"Bagaimana keadaanmu?"
Pertanyaan yang sama, pertanyaan yang amat kusukai. Mungkin remeh bagi sebagian orang, tapi tidak bagiku. Aku suka saat Adit peduli, senang saat dia mengkhawatirkanku, setidaknya pertanyaan itu berarti aku masih dibutuhkan.
Sejak kejadian bertahun-tahun silam, nyaris tak ada yang bertanya bagaimana keadaanku. Ayah dan Ibu sibuk dengan dunianya, dia tak lagi peduli pada anak yang dulu dibanggakannya. Mungkin mereka merasa, bahwa aku tak lagi berguna, tak lagi memiliki masa depan. Ya, masa depan apa yang dimiliki wanita yang hampir gila, yang pernah mengurung diri selama berbulan-bulan di dalam kamar dan takut terkena cahaya matahari.
"Yumi?"
"Eh, aku ... Baik." Aku menyahut setelah terbangun dari lamunan. Pria itu, yang memiliki tatapan setajam elang dan memiliki senyum sehangat mentari, tengah duduk dengan beberapa jarak di antara kami. Mataku mengawasinya, melihat bagaimana kelopak matanya bergerak sambil mengamati wajahku. O
Malang bagi kami, saat di perjalanan. Hujan turun dengan lebatnya. Baju blus putih yang dilapisi kardigan itu langsung basah kuyup. Memang, saat di kafe tadi, langit sudah hitam mengandung awan."Apa kita berhenti mencari tempat berteduh?" Suara Adit agak keras mengalahkan deru hujan."Tanggung! Aku sudah basah!" seruku juga."Kau yakin?""Ya," sahutku lagi.Entah kenapa, sejak Adit menawarkan hubungan pertemanan, hatiku merasa sedikit bahagia. Perasaan dibutuhkan dan berharga, itu yang kurasakan. Sudah lama perasaan bangga ini tak kurasakan, bangga saat Adit mengkhawatirkanku."Pegang yang erat! Kita ngebut!" serunya lagi.Aku melingkarkan tanganku ke pinggangnya, menempel tanpa menyisakan jarak. Kulit kami bersentuhan saling meresapi rasa hangat walaupun dibatasi baju basah.Debaran itu lagi, debaran yang sama saat pertama aku mengiyakan perjodohan kami dulu.Debaran yang menjanjikan bahagia, yang tak sadar diri bahwa
"Istrimu ditikam orang,"Rasanya duniaku langsung runtuh, suara panik di seberang telepon sana, membuatku nyaris tak bernyawa. Tak hanya suara Mas Haris, pekikan keributan orang yang berada di sana pun sampai terdengar, jeritan orang yang memanggil tetangga kami.Yumi, siapa yang melakukannya pada Yumi? Dia tengah hamil. Siapa yang begitu tega berbuat jahat padanya. Setahuku, Yumi tak memiliki musuh, apakah rampok yang masuk di pagi hari ke rumah kami?Tanpa pikir panjang, aku berlari ke parkiran, memacu mobilku dengan kecepatan tinggi, suara teguran tak kuindahkan, mungkin mereka heran melihat aku lari seperti kesetanan.Mobil kupacu, tanpa memutus sambungan telepon, Mas Haris mengatakan, bahwa dia tengah dalam perjalanan menuju rumah sakit Harapan.Aku benci ini, saat darurat jalan malah macet, sebuah truk terguling menumpahkan pasir ke tengah jalan.
Yumi sudah diperbolehkan pulang setelah dirawat selama lima hari. Kondisinya mulai membaik, walaupun dia lebih pendiam dari biasanya. Ya, kami belum pulih betul dari rasa kehilangan, kehilangan anak yang kami harapkan. Akan berbeda persoalan jika kami adalah pasangan yang normal, tentu memiliki kesempatan untuk kembali memprogram kehamilan. Ah, entahlah, aku dan Yumi mulai dekat, dekat atas nama teman karena anak yang ada dalam kandungannya, kami mulai memperhatikannya bersama-sama. Sekarang, semua sudah tak ada lagi.Tak lama bagi polisi untuk menangkap Laura, tak sampai lima jam setelah Yumi selesai dioperasi, Laura ditangkap saat berada di perbatasan kota. Di sebuah kafe yang cukup terkenal ramai.Di sini aku sekarang, ingin memastikan sendiri wanita itu telah berada di jeruji besi. Selain marah dan dendam, aku juga ingin memastikan apa yang ada di pikiran wanita itu sehingga berniat menghabisi Yumi.Laura pantas digelari sebagai wanita gila. Lihatlah!
Siapa yang tak ingin bahagia. Memiliki kehidupan sempurna dan tenang, hidup bagaikan orang normal, bisa tertawa sepuasnya dan bercerita kapan saja. Aku juga ingin begitu, namun kejamnya masa lalu memporak porandakan kepercayaan diriku. Mematikan jiwaku yang selalu menunggu kematian. Tak ada rengkuhan Ayah atau pun Ibu. Mereka sibuk mengobati sakit mereka sendiri, seolah-olah mereka adalah orang tua yang tak berguna. Tak bisa menjaga anak gadis mereka satu-satunya.Mereka memendam semuanya, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, untuk menutupi rasa malu, dan menyembunyikan anaknya yang hampir gila.Dulu, aku adalah murid yang pintar di sekolah, memiliki banyak prestasi. Serta terkenal se kabupaten. Aku anak yang ceria dan memiliki banyak teman, memiliki banyak penggemar. Akan tetapi, ternyata kecantikan yang dipuja-puja malah melahirkan petaka. Tak hanya satu laki-laki yang tertarik, bahkan sebagian besar murid laki-laki di sekolahku, menaruh perasaan suka dan kagum. Buktinya, ada
Manis, ya. Itu yang kurasakan pada bibir lembut itu, ciuman pertamaku sepanjang pernikahan kami. Sebuah sentuhan yang didasari suka sama suka tak ada paksaan.Yumi menatapku pasrah, kami kehilangan kosa kata setelah ciuman singkat itu terjadi. Bisa kulihat, pipinya yang bersemu merah."Maaf, sepertinya aku harus tidur, aku mengantuk."Yumi mengalihkan pandangannya ke arah lain. Salah tingkah, aku pun dilanda rasa kebingungan.Kami telah melampaui batas pertemanan, sebuah hubungan yang baru kami ciptakan agar saling membuka diri.Sampai menjelang tidur pun, tak ada yang bersuara di antara kami. Kami tidur saling membelakangi, dengan guling sebagai pemisah.Aku tahu, Yumi belum tidur, sama denganku. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, mencerna semua kejutan yang tak teduga ini.Sesekali ranjang berderit karena Yumi berulang kali dia bergerak kecil."Viora, adalah teman kantor, dia telah menikah."Ranjang berderit lebih keras. Yumi mendadak membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku y
Aku bangun lebih semangat dari pada biasanya. Seperti menemukan hidup baru, ada harapan yang tak bisa diungkapkan dengan lisan.Pagi ini, akan dimulai masuk kelas kulinerku. Sebuah kegiatan yang pasti amat menyenangkan. Selama ini, yang membuatku merasa hidup adalah wajan dan peralatan dapur lainnya.Pertama dalam hidupku, aku kembali memiliki semangat. Semangat untuk hidup lebih lama, harapan untuk mewujudkan mimpiku menjadi seorang koki, sekaligus sebagai istri satu-satunya Adit.Seperti biasa, Adit akan memaksakan memakai dasinya yang tak pernah rapi. Dia pun tak meminta tolong padaku. Berulang kali dia mencoba, hasilnya tetap sama, dasi itu terlihat tidak pas. Aku menghalau perasaan gugup, kudekati dia yang berada persis di depan cermin besar di kamar kami. Tak mungkin aku membiarkannya dengan dasi yang berantakan."Perlu bantuan?" tanyaku kemudian.Adit mengangguk dan aku mendekat. Dia mendongak agar tanganku bisa leluasa, bisa kulihat jakunnya yang menonjol begitu jelas, mengha
"Seseorang mencarimu, Dit." Nandita, teman sekantor datang ke kubikel-ku. Nandita yang memang memiliki pembawaan agak ketus. Kami tak begitu dekat, namun kami juga tak pernah berselisih. Aku tipe orang yang menghindari permusuhan. "Siapa?""Aku tidak tahu, saat ditanya, dia hanya diam tak menjawab siapa namanya. Dia hanya mengatakan, bahwa dia mencari Adit. Lebih baik kau temui saja, dia berada di luar ruangan ini. Tepatnya, di tangga manual. Dia sudah lama berada di sana, sudah menjadi perhatian orang yang lewat, makanya aku tanya, karena dia terlihat aneh sekali. "Nandita pergi, meninggalkanku yang dilanda keheranan. Orang aneh mencariku? Mungkin salah orang, atau Adit yang lain, bukan aku.Tanpa pikir panjang, kulangkahkan kakiku ke luar ruangan. Ruangan kantorku berada di lantai dua, setelah lorong yang tak begitu panjang, kita akan menemukan tangga penghubung lantai satu dan dua.Tak biasa-biasanya seseorang mencariku dan menunggu di luar. Biasanya yang berkepentingan, pasti t
Aku menilai pria yang lebih dulu sampai di tempat kami janjian bertemu. Dia selalu tampil sempurna, sangat pintar memadu padankan warna busananya. Wajahnya yang bersih, dengan kacamata berbingkai itu, membuat dia terlihat amat terpelajar dan berkelas."Maaf, saya terlambat," ucapku sambil menarik kursi di depan chef Budi. Dia tersenyum sekilas, menilai diriku dari atas sampai bawah. Aku bukan orang yang perfeksionis dalam berbusana, akan tetapi tetap mengedepankan kerapian, kalau berlomba dengan Chef Budi, tentu saja aku akan kalah. Pria itu, dari atas sampai ke bawah memakai pakaian bermerek, tentu saja sesuai dengan isi kantongnya, karena yang kutahu, gaji seorang chef cukup besar, apalagi jika bekerja di hotel bintang lima dan ditambah dengan punya usaha sendiri. Sedangkan aku hanya pegawai biasa yang bekerja di bagian keuangan dengan gaji di bawah sepuluh juta. Membeli baju kaos dengan harga satu juta, jelas saja buang-buang duit. Belum lagi rumah yang harus dicicil setiap bulan.