi ini kepiting sangat mahal, Pak Radit?”
“Nggak usah khawatir, Bu Ningrum. Kebetulan saya belum lama ini mendapat rejeki nomplok,” ucap Radit santai lalu memanggil memberi kode kepada pelayan restoran.
“Kami pesan dua porsi Alaska King Crab, ya?” pesan Radit begitu pelayan restoran mendekat.
“Oh baik, Pak. Lalu minumannya apa, Pak.”
Radit melihat ke arah Bu Ningrum.
“Orange Juice, ya?” ucap Bu Ningrum.
“Berikut air putihnya,” timpal Radit.
“Baik, Pak, Bu.”
Saat mereka menikmati hidangan dengan kepiting Alaska, baik Ningrum maupun Radit hanya sekali-sekali membicara sesuatu hal. Dan itu pun didominasi oleh Ningrum. Entah mengapa, saat itu ia merasa jauh lebih dekat dengan bawahannya itu. Ia lebih sering melihat ke depan. Ia juga merasa, behwa ternyata Raditya pria yang simpatik, juga tampan, tentunya. Hal yang selama ini seolah-olah luput dari penilaiannya. Saat keduanya sedang menikmati makan siang itu, kegiatan tangan Radit di atas piring tiba-tiba terhenti. Pandangan matanya terpaku pada dua tamu restoran yang saat itu mengambil meja di pojok lain ruangan restoran. Itu adalah Nagita bersama seorang laki-laki. Radit merasa tak asing dengan laki-laki yang datang bersama istrunya itu. Tanpa diketahui oleh Ningrum, Radit terus mengarahkan pandangannya ke arah itu. Ketika tiba-tiba laki-laki itu melap bagian wajah Nagita menggunakan tisu, darahnya berdesir cepat. Saat itu juga ia merasa telah dicurangi oleh Nagita. Selera
Baru kali ini Bu Ratri melihat Radit emosi seperti itu. Selama ini sang menantu itu selalu tenang dan sabar menghadapi sikap Nagita yang terkadang memang suka semena-mena terhadapnya. Ia tentu tidak bisa menafikan sifat baik sang menantu itu. Jika ia sampai emosi begitu, berarti kebenarannya tidak boleh ia abaikan. “Mungkin ada hal penting yang sedang mereka lakukan saat itu, Dit. Jadi, apa kenyataannya tidak seperti apa yang kamu lihat dan pikirkan. Terlebih kita sedang berada di sebuah restoran seperti yang kaubilang. Apakah itu masuk kategori berselingkuh atau semacamnya itu?” “Aku ini laki-laki dan seorang suami, Bu, tentu bisa membedakan mana perilaku wajar dan tak wajar istrinya! Nih, Ibu lihat ini. Beberapa hari yang lalu kalung ini saya ingin membelinya buat Nagita. Tapi pada saat yang sama, laki-laki yang saya lihat bersama Nagita tadi lebih dahulu meminta kalung ini pada penjaga gerainya. Tanggal dan tempat pembelian pun persis sama.” Bu Ratri mengambil
Melihat buah hatinya terlihat ketakutan seperti itu, Radit segera memeluk dan mencium Noni berkali-kali. Ia memejamkan kedua matanya dan mengucapkan istighfar berkali-kali. Lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia melepaskan pelukannya dan berdiri. Selanjutnya tanpa meninggalakan kalimat apa-apa, ia langsung keluar dari kamar dan pergi dari rumah dengan sepeda motornya. Di sebuah taman publik di daerah Menteng ia duduk merenung seorang diri. Saat itu a merasakan sakit yang sangat menghujam ulu hatinya. Kata-kata Nagita baginta laksana sebilah meteor yang menyayat malam. Tajam dan menikam. Berkali-kali pula ia menyeka kedua sudut matanya dengan sisi ujung telunjuknya. Ia tak nyaris tak mampu membedakan, saat itu air matanya keluar akibat apa? Akibat sakit ataukah karena sebuah penyesalan? Oh, tidak. Ia sama sekali tidak merasa menyesal dengan pilihannya. Mungkin hanya karena sakit dan kecewa saja. Radit teringat wajah Papanya, dan tiba-tiba ia sangat merindukannya. I
Selama seminggu Radit tak pulang ke rumah dan lebih menginap di hotel. Hatinya begitu sakit dan kecewaan. Andaikata ibu mertuanya tak mengirimkan pesan WA yang memberitahu bahwa Noni sakit, mungkin ia tak akan kembali dalam wkatu dekat. “Ya Tuhan, pesan itu terkirim sejak semalam!” desahnya panik saat membaca pesan itu. Memang, sejak ia memutuskan tak pulang ke rumah, ia tak mengaktifkan nomor yang biasa dipakai, tetapi menggunakan nomor perdana. Benar juga, suhu tubuh sang buah hatinya begitu tinggi. “Sejak kapan ia sakit, Bu?” tanyanya pada Bu Ratri sembari membelai rambut Noni yang saat itu sedang tertidur, ketika ia telah sampai di rumah. Ia melihat sang buah hati tertidur pulas dengan wajah yang memang sangat pucat. “Sejak semalam. Dia selalu memanggil-manggil namamu. Ibu menelepon kau tapi nomormu tak pernah aktif beberapa hari.” “Oh iya, Bu, maaf, memang aku sengaja tak aktifkan nomor itu. Trus kenapa Mamanya nggak membawa Noni ke rumah sakit?”
Keesokan harinya Noni sudah terlihat sehat dan ceriah kembali, sehingga pada sore hari pihak rumah sakit sudah memperbolehkan pasien untuk chek-out. Saat melihat Nagita sudah ada di rumah, Radit tidak merasa kaget lagi. Ia berusaha untuk tak mengajaknya bicara apa pun. Ia tak ingin dari pembicaraan itu akan berkembang menjadi sebuah pertengkaran. Sekarang ia lebih mengutamakan perasaan Noni daripada perasaan siapa pun, terutama perasaan Nagita. Buat apa ia memikirkan perasaan wanita yang berstatus sebagai istrinya itu sementara perasaannya sama sekali tak dianggap oleh wanita itu. Dan malam itu ia hanya ingin segera istirahat dengan memeluk tubuh mungis sang buah hatinya, Noni, di kamarnya Noni. Pagi hari, di meja makan, ketika Noni sudah ke sekolah bersama Bik Ipah, Nagita berusaha mengajaknya bicara. “Maaf, kemarin aku pulang lebih awal karena memikirkan kondisinya Noni.” Radit hanya menatap wajah ibu dari putrinya itu sesaat dan menjawab singkat, “Iya.”
Radit tak ambil peduli dengan keterperangahan Nagita. Ia mencium tangan ibu mertuanya. “Bu, saya pamit mau ke kantor dulu.” “Iya, Nak Dit, yang hati-hati di jalan, ya?” “Baik, Bu. Assalamualaikum.” “Walaikumsalam.” Ketika Radit telah pergi, Nagita masih terpaku di tempat duduknya. Dia tidak hanya tertegun pada jumlah tranfer Radit ke rekeningnya yang dua kali lipat dari yang ditransfernya pada ibunya, Bu Ratri, tetapi pada dua hal lain yang dikatakannya barusan. “Dari mana dia mendapatkan semua informasi itu?” gumamnya, tanpa ditujukan pada siapa pun. Bu Ratri menatap wajah Nagita sembari duduk kembali di kursi yang tadi didudkinya. “Git, jawab Ibu, apakah benar semua apa yang dikatakan oleh Nak Radit barusan?” Nagita hanya sesaat menatap wajah ibunya sebelum ia bangkit dan berjalan ke arah kamarnya. “Nagita ...!!” teriak Bu Ratri. “Jika benar apa yang Radit katakan barusan, berarti kamu telah berubah jauh! Kamu bukan saja telah membohongi s
Ningrum disambut oleh Radit di depan ruang rawat dan mengajaknya duduk di bangku besi panjang. “Tadi saya cek di kantor jika Pak Radit ijin tak masuk hari ini. Jadi saya langsung ke mari. Mertuanya Pak Radit sakit apa dan bagaimana kondisi beliau sekarang?” “Terima kasih, Bu Ningrum,” ucap Radit. “Iya, kata dokter beliau ada gangguan pada jantungnya, dan alhamdulillah sekarang sudah siuman. Hanya saja belum diperbolehjkan untuk dibesuk.” “Oh, mudah-mudahan beliau segera pulih kembali, Pak. Oh ya, barusan saya berpapasan dengan istrinya Pak Radit kayaknya?” “Iya, Bu Ningrum. Dia sedang padat tugasnya di kantornya, jadi harus gantian nunggunya.” “Oh ...!” hanya itu yang keluar dari bibir Ningrum. Dia tak mau berkomentar lebih, walau seharusnya seorang ibu harus menjadi prioritas dulu dari hal apa pun. Terlebih ketika seorang ibu sedang sakit. Tanpa disadari oleh keduanya, saat itu Nagita mengintai di sudut lorong rumah sakit. Tampaknya wanita itu mera
Nagita dan Bu Ratri yang saat itu kebetulan sedang duduk di beranda depan rumah, melihat sebuah mobil mewah baru masuk di halaman rumah mereka hanya mengira bahwa itu tamu mereka atau tamunya Radit. Tetapi ketika mereka melihat justru Radit yang keluar dari mobil, spontan keduanya berdiri. Dan Noni yang sempat melihat dari dalam rumah langsung berlarian keluar sembari memanggil papanya. “Ini mobil baru Papa, ya?” Radit tersenyum dan mengangkat tubuh Noni dan menggendongnya, “Iya, dong, Sayang, ini mobilnya Papa dan juga Noni.” “Aseeek, Papa punya mobil baruuu!” seru Noni senang. “Papa, Noni pengen rasain naik mobil baru Papa.” “Oh, boleh, hayuk!” Tanpa basa-basi, Radit pun langsung membukakan pintu depan kiri mobilnya untuk sang buah hati. Sebelum ia sendiri masuk di pintu kanan, ia melaihat ke arah ibu mertuanya dan pamit untuk berkeliling komplek sebentar, namun sama sekali tak melirik kepada Nagita. Lalu tanpa menunggu sahutan dari ibu mertuanya, dia