Keesokan harinya Noni sudah terlihat sehat dan ceriah kembali, sehingga pada sore hari pihak rumah sakit sudah memperbolehkan pasien untuk chek-out. Saat melihat Nagita sudah ada di rumah, Radit tidak merasa kaget lagi. Ia berusaha untuk tak mengajaknya bicara apa pun. Ia tak ingin dari pembicaraan itu akan berkembang menjadi sebuah pertengkaran. Sekarang ia lebih mengutamakan perasaan Noni daripada perasaan siapa pun, terutama perasaan Nagita. Buat apa ia memikirkan perasaan wanita yang berstatus sebagai istrinya itu sementara perasaannya sama sekali tak dianggap oleh wanita itu. Dan malam itu ia hanya ingin segera istirahat dengan memeluk tubuh mungis sang buah hatinya, Noni, di kamarnya Noni. Pagi hari, di meja makan, ketika Noni sudah ke sekolah bersama Bik Ipah, Nagita berusaha mengajaknya bicara. “Maaf, kemarin aku pulang lebih awal karena memikirkan kondisinya Noni.” Radit hanya menatap wajah ibu dari putrinya itu sesaat dan menjawab singkat, “Iya.”
Radit tak ambil peduli dengan keterperangahan Nagita. Ia mencium tangan ibu mertuanya. “Bu, saya pamit mau ke kantor dulu.” “Iya, Nak Dit, yang hati-hati di jalan, ya?” “Baik, Bu. Assalamualaikum.” “Walaikumsalam.” Ketika Radit telah pergi, Nagita masih terpaku di tempat duduknya. Dia tidak hanya tertegun pada jumlah tranfer Radit ke rekeningnya yang dua kali lipat dari yang ditransfernya pada ibunya, Bu Ratri, tetapi pada dua hal lain yang dikatakannya barusan. “Dari mana dia mendapatkan semua informasi itu?” gumamnya, tanpa ditujukan pada siapa pun. Bu Ratri menatap wajah Nagita sembari duduk kembali di kursi yang tadi didudkinya. “Git, jawab Ibu, apakah benar semua apa yang dikatakan oleh Nak Radit barusan?” Nagita hanya sesaat menatap wajah ibunya sebelum ia bangkit dan berjalan ke arah kamarnya. “Nagita ...!!” teriak Bu Ratri. “Jika benar apa yang Radit katakan barusan, berarti kamu telah berubah jauh! Kamu bukan saja telah membohongi s
Ningrum disambut oleh Radit di depan ruang rawat dan mengajaknya duduk di bangku besi panjang. “Tadi saya cek di kantor jika Pak Radit ijin tak masuk hari ini. Jadi saya langsung ke mari. Mertuanya Pak Radit sakit apa dan bagaimana kondisi beliau sekarang?” “Terima kasih, Bu Ningrum,” ucap Radit. “Iya, kata dokter beliau ada gangguan pada jantungnya, dan alhamdulillah sekarang sudah siuman. Hanya saja belum diperbolehjkan untuk dibesuk.” “Oh, mudah-mudahan beliau segera pulih kembali, Pak. Oh ya, barusan saya berpapasan dengan istrinya Pak Radit kayaknya?” “Iya, Bu Ningrum. Dia sedang padat tugasnya di kantornya, jadi harus gantian nunggunya.” “Oh ...!” hanya itu yang keluar dari bibir Ningrum. Dia tak mau berkomentar lebih, walau seharusnya seorang ibu harus menjadi prioritas dulu dari hal apa pun. Terlebih ketika seorang ibu sedang sakit. Tanpa disadari oleh keduanya, saat itu Nagita mengintai di sudut lorong rumah sakit. Tampaknya wanita itu mera
Nagita dan Bu Ratri yang saat itu kebetulan sedang duduk di beranda depan rumah, melihat sebuah mobil mewah baru masuk di halaman rumah mereka hanya mengira bahwa itu tamu mereka atau tamunya Radit. Tetapi ketika mereka melihat justru Radit yang keluar dari mobil, spontan keduanya berdiri. Dan Noni yang sempat melihat dari dalam rumah langsung berlarian keluar sembari memanggil papanya. “Ini mobil baru Papa, ya?” Radit tersenyum dan mengangkat tubuh Noni dan menggendongnya, “Iya, dong, Sayang, ini mobilnya Papa dan juga Noni.” “Aseeek, Papa punya mobil baruuu!” seru Noni senang. “Papa, Noni pengen rasain naik mobil baru Papa.” “Oh, boleh, hayuk!” Tanpa basa-basi, Radit pun langsung membukakan pintu depan kiri mobilnya untuk sang buah hati. Sebelum ia sendiri masuk di pintu kanan, ia melaihat ke arah ibu mertuanya dan pamit untuk berkeliling komplek sebentar, namun sama sekali tak melirik kepada Nagita. Lalu tanpa menunggu sahutan dari ibu mertuanya, dia
Tentang keberadaan mobil mengintai itu sama sekali tak disadari oleh Nagita maupun Dony. Bahkan setelah Dony dan Nagita masuk ke dalam rumah itu, laki-laki dalam mobil Xpander itu sempat mengambil gambar rumah mewah itu sebelum pergi dari komplek itu. Sementara itu, Dony sedang membanggakan rumah itu kepada Nagita, dan Nagita menanggapinya dengan wajah binar bahagia. “Jadi, rumah ini akan Mas atas-namakan namaku?” tanya Nagita. “Tentu, Honey. Tapi tentu saja setelah Honey memenuhi sebuah syarat yang kukatakan itu, yaitu ...?” “Aku harus mengajukan gugatan cerai pada suamiku yang lemah dan tak berguna itu!” lanjut Nagita. “Pintar!” tandas Dony Setiawan, lalu keduanya tertawa bersama sambil berpelukan dan berciuman sesaat. “Tentu, Honey. Aku memang sudah terlalu bosan hidup penuh kepura-puraan dengan dia,” ucap Nagita lagi sambil menatap wajah Dony yang masih dalam pelukannya. “Tapi Honey harus sedikit bersabar. Aku sedang merencanakan suatu ha
“Ini rumah saya, Nona! Dan Anda keluar dari rumah saya! Keluar!!” yang menjawab Nagita dengan wajah makin terlihat emosi dan angkuh. Tiba-tiba ia menepuk dahinya sendiri dan lanjut menuding, “Atau jangan-jangan, oh Tuhan! Anda pasti selingkuhan suami saya? Hm, saya jadi sadar dan tahu sekarang, ternyata Mas hanya berpura-pura marah dan emosi ketika melihat aku bersama laki-laki lain ya, hanya untuk menutup kebusukannmu sendiri!” “Diam jangan sembarangan bicara!!” bentak Radit. “Beliau wanita baik-baik dan bukan perempuan yang tak berahlak seperti kamu! Kamu wanita yang sudah bersuami tapi selalu berduaan dengan laki-laki lain!! Kamu busuk!!” “Mas yang busuk!! Busuk, lemah, dan tak berguna!!” Nagita balas membentak dengan wajah seolah hendak menelan suaminya bulat-bulat. “Baik!” ucap Radit. “Aku sudah menyaksikannya secara langsung perbuatan busuk dan penghianatamu!” Lalu menatap kepada Dony. “Dan kau, laki-laki bajingan perusak pagar ayu, urusan kita masih berla
Rumahnya Ningrum berada sebuah perumahan di kawasan Taman Sari. Rumah yang cukup mewah luas. Kata Ningrum, itu adalah juga rumah fasilitas perusahaan. Di rumah itu sang manajer tinggal bersama ibu dan kedua adiknya serta seorang asisten rumah tangga. Ayahnya Ningrum telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Jadi otomatis, Ningrum menjadi tulang punggung keluarganya. Kedua adiknya, cowok-cewek, masih semester 6 dan 4. Yang membuat Radit agak sedikit kaget adalah sang mama dari sang manajer muda itu, ternyata merupakan wanita keturunan Belanda. Namanya Bu Juliana. Pantas saja wajah Ningrum rada-rada kebulean. Bu Juliana orangnya sangat ramah kepada Radit. Begitu juga kedua adiknya Ningrum, Elissa dan Arthur. Mereka sangat hangat dan dan bersahabat. Kondisi itu lumayan membuat perasaannya nyaman dan sedikit mengurangi kedukaan di hatinya. “Kalau Nak Radit mau, Nak Radit boleh tempati dulu kamar pavilyun. Kamar itu bekas kamar kemenakannya Ibu dulu. Sekarang ia ikut is
“Oh iya benar, Pak RT. Perkenalkan, nama saya Radit, Raditya Pambudi,” sahut Radit sembari menyalami warga lain satu persatu. “Lalu, kira-kira kapan Pak Radit pindah ke mari?” tanya Pak RT lagi. “Maunya secepatnya, Pak. Tapi ini perabotannya belum ditata,” sahut Radit. “Kira-kira di sekitar sini ada yang tenaga yang bisa dimintai bantuan untuk menatap perabotan di rumah saya mungkin, Pak?” “Oh bisa, Pak Radit, wagra saya pun akan membantu Pak Radit,” ujar Pak RT Halim. Lalu menoleh pada warganya, “Bagaimana Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, apakah bersedia membantu Pak Radit untuk menata perabotan rumahnya?” “Siap, Pak RT ...!” jawab semuanya serentak. Ternyata bukan hanya warga itu saja yang membantu. Bahkan beberapa warga yang terdiri dari pemuda komplek ikut menyumbangkan tenaganya. Semua perabotan yang masih dalam pembukus dan segelnya ditempatkan pada posisinya masing-masing. Radit merasa terharu dan tak menyangka warga di perumahan itu masih memiliki rasa pedu